“Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja pada Pekerja Perkebunan

(1)

PENGARUH KESIAPAN BERUBAH TERHADAP SEMANGAT KERJA PADA PEKERJA PERKEBUNAN

(The Impact of Readiness for Change toward Plantation Employee Morale)

TESIS

Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi Kekhususan Industri dan Organisasi

Oleh:

ELLA ADHYSTI S 107029022

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh:

Nama : Ella Adhysti S

NIM : 107029022

Kekhususan : Psikologi Industri dan Organisasi

Judul Tesis : Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja pada Pekerja Perkebunan

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi pada Kekhususan Psikologi Industri dan Organisasi dalam Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, pada hari Rabu, 23 Oktober 2013.

Dewan Penguji

Penguji I/Pembimbing (Zulkarnain, Ph.D, Psikolog)

NIP. 197312142000121001

Penguji II (Emmy Mariatin, Ph.D, Psikolog)

Medan, 23 Oktober 2013

Koordinator Magister Psikologi Profesi Dekan

Fak. Psikologi Universitas Sumatera Utara Fak. Psikologi Universitas Sumatera Utara

Dr. Wiwik Sulistyaningsih, Psikolog Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP. 196501122000032001 NIP. 195301311980032001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis saya yang berjudul “Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja pada Pekerja Perkebunan” yang saya susun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan Tesis ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam Tesis ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Oktober 2013

Ella Adhysti S 107029022


(4)

Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja pada Pekerja Perkebunan

Ella Adhysti S dan Zulkarnain

Abstrak

Organisasi yang ingin bertahan dalam lingkungan yang penuh kompetisi harus mengoptimalkan kualitas sumber daya manusianya. Salah satu caranya adalah dengan menjaga dan meningkatkan semangat kerja karyawannya sehingga karyawan lebih antusias dan termotivasi dalam bekerja, mengurangi tingkat absensi, lebih cepat menyelesaikan pekerjaan dan mengurangi angka kecelakaan kerja. Perilaku semangat kerja dipengaruhi oleh kondisi-kondisi organisasi yang dinamis dan berubah. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan perubahan yang berkesinambungan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Perubahan yang efektif dan berhasil ditandai dengan kesiapan karyawan dalam merespon perubahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesiapan berubah terhadap semangat kerja. Subjek pada penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perkebunan dan berjumlah 85 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kesiapan berubah dan skala semangat. Hasil analisa dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan adanya pengaruh positif kesiapan berubah terhadap semangat (R = 0.584; R2 = 0.34 , F = 42.941; p = 0.000). Variabel kesiapan berubah memberikan kontribusi sebesar 34.1% terhadap variabel semangat kerja. Hasil penelitian ini selanjutnya menjadi dasar untuk menetapkan intervensi berupa pelatihan peningkatan kesiapan berubah dengan tujuan untuk meningkatkan kesiapan berubah yang akhirnya akan meningkatkan semangat kerja pada karyawan.


(5)

The Impact of Readiness for Change toward Plantation Employee Morale

Ella Adhysti S and Zulkarnain

Abstract

Organizations can survive within the fullest competition environment if could optimize their human resources quality. One of ways is maintaining and improving their employees’ morale so that employees become more enthusiastic and be motivated in their working, lesser absenteeism rate, faster to complete their tasks and reduce work accident. Morale behavior is influenced by the dynamic and change conditions of an Organization. Therefore, it requires an ongoing and sustainable Change Management either for short and or long term. Effective and successful changes characterized by the employees’ readiness to respond the changes which is reflected by the employees’ belief, attitude and intention, and that employees will respond to changes. This study is aimed to find out the impact of readiness for change toward employees morale. The subject of this study were 85 of Plantation Employee. The measurement tool used in this study were the scale of readiness for change and scale of morale. The results of analytical using simple regression showed that a positive impact of readiness for change toward employee morale (R = 0.584; R2 = 0.341 , F = 42.491; p = 0.000). Tthe contribution of variable of readiness for change was 34.1% toward morale. The results of this study became the basic of intervention in the form of training for improving readiness for change which in turn to improve employees’ morale .


(6)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim…

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T karena berkat rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja pada Pekerja Perkebunan” ini. Tesis ini diajukan untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Puji syukur juga penulis panjatkan kepada Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kedua orang tua penulis, Ibunda Donna Elfina Siahaan dan Syaifullah Siregar, sehingga mereka bisa terus-menerus memberikan, semangat, dukungan dan doanya kepada penulis dalam mengerjakan Tesis.

Selama proses penulisan Tesis ini, penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak. Bantuan yang diberikan sangat penulis hargai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Ibu Prof. DR. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Zulkarnain, Ph.D, psikolog selaku dosen pembimbing Tesis yang dengan sabar membimbing, memberikan arahan dan rela meluangkan waktunya membimbing penulis dalam mengerjakan Tesis ini.

3. Ibu Emmy Mariatin, MA, Ph.D, psikolog yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan membimbing penulis.


(7)

4. Kak Cherly Kemala Ulfa, M.Psi, psikolog selaku kakak sepupu yang sedari awal selalu setia dalam membimbing, memberikan arahan, masukkan, ide, dukungan, dan semangat kepada penulis. Tanpa dirinya, menyelesaikan Tesis ini menjadi sangat sulit.

5. Bapak Abraham Hanafi atas semua dukungannya kepada penulis. Terima kasih karena selalu ada untuk memberikan berbagai bantuan, semangat, nasihat, dan kesediaannya mendengarkan keluh kesah penulis. Terima kasih sudah membantu penulis menghadapi masa-masa sulitnya.

6. Kepada saudara-saudaraku tersayang Kak Debi, Kak Susan, Judo dan Itam. Terima kasih karena selalu memberi dukungan dan semangat untuk menyelesaikan Tesis ini.

7. Elna Yuslaini Siregar, Suri Mutia Siregar dan Etti Harimurti, terima kasih sudah menjadi sahabat bagi penulis. Terima kasih untuk semangat, nasihat, serta kebersamaan yang membahagiakan. Pengalaman bersama kalian tidak mudah untuk dilupakan.

8. Kepada Fadiah Winda Sari, sahabat penulis sejak S1. Terima kasih sudah sangat baik terhadap penulis, selalu menyediakan waktunya untuk mendengarkan dan memahami keluh kesah penulis.

9. Kepada teman-teman MP2 Angkatan 5. Terima kasih untuk kebersamaan dan pengalaman yang menyenangkan selama menjalani perkuliahan bersama kalian.


(8)

10. Pihak PT. Perkebunan X yang telah memberikan izin pengambilan data dan telah memberikan bantuan yang sangat berharga bagi penyelesaian Tesis ini.

11. Seluruh pihak yang telah membantu dan namanya mungkin tidak tersebutkan, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga pengorbanan dan jasa baik yang diberikan penulis mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah S.W.T.

Akhir kata, penulis menyadari Tesis ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Tesis ini. Semoga Tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait serta para pembaca pada umumnya.

Medan, Oktober 2013


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... 0

LEMBAR PENGESAHAN ... 0

LEMBAR PERNYATAAN ... 0

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. ... L atar Belakang ... 1

B. ... R umusan Masalah ... 12

C. ... T ujuan Penelitian ... 13

D. ... M anfaat Penelitian ... 13

E. ... S istematika Penulisan ... 14

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

A. ... S emangat Kerja ... 15

A.1. Definisi Semangat Kerja ... 15

A.2. Aspek-aspek Semangat Kerja... 16

A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Semangat Kerja ... 18

A.4. Indikator Turunnya Semangat Kerja ... 19

B. ... P erubahan Organisasi ... 20


(10)

B.2. Bentuk-bentuk Perubahan Organisasi ... 21

B.3. Pendekatan Pengelolaan Perubahan Organisasi ... 23

C. ... K esiapan Berubah ... 25

C.1. Definisi Kesiapan Berubah ... 25

C.2. Dimensi Kesiapan Berubah ... 26

C.3. Anteseden Kesiapan Berubah ... 28

C.4. Dampak Kesiapan Berubah ... 30

D. ... G ambaran Umum Perusahaan ... 31

E. ... P engaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja ... 32

F. ... H ipotesis ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

A. ... I dentifikasi Variabel Penelitian ... 37

B. ... D efinisi Operasional ... 37

B.1. Semangat Kerja ... 37

B.2. Kesiapan Berubah ... 37

C. ... S ubjek Penelitian dan Teknik Sampling ... 40

C.1. Subjek Penelitian ... 40

C.2. Teknik Sampling ... 40

D. ... M etode Pengambilan Data ... 41

D.1. Skala Semangat Kerja ... 42


(11)

E. ... U

ji Coba Alat Ukur ... 46

E.1. Uji Validitas ... 46

E.2. Uji Reliabilitas ... 48

E.3. Uji Daya Beda Aitem ... 48

E.4. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 49

1. Hasil Uji Coba Skala Semangat Kerja ... 49

2. Hasil Uji Coba Skala Kesiapan Berubah ... 49

F. ... P rosedur Pelaksanaan Penelitian ... 54

F.1. Tahap Persiapan dan Pelaksanaan ... 54

F.2. Pengolahan Data Penelitian ... 55

G. ... M etode Analisa Data ... 55

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 58

A. ... G ambaran Subjek Penelitian ... 58

A.1. Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin ... 58

A.2. Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan Usia ... 59

B. ... H asil Utama Penelitian ... 59

B.1. Uji Asumsi Penelitian ... 59

1. Uji Normalitas Sebaran ... 60

2. Uji Linieritas ... 60

3. Uji Autokorelasi ... 61

4. Uji Homoskedasitas ... 62

B.2. Hasil Penelitian Utama ... 63

C. ... K ategorisasi Skor Penelitian ... 65


(12)

C.2. Kategorisasi Skor Penelitian Kesiapan Berubah ... 67

D. ... P embahasan ... 69

E. ... K eterbatasan Penelitian ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A. ... K esimpulan ... 75

B. ... S aran ... 76

B.1. Saran Metodologis ... 76

B.2. Saran Praktis ... 77


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Definisi Operasional Aspek Semangat Kerja ... 38

Tabel 3.2. Definisi Operasional Dimensi Kesiapan Berubah ... 39

Tabel 3.3. Blueprint Skala Semangat Kerja ... 43

Tabel 3.4. Blueprint Skala Kesiapan Berubah... 45

Tabel 3.5. Skala Semangat Kerja Setelah Uji Coba ... 51

Tabel 3.6. Skala Kesiapan Berubah Setelah Uji Coba ... 53

Tabel 4.1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 58

Tabel 4.2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 59

Tabel 4.3. Hasil Uji Normalitas ... 60

Tabel 4.4. Hasil Uji Linieritas ... 61

Tabel 4.5. Hasil Uji Autokorelasi ... 62

Tabel 4.6. Hasil Utama Penelitian ... 63

Tabel 4.7. Sumbangan Efektif Variabel Kesiapan Berubah ... 64

Tabel 4.8. Model Persamaan Regresi ... 64

Tabel 4.9. Perbandingan Data Empirik dan Teoritik Semangat Kerja ... 65

Tabel 4.10 Kategorisasi Skor Semangat Kerja ... 67

Tabel 4.11. Perbandingan Data Empirik dan Teoritik Kesiapan Berubah ... 68


(14)

DAFTAR GAMBAR


(15)

Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja pada Pekerja Perkebunan

Ella Adhysti S dan Zulkarnain

Abstrak

Organisasi yang ingin bertahan dalam lingkungan yang penuh kompetisi harus mengoptimalkan kualitas sumber daya manusianya. Salah satu caranya adalah dengan menjaga dan meningkatkan semangat kerja karyawannya sehingga karyawan lebih antusias dan termotivasi dalam bekerja, mengurangi tingkat absensi, lebih cepat menyelesaikan pekerjaan dan mengurangi angka kecelakaan kerja. Perilaku semangat kerja dipengaruhi oleh kondisi-kondisi organisasi yang dinamis dan berubah. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan perubahan yang berkesinambungan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Perubahan yang efektif dan berhasil ditandai dengan kesiapan karyawan dalam merespon perubahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kesiapan berubah terhadap semangat kerja. Subjek pada penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di perkebunan dan berjumlah 85 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kesiapan berubah dan skala semangat. Hasil analisa dengan menggunakan regresi sederhana menunjukkan adanya pengaruh positif kesiapan berubah terhadap semangat (R = 0.584; R2 = 0.34 , F = 42.941; p = 0.000). Variabel kesiapan berubah memberikan kontribusi sebesar 34.1% terhadap variabel semangat kerja. Hasil penelitian ini selanjutnya menjadi dasar untuk menetapkan intervensi berupa pelatihan peningkatan kesiapan berubah dengan tujuan untuk meningkatkan kesiapan berubah yang akhirnya akan meningkatkan semangat kerja pada karyawan.


(16)

The Impact of Readiness for Change toward Plantation Employee Morale

Ella Adhysti S and Zulkarnain

Abstract

Organizations can survive within the fullest competition environment if could optimize their human resources quality. One of ways is maintaining and improving their employees’ morale so that employees become more enthusiastic and be motivated in their working, lesser absenteeism rate, faster to complete their tasks and reduce work accident. Morale behavior is influenced by the dynamic and change conditions of an Organization. Therefore, it requires an ongoing and sustainable Change Management either for short and or long term. Effective and successful changes characterized by the employees’ readiness to respond the changes which is reflected by the employees’ belief, attitude and intention, and that employees will respond to changes. This study is aimed to find out the impact of readiness for change toward employees morale. The subject of this study were 85 of Plantation Employee. The measurement tool used in this study were the scale of readiness for change and scale of morale. The results of analytical using simple regression showed that a positive impact of readiness for change toward employee morale (R = 0.584; R2 = 0.341 , F = 42.491; p = 0.000). Tthe contribution of variable of readiness for change was 34.1% toward morale. The results of this study became the basic of intervention in the form of training for improving readiness for change which in turn to improve employees’ morale .


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Organisasi terdiri dari sejumlah anggota yang memberikan sumbangan kepada upaya mencapai tujuan melalui kedudukan dan peran mereka dalam organisasi. Melalui usaha perorangan atau sekelompok orang suatu organisasi dapat meraih tujuannya dan dapat berkembang menjadi lebih besar (Munandar, 2001).

Dalam era perdagangan bebas dunia abad 21 terjadi iklim kompetisi yang menuntut tiap organisasi untuk bekerja dengan lebih efektif dan efisien. Tingkat kompetisi yang tinggi menuntut pula suatu organisasi mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki terutama sumber daya manusianya disebabkan oleh pengaruh yang kuat dari sumber daya manusia terhadap efektifitas dan efisiensi organisasi. Karyawan sebagai sumber daya manusia merupakan kunci keberhasilan suatu organisasi (Sofyandi, 2008). Keberhasilan tersebut tidak hanya ditentukan oleh kuantitas sumber daya manusia yang dimiliki tetapi juga kualitasnya. Sehingga peningkatan kualitas sumber daya manusia di dalam sebuah organisasi menjadi penting. Salah satu aspek penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah semangat kerja (Jerome & Kleiner, 1995).

Semangat kerja dapat didefinisikan sebagai derajat seorang karyawan merasa senang dengan pekerjaan ataupun lingkungan kerjanya. Manifestasi dari


(18)

semangat kerja adalah keadaan psikologis yang positif dan termotivasi, hal ini berarti bahwa karyawan yang memiliki semangat kerja adalah karyawan yang memiliki motivasi intrinsik, komitmen dan rasa bangga terhadap pekerjaannya (McKnight dalam MacFadzean& MacFadzean, 2005). Dalam hal ini semangat kerja lebih menekankan pada dorongan untuk bekerja dengan sebaik-baiknya daripada sekedar kesenangan saja (Davis & Newstorm, 1996).

Karyawan yang memiliki semangat kerja yang tinggi ditandai dengan perilaku mau melakukan pekerjaan dengan penuh energik, antusias dan dilandasi oleh kemauan yang tinggi. Dengan kata lain, karyawan bersedia untuk bekerja dan mengerahkan semua usahanya dalam rangka menyelesaikan pekerjaannya. Sebaliknya, karyawan dengan semangat kerja yang rendah merasa kurang antusias menyelesaikan pekerjaannya dan bermalas-malasan, tidak bersosialisasi dengan rekan kerja, selalu datang terlambat dan pulang lebih awal, memiliki kinerja yang tidak memuaskan, serta kurang fokus menyelesaikan pekerjaannya (Carlaw, Deming, & Friedman, 2003). Indikator lain rendahnya semangat kerja dapat dilihat dari karyawan sering mengeluhkan pekerjaannya, karyawan enggan untuk bekerja lebih lama dari jam kerja yang telah ditentukan, karyawan absen, dan karyawan menjadi kurang perduli terhadap pekerjaan (Makawatsakul & Kleiner, 2003).

Setiap perusahaan diharapkan mampu meningkatkan semangat dan gairah karyawan demi kelangsungan hidup usahanya (Nitisemito, 1996). Ada beberapa alasan yang membuat keberadaan semangat kerja sangat penting dalam organisasi, yaitu (1) semangat kerja yang tinggi dapat mengurangi angka absensi atau tidak


(19)

bekerja karena malas, (2) semangat kerja yang tinggi menyebabkan pekerjaan yang diberikan atau ditugaskan kepada karyawan dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat, (3) semangat kerja yang tinggi membuat karyawan merasa senang bekerja sehingga kecil kemungkinan untuk pindah bekerja ke tempat yang lain, dan (4) semangat kerja yang tinggi dapat mengurangi angka kecelakaan karna karyawan yang mempunyai semangat kerja yang tinggi cenderung bekerja dengan hati-hati dan teliti, sehingga bekerja sesuai dengan prosedur yang ada (Tohardi, 2002).

Selanjutnya semangat kerja merupakan faktor penting bagi organisasi karena dampaknya bagi karyawan dan organisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semangat kerja dapat meningkatkan persentase penyelesaian tugas dan berkurangnya angka kecelakaan kerja, sehingga pada akhirnya hal ini menyebabkan meningkatnya produktivitas suatu organisasi (Neely, 1999). Menyadari arti pentingnya semangat kerja bagi kelangsungan organisasi, maka suatu organisasi sangat perlu mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja karyawan. Banyak penelitian dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja tersebut antara lain seperti kepemimpinan (Ngambi, 2011), kepercayaan terhadap organisasi (Fard, Ghatari, & Hasiri, 2010), dan kompensasi (Elfrida 2009). Selain itu penelitian yang dilakukan Decker, Wheeler, Johnson, dan Parson (2001) pada karyawan di rumah sakit menyebutkan bahwa penurunan semangat kerja secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi.


(20)

Setiap organisasi pasti mengalami perubahan, pertumbuhan dan pengembangan, dan perubahan organisasi merupakan suatu cara yang dilakukan oleh organisasi untuk mempertahankan kedudukannya (Cascio, 1998). Terdapat berbagai faktor eksternal yang memicu perubahan organisasi seperti perubahan keamanan, globalisasi, ekonomi, politik, sosial serta sistem nilai (Salim, Swassono, Abeng, Achir & Sumampouw, 1997).

Oleh karenanya tidak ada satu organisasi pun yang berada pada lingkungan yang stabil. Bahkan perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi pasar juga harus berubah dan terkadang perubahan terjadi secara radikal. Perubahan bukan hal yang sederhana. Perubahan tidak hanya sekedar melakukan perubahan tetapi membutuhkan pengelolaan yang berkesinambungan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang (Robbins & Judge, 2009).

Sehingga perubahan dapat diartikan sebagai proses mengubah tindakan, reaksi dan interaksi dari keadaan organisasi pada saat sekarang ini menuju keadaan yang diinginkan di masa yang akan datang (McNabb & Sepic, 1995). Karyawan yang terus-menerus menghadapi perubahan harus mampu meningkatkan tingkat adaptasinya. Perubahan sering sekali menghasilkan rasa tidak puas dan perasaan tertekan pada karyawan. Ketika karyawan mengalami kecemasan yang tinggi dikarenakan situasi yang berubah, maka kinerjanya akan cenderung menurun dan menghasilkan ketidakpuasan kerja (Madsen, John, & Miller, 2006).


(21)

Selain itu, penanganan situasi perubahan yang tidak tepat dapat mendatangkan konsekuensi yang serius bagi organisasi yakni dapat menimbulkan frustrasi, meningkatkan biaya implementasi, tidak diperolehnya manfaat yang diharapkan dari perubahan, memperbesar konsekuensi negatif perubahan terhadap karyawan, motivasi dalam organisasi menurun, dan meningkatkan penolakan terhadap perubahan (Wibowo, 2005).

Banyaknya penolakan dan kegagalan usaha perubahan, secara langsung dapat ditelusuri pada efektif atau tidaknya proses yang dilakukan sebelum mengenalkan perubahan (Schein dalam Armenakis dkk, 1993). Sebelum mengenalkan perubahan, hal penting pertama yang harus dilakukan adalah mendorong karyawan untuk meninggalkan perilaku yang lama dengan cara menggoyahkan keadaan yang seimbang yang berusaha mempertahankan status quo (Lewin dalam Nelson & Campbel, 2008). Pada tahap ini karyawan disadarkan mengenai adanya kebutuhan akan sebuah perubahan. Proses ini dikenal sebagai proses pencairan, dimana ketika proses pencairan yang dilakukan tidak efektif menyebabkan karyawan tetap mempertahankan status quo dan tidak mau berubah, sebaliknya proses yang efektif menyebabkan karyawan menjadi lebih siap untuk berubah, mengurangi penolakan terhadap perubahan serta meningkatkan potensi usaha perubahan menjadi lebih efektif. Sehingga, menciptakan kesiapan berubah merupakan hal yang penting sebelum mengenalkan perubahan (Armenakis, Harris, & Mossholder, 1993).

Kesiapan terhadap perubahan merefleksikan keyakinan, sikap dan intensi karyawan mengenai sejauhmana perubahan dibutuhkan dan kapasitas organisasi


(22)

berhasil melakukan perubahan. Kesiapan terhadap perubahan merupakan keadaan kognisi yang akan mengarahkan individu pada perilaku mendukung atau menolak suatu usaha perubahan (Armenakis, Harris & Mossholder, 1993). Sehingga, organisasi atau perusahaan perlu untuk mengetahui kesiapan para karyawannya sebagai pertanda awal akan adanya dukungan atau penolakan dari karyawan tentang perubahan yang akan direncanakan. Perusahaan yang mengetahui lebih awal indikasi adanya penolakan karyawan akan menyebabkan perusahaan dapat menentukan langkah-langkah preventif sebelum benar-benar melaksanakan perubahan sehingga penolakan yang ada dapat diminimalisir (Fachri, 2008).

Kesiapan karyawan terhadap perubahan merupakan tantangan bagi organisasi namun hal ini sering diabaikan dalam perencanaan dan implementasi perubahan (Backer, 1995). Sementara itu, perubahan organisasi tidak akan berhasil tanpa perubahan karyawan dan perubahan karyawan tidak efektif tanpa dipersiapkan terlebih dahulu (Madsen, John, & Miller, 2006). Sehingga, meningkatkan kesiapan terhadap perubahan pada semua karyawan merupakan salah satu intervensi yang paling efektif yang dapat dilakukan oleh organisasi (Cunningham, Woodward, Shannon, Maclntosh, Ledrum, Rosenbloom & Brown, 2002).

Perusahaan perkebunan yang akan diteliti merupakan perusahaan perkebunan publik terbesar ke dua di Indonesia yang mulai berdiri pada tahun 1906. Adapun lingkup usahanya pada saat ini adalah pemuliaan tanaman, penanaman, pemanenan, pengolahan dan penjualan produk-produk kelapa sawit,


(23)

karet, kakao dan teh. Perusahaan ini berpusat di Jakarta dan memiliki beberapa kantor cabang di beberapa daerah di Indonesia.

Pada akhir tahun 2003, perusahaan ini mulai melakukan program transformasi yaitu perubahan menyeluruh yang mencakup perubahan manajemen, restrukturisasi organisasi, kajian operasional dan pengembangan sumber daya manusia. Program transformasi ini dibagi ke dalam empat agenda. Agenda pertama dilakukan melalui perekrutan anggota Direksi yang baru dan perombakan struktur organisasi perseroan. Perubahan yang terjadi adalah pengangkatan Direktur pada bagian pengelolaan perkebunan dan penjualan, yang berimplikasi pada perombakan struktur organisasi. Perubahan lain yang dilakukan dalam agenda pertama ini yaitu redefinisi fungsi dan tanggungjawab tiap direktur. Agenda kedua adalah perubahan strategi dan kebijakan usaha yang mencakup perubahan visi, misi dan nilai-nilai perusahaan, perubahan strategi bisnis, perubahan dalam kebijakan tata kelola yaitu membangun komite audit internal, nominasi dan renumerasi, manajemen resiko, serta pengembangan petunjuk pelaksanaan menyangkut pengendalian keuangan, akuntansi dan prosedur standar operasi. Agenda kerja ketiga merupakan transformasi di bidang sumber daya manusia yang mencakup analisa kebutuhan pelatihan, perencanaan jenjang karir, sistem renumerasi dan insentif, serta sistem evaluasi dan penilaian kinerja yang komprehensif bagi seluruh staf dan karyawan. Agenda kerja terakhir mengenai melakukan perubahan sistem teknologi informasi yang memungkinkan terjadinya integrasi informasi di perkebunan dengan di kantor pusat (Annual Report tahun 2003).


(24)

Transformasi yang dilakukan oleh perusahaan ini berlangsung selama beberapa tahun.Visi dan misi mengalami penyegaran.Visi, misi, dan nilai-nilai baru perusahaan mulai diperkenalkan pada tahun 2006 dan mengalami beberapa kali revisi hingga pada tahun 2009 visi, misi dan nilai-nilai perusahaan mulai dibakukan. Hal ini berarti bahwa perusahaan perkebunan ini mulai mengembangkan budaya perusahaan yang baru pada tahun 2009. Standar Operating Procedure juga mulai dibakukan dan diberlakukan pada tahun 2009. Perubahan teknologi dan informasi dimulai pada bulan Januari tahun 2012 dengan diberlakukannya sistem SAP yang menyebabkan terjadinya perubahan cara kerja karyawan. Pada saat ini Human Capital Department perusahaan sedang meramu succession planning system.

Melihat sejarah perkembangan dan kepemilikannya, perusahaan perkebunan ini juga beberapa kali mengalami perubahan. Pada awalnya perusahaan ini berdiri atas inisiatif sebuah perusahaan perkebunan dan perdagangan yang berbasis di London. Dalam rangka memperluas usahanya maka pada tahun 1962 sampai dengan 1963, perusahaan ini menggabungkan diri dengan perusahaan perkebunan yang ada di Sumatera Utara. Dengan penggabungan kedua perusahaan ini, terbentuklah perusahaan perkebunan dengan nama baru. Kemudian pada tahun 1968, Pemerintah Republik Indonesia mengambil alih kepengurusan perusahaan. Perubahan kembali terjadi karena pada tahun 1994, perusahaan yang menginisiasi perusahaan ini menjual seluruh kepemilikan sahamnya kepada perusahaan lain yang kemudian mencatatkan perusahaan perkebunan ini sebagai perusahaan publik melalui pencatatan saham di Bursa


(25)

Efek pada tahun 1996. Hal ini menjadikan perusahaan perkebunan ini berpindah kepemilikan. Pada bulan Oktober 2007, perusahaan A mengakuisisi 64.4% kepemilikan saham perusahaan perkebunan ini. Kemudian di bulan Desember 2010, perusahaan A melepaskan 8% kepemilikannya di perusahaan perkebunan ini. Dimana 3.1% dijual ke perusahaan B sebagai induk perusahaan A. Pelepasan kepemilikan ini menurunkan saham perusahaan A menjadi 59.5 %. Besarnya kepemilikan saham perusahaan A menjadikan perusahaan B mengambil alih sebagian besar pengelolaan perusahaan perkebunan ini.

Sejak diakuisisi, terjadi beberapa perubahan di perusahaan perkebunan ini. Ada pun perubahan-perubahan yang terjadi adalah:

(1) Pada saat ini perusahaan ini telah menjadi anak perusahaan B. Seperti yang diketahui bahwa perusahaan B juga mempunya unit bisnis yang bergerak di bidang makanan yang memerlukan bahan baku yaitu kelapa sawit dan turunan-turunannya, sehingga posisi perusahaan perkebunan ini yang pada awalnya sebagai perusahaan mandiri yang menghasilkan kelapa sawit sebagai komoditi utama bergeser menjadi supporting business bagi perusahaan B.

(2) Terjadi perampingan struktur organisasi yaitu penggabungan Environment Department dengan Government and Community Relations Department menjadi Government and CSR Department pada tahun 2008. Penggabungan departemen ini menyebabkan karyawan yang tidak produktif pada kedua departemen diberhentikan dan karyawan yang tersisa dilimpahkan tugas dan tanggungjawab baru.


(26)

(3) Perusahaan perkebunan ini memberhentikan 22 orang karyawannya pada tahun 2009. Dari 22 orang karyawan yang diberhentikan tersebut, 16 orang adalah karyawan yang bekerja di kantor cabang di Medan.

(4) Perubahan jumlah bonus tahunan yang diterima. Menurut salah seorang staff, sejak perusahaan ini dibawah manajemen perusahaan B, maka besarnya jumlah bonus yang diterima lebih kecil daripada sebelumnya. Sebelum diakuisisi, perusahaan perkebunan ini memberikan minimal bonus 6 kali jumlah gaji dan paling besar 8 kali jumlah gaji sesuai dengan penilaian kinerja yang dimilikinya. Namun pada saat ini, staff hanya memperoleh bonus maksimal 5 kali jumlah gaji.

(5) Transfer karyawan ke kantor pusat dan berbagai kantor cabang yang dimiliki perubahan perkebunan ini.

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa selama masa transformasi, perusahaan ini juga diakuisisi oleh perusahaan lain yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan di perusahaan ini. Perubahan transformasi merupakan perubahan signifikan yang direncanakan dan diimplementasikan dalam struktur dan proses organisasi. Perubahan yang dilakukan tidak bersifat inkremental ataupun transaksional (Armstrong, 2006). Transformasi organisasi merupakan hal yang sangat sulit bagi anggota organisasi dikarenakan mereka harus meninggalkan kebiasaan lama dan mempelajari hal-hal baru secara radikal. Perubahan transformasi melibatkan perubahan fundamental yaitu perubahan dalam visi, misi, strategi, dan filosofi operasional organisasi (Nadler & Tushman dalam Poole & Van de Ven, 2004).


(27)

Organisasi-organisasi mengadopsi perubahan agar dapat bertahan dan berkompetisi untuk mendapatkan pasar, sehingga organisasi membutuhkan strategi yang kompetitif seperti merger, akuisisi, dan downsizing. Sementara itu strategi kompetitif ini cenderung memiliki pengaruh negatif terhadap karyawan (Shook & Roth, 2011).Sehubungan dengan akuisisi dan perubahan-perubahan yang terjadi di perusahaan perkebunan ini, terlihat ada indikasi dampak negatif perubahan terhadap karyawan. Berikut petikan hasil wawancara:

Ada 2 orang karyawan yang mengundurkan diri hari ini. Selain itu, ada juga karyawan yang mengeluhkan mengenai kondisi pekerjaannya dimana ia dituntut untuk mampu mengerjakan banyak hal. Karyawan pada saat ini memang dihadapkan pada tuntutan kerja yang besar. Namun, tuntutan tersebut tidak akan dirasa berat apabila setiap karyawan mau mengikuti perubahan yang ada.

Setiap orang pasti akan menjawab baik-baik saja tentang apa yang dirasakannya setelah akuisisi. Tidak ada satu pun karyawan yang mau mengundurkan diri dari perusahaan ini. Namun karyawan akan bersedia keluar dari perusahaan apabila perusahaan yang mengeluarkan mereka dari perusahaan ini (PHK). Karyawan tidak akan memperoleh uang pesangon apabila ia mengundurkan diri dari perusahaan. Lain halnya jika karyawan di PHK oleh perusahaan, maka karyawan berhak mendapat uang pesangon sesuai dengan ketentuan dan undang-undang yang ada.

Dari hasil wawancara diketahui bahwa perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan karyawannya mengundurkan diri atau setidaknya memiliki intensi untuk mengundurkan diri.

Sementara itu, hasil observasi yang diperoleh peneliti selama magang, menunjukkan bahwa karyawan perusahaan perkebunan ini (1) setiap harinya, setelah jam kerja dimulai beberapa orang karyawan menggunakan jam kerjanya


(28)

untuk sarapan pagi, berdandan, membaca koran, dan bercanda dengan rekan kerjanya, hal ini berlangsung 30 menit sampai dengan 1 jam, (2) hampir setiap hari ditemukan karyawan yang menggunakan jam kerjanya untuk bermain game, mengakses jejaring sosial, bbm-an, membaca koran, bercanda dengan rekan kerjanya sehingga beberapa orang ditemukan mulai mengerjakan pekerjaannya di akhir-akhir jam kantor (3) ditemukannya karyawan yang tidur-tiduran di ruang sholat selama kurang lebih 15 menit, (4) meninggalkan kantor untuk makan siang sebelum jam makan siang dan terlambat kembali ke kantor.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi ditanggapi secara berbeda oleh tiap anggotanya. Ketika perubahan organisasi dipandang sebagai tantangan maka perubahan akan memicu respon positif, sementara ketika perubahan dipandang sebagai ancaman maka akan memicu respon negatif (Khalid & Rehman, 2011). Sehubungan dengan perubahan dipandang sebagai ancaman maka perubahan tersebut akan mempengaruhi persepsi karyawan mengenai job insecurity, kecemasan dan depresi (Conner, 1993). Sebaliknya, memandang perubahan sebagai tantangan, maka perubahan akan mempengaruhi motivasi, loyalitas, komitmen terhadap pekerjaan, dan kepuasan kerja (Reichers, Wanous dan Austin, 1997).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa semangat kerja adalah hal yang penting dan krusial bagi organisasi karena dapat berpengaruh terhadap produktivitas dan efisiensi organisasi dimana semangat kerja dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kondisi organisasi yang berubah. Pada saat ini organisasi terus-menerus dituntut untuk berubah dan menyesuaikan diri


(29)

terhadap lingkungan eksternal. Perubahan organisasi menuntut sumber daya manusia yang ada di dalamnya juga ikut berubah. Sehingga setiap karyawan harus siap terhadap perubahan. Karyawan yang lebih siap akan merespon perubahan sebagai tantangan sehingga akan mempengaruhi motivasi, loyalitas, komitmen terhadap pekerjaan dan kepuasan kerja. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melihat pengaruh kesiapan karyawan terhadap perubahan dengan semangat kerja.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang penelitian diatas, peneliti mengangkat 4 rumusan masalah penelitian, yaitu:

1. Bagaimana gambaran semangat kerja karyawan PT Perkebunan X. 2. Bagaimana gambaran kesiapan terhadap perubahan karyawan PT

Perkebunan X.

3. Berapa besar pengaruh antara kesiapan terhadap perubahan dengan semangat kerja PT Perkebunan X.

4. Intervensi apa yang dapat diberikan untuk meningkatkan semangat kerja pada karyawan PT Perkebunan X.


(30)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui gambaran kesiapan terhadap perubahan dan semangat kerja pada karyawan PT Perkebunan X.

2. Mengetahui pengaruh antarakesiapan terhadap perubahan dan semangat kerja pada karyawan PT Perkebunan X.

3. Merancang intervensi yang tepat untuk meningkatkan semangat kerja melalui peningkatan kesiapan terhadap perubahan PT Perkebunan X.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat:

1. Secara akademis, manfaat penelitian ini adalah memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan tentang kesiapan terhadap perubahan dan semangat kerja. Penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi organisasi yang berkaitan. Penelitian ini bisa memberikan masukan apa yang harus dilakukan organisasi dalam meningkatkan semangat kerja melalui kesiapan terhadap perubahan.


(31)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penulisan ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yaitu memuat teori mengenai semangat kerja dan kesiapan berubah.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji validitas dan reliabilitas alat ukur, dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV Analis Data dan Pembahasan

Berisikan gambaran subjek penelitian, hasil penelitian utama, dan hasil penelitian tambahan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Berisikan kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran untuk pihak-pihak terkait.


(32)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Semangat Kerja

A.1. Definisi Semangat Kerja

Morale atau semangat kerja menurut American Heritage Dictionary (dalam Chambers & Honeycutt, 2009) adalah spirit yang dimiliki oleh seseorang dan sekelompok orang yang ditunjukkan dengan adanya kepercayaan diri, keceriaan, disiplin dan kemauan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Semangat kerja juga didefinisikan dengan adanya energi, antusiasme, rasa kebersamaan dan kebanggaan yang dimiliki oleh karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya (Hart, Wearing, Conn, Carter, & Dingle, 2000; Hart & Cooper, 2005). Sementara itu, McKnight, Ahmad & Schroeder (2001) mendefinisikan semangat kerja sebagai derajat seorang karyawan merasa senang atau bahagia dengan pekerjaan maupun lingkungan kerjanya.

Sejalan dengan para ahli di atas, Corpus (2006) mendefinisikan semangat kerja sebagai sikap mental yang akan menentukan kesediaan dan antusiasme karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya yang merupakan manifestasi dari reaksi karyawan terhadap pekerjaan, kondisi kerja, kebijakan serta program perusahaan, rekan kerja, atasan, gaji dan lain-lain. Peneliti lain mengemukakan bahwa semangat kerja adalah upaya melakukan pekerjaan secara lebih giat sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih baik (Nitisemito, 1996).


(33)

Menurut Sastrohadiwiryo (2003) terminasi semangat kerja mengacu pada suatu kondisi mental, atau perilaku individu tenaga kerja dan kelompok-kelompok yang menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja tersebut untuk bekerja dengan giat dan konsekwen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. Selanjutnya Hasibuan (2005) menyebutkan bahwa semangat kerja sebagai keinginan dan kesungguhan seseorang dalam mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan disiplin untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh berbagai ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa semangat kerja adalah sikap mental individu terhadap pekerjaan dan lingkungan kerjanya dimana individu bersedia mengerjakan pekerjaannya dengan gembira dan bersungguh-sungguh yang pada akhirnya akan menentukan kesediaan, antusiasme, kerjasama, dan energi yang dikeluarkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

A.2. Aspek Semangat Kerja

Maier (1998) mengemukakan empat aspek semangat kerja, yaitu: 1. Kegairahan

Seseorang yang memiliki kegairahan dalam bekerja berarti juga memiliki motivasi dan dorongan bekerja. Motivasi tersebut akan terbentuk bila seseorang memiliki keinginan atau minat dalam mengerjakan pekerjaannya. Dalam hal ini, karyawan seharusnya lebih mementingkan


(34)

bekerja untuk organisasi dan tidak mengutamakan pada apa yang mereka peroleh.

2. Kualitas untuk bertahan

Aspek ini tidak langsung menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai semangat kerja yang tinggi tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran di dalam pekerjaannya. Ini berarti adanya ketekunan dan keyakinan penuh dalam diri karyawan. Keyakinan ini menunjukkan seseorang yang memiliki energi dan kepercayaan dalam memandang masa yang akan datang dengan baik. Individu tetap berusaha mencapai tujuan semula meskipun mengalami kesulitan, hal ini yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki kualitas untuk bertahan. Ketekunan mencerminkan seseorang memiliki kesungguhan dalam bekerja. Sehingga tidak menganggap bahwa bekerja sebagai hal yang menghabiskan waktu saja melainkan sebagai sesuatu yang penting.

3. Kekuatan untuk melawan frustrasi

Aspek ini menunjukkan adanya kekuatan seseorang untuk selalu konstruktif walaupun mengalami kegagalan yang ditemui dalam bekerja. Seseorang yang memiliki semangat kerja yang tinggi tentunya tidak akan memiliki sifat pesimis apabila menemui kegagalan dalam pekerjaannya. 4. Semangat kerja

Semangat kelompok menggambarkan hubungan antar karyawan. Dengan adanya semangat kerja maka para karyawan akan saling bekerjasama, tolong-menolong, dan tidak saling menjatuhkan. Semangat kerja disini


(35)

menunjukkan adanya kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain agar orang lain dapat mencapai tujuan bersama.

A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Semangat Kerja

Penelitian-penelitian mengenai semangat kerja yang selama ini dilakukan menunjukkan bahwa semangat kerja dipengaruhi oleh sikap positif individu terhadap pekerjaan dan penilaian hasil kerja (Linz, Good, & Huddleston, 2006), persepsi karyawan terhadap keadilan atasan pada proses pengangkatan dan promosi karyawan (Ingram, 2009), kepercayaan terhadap organisasi atau organizational trust (Fard, Ghatari, & Hasiri, 2010), merger (Chambers & Honeycutt, 2009), downsizing (Makawatsakul & Kleiner, 2003; Myers, 1993), organizational team building (Zia, 2011), perubahan-perubahan organisasi (Decker, Wheeler, Johnson, & Parson (2001). Selain faktor-faktor diatas, pemberian feedback, insentif dan autonomy dengan variabel moderator yaitu kedekatan hubungan atasan-bawahan juga memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap semangat kerja karyawan (McKnight, Ahmad, & Schroeder, 2001).

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja karyawan dapat dibedakan menjadi faktor yang berasal organisasi, yaitu: merger, downsizing, organizational team building, pemberian feedback, insentif dan


(36)

autonomy, keadaan organisasi serta ukuran organisasi, dan faktor yang berasal dari individu seperti sikap dan persepsi.

A.4. Indikator Turunnya Semangat Kerja

Dalam suatu organisasi, adapun yang menjadi tanda-tanda atau indikasi menurunnya semangat kerja antara lain sebagai berikut (Nitisemito, 2002):

1. Rendahnya produktivitas kerja

Penurunan produktivitas dapat terjadi karena kemalasan dan penundaan pekerjaan, dan lain sebagainya. Penurunan ini menjadi indikasi bahwa dalam organisasi terjadi penurunan semangat kerja. 2. Tingkat absensi yang naik atau tinggi

Penurunan semangat kerja pada karyawan menyebabkan karyawan malas bekerja.

3. Labour turnover atau tingkat perpindahan karyawan yang tinggi

Meningkatnya jumlah karyawan yang memutuskan keluar dari perusahaan yang disebabkan oleh karyawan yang mengalami ketidaknyamanan ketika bekerja.

4. Tingkat kerusakan yang meningkat

Adanya kerusakan sebenarnya menunjukkan bahwa kurangnya perhatian saat bekerja. Selain itu dapat juga terjadi kecerobohan dalam bekerja. Peningkatan kerusakan merupakan indikasi yang cukup kuat bahwa semangat kerja telah menurun.


(37)

5. Kegelisahan dimana-mana

Bentuk-bentuk kegelisahan yang terjadi seperti ketidaktenangan dalam bekerja, keluh kesah dan lain sebagainya. Ketika karyawan merasa tidak nyaman memungkinkan karyawan melakukan perilaku yang dapat merugikan organisasi tempatnya bekerja.

6. Tuntutan yang sering terjadi

Tuntutan karyawan merupakan perwujudan dari ketidakpuasan yang dirasakan oleh karyawan. Organisasi harus mewaspadai tuntutan masal yang dilakukan oleh karyawan.

7. Pemogokan

Pemogokan adalah wujud ketidakpuasan, kegelisahan dan sebagainya. Jika hal ini terus berlanjut akan berujung pada munculnya tuntutan dan pemogokan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator penurunan semangat kerja karyawan dalam suatu organisasi dapat dilihat dari rendahnya produktivitas kerja, tingkat absensi yang naik atau tinggi, tingkat perpindahan karyawan yang tinggi, tingkat kerusakan yang meningkat, kegelisahan yang terjadi dimana-mana, tuntutan yang sering terjadi, dan pemogokan yang dilakukan oleh karyawan.


(38)

B. Perubahan Organisasi

B.1. Definisi Perubahan Organisasi

Secara sederhana, perubahan organisasi adalah cara baru dalam mengelola dan bekerja (Dawson, 2003). Selanjutnya, perubahan organisasi diartikan juga sebagai perubahan aspek-aspek inti dari cara organisasi beroperasi yang meliputi struktur teknologi, budaya, pimpinan, tujuan dan individu-individu yang ada dalam sebuah organisasi (Mills, Dye, & Mills, 2009). Senada dengan hal tersebut, Zorn (dalam Lewis, 2012) mengemukakan bahwa perubahan organisasi diartikan juga sebagai mengubah atau memodifikasi struktur dan proses organisasi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perubahan organisasi adalah perubahan pada aspek-aspek inti operasional sebuah organisasi meliputi perubahan struktur, teknologi, budaya, pimpinan, tujuan dan individu-individu dalam organisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan organisasi dan perubahan dalam bekerja.

B.2. Bentuk-bentuk Perubahan Organisasi

Menurut Malopinsky dan Osman (dalam Pershing, 2006), perubahan organisasi dapat dikarakteristikkan berdasarkan beberapa perspektif sebagai berikut:

1. Tingkat perubahan : transformasi dan incremental

Beberapa perubahan organisasi dapat digambarkan sebagai perubahan transformasi atau perubahan sistem, yang menghasilkan perubahan yang


(39)

radikal pada strategi organisasi termasuk misi, visi, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan, serta transformasi struktur dan komponen-komponen utamanya. Perubahan transformasi biasanya terjadi karena adanya kejadian kritis dalam kehidupan organisasi, seperti perubahan pimpinan yang disebabkan adanya merger atau akuisisi atau kegagalan pencapaian tujuan organisasi.

Bentuk lain dari perubahan organisasi adalah incremental, yaitu bentuk perubahan evolusi dari sebuah organisasi, seperti pengenalan teknologi-teknologi baru, produk-produk baru, dan proses-proses yang baru. Perubahan incremental biasanya melakukan hal-hal yang baru tanpa mengubah hal-hal yang fundamental dalam organisasi seperti struktur dan budaya organisasi.

Perubahan transformasional dan incremental sering juga disebut dengan bentuk perubahan organisasi revolusi dan evolusi, yang menekankan pada perbedaan diantara perubahan strategis dan perubahan tahap demi setahap untuk meningkatkan efektivitas organisasi.

2. Mode perubahan : proaktif dan reaktif

Organisasi umumnya melakukan perubahan reaktif, yaitu seperti melakukan strategi-strategi baru dikarenakan kompetisi dengan organisasi lain, bereaksi terhadap perubahan kebutuhan pelanggan, atau sebagai upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan internal yang disebabkan adanya krisis. Sebaliknya, organisasi yang mengusung perubahan proaktif, melakukan perubahan tanpa terlihat jelas dan melakukannya segera


(40)

sebelum adanya ancaman dari lingkungan eksternal dan internal. Perubahan proaktif ditandai dengan adanya inovasi proses dan produk. 3. Kontrol terhadap perubahan : terencana dan tidak terencana

Pendekatan proaktif terhadap proses perubahan merupakan manifestasi dari bentuk perubahan terencana. Perubahan terencana merupakan hasil dari usaha yang fokus dari agen perubahan, yaitu individu yang memimpin dan mendukung proses perubahan. Perubahan terencanan ini dilakukan berdasarkan hasil analisa seperti adanya kesenjangan kinerja, kesenjangan antara proses organisasi yang diinginkan dengan proses yang ada, dan perilaku-perilaku anggota organisasi. Analisa kesenjangan kinerja menghasilkan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan masalah segera atau kesempatan untuk dieksplorasi lebih lanjut. Inovasi proses dan produk merupakan contoh dari perubahan terencana.

Perubahan tidak selalu sistematis, tindakan yang direncanakan. Perubahan tidak terencana terjadi secara spontan dan bisa positif atau negatif. Misalnya masalah pertukaran dokumen antara dua departemen dalam sebuah organisasi mendorong organisasi untuk mengembangkan strategi pertukaran informasi yang efektif, sementara kenaikan harga minyak yang dramatis dapat menyebabkan kebangkrutan dan tutupnya perusahaan transportasi. Ketika organisasi mengalami perubahan tidak terencana, sangat penting untuk bertindak cepat dan mengerahkan semua upaya untuk meminimalkan konsekuensi-konsekuensi negatif sementara memaksimalkan potensi-potensi keuntungan yang mungkin diperoleh.


(41)

B.3. Pendekatan Pengelolaan Perubahan Organisasi

Perubahan organisasi merupakan suatu fenomena yang kompleks. Perubahan tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja. Sebaliknya, setiap perubahan harus sistematis dan logis agar memiliki kesempatan untuk berhasil. Dalam mengimplementasikan perubahan, diperlukan pemahaman mengenai langkah-langkah perubahan yang efektif dan cara mengatasi penolakan karyawan terhadap perubahan (Griffin, 2004).

Ada beberapa pendekatan dalam pengelolaan perubahan salah satunya dikemukakan oleh Kurt Lewin. Lewin mengidentifikasi tiga fase dalam memulai dan membangun sebuah perubahan. Menurutnya, keberhasilan sebuah organisasi harus diikuti ketiga tahap tersebut. Adapun ketiga fase proses perubahan tersebut adalah sebagai berikut (Rao & Rao, 1999) :

a. Pencairan (unfreezing)

Tahap ini bertujuan untuk menyadarkan karyawan bahwa perilaku yang ada saat ini tidak lagi sesuai, tidak relevan dan tidak cocok dengan kebutuhan perubahan saat ini. Tahap ini memutuskan tradisi dan cara-cara lama sehingga karyawan siap menerima cara-cara yang baru. Tahap ini meliputi menyingkirkan metode konvensional dan mengenalkan dinamika perilaku yang baru yang lebih sesuai dengan kondisi saat itu.

b. Perubahan (changing)

Tahap ini merupakan tahap dimana pembelajaran baru terjadi. Ketika karyawan diyakinkan bahwa perilaku mereka tidak lagi sesuai, karyawan secara sukarela menerima perubahan. Agar terjadi perubahan, merasa


(42)

bahwa perilaku yang sekarang tidak lagi sesuai tidaklah cukup. Kondisi penting yang harus ada yaitu tersedianya berbagai alternatif perilaku. Pada fase ini, karyawan mempelajari cara-cara yang baru.

c. Pembekuan (Refreezing)

Pada tahap ini karyawan menginternalisasi keyakinan baru, perasaan dan perilaku yang telah dipelajari pada tahap perubahan. Perilaku baru menjadi perilaku yang permanen bagi tiap karyawan. Karyawan menggunakan metode baru dan sikap baru.

C. Kesiapan Berubah

C.1. Definisi Kesiapan Berubah

Kesiapan berubah didefinisikan sebagai sikap komprehensif yang dipengaruhi secara simultan oleh apa yang berubah (content), bagaimana perubahan diimplementasikan (process), keadaan pada saat perubahan dilakukan (context), dan karakteristik individu yang terlibat dalam perubahan (individual). Lebih lanjut, kesiapan berubah merefleksikan sejauh mana individu atau individu-individu dalam organisasi secara kognisi dan emosi cenderung menerima, merangkul, dan mengadopsi rencana perubahan yang dipersiapkan untuk mengganti keadaan pada saat sekarang ini (Holt, Armenakis, Field, dan Harris, 2007). Senada dengan hal tersebut, Desplaces (2005) mengemukakan bahwa kesiapan individu merefleksikan keyakinan, sikap, dan intensi perilaku terhadap usaha perubahan.


(43)

Kesiapan berubah juga didefisikan sebagai pikiran yang dimiliki individu sepanjang proses perubahan yang merefleksikan kesediaan dan penerimaan terhadap perubahan (Bernerth dalam Shah, 2010). Penelitian lain menyebutkan bahwa kesiapan berubah sebagai kesiapan mental dan fisik untuk mengambil suatu tindakan (Walinga, 2008). Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Walinga, sebelumnya Madsen (2003) mengemukakan bahwa kesiapan berubah sebagai kesiapan mental dan fisik karyawan untuk mengambil tindakan segera yang bertujuan untuk meningkatkan, mengubah, memvariasikan atau memodifikasi sesuatu. Sebelum mengembangkan pikiran yang positif mengenai perubahan organisasi, maka karyawan harus dapat melihat kondisi organisasi dan lingkungan pada saat ini dan membandingkan keadaan organisasi dan lingkungan pada masa lalu dengan masa yang akan datang. Kesiapan berubah merupakan dasar apakah karyawan akan menolak atau mengadopsi perubahan (Holt, Armenakis, Field, & Harris, 2007). Kesiapan berubah dapat diperoleh melalui usaha proaktif agen perubahan dengan cara mempengaruhi keyakinan, sikap dan perilaku target perubahan untuk meningkatkan motivasi mereka untuk berubah (Applebaum & Wohl, 2000).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kesiapan berubah adalah keyakinan individu terhadap perubahan yang akan berpengaruh terhadap perilaku individu dalam menerima dan mengadopsi usaha-usaha perubahan yang dilakukan.


(44)

C.2. Dimensi Kesiapan Berubah

Kesiapan terhadap perubahan merupakan konstruk multidimensi yang dipengaruhi oleh keyakinan karyawan bahwa (Holt, Armenakis, Field, & Harris, 2007):

a. Perasaan mampu melaksanakan perubahan yang diusulkan (self efficacy).

Change self efficacy mengacu kepada sejauh mana seseorang merasa yakin bahwa dirinya memiliki ketrampilan atau tidak memiliki ketrampilan serta dapat melakukan atau tidak dapat melakukan tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas yang terkait dengan implementasi perubahan yang akan dilakukan.

b. Kesesuaian atau ketepatan perubahan dengan kebutuhan organisasi (appropriateness).

Appropriateness mengacu kepada sejauh mana seseorang merasa bahwa organisasi akan memperoleh atau tidak memperoleh keuntungan dari implementasi perubahan yang akan dilakukan. Dimensi ini juga menjelaskan tentang keyakinan individu mengenai adanya alasan dan kebutuhan yang dapat melegitimasi perubahan dan perubahan merupakan tindakan yang tepat dalam menangani kesenjangan kondisi aktual dengan kondisi ideal.


(45)

c. Pemimpin yang berkomitmen dalam perubahan (management support).

Management support mengacu pada sejauh mana seseorang merasa bahwa pemimpin-pemimpin dalam organisasi dan pihak manajemen memiliki komitmen atau tidak memiliki komitmen serta mendukung atau tidak mendukung implementasi perubahan yang akan dilakukan. d. Keuntungan yang didapatkan oleh anggota organisasi akibat suatu

proses perubahan (personal benefit).

Personal benefit adalah sejauhmana seseorang merasa bahwa dirinya akan memperoleh keuntungan atau tidak memperoleh keuntungan dari implementasi perubahan yang akan dilakukan.

C.3. Anteseden Kesiapan Berubah

Holt, Armenakis, Field, dan Harris (2007) mengemukakan empat perspektif yang mempengaruhi kesiapan berubah, yaitu:

1. Proses perubahan

Proses perubahan mengacu kepada langkah-langkah yang diambil oleh organisasi selama implementasi perubahan dilakukan, misalnya sejauhmana organisasi memberikan karyawannya kesempatan untuk berpartisipasi dalam perubahan yang dilakukan.


(46)

2. Isi perubahan

Isi perubahan mengacu kepada sejauhmana ide-ide tertentu dan karakteristik perubahan dibagikan atau diperkenalkan kepada karyawan.

3. Konteks perubahan

Konteks perubahan terdiri dari kondisi dan lingkungan dimana karyawan berfungsi.

4. Atribut atau karakteristik individu

Atribut individu mengacu sejauhmana perbedaan-perbedaan yang dimiliki individu menentukan penerimaan terhadap usaha-usaha perubahan. Perbedaan atribut ini akan mengakibatkan sebagian orang mudah untuk menerima perubahan, sementara sebagian yang lainnya cenderung menolak perubahan.

Selain itu, penelitian-penelitian mengenai kesiapan berubah menunjukkan bahwa kesiapan berubah dipengaruhi oleh job insecurity, self monitoring, persepsi akan keadilan dari perubahan sebelumnya, ambiguitas peran (Goksoy, 2012), distributive justice dan procedural justice, hubungan atasan-bawahan, hubungan dengan rekan kerja (Shah, 2011; Shah & Shah, 2010), nilai-nilai yang dianut dalam bekerja (Alas, 2008), margin in life (Madsen, John, & Miller, 2006), kepercayaan terhadap rekan kerja, logistik, adanya sistem yang mendukung perubahan, kepercayaan terhadap pemimpin dan self efficacy (Rafferty & Simons, 2006), setting tempat kerja, persepsi terhadap lingkungan kerja, persepsi


(47)

akan dukungan atasan dan organisasi, dan self efficacy (Desplaces, 2005), active job, passive job, dan self efficacy (Cunningham, Woodward, Shannon, MacIntosh, Ledrum, Rosenbloom, & Brown, 2002), kredibilitas agen perubahan, dinamika sosial dan interpersonal, strategi penyampaian pesan perubahan (Armenakis, Harris & Mossholder, 1993), komunikasi (Elving, 2005) dan komponen pesan perubahan (Armenakis, Harris, Field, 1999; Armenakis & Harris, 2002; Bernerth, 2004; Elving, 2005). Faktor demografis yang mempengaruhi kesiapan berubah yaitu usia (Shah & Shah, 2010; Madsen, John, & Miller, 2006), tingkat pendidikan (Alas, 2008; Madsen, John, & Miller, 2006), jenis kelamin, dan status karyawan (Alas, 2008).

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anteseden kesiapan berubah dapat dibagi menjadi empat faktor, yaitu (1) faktor yang berhubungan dengan perubahan, yaitu proses perubahan perubahan, isi perubahan, konteks perubahan dan karakteristik orang yang terlibat perubahan; (2) faktor yang berasal dari organisasi, yaitu: organizational justice, hubungan atasan-bawahan, sistem yang mendukung perubahan, dukungan organisasi, logistik, komunikasi dan isi dari pesan perubahan (3) faktor yang berasal dari individu yaitu persepsi, sikap dan nilai yang dianut dalam bekerja (4) faktor demografis yaitu jenis kelamin, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan.


(48)

C.4. Dampak Kesiapan Berubah

Kesiapan berubah merupakan hal yang penting baik bagi individu maupun organisasi. Kesiapan berubah akan diwujudkan dalam sejumlah sikap kerja yang berbeda. Berikut adalah penelitian-penelitian yang melihat hubungan kesiapan berubah pada karyawan dengan outcome yang diperoleh oleh organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Wanberg dan Banas (2000) menemukan bahwa individu dengan penerimaan yang rendah terhadap perubahan dilaporkan memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah, lebih mudah teriritasi dengan lingkungan kerja, dan meningkatnya intensi untuk keluar dari perusahaan.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Weiner (2009) menemukan bahwa ketika kesiapan berubah tinggi maka anggota organisasi akan lebih mungkin untuk memulai perubahan, mengerahkan upaya yang lebih besar, menunjukkan ketekunan dan perilaku yang lebih kooperatif sehingga hasilnya adalah implementasi perubahan menjadi efektif.

D. Gambaran Umum Perusahaan

Perusahan yang bergerak di bidang kelapa sawit ini pada awalnya berdiri tahun 1906 melalui inisiatif Harrison & Crossfield Plc, yaitu sebuah perusahaan perkebunan dan perdagangan yang berbasis di London. Perusahaan ini didirikan berdasarkan Akta Notaris Raden Kadiman No. 93


(49)

tanggal 18 Desember 1962 yang diubah dengan Akta No. 20 tanggal 9 September 1963. Akta pendirian ini disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. J.A5/121/20 tanggal 14 September 1963 dan diumumkan dalam Berita Negara Indonesia No. 81 tanggal 8 Oktober 1963, Tambahan No. 531.

Perusahaan ini memulai operasi komersialnya pada tahun 1963 dan bergerak di bidang perkebunan yang berlokasi di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Produk utamanya adalah minyak kelapa sawit dan karet, serta kakao, teh, dan benih dalam kuantitas yang lebih kecil. Disamping mengelola perkebunannya sendiri, perusahaan ini juga mengembangkan perkebunan plasma.

Perusahaan kelapa sawit ini telah meraih sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk area Sumatera Utara sejak awal tahun 2009. Perusahaan ini juga menerima sertifikat RSPO yang pertama untuk area Sumatera Selatan pada bulan Oktober 2011.

Perusahaan ini berkantor pusat di Jakarta dengan kantor cabang operasional berlokasi di Medan, Palembang, Makassar, Surabaya dan Samarinda. Pada akhir tahun 2011, perusahaan ini memiliki total karyawan tetap dan buruh perkebunan sebanyak 13.367 orang.


(50)

E. Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja

Semangat kerja karyawan dapat dilihat dalam bentuk perilaku karyawan di tempat kerja, dimana perilaku-perilaku tersebut ditentukan oleh tingkat semangat kerjanya. Hasil penelitian pada perawat menemukan bahwa semangat kerja berpengaruh terhadap individu dan kelompok. Secara individual, semangat kerja mempengaruhi pekerjaan karyawan, dalam hal ini mempengaruhi motivasi, kepuasan dan kinerja perawat serta berpengaruh terhadap diri perawat itu sendiri, seperti retensi, mobilitas dan stres yang dialami di tempat kerja. Hasil penelitian ini lebih jauh menerangkan bahwa semangat kerja individu akan berpengaruh terhadap kelompok yaitu secara emosi berpengaruh terhadap hubungan yang dimilikinya dengan pasien dan kualitas pelayanan yang diberikan. Selain itu, semangat kerja juga akan mempengaruhi kohesivitas, komunikasi, interaksi, antusiasme, kerjasama dan kreativitas kelompok (MacFadzean & MacFadzean, 2005).

Semangat kerja dipengaruhi oleh motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif intrinsik merupakan penyebab utama kepuasan kerja karyawan. Karyawan merasa puas terhadap pekerjaannya dipengaruhi oleh penghargaan terhadap prestasi, pekerjaan itu sendiri, dan tanggungjawab karyawan terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Sementara itu motif ekstrinsik merupakan penyebab utama karyawan merasa bahagia atau tidak bahagia dengan pekerjaannya. Adapun motif ekstrinsik yang mempengaruhi kebahagiaan karyawan terhadap pekerjaannya seperti kebijakan dan administrasi perusahaan, atasan, hubungan interpersonal,


(51)

kondisi pekerjaan, penggajian, status dan rasa aman (Herzberg dalam Sunderji, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Decker, Wheeler dan Parson (2001) juga menemukan bahwa penurunan semangat kerja yang signifikan dapat terjadi disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam organisasi. Saat ini tiap organisasi dihadapkan pada lingkungan yang selalu berubah (Robbins & Judge, 2009). Perubahan harus diikuti dengan kapasitas organisasi untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara cepat dan efektif agar tetap bertahan (Slocum & Hellriegel, 2009; Weber & Weber, 2001).

Perubahan organisasi memiliki banyak bentuk, perubahan tersebut dapat direncanakan atau tidak direncanakan, perubahan yang kecil ataupun radikal, perubahan yang berulang atau perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya (Poole & Van de Ven, 2004). Merger dan akuisisi merupakan salah satu bentuk perubahan dan menghasilkan perbedaan emosi diantara karyawan. Karyawan yang berasal dari perusahaan yang melakukan akuisisi merasa lebih bersemangat dikarenakan memiliki tantangan baru yang disebabkan perubahan yang ada, sementara karyawan dari perusahaan yang diakuisisi memiliki reaksi yang berbeda, seperti kecemasan, ketidakpastian, atau bahkan merasa adanya intimidasi (Sunderji, 2004). Karyawan yang menghadapi perubahan organisasi biasanya juga mengalami masalah-masalah lain seperti job insecurity, masalah yang berhubungan dengan karir di masa yang akan datang dan ambiguitas peran (Daniel & Metcalf, 2001; Forte, Hoffman, Lamont, & Brockmann, 2000).


(52)

Perubahan organisasi menyebabkan cara-cara lama menjadi tidak lagi sesuai. Perubahan menimbulkan keadaan dari tahu menjadi tidak tahu. Perubahan menyebabkan karyawan harus bergerak meninggalkan status quo menuju sesuatu yang baru sehingga menimbulkan ketakutan, ketakutan akan ketidaktahuan serta ketakutan mengenai kemungkinan gagal dalam menghadapi kondisi yang baru (Coch & French dalam Vakola & Nikolau, 2005). Kondisi perubahan yang tidak pasti dan menekan mempengaruhi sikap karyawan terhadap perubahan yang pada akhirnya mempengaruhi sikap karyawan terhadap organisasi secara keseluruhan. Sikap karyawan terhadap perubahan juga dipengaruhi oleh proses perubahan yang dilakukan (Oreg, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Oreg (2006) melihat hubungan faktor kepribadian dan faktor kontekstual (proses perubahan dan kondisi yang diakibatkan oleh perubahan) dengan tipe penolakan terhadap perubahan serta dampak dari penolakan terhadap perubahan pada karyawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap orang berperilaku terhadap perubahan tergantung pada apa yang dipikirkan dan dirasakan. Hasil penelitian juga menemukan bahwa sebagian orang cenderung mengalami pengalaman emosi negatif terhadap perubahan dan cenderung menolak perubahan dikarenakan faktor disposisinya. Kondisi yang ditimbulkan perubahan seperti persepsi terhadap keamanan kerja, penguatan intrinsik dan kekuasaan serta prestige dihubungkan dengan penolakan afektif dan penolakan kognitif. Sementara itu proses-proses perubahan seperti kepercayaan terhadap manajemen dan pengaruh sosial dihubungkan dengan komponen perilaku dari penolakan terhadap perubahan dan penolakan afektif.


(53)

Penelitian lain menyebutkan bahwa stres kerja yang dialami karyawan terkait perubahan organisasi yang terjadi di organisasi menimbulkan sikap negatif karyawan terhadap perubahan. Stres kerja tersebut berasal dari hubungan kerja yang buruk, beban kerja yang berlebih, dan pembayaran kompensasi yang tidak adil. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lingkungan sosial yang tidak mendukung merupakan prediktor paling kuat dari sikap negatif terhadap perubahan. Stress meningkatkan penolakan terhadap perubahan yang dilakukan (Vakola & Nikolau, 2005). Penolakan atau resistensi karyawan terhadap perubahan merupakan salah satu faktor yang dilaporkan paling sering menyebabkan perubahan organisasi gagal (Kotter & Cohen, 2002).

Bernerth (2004) menemukan bahwa faktor keberhasilan perubahan organisasi adalah kesiapan karyawan dalam berubah. Kesiapan berubah merefleksikan keyakinan, sikap, dan intensi perilaku terhadap usaha perubahan (Desplaces, 2005). Kesiapan berubah merupakan pertanda kognisi untuk mengadopsi atau menolak usaha-usaha perubahan. Sehingga ketika kesiapan berubah ada maka sebuah organisasi akan mengadopsi perubahan dan penolakan terhadap perubahan akan berkurang (Armenakis, Harris, & Mossholder, 1993).

Penelitian yang dilakukan oleh London (dalam Parent, 2006) menemukan karyawan yang memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap perubahan dan memandang perubahan sebagai kesempatan untuk berkembang dan bukan sebagai ancaman (resilience) adalah karyawan-karyawan yang memiliki motivasi yang lebih tinggi. Penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Mumford, Baughman, Threfall, Uhlman dan Costanza (1993) menemukan bahwa individu-individu yang


(54)

lebih mudah beradaptasi dengan situasi baru menunjukkan hasil kerja yang lebih baik daripada individu-individu yang tidak dapat beradaptasi dengan situasi yang baru. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa individu-individu yang mampu beradaptasi dengan perubahan di lingkungan kerjanya akan memiliki kinerja yang lebih baik daripada individu-individu yang tidak mampu beradaptasi.

Hasil penelitian yang dilakukan Weiner (2009) menemukan bahwa ketika kesiapan berubah tinggi maka anggota organisasi akan lebih mungkin untuk memulai perubahan, mengerahkan upaya yang lebih besar, dan menunjukkan perilaku yang lebih kooperatif sehingga hasilnya adalah implementasi perubahan menjadi efektif. Sebaliknya individu dengan penerimaan yang rendah terhadap perubahan dilaporkan memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah, lebih mudah teriritasi dengan lingkungan kerja, dan meningkatnya intensi untuk keluar dari perusahaan (Wanberg & Banas, 2000).

F. Hipotesis

Berdasarkan konsep dan kerangka teori tersebut di atas maka hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh antara kesiapan berubah terhadap semangat kerja.


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subyek penelitian, prosedur penelitian, dan metode analisis (Hadi, 2002).

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Masalah yang harus dipecahkan harus diidentifikasi, dipilih dan dirumuskan dengan tepat untuk menguji hipotesis penelitian. Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu:

Variabel tergantung : Semangat kerja Variabel bebas : Kesiapan berubah

B. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan penelitian dalam mengukur suatu variabel atau memanipulasinya. Definisi operasional merupakan semacam buku pegangan yang berisi petunjuk bagi peneliti. Definisi ini memberikan batasan atau arti dari sebuah variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur variabel tersebut (Kerlinger, 2003).


(56)

B.1. Semangat Kerja

Semangat kerja adalah sikap karyawan terhadap pekerjaan yang ditunjukkan dengan keinginan untuk bekerja secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan organisasi. Semangat kerja akan diukur dengan menggunakan skala semangat kerja yang disusun berdasarkan empat aspek semangat kerja yang dikemukakan oleh Maier (1998) yaitu kegairahan, kualitas untuk bertahan, kekuatan melawan frustrasi dan semangat kelompok.

Tabel 3.1. Definisi Operasional Aspek Semangat Kerja

Aspek Definisi Operasional

Kegairahan Minat dan kesenangan pekerja dalam melakukan pekerjaannya.

Kualitas untuk bertahan Usaha yang dilakukan oleh pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya meskipun mengalami kesulitan dalam pekerjaan.

Kekuatan melawan frustrasi Pekerja mampu mengatasi setiap masalah yang berkaitan dengan pekerjaan secara konstruktif. Semangat kelompok Pekerja memiliki hubungan yang harmonis

dengan rekan kerja

Skor total yang diperoleh pada skala semangat kerja menggambarkan tingkat semangat kerja karyawan. Semakin tinggi skor skala semangat kerja yang diperoleh pada karyawan, menunjukkan semakin tinggi semangat kerja karyawan.


(57)

Sebaliknya, semakin rendah skor skala semangat kerja yang diperoleh menunjukkan semakin rendah semangat kerja karyawan.

B.2. Kesiapan Berubah

Kesiapan berubah adalah kondisi sejauhmana kesediaan pekerja secara kognisi dan afeksi mau menerima dan mengadopsi perubahan. Kesiapan berubah diukur dengan menggunakan skala yang diadaptasi dari skala kesiapan berubah yang dirancang oleh Holt, Armenakis, Feild dan Harris (2007) berdasarkan empat dimensi kesiapan berubah yaitu change self efficacy, appropriateness, management support, dan personal benefit.

Tabel 3.2. Definisi Operasional Dimensi Kesiapan Berubah

Dimensi Definisi Operasional

Change self efficacy Keyakinan pekerja tentang keahlian yang dimilikinya untuk melakukan tugas dan aktivitasnya terkait dengan perubahan di perusahaan.

Appropriateness Keyakinan pekerja mengenai manfaat dan ketepatan perubahan bagi perusahaan.

Management support Keyakinan pekerja mengenai dukungan pimpinan dan pihak manajemen terhadap perubahan di perusahaan. Personal benefit Keyakinan pekerja mengenai manfaat yang diperoleh dari


(58)

Skor total pada skala kesiapan berubah merupakan petunjuk bagi tinggi rendahnya kesiapan berubah pada karyawan. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi pula kesiapan berubah karyawan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah pula kesiapan berubah karyawan tersebut.

C. Subjek Penelitian dan Teknik Sampling C.1. Subjek Penelitian

Dalam suatu penelitian, masalah populasi dan sampel yang dipakai merupakan faktor penting yang harus diperhatikan (Hadi, 2000). Populasi adalah kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2007). Dari populasi yang ditentukan akan diambil wakil dari populasi yang disebut sampel penelitian. Sampel adalah bagian dari populasi dan karena merupakan bagian dari populasi, sampel harus dapat mewakili ciri-ciri populasinya (Azwar, 2007).

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah karyawan yang bekerja di perusahaan perkebunan. Sampel dalam penelitian ini adalah karyawan PT Perkebunan X dan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 85 orang.

C.2. Teknik Sampling

Penelitian sampel dilakukan untuk menggeneralisasikan sampel yaitu untuk mengambil kesimpulan penelitian sampel sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi (Arikunto, 1998).


(59)

Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah non-random sampling, yaitu bahwa tidak semua individu dalam populasi diberi peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel (Hadi, 2000). Adapun jenis pengambilan sampel adalah incidental sampling. Incidental sampling merupakan teknik pengambilan sampel dimana hanya menyelidiki individu-individu yang kebetulan dijumpai (Hadi, 2000). Adapun karakteristik sampel penelitian adalah karyawan yang telah bekerja minimal selama 2 tahun dengan pertimbangan karyawan tersebut telah mengalami perubahan-perubahan selama bekerja di perusahaan.

D. Metode Pengambilan Data

Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan data dengan skala atau disebut dengan metode skala.

Metode skala yaitu suatu metode pengumpulan data yang merupakan suatu daftar pertanyaan atau pernyataan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Hadi, 2000).

Menurut Hadi (2000), metode skala mendasarkan pada laporan-laporan pribadi (self report). Metode skala sendiri memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:

1. Subjek adalah orang yang paling tahu mengenai dirinya.

2. Apa yang dikatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.


(60)

3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.

Penelitian ini menggunakan penskalaan model Likert. Penskalaan ini merupakan model penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar, 2000). Metode ini menggunakan lima pilihan jawaban yaitu netral (N), sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

D.1. Skala Semangat Kerja

Skala semangat kerja dalam penelitian ini menggunakan skala semangat yang disusun berdasarkan aspek semangat kerja yang dikemukakan oleh Maier (1998) yaitu kegairahan, kualitas untuk bertahan, kekuatan melawan frustrasi, dan kerjasama.

Skala disajikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan favorabel (mendukung) dan unfavorabel (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari bobot penilaian untuk setiap pernyataan, apakah favorabel atau unfavorabel. Untuk item yang favorabel, jawaban SS diberi skor 5, demikian seterusnya skor 1 untuk STS. Sedangkan item unfavorabel, jawaban STS diberi skor 5 dan seterusnya skor 1 untuk SS (Azwar, 2009).

Keseluruhan pernyataan mencakup empat aspek semangat kerja. Secara ringkas dapat dilihat dari tabel 3.3. berikut ini.


(61)

Tabel 3.3. Tabel Blueprint Skala Semangat Kerja

Aspek Indikator Aitem Jumlah

(%) Favo Unfavo

Kegairahan a. Memiliki pandangan bahwa bekerja merupakan hal yang menyenangkan.

b. Antusias terhadap pekerjaan.

1, 5, 10, 17, 18, 21, 36 6, 11, 12, 24, 25, 32, 33 35.90 Kualitas untuk bertahan

a. Percaya diri mampu

mengatasi masalah pekerjaan. b. Tidak mudah lelah, tekun, dan

bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan. pekerjaan. c. Mencari alternatif bantuan dan

melibatkan berbagai jalan keluar.

2, 9, 27, 30, 39

3, 22, 38 20.51

Kekuatan melawan frustrasi

a. Tetap optimis dan berpikir positif ketika menghadapi kegagalan.

b. Melakukan tindakan koreksi diri.

7, 26, 29 13, 14, 19, 34, 35

20.51

Semangat kelompok a. Bersedia bekerjasama dengan rekan kerja yang lain.

b. Bersedia membantu rekan kerja lain dan tidak berusaha menjatuhkannya

8, 15, 31, 37

4, 16, 20, 23, 28

23.08


(62)

D.2. Skala Kesiapan Berubah

Skala kesiapan berubah diadaptasi dari skala kesiapan berubah yang dirancang oleh Holt, Armenakis, Field, dan Harris (2007) berdasarkan empat dimensi kesiapan berubah, yaitu change self efficacy, appropriateness, management support, dan personal benefit.

Skala disajikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan favorabel (mendukung) dan unfavorabel (tidak mendukung). Nilai setiap pilihan bergerak dari bobot penilaian untuk setiap pernyataan, apakah favorabel atau unfavorabel Untuk item yang favorabel jawaban SS diberi skor 5, demikian seterusnya skor 1 untuk STS. Sedangkan item unfavorabel, jawaban STS diberi skor 5 dan seterusnya skor 1 untuk SS (Azwar, 2009).

Keseluruhan pernyataan yang disusun mencakup empat dimensi kesiapan berubah. Secara ringkas dapat dilihat dari tabel 3.4. berikut ini.


(63)

Tabel 3.4. Blueprint Skala Kesiapan Berubah

Aspek Indikator Aitem Jumlah

(%) Favo Unfavo

Change self efficacy

a. Perasaan mampu melakukan pekerjaan dengan baik setelah terjadi perubahan.

b. Merasa memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk melakukan tugas-tugas setelah terjadi perubahan.

1, 5, 18, 23, 27

12, 13, 31

23.53

Appropriateness a. Keuntungan yang diperoleh perusahaan setelah melakukan perubahan.

b. Kebutuhan perusahaan untuk berubah.

2, 14, 17, 19, 30, 32, 33 6, 20, 26 29.41 Management support

a. Usaha yang dilakukan oleh pihak pimpinan terkait perubahan.

b. Usaha yang dilakukan pihak manajemen terkait perubahan.

7, 8, 15, 16, 21, 24

3, 11 23.53

Personal benefit a. Manfaat yang dihubungkan dengan aspek finansial, hubungan dengan rekan kerja, status, karir, dan tugas.

b. Manfaat secara umum yang diterima.

9, 10, 25, 28, 29

4, 22, 34

23.53


(64)

E. Uji Coba Alat Ukur

Sebelum melakukan penelitian, peneliti akan melakukan uji coba alat ukur terlebih dahulu kepada sejumlah responden untuk mmperoleh alat ukur yang valid dan reliabel.

Hadi (2000) mengemukakan tujuan dari try out adalah sebagai berikut: 1. Menghindari pernyataan-pernyataan yang kurang jelas maksudnya. 2. Menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu asing, terlalu

akademik ataupun yang menimbulkan kecurigaan.

3. Memperbaiki pernyataan-pernyataan yang biasa dilewati (dihindari) atau hanya menimbulkan jawaban-jawaban dangkal.

4. Menambah item yang sangat perlu atau meniadakan item yang ternyata tidak relevan dengan tujuan penelitian.

E.1. Uji Validitas

Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam menjalankan fungsi ukur artinya alat ukur memang mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur (Suryabrata, 2008). Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi dan validitas konstruk.

Validitas isi adalah validitas yang menunjukkan sejauhmana item-item dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur atau melihat sejauhmana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Hal ini berarti bahwa isi tes tidak hanya harus komprehensif akan tetapi harus pula hanya memuat item-item yang relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan ukurnya


(65)

(Azwar, 2000). Validitas isi ditegakkan dengan langkah telaah dan revisi butir pernyataan berdasarkan pendapat professional judgement yang dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing.

Validitas konstruk adalah validitas yang menunjukkan sejauhmana tes mengungkap suatu trait atau konstruk teoritik yang hendak diukur (Allen & Yen dalam Azwar, 2000). Validitas konstruk yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melihat korelasi antaritem dalam alat ukur yang dilakukan dengan analisis faktor.

Uji analisis faktor diawali dengan melihat nilai Keiser-Meyer-Olkin (KMO) yaitu mengukur apakah sampel sudah cukup memadai. Menurut Kaiser (dalam Field, 2009) nilai KMO di atas 0.5 berarti bahwa sampel cukup memadai dan data dapat dianalisis lebih lanjut.

Kemudian dilihat nilai Measure of Sampling adequency/MSA dengan cara membandingkan besarnya koefisien korelasi yang diamati dengan koefisien korelasi parsialnya. Menurut Santoso (2002) angka MSA berkisar antara 0 sampai dengan 1, dengan kriteria sebagai berikut:

a. Jika MSA = 1, maka variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel yang lainnya.

b. Jika MSA lebih besar dari 0.5 maka variabel tersebut masih dapat diprediksi dan bisa dianalisis lebih lanjut.

c. Jika MSA lebih kecil dari 0.5 dan atau mendekati nol (0), maka variabel tersebut tidak dapat dianalisis lebih lanjut, atau dikeluarkan dari variabel lainnya.


(1)

lama untuk menyelesaikan pekerjaan.

27. Ketika dihadapkan dengan masalah pekerjaan, saya akan menyediakan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan pekerjaan.

28. Pada dasarnya saya merasa senang bila ada rekan kerja yang mengalami masalah pekerjaan.

29. Saya memandang positif kegagalan yang saya hadapi di tempat kerja.

30. Apabila pekerjaan yang saya lakukan salah, saya akan terus memperbaikinya sampai pekerjaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan.

31. Saya dan rekan kerja bekerjasama dengan baik agar tujuan perusahaan dapat tercapai. 32. Keterlambatan menyelesaikan pekerjaan

merupakan hal yang wajar bagi setiap karyawan.

33. Saya bosan dengan pekerjaan saya.

34. Ketika menghadapi masalah pekerjaan yang cukup besar, saya merasa malas untuk pergi bekerja.

35. Ketika saya mengalami kegagalan dalam bekerja, saya cenderung melampiaskan rasa marah saya ke orang lain.

36. Saya sering lembur di kantor menyelesaikan pekerjaan saya.

37. Saya segera memberikan bantuan pada teman saya yang mengalami masalah pekerjaan.


(2)

38. Saya meraasa tidak memiliki cukup energi untuk menyelesaikan masalah-masalah pekerjaan.

39. Saya terus berusaha mencari solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah pekerjaan yang saya hadapi.

D. KUESIONER 2

No Pernyataan SS S N TS STS

1. Pengalaman saya sebelumnya membuat saya mampu bekerja dengan baik setelah adanya perubahan di dalam perusahaan ini.

2. Menurut saya, alasan perusahaan melakukan perubahan sudah tepat.

3. Pimpinan di perusahaan ini belum terlibat secara pribadi dalam pelaksanaan perubahan. 4. Perubahan yang terjadi dalam perusahaan ini

mengganggu hubungan pertemanan yang telah saya bangun selama ini.

5. Apabila pikiran saya terbuka terhadap perubahan, saya mampu mempelajari segala hal yang dibutuhkan untuk merespon perubahan yang terjadi dalam perusahaan. 6. Perubahan yang telah terjadi pada dasarnya

merugikan perusahaan ini.

7. Pimpinan-pimpinan di perusahaan ini telah menunjukkan peran sebagai contoh untuk


(3)

perubahan.

8. Kebanyakan pimpinan dalam perusahaan ini memiliki komitmen untuk menjalankan perubahan.

9. Perubahan membuat pekerjaan saya menjadi lebih mudah.

10. Saya dapat membayangkan keuntungan finansial yang akan saya peroleh dari perubahan yang terjadi di perusahaan ini.

11. Menurut saya, para manajer tidak menginginkan terjadinya perubahan dalam perusahaan ini meskipun para pekerja telah melakukan perubahan.

12. Saya merasa terpaksa mempelajari tugas-tugas baru dikarenakan adanya perubahan di perusahaan.

13. Saya tidak yakin dapat melakukan tugas tambahan yang diberikan kepada saya akibat terjadinya perubahan.

14. Perubahan meningkatkan efisiensi perusahan secara menyeluruh.

15. Saya percaya bahwa pihak manajemen melakukan upaya optimal agar perubahan dalam perusahaan berhasil.

16. Pimpinan puncak yang ada dalam perusahaan ini memberikan dukungan penuh di balik perubahan perusahaan.

17. Perubahan yang terjadi sesuai dengan prioritas perusahaan.


(4)

muncul setelah adanya perubahan.

19. Perusahaan ini akan menjadi lebih produktif setelah terjadinya perubahan.

20. Waktu yang dihabiskan untuk perubahan seharusnya digunakan untuk melakukan hal-hal yang lain.

21. Setiap manajer dalam perusahaan ini telah menjelaskan pentingnya perubahan.

22. Ketika perubahan dilakukan, saya tidak percaya akan adanya manfaat yang dapat saya peroleh.

23. Ketika terjadi perubahan dalam perusahaan, saya mampu mengerjakan pekerjaan dengan baik.

24. Pimpinan dalam perusahaan ini telah mendorong bawahannya untuk merangkul perubahan ini.

25. Menurut saya, dengan melakukan perubahan akan diperoleh manfaat yang besar.

26. Tidak ada alasan yang masuk akal bagi perusahaan ini untuk melakukan perubahan. 27. Perubahan yang terjadi dalam perusahaan ini

sangat sesuai dengan keahlian yang saya miliki.

28. Untuk jangka panjang, saya merasa akan memperoleh manfaat apabila perusahaan menerapkan perubahan.

29. Perubahan akan memberikan kesempatan dalam berkarir.


(5)

perusahaan akan menjadi lebih baik dalam memenuhi kebutuhan pelanggannya.

31. Saya tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pekerjaan saya.

32. Menurut saya, perusahaan melakukan perubahan karena memang mampu melakukannya.

33. Perusahaan akan memperoleh keuntungan dari perubahan yang dilakukan.

34. Saya khawatir akan kehilangan jabatan saya di perusahaan ketika dilakukan perubahan.

MOHON PERIKSA KEMBALI JAWABAN ANDA, JANGAN SAMPAI ADA YANG TERLEWATKAN!


(6)