Pertumbuhan Tanaman Pokok Sengon pada Beberapa Pola Agroforestri di RPH Jatirejo, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri

(1)

1.1Latar belakang

Sumber daya alam yang meliputi hutan, tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan. Hal ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Salah satu kegiatan dalam pemanfaatan sumber daya alam adalah dengan memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun dalam kenyataannya, kapasitas hutan terhadap segala aspek kehidupan semakin menurun.

Laju kerusakan hutan di Indonesia semakin meningkat yang dibuktikan dari penurunan luas kawasan hutan alam dari 130.509.671 ha menjadi 60 juta ha dengan laju deforestasi yang mencapai 1,3 juta ha dalam dua tahun terakhir ini (Kurniawansyah 2012). Salah satu pihak yang juga merasakan kondisi tersebut adalah Perhutani. Lahan hutan Perhutani sebagian besar berada di sekitar wilayah masyarakat miskin yang tidak memiliki lahan. Kondisi ini memicu peningkatan perambahan hutan seperti pencurian kayu, bahkan konversi lahan hutan menjadi lahan budidaya tanaman pertanian. Konflik pengelolaan lahan hutan antara pihak Perhutani dengan masyarakat memerlukan sebuah solusi. Oleh karena itu perlu dilakukan rekonstruksi ulang dan penataan kembali manajemen pengelolaan hutan, minimal dapat mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Salah satu kegiatan yang dilakukan Perhutani untuk mengurangi konflik tersebut adalah menerapkan pengelolaan hutan dengan mengikutsertakan masyarakat sekitar hutan. Pola pengelolaan hutan yang dikembangkan oleh Perhutani seperti pada RPH Jatirejo, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri adalah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam PHBM adalah dengan penerapan sistem agroforestri. Sistem ini menggambarkan hutan yang multifungsi sesuai dengan tuntutan jaman dan kebutuhan. Dengan agroforestri, dapat menyediakan lahan bagi masyarakat untuk ditanami tanaman pertanian, sehingga diharapkan dapat mengurangi kerusakan dan tekanan masyarakat terhadap hutan.


(2)

Selain itu, masyarakat juga akan bertanggung jawab untuk memelihara tanaman pokok, sehingga tercipta keseimbangan terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Di samping keuntungan yang lebih tinggi, masyarakat juga akan memperoleh hasil produk panenan yang lebih beragam serta dapat mengurangi resiko kerugian akibat gagal panen satu macam komoditas tertentu.

Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman, dan/atau ternak) membuat sistem ini memiliki karakteristik yang unik dalam hal jenis produk, waktu untuk memperoleh produk dan orientasi penggunaan produk. Karaktertistik agroforestri yang demikian, sangat mempengaruhi fungsi sosial-ekonomi dari sistem agroforestri.

Agroforestri merupakan sebuah pola penanaman yang mencoba meniru alam. Pola penanaman yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan membuat ekositem menjadi lebih stabil. Kestabilan ini ditunjukkan dari interaksi antar tanaman, daur hara tertutup, dan interaksi positif dalam pembagian sumberdaya. Upaya konservasi terhadap tata air dan tanah akan meminimalisir terjadinya erosi dan kesinambungan produksi menjadi manfaat lebih dari penerapan sistem ini. Dalam skala makro, pola agroforestri menjanjikan sebuah solusi untuk mencegah laju deforestasi dan degradasi lahan serta memperbaiki kualitas lahan jika dibandingkan dengan pola tanaman yang homogen seperti persawahan. Dalam pola persawahan input hara hanya diperoleh dari pemberian pupuk buatan, sedangkan tanaman tidak berkontribusi sebagaimana dalam sistem agroforestri. Dalam agroforestri, suplai unsur hara bisa dilakukan secara mandiri oleh tanaman penyusunnya dengan memanfaatkan ranting, dedaunan, bunga, maupun buah yang jatuh dari tanaman pokok (Mahendra 2009). Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara taraf hidup masyarakat dengan kelestarian lingkungan

Pola agroforestri yang berbeda memungkinkan terjadinya perbedaan respon bagi pertumbuhan tanaman pokok. Hal ini disebabkan masing-masing individu tanaman pada sistem agroforestri berinteraksi yang bisa berdampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian mengenai pertumbuhan tanaman pokok terhadap berbagai pola agroforestri, sehingga dapat


(3)

diketahui pola agroforestri atau kombinasi tanaman yang terbaik untuk dikembangkan berdasarkan pertumbuhan tanaman pokok yang terbaik.

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kombinasi pola agroforestri dan sistem pengelolaan lahan, serta interaksi antara jenis tanaman agroforestri terhadap pertumbuhan tanaman pokok sengon.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mempertimbangkan pola agroforestri yang tepat terutama dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai dan menguntungkan dalam upaya meningkatkan nilai ekonomis dan produktivitas tegakan.


(4)

2.1 Agroforestri

Menurut Nair (1987) dalam Hairiah et al. (2003), agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan. Selain itu, Huxley (1999) diacu dalam Hairiah et al. (2003) menyatakan agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.

Dari beberapa definisi yang telah dikutip, agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki ciri-ciri antara lain (Andayani 2005): 1) budidaya tanaman menetap pada sebidang lahan; 2) mengkombinasikan pertanaman semusim dan tahunan secara berdampingan atau berurutan, tanpa atau dengan pemeliharaan ternak; 3) menerapkan pengusahaan yang sedapat mungkin tergabungkan dengan kebiasaan petani setempat dalam hal budidaya tanaman; 4) merupakan sistem pemanfaatan lahan, dimana pertanaman petanian, perhutanan, dan atau peternakan menjadi komponen, baik secara struktur maupun fungsi.

Agroforestri menitikberatkan pada dua karakter pokok yang umum dipakai pada seluruh bentuk agroforestri yang membedakan dengan sistem penggunaan lahan lainnya (Lundgren 1982, diacu dalam Hairiah 2003), yaitu: 1) adanya pengkombinasian yang terencana/disengaja dalam satu bidang lahan antara tumbuhan berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan/atau ternak/hewan baik secara bersamaan (pembagian ruang) ataupun bergiliran (bergantian waktu), 2) adanya interaksi ekologis dan/atau ekonomis yang nyata/jelas, baik positif


(5)

maupun negatif antara komponen-komponen sistem yang berkayu maupun tidak berkayu.

Ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree (1982) diacu dalam Hairiah (2003) antara lain: 1) agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan), paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu; 2) siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun; 3) ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu; 4) selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan; 5) minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa, misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, dan peneduh; 6) sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan dengan sistem budidaya monokultur. Berdasarkan uraian tersebut maka sasaran pokok agroforestri meliputi: mengoptimumkan produksi gabungan pertanian-perhutanan dengan atau tanpa peternakan, memperbaiki lahan usaha, serta membuka kesempatan atau lapangan kerja khususnya bagi masyarakat setempat.

Andayani (2005) menyatakan bahwa, agroforestri dapat diartikan sebagai suatu bentuk kolektif dari sebuah sistem nilai masyarakat yang berkaitan dengan model-model penggunaan lahan lestari. Oleh karena itu, agroforestri dalam bentuk implementasinya dapat berbentuk seperti: 1) agrisilvikultur (penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dari hutan); 2) sylvopastural (sistem pengelolaan hutan dimana hutan dikelola untuk menghasilkan kayu sekaligus juga untuk memelihara ternak); 3) agrosylvo-pastoral (sistem dimana lahan dikelola untuk memproduksi hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak); 4) multipurpose forest tree production system (sistem dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi juga dedaunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak).

Pada dasarnya agroforestri merupakan pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang berlapis-lapis untuk meningkatkan


(6)

produktivitas lahan. Namun, sebenarnya pola tanam agroforestri sendiri tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami.

Penerapan agroforestri dapat memberikan manfaat yang besar bagi para pemilik lahan. Menurut Wiersum (1980) diacu dalam Matatula (2009) mengemukakan, keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan teknik agroforestry yaitu sebagai berikut: 1) keuntungan ekologis, yaitu penggunaan sumber daya yang efisien baik dalam pemanfaatan sinar matahari, air dan unsur hara di dalam tanah; 2) keuntungan ekonomis, yaitu total produksi yang dihasilkan lebih tinggi sebagai akibat dari pemanfaatan lahan yang lebih efisien; 3) keuntungan sosial, yaitu memberikan kesempatan kerja sepanjang tahun.

Keberhasilan penerapan agroforestri menuntut adanya pemahaman yang mendalam tentang komponen yang terlibat dalam agroforestri, serta interaksi komponen tersebut. Interaksi antar komponen tersebut, atau dengan kata lain “interaksi antara pohon dengan tanaman semusim atau dengan pohon lainnya”, merupakan satu aspek yang tidak mudah dikaji. Interaksi antar komponen-komponen tersebut, antara lain (Hairiah et al. 2002): 1) interaksi positif (peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman lainnya); 2) interaksi netral (kedua tanaman tidak saling mempengaruhi, peningkatan produksi tanaman semusim tidak mempengaruhi produksi pohon atau peningkatan produksi pohon tidak mempengaruhi produksi tanaman semusim); 3) interaksi negatif (peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman lainnya, ada kemungkinan pula terjadi penurunan produksi keduanya).

2.2 Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

2.2.1 Klasifikasi dan Penyebaran

Sengon termasuk suku Fabaceae, keluarga petai-petaian. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah seperti berikut : jeunjing, jeunjing laut (Sunda), kalbi, sengon landi, sengon laut, atau sengon sabrang (Jawa), seja (Ambon), sikat (Banda), tawa (Ternate), dan gosui (Tidore). Klasifikasi ilmiah tanaman sengon:


(7)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Fabales Suku : Fabaceae Marga : Paraserianthes Jenis : falcataria

Sengon merupakan tanaman asli Indonesia, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Australia (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Tegakan alam sengon di Indonesia ditemukan tersebar di bagian timur (Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua) dan di perkebunan di Jawa (Martawijaya et al. 1989). Di Maluku, tegakan sengon alam dapat ditemukan di Pulau Taliabu, Mangolle, Sasan, Obi, Bacan, Halmahera, Seram dan Buru. Di Papua, sengon alam ditemukan di Sorong, Manokwari, Kebar, Biak, Serui, Nabire dan Wamena. Selain itu, sengon juga ditanam di Jawa (Martawijaya et al. 1989). 2.2.2 Deskripsi Botani

Pohon berukuran sedang sampai besar, tinggi dapat mencapai sekitar 30‒45 m, tinggi batang bebas cabang 20 m. Tidak berbanir, kulit licin, berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter batang sekitar 70‒80 cm. Kulit batang berwarna putih keabu-abuan, tidak beralur, tidak mengelupas dan batangnya tidak berbanir (Martawijaya et al. 1989). Kerapatan tajuk tergolong jarang. Berat jenis kayu rata-rata 0,33 dan termasuk kelas awet IV‒V.

Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan panjang sekitar 23‒30 cm . Anak daunnya kecil-kecil, banyak dan perpasangan, terdiri dari 15‒20 pasang pada setiap sumbu (tangkai), berbentuk lonjong (panjang 6‒12 mm, lebar 3‒5 mm) dan pendek ke arah ujung. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau pupus dan tidak berbulu sedangkan permukaan daun bagian bawah lebih pucat dengan rambut-rambut halus (Soerianegara dan Lemmens 1993 dan Arche et al. 1998, diacu dalam krisnawati 2011). Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus ke dalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol ke permukaan tanah.


(8)

Bunga sengon tersusun dalam malai berukuran panjang 12 mm, berwarna putih kekuningan dan sedikit berbulu, berbentuk seperti saluran atau lonceng. Bunga biseksual, terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, tidak bersekat-sekat dan berukuran panjang 10‒13 dan lebar 2 cm. Setiap polong buah berisi 15‒20 biji. Biji sengon berbentuk pipih, lonjong, tidak bersayap, berukuran panjang 6 mm, berwarna hijau ketika masih muda dan berubah menjadi kuning sampai coklat kehitaman jika sudah tua, agak keras dan berlilin.

Sengon mulai berbunga pada umur 3 tahun setelah tanam. Djogo (1997) diacu dalam Krisnawati (2011) melaporkan, waktu berbunga adalah sekitar Oktober‒Januari. Secara umum, buah sengon akan masak sekitar 2 bulan setelah berbunga. Tanaman sengon sehat berumur 5–8 tahun dapat menghasilkan benih sekitar 12.000 butir per ha. Seribu butir benih sengon diperkirakan memiliki berat sekitar 16–26 g (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). 2.2.3 Syarat Ekologi

Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, termasuk tanah kering, tanah lembab dan bahkan di tanah yang mengandung garam dan asam selama drainasenya cukup (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Di Jawa, sengon dilaporkan dapat tumbuh di berbagai jenis tanah kecuali tanah grumusol (Charomaini dan Suhaendi 1997, diacu dalam Krisnawati 2011).

Sengon termasuk jenis pionir yang dapat tumbuh di hutan primer, hutan hujan dataran rendah sekunder dan hutan pegunungan, padang rumput dan di sepanjang pinggir jalan dekat laut. Di habitat alaminya di Papua, sengon berasosiasi dengan jenis-jenis seperti Agathis labillardieri, Celtis spp., Diospyros spp., Pterocarpus indicus, Terminalia spp. dan Toona sureni (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011).

Di habitat alaminya, curah hujan tahunan berkisar antara 2000–2700 mm, kadang-kadang sampai 4000 mm dengan periode musim kering lebih dari 4 bulan. Curah hujan untuk pertumbuhan optimalnya adalah 2000–3500 mm per tahun. Suhu optimal untuk pertumbuhan sengon adalah 22–29°C dengan suhu maksimum 30–34°C dan suhu minimum 20–24°C (Soerianegara dan Lemmens


(9)

1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Selama bulan kering, jumlah hari hujan minimal yang diperlukan adalah 15 hari.

Sengon tumbuh baik pada ketinggian 1600 m dpl, kadang-kadang sampai ketinggian 3.300 m dpl. Di Papua, sengon dapat tumbuh di daerah yang rendah pada ketinggian 55 m dpl di Manokwari (Charomaini dan Suhaendi 1997, diacu dalam Krisnawati 2011).

2.2.4 Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan tanaman bertujuan untuk memperoleh hasil tanaman atau tegakan yang berkualitas sesuai dengan tujuan pengelolaan. Adapun kegiatan dalam pemeliharaan tanaman meliputi :

1. Penyiangan

Tanaman sengon harus dibebaskan dari gulma. Gulma dan tanaman terpengaruh secara negatif oleh interaksi dalam bentuk penurunan kegiatan pertumbuhan termasuk peristiwa alelopati. Anino (1997) diacu dalam Krisnawati et al. (2011) menyatakan, penyiangan harus dilakukan secara rutin pada dua bulan pertama, setelah itu secara periodik 3 bulanan. Selama satu tahun pertama pohon harus bersih dari alang-alang paling tidak 2 m di sekitar pohon.

2. Pemupukan

Untuk meningkatkan pertumbuhan sengon, setiap anakan perlu diberikan pupuk sekitar 100 gram NPK, baik pada saat penanaman maupun setelahnya. Menurut Santoso (1992) untuk mendapatkan produksi yang sesuai harapan, pada saat tanaman sengon berumur sekitar 4 bulan perlu diberi pupuk Urea 40 kg, ZA 80 kg, TSP 120 kg dan KCl 160 kg tiap ha. Cara pemupukan yaitu dengan meletakkan pupuk dalam lubang sedalam 5‒10 cm di sekeliling batang pada batas proyeksi tajuk tanaman (Indriyanto 2008). Pemupukan diulangi lagi pada awal tahun ke dua dengan takaran yang sama.

3. Pendangiran

Menurut Hartini dan Anna (2010), pendangiran merupakan kegiatan penggemburan tanah disekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah (aerasi tanah). Pendangiran dilakukan setelah penyiangan dengan meninggikan tanah di sekitar tanaman pokok agar air tidak tergenang.


(10)

4. Penyulaman

Penyulaman tanaman merupakan kegiatan penanaman kembali pada bekas tanaman yang mati/diduga akan mati dan rusak sehingga terpenuhi jumlah tanaman normal dalam satuan luas tertentu sesuai jarak tanamnya (Hartini & Anna 2010). Menurut Indriyanto (2008), penyulaman dilakukan apabila persentase hidup tanaman kurang dari 80%. Penyulaman pertama dilakukan satu bulan setelah penanaman. Penyulaman kedua dilakukan setelah satu tahun penanaman. Pada tahun berikutnya tidak perlu dilakukan penyulaman karena tanaman susulan akan tertinggal pertumbuhannya.

5. Pemangkasan

Menurut Hartini dan Anna (2010), pemangkasan cabang adalah kegiatan pembuangan cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang tinggi. Pohon sengon memiliki kecenderungan untuk tumbuh menggarpu, sehingga pemangkasan sangat diperlukan pada tahap awal perkembangan pohon. Pemangkasan biasanya dilakukan selama dua tahun pertama mulai dari enam bulan, setelah itu pada interval enam bulan sampai umur 2 tahun (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Pemangkasan lebih baik dikerjakan pada waktu cabang pohon masih kecil, untuk mencegah terjadinya luka yang terlalu lebar. Intensitas pemangkasan cabang setiap kali melakukan pemangkasan sebesar 30% dari tajuk (Kosasih et al. 2002, diacu dalam Indriyanto 2008).

6. Penjarangan

Penjarangan adalah tindakan pengurangan jumlah batang persatuan luas untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon. Pohon yang dipilih untuk dijarangi adalah pohon yang terkena hama, cacat, miskin riap dan tertekan. Secara umum untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 3‒4 tahun, sedangkan jenis pohon yang lambat tumbuh penjarangan pertama kali dilakukan pada umur 5‒10 tahun (Indriyanto 2008).

7. Pengendalian Hama dan Penyakit

Salah satu ancaman utama hama yang menyerang tanaman sengon di Indonesia adalah hama penggerek batang (Xystrocera festiva) (Nair dan Sumardi 2000, diacu dalam Krisnawati 2011). Xystrocera festiva mulai menyerang


(11)

tanaman umur 3 tahun dan apabila dibiarkan, dalam waktu 2 sampai 5 tahun kemudian, seluruh tanaman akan punah. Pengendalian hama X. festiva dapat dilakukan dengan penebangan atau penjarangan pada pohon yang terserang untuk mencegah dan menekan penyebaran hama.

Penyakit yang menyerang tanaman sengon antara lain: 1) jamur upas (Upasia salmonicolor), pengendaliannya dengan eradikasi, pembakaran atau pemangkasan tanaman yang diserang; 2) penyakit akar merah, penyebabnya jamur Ganoderma pseudofereum, umumnya jamur tumbuh pada tanah basah dan pH 6,0–7,0. Pengendaliannya dapat dengan fungisida Ganocide atau Calixin CP, atau membakar tanaman yang sakit sampai ke akarnya dan sisa akar di lubang tanam dibersihkan (Rahayu 1999); 3) penyakit karat puru juga menyerang bibit di persemaian dan tanaman sengon sampai umur 5 tahun. Bagian tanaman yang diserang daun dan dahan. Gangguan penyakit ini dapat mengakibatkan kematian pohon. Anino (1997) diacu dalam Krisnawati (2011) menyatakan bahwa penyakit karat puru berhasil dikendalikan dengan menghentikan penanaman sengon pada lokasi di atas ketinggian 250 m dpl. Selain itu juga dapat dikendalikan dengan pemangkasan dan pembakaran bagian-bagian pohon yang terinfeksi.

2.2.5 Teknik Silvikultur

Benih sengon dapat dengan mudah dikeringkan hingga kadar air mencapai 8‒10%. Benih yang sudah kering dapat disimpan selama 1,5 tahun pada suhu 4‒8°C tanpa kehilangan viabilitas dan laju perkecambahan masih tetap tinggi sekitar 70‒90% (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Untuk periode waktu yang lebih lama, Parrotta (1990) diacu dalam Krisnawati (2011), menganjurkan untuk menyimpan benih dalam wadah tertutup dan ditempatkan dalam ruang penyimpan yang dingin pada suhu 3–5°C. Sebelum penyemaian, benih harus direndam dalam air mendidih selama 1–3 menit kemudian dipindahkan ke dalam air dingin selama 24 jam. Perlakuan yang tepat dapat menghasilkan daya perkecambahan yang tinggi sekitar 80–100% dalam waktu 10 hari.


(12)

2.2.6 Karakteristik Kayu dan Kegunaan

Kayu teras sengon berwarna putih sampai coklat muda pucat atau kuning muda sampai coklat kemerahan. Pada pohon yang masih muda, warna kayu teras dan kayu gubal tidak begitu jelas perbedaannya (berwarna pucat), tetapi pada kayu yang lebih tua perbedaannya cukup jelas (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Serat kayunya lurus dan teksturnya cukup kasar tetapi seragam.

Kayu sengon dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan konstruksi ringan (misalnya langit-langit, interior, dan perabotan), bahan kemasan ringan (misalnya kotak cerutu dan rokok, serta peti kayu), korek api, sepatu kayu, alat musik, mainan dan sebagainya. Kayu sengon juga dapat digunakan untuk bahan baku kayu lapis, serta cocok untuk bahan papan partikel. Selain itu, menurut Soerianegara dan Lemmens (1993), kayu ini juga banyak digunakan untuk bahan baku pulp untuk membuat kertas. Sebagai jenis pengikat nitrogen, sengon juga ditanam untuk tujuan reboisasi dan penghijauan guna meningkatkan kesuburan tanah (Heyne 1987, diacu dalam Krisnawati 2011). Daun dan cabang yang jatuh akan meningkatkan kandungan nitrogen, bahan organik dan mineral tanah (Orwa et al. 2009, diacu dalam Krisnawati 2011).

Sengon sering ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian seperti jagung dan buah-buahan (Charomaini dan Suhaendi 1997). Sengon sering pula ditanam di pekarangan untuk persediaan bahan bakar (arang) dan daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak. Di Ambon (Maluku), kulit pohon sengon kadang-kadang digunakan secara lokal sebagai pengganti sabun (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011).


(13)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan sejak bulan Desember 2011 sampai Januari 2012. Lokasi penelitian yaitu di RPH Jatirejo, Desa Gadungan, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri. Kondisi tegakan penelitian pada 3 (tiga) pola agroforestri di RPH Jatirejo disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kondisi tegakan penelitian pada 3 (tiga) pola agroforestri di RPH Jati- rejo: (A) Pola agroforestri 1; (B) Pola agroforestri 2; (C) Pola agrofo- restri 3

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan garapan petani agroforestri (pesanggem) dengan tanaman pokok sengon yang berumur 2 tahun. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian adalah phiband (pita diameter), haga hypsometer, kompas, patok, tali rafia atau tambang, golok atau parang, tally

A

C


(14)

sheet, ring tanah, cangkul spiracle densiometer, kantong plastik, alat tulis, lembar kuisioner, alat hitung, kamera digital dan komputer.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi pengukuran secara langsung dimensi tanaman pokok, sifat fisik dan kimia tanah, serta sistem pengelolaan lahan yang dilakukan oleh masing-masing petani pada beberapa pola yang dikaji. Sistem pengelolaan lahan yang yang dikaji menekankan pada aspek kegiatan pemeliharaan (penyiangan, pendangiran, pemangkasan, dan pemupukan) melalui wawancara semi terstruktur. Metode pengambilan data primer meliputi:

3.3.1 Pengambilan Data Dimensi Tanaman Pokok

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik plot sampling pada masing-masing lahan petani agroforestri. Plot sampling yang digunakan berbentuk lingkaran dengan ukuran jari-jari 8,92 m dengan jarak antar plot 100 m (Siswanto 2008). Pola yang diteliti sebanyak tiga jenis pola agroforestri, dengan dua buah plot pada masing-masing pola agroforestri.

Dimensi tanaman pokok yang diamati adalah tinggi total, tinggi bebas cabang, Live Crown Ratio (LCR), diameter, panjang dan lebar tajuk pohon. Tinggi pohon diukur menggunakan haga hypsometer dan diameter pohon diukur menggunakan pita diameter (phiband). Panjang dan lebar tajuk diukur dengan pita meter pada proyeksi tajuk pohon yang diamati dan arah proyeksi tajuk diamati dengan menggunakan kompas, azimuth proyeksi tajuk yang diukur adalah penyimpangannya dari arah utara. Panjang tajuk merupakan tajuk terpanjang dari pohon sengon yang diukur pada garis proyeksinya yang tegak lurus ke tanah. Lebar tajuk merupakan tajuk terlebar dari pohon sengon yang garis proyeksinya tegak lurus dengan garis imajiner dari proyeksi tajuk terpanjang yang sudah diukur (Wijayanto & Rifa’i 2010). Ilustrasi pengukuran tajuk pohon disajikan pada Gambar 2.


(15)

Tajuk pohon

Batang pohon

Tajuk terlebar Proyeksi tajuk

Gambar 2 Proyeksi tajuk pohon (Wijayanto dan Rifa’i 2010) 3.3.2 Pengambilan Data Biofisik Lingkungan

Data yang dikumpulkan meliputi: sifat fisik dan kimia tanah, suhu dan kelembaban, serta persentase penutupan tajuk. Kombinasi berbagai pola agroforestri dan kondisi tegakan diamati secara langsung bersamaan dengan pengambilan data primer. Metode pengambilan data biofisik lingkungan meliputi: 1. Tanah

Pegukuran dilakukan terhadap sifat fisik dan sifat kimia tanah. Pengukuran sifat fisik tanah dilakukan menggunakan metode tanah tidak terusik dengan menggunakan ring tanah. Pengambilan contoh tanah untuk sifat fisik ini dilakukan di plot pengamatan pada kelerengan datar.

Sifat fisik tanah yang diamati antara lain tekstur tanah, berat isi, ruang pori dan kadar air contoh tanah. Cara pengambilan contoh tanah utuh (Balai Penelitian Tanah 2004). Pertama lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah ± 1 cm. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung. Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawah tabung dibersihkan. Selanjutnya tabung ditutup dengan tutup plastik dan diberi label.

Tajuk terpanjang Garis


(16)

Sifat kimia tanah seperti pH, KTK, dan beberapa unsur hara makro dan mikro diamati dengan cara mengambil contoh tanah komposit menggunakan metode yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanah (2004). Titik pengambilan contoh tanah individu yang dilakukan yaitu secara sistematik dengan permulaan acak sebanyak 5 titik. Permukaan tanah dibersihkan dari rumput, batu, atau kerikil, dan sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar atau serasah. Tanah tersebut dicangkul sedalam lapisan olah (20 cm). Berat contoh tanah yang diambil adalah 500 g dari setiap petak pengamatan. Setelah itu, campur dan aduk contoh tanah individu tersebut dalam satu tempat (ember atau hamparan plastik), kemudian ambil kira-kira 1 kg, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Selanjutnya beri label yang berisi keterangan: tanggal dan kode pengambilan (nama pengambil), nomor contoh tanah, lokasi (desa/kecamatan/kabupaten), dan kedalaman contoh tanah. Ilustrasi titik pengambilan contoh tanah komposit secara sistematik (zig-zag) sebanyak lima titik disajikan pada Gambar 3.

2. Suhu, kelembaban, dan presentase penutupan tajuk

Suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan alat termometer bola basah dan termometer bola kering dengan meletakkan alat tersebut di tengah-tengah tegakan sampling, digantungkan pada pohon karena alat tidak boleh terkena cahaya matahari secara langsung. Pengamatan dilakukan selama empat hari berturut-turut pada saat pagi hari pukul 07.00‒08.00, siang hari pada pukul 12.00‒13.00, dan pada sore hari pada pukul 16.00‒17.00, dengan selang waktu setiap 10 menit sekali, sehingga dalam sehari dilakukan pengukuran sebanyak 21 kali pada ketiga pola agroforestri.

Gambar 3 Titik pengambilan contoh tanah komposit 1

3

4 5


(17)

Pengukuran persentase penutupan tajuk dilakukan untuk mengetahui besarnya cahaya matahari yang tertahan oleh tajuk dan yang dapat menembus ke tanah. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spiracle densiometer pada jarak 30‒45 cm dari badan dengan ketinggian sejajar lengan. Titik pengukuran ditetapkan secara acak sebanyak 4 titik yang mewakili, pada 4 arah mata angin. Masing-masing kotak dihitung persentase bayangan langit yang tertangkap pada cermin kemudian dilakukan pembobotan. Kriteria pembobotan yang dilakukan antara lain: terbuka penuh memiliki bobot 4 (100%), bobot 3 (75%), bobot 2 (50%), bobot 1 (25%), bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat).

Bobot rata-rata pada masing-masing pola agroforestri dihitung dengan rumus:

Ti= T1+T2+T3+...+Tn x 1.04

N Ti : Keterbukaan tajuk

Tn : Bobot pada masing-masing titik pengukuran

N : Jumlah titik pengukuran 1,04 : Faktor koreksi

Persentase penutupan tajuk (T) pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus: T = 100-Ti (Supriyanto dan Irawan 2001).

3.3.3 Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan dari instansi-instansi pemerintah terkait berupa kondisi sosial ekonomi masyarakat, kondisi biofisik lingkungan (iklim, curah hujan, kelerengan, dan lain-lain). Selain itu juga dilakukan studi pustaka dari buku, jurnal, dan hasil penelitian untuk memperoleh data pendukung lain yang berhubungan dengan penelitian.

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh mengenai pengukuran dimensi pohon dianalisa secara deskripif terhadap pertumbuhan tanaman pokok sengon hubungannya dengan pola agroforestri dan teknik pengelolaan yang dikembangkan.


(18)

4.1 Letak Geografis dan Administratif

Secara geografis RPH Jatirejo yang termasuk ke dalam Bagian Hutan Pare-Besowo terletak pada 7⁰44’10”LS‒7⁰58’28”LS dan 5⁰22’15”BT– 5⁰32’12”BT. Secara administratif, wilayah ini terletak di Desa Gadungan, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, tepatnya di sebelah timur wilayah Kabupaten Kediri. Kelompok hutan Gadungan memiliki luas 3372,4 ha, sedangkan khusus wilayah pengelolaan RPH Jatirejo memiliki luas 2194,9 ha (SPH III Jombang 2004). Batas-batas wilayah Desa Gadungan meliputi: sebelah Utara dibatasi oleh Desa Tertek, Kecamatan Pare; sebelah Selatan dibatasi oleh Desa Sidomulyo, Kecamatan Puncu; sebelah Timur dibatasi oleh Desa Krenceng, Kecamatan Kepung; sebelah Barat dibatasi oleh Desa Gedangsewu, kecamatan Pare.

4.2 Topografi, Hidrologi, Iklim dan Tanah

Keadaan topografi pada kelompok hutan Gadungan pada umumnya datar dengan kemiringan 0‒8%. Jurang-jurang tidak dijumpai walaupun keadaan tanah sebenarnya menunjukkan adanya terjadi jurang. Ketinggian tempat mencapai 250 meter di atas permukaan laut. Topografi pada wilayah ini meliputi: berbukit dengan luas 74 ha dan landai/datar dengan luas 3627,2 ha (SPH III Jombang 2004).

Pada wilayah ini, sumber mata air terletak pada ketinggian 225‒275 m dpl. Menurut metode perhitungan Schmidt dan Ferguson, wilayah ini memiliki tipe iklim D, dengan rata-rata curah hujan 1887 mm/tahun, rata-rata jumlah bulan basah 6 bulan/tahun, dan rata-rata bulan kering 5,2 bulan/tahun.

Secara fisik tanah pada kelompok hutan ini sebagian besar terdiri dari tanah pasir lepas berwarna hitam. Jenis tanah berdasarkan Peta Tanah Tinjau Bagian Hutan Pare-Besowo tahun 2000, kelompok hutan Gadungan didominasi oleh tanah regosol coklat kekelabuan sedikit komplek regosol kelabu dan litosol. Secara umum sifat-sifat tanah tersebut yaitu memiliki tekstur tanah berlempung warna kelabu, struktur agak gumpal dan konsisten agak lekat, jika turun hujan


(19)

akan mudah tererosi, serta horison tanah tidak tampak jelas (SPH III Jombang 2004).

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi

Pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) berlandaskan pada 3 aspek, yaitu aspek, sosial, ekonomi, dan ekologi. Pengelolaan SDH harus mampu menyeimbangkan antara keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan untuk kesejahteraan masyarakat. Beberapa aspek sosial yang menggambarkan kondisi pada daerah ini antara lain (SPH III Jombang 2004):

a. Kependudukan

Masalah kependudukan yang mencakup antara lain jumlah, komposisi, dan penyebaran penduduk, serta kualitas penduduk merupakan salah satu masalah sosial yang dihadapi dalam proses pembangunan termasuk pembangunan kehutanan. Peningkatan jumlah penduduk yang tinggi menuntut penyediaan lapangan kerja yang tinggi.

Pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan konsumsi pangan, angkatan kerja, konsumsi kayu bakar, dan konsumsi kayu pertukangan serta menurunkan rasio lahan/orang. Hal ini dapat mencerminkan bahwa adanya pertumbuhan penduduk berpengaruh negatif terhadap pembangunan kehutanan. Peningkatan angkatan kerja dan penurunan rasio lahan/orang akan mengakibatkan peningkatan angka kemiskinan di pedesaan. Akumulasi dari peningkatan konsumsi kayu bakar, konsumsi kayu pertukangan, dan angka kemiskinan di pedesaan akan berakibat pada meningkatnya luas tanaman gagal, penggembalaan ternak dan pencurian kayu yang pada akhirnya akan menurunkan kapasitas dan potensi hutan.

Berdasarkan data Desa Gadungan (2010), jumlah penduduk Desa Gadungan adalah 15.770 orang, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 7985 orang dan perempuan sebanyak 7895 orang, dan 4734 kepala keluarga. Persentase perkembangan penduduk dibanding tahun sebelumnya untuk laki-laki dalah 2% dan perempuan 1%. Jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) 15639 orang dan Warga Negara Asing (WNA) 1 orang. Angka pertumbuhan penduduk di sekitar kawasan hutan tersebut dapat digunakan untuk memprediksi jumlah penduduk pada tahun-tahun yang akan datang, sehingga strategi penegelolaan SDH yang


(20)

diterapkan tepat. Secara umum penduduk desa Gadungan beragama Islam (11.707 orang), Kristen 1280 orang, Katholik 207 orang, Hindu 162 orang, dan Aliran kepercayaan lainnya 25 orang.

b. Mata Pencaharian Penduduk

Mata pencaharian penduduk berhubungan erat dengan pola kehidupan sehari-hari dari penduduk tersebut. Mata pencaharian penduduk pada Desa Gadungan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Mata pencaharian penduduk Desa Gadungan (Desa Gadungan 2010)

No Jenis pekerjaan Laki-laki Perempuan

1 Petani 829 25

2 Buruh tani 1453 1257

3 PNS 158 79

4 Pengrajin industri rumaha tangga 174 12

5 Pedagang keliling 37 51

6 Peternak 78 -

7 Montir 9 -

8 Dokter swasta 1 1

9 TNI 15 -

10 POLRI 23 -

11 Pensiunan PNS/TNI/POLRI 106 78

12 Pengusaha kecil dan menengah 234 5

13 Jasa pengobatan alternatif 2 -

14 Pengusaha besar 3 -

15 Karyawan perusahaan swasta 475 -

16 Sopir 132 -

17 Tukang becak 21 -

18 Tukang ojek 29 -

19 Tukang cukur 17 -

20 Tukang batu/kayu 276 -

21 Notaris - 1

Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk di Desa Gadungan adalah bertani. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap lahan pertanian masih tinggi. Tekanan terhadap kawasan hutan akan semakin meningkat akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk sedangkan luas lahan pertanian tetap bahkan semakin berkurang.

c. Kepemilikan Tanah

Pada daerah agraris, tingkat pemenuhan kebutuhan hidup atau tingkat kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada luas tanah produktif yang dimilki. Luas pemilikan lahan penduduk di Desa Gadungan, meliputi: tanah


(21)

kering (pemukiman 97 ha; pekarangan 172 ha; tegal/ladang 355,64 ha), tanah hutan (hutan produksi seluas 568 ha) (Desa Gadungan 2010).

Masyarakat jarang membudidayakan hijauan makanan ternak. Untuk mencukupi kebutuhan makanan ternak, masyarakat banyak yang memanfaatkan daun sengon, dan kerusakan yang terparah dari pengambilan daun terjadi pada RPH Jatirejo.


(22)

5. 1 Pertumbuhan Dimensi Tanaman Paraserianthes falcataria

Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan tanaman pokok P. falcataria pada 3 (tiga) pola agroforestri menunjukkan rata-rata pertumbuhan yang hampir seragam dan tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu signifikan baik dalam hal tinggi total maupun diameter batangnya. Layout kombinasi tanaman pada masing-masing pola agroforestri disajikan pada Lampiran 1. Rata-rata pertumbuhan dimensi tanaman P. falcataria pada 3 (tiga) pola agroforestri disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata pertumbuhan tanaman P. falcataria pada 3 (tiga) pola agrofo- restri diRPH Jatirejo

No Pola Agroforestri Rata-rata Tinggi (T) Rata-rata diameter (cm) Total (m) Bebas cabang (m)

1 AF1 11,93 8,79 10,07

2 AF2 11,25 8,41 9,78

3 AF3 12,00 8,92 10,63

AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas

Dalam penerapan sistem agroforesti terdapat interaksi yang bersifat positif dan negatif. Interaksi positif terjadi apabila terdapat peningkatan produksi suatu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman yang lainnya (Hairiah et al. 2002). Interaksi positif ini ditunjukkan pada pola AF3. Pola ini memiliki kombinasi jumlah tanaman yang paling banyak dibanding pola lain. Pola AF3 memiliki rata-rata pertumbuhan yang paling baik dibandingkan pola lainnya, dengan rata-rata tinggi 12 m dan rata-rata diameter 10,63 m.

Pada pola AF3, banyaknya jumlah tanaman tumpang sari tidak menimbulkan dampak negatif pada pertumbuhan tanaman pokok. Kegiatan pemupukan yang lebih intensif menyebabkan tanaman pokok memperoleh masukan nutrisi yang cukup, sehingga keberadaan jumlah tanaman tumpang sari yang lebih banyak justru akan menambah asupan unsur hara bagi tanaman pokok. Hal ini dikarenakan tanaman pokok sengon hanya mengandalkan pemupukan


(23)

yang diberikan pada tanaman semusim. Selain itu, menurut hasil penelitian Priyardashini (2011), populasi makrofauna tanah (cacing tanah) lebih besar pada tegakan yang multistrata. Populasi makrofauna tersebut juga dipengaruhi oleh masukan bahan organik. Serasah merupakan sumber bahan organik dan energi bagi makrofauna tanah, khususnya cacing tanah. Peningkatan aktivitas cacing tanah akan meningkatkan pori makro tanah yang baik bagi proses infiltrasi air. Wolf dan Snyder (2003) diacu dalam Priyardashini (2011) menyatakan, pori makro sangat berguna untuk mempertukarkan udara dan menginfiltrasikan air dengan baik, serta mendrainasekan kelebihan air. Tingginya populasi dan aktivitas makrofauna tanah ini juga dapat menjadi faktor pendukung kesuburan tanah pada pola AF3.

Berdasarkan hasil penelitian, pola AF2 menunjukkan interaksi yang negatif dengan rata-rata pertumbuhan yang paling rendah dibandingkan pola agroforestri lainnya. Menurut Mahendra (2009), interaksi negatif yang terjadi pada sistem agroforestri dapat berupa kompetisi yang tidak sehat dalam memperebutkan unsur hara, cahaya matahari, air, serta ruang tumbuh. Akibatnya, salah satu tanaman bisa tertekan bahkan mati karena pengaruh tanaman lainnya. Rendahnya intensitas pemupukan dapat diduga menjadi salah satu faktor penyebab terhambatnya pertumbuhan, karena pada pola ini yang diberi pupuk hanya tanaman jagung saja. Sifat tanaman singkong yang rakus akan unsur hara terutama unsur P dan K dapat mengakibatkan defisiensi unsur hara bagi tanaman pokok. Penggunaan K oleh ubi kayu berfungsi untuk pembentukan gula dan kandungan patinya.

5.2 Persentase Penutupan Tajuk

Selain H2O, CO2, unsur hara, dan suhu, cahaya juga merupakan faktor

yang mempengaruhi fotosintesis dan juga merupakan salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan. Cahaya merupakan faktor penting terhadap berlangsungnya fotosintesis, sementara fotosintesis merupakan proses yang menjadi kunci dapat berlangsungnya proses metabolisme yang lain di dalam tanaman. Tempat utama terjadinya fotosintesis adalah pada daun atau tajuk. Dalam penerapan sistem agroforestri, cahaya merupakan faktor pembatas utama dalam pertumbuhan dan produktivitas tanaman semusim karena adanya pengaruh naungan.


(24)

Radiasi cahaya rendah mengakibatkan laju fotosintesis rendah sehingga biomassa juga rendah dan akhirnya hasil tanaman rendah (Purnomo 2005). Persentase penutupan tajuk tergantung pada jumlah pohon dan tipe kerapatan tajuk. Kerapatan tajuk sengon tergolong tajuk ringan (jarang). Pohon dengan tajuk jarang sangat baik bila dipadukan dengan tanaman tumpangsari, karena tanaman di strata di bawahnya masih mendapat suplai cahaya (Mahendra 2009). Hasil penelitian terhadap beberapa pola agroforestri menunjukkan adanya perbedaan persentase penutupan tajuk. Rata-rata ukuran tajuk tanaman P. falcataria pada masing-masing pola agroforestri disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rata-rata ukuran tajuk tanaman P. falcataria pada 3 (tiga) pola tri di RPH Jatirejo

Pola Agroforestri Rata-rata panjang tajuk (m) Rata-rata lebar tajuk (m) Persentase penutupan tajuk (%) Live Crown Ratio (%)

AF1 4,57 3,38 42,95 26,32

AF2 3,26 2,31 32,83 25,24

AF3 3,30 2,33 34,88 25,67

AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas

Produksi tanaman budidaya pada dasarnya tergantung pada efisiensi sistem fotosintesis. Cahaya yang dapat dipergunakan untuk fotosintesis adalah cahaya yang mempunyai panjang gelombang antara 400–700 nm. Cahaya itu kemudian disebut sebagai radiasi aktif untuk fotosintesis. Tanaman yang memperoleh pencahayaan dibawah optimum, produksi biomassa akan menjadi rendah meskipun faktor pertumbuhan lain optimum.

Persentase penutupan tajuk menggambarkan besarnya cahaya yang masuk pada tegakan. Berdasarkan data hasil pengukuran, pola AF1 menunjukkan persentase penutupan tajuk terbesar yaitu 42,95%. Nilai tersebut menunjukkan besarnya cahaya matahari yang tertahan oleh tajuk. Hal ini berarti cahaya matahari yang sampai ke tanah dan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman tumpang sari adalah sebesar 57,05%. Tajuk pohon yang terlalu lebat menyebabkan cahaya matahari tidak sampai ke strata di bawahnya yang menjadi tempat tumbuh tanaman pertanian (Mahendra 2009). Rata-rata lebar dan panjang tajuk yang paling tinggi, menyebabkan luasan penyerapan cahaya matahari lebih


(25)

banyak pada tanaman pokok di pola ini. Pada keadaan ternaungi spektrum cahaya yang aktif dalam proses fotosintesis (400‒700 nm) menurun.

Pola agroforestri AF2 memilki persentase penutupan tajuk yang paling rendah, yaitu 32,83%, sehingga cahaya matahari yang sampai ke tanah memiliki persentase yang paling besar, yaitu sebesar 67,17%. Tingginya persentase keterbukaan tajuk pada pola ini juga dipengaruhi oleh tingginya tindakan pemangkasan yang hanya menyisakan 2‒3 ranting tiap pohon. Kondisi seperti ini dapat mengoptimalkan pemanfaatan cahaya matahari oleh tanaman semusim dalam berlangsungnya proses fotosintesis. Rata-rata lebar dan panjang tajuk pada pola ini juga menunjukkan nilai yang paling kecil dibandingkan dengan pola lain, sehingga juga dapat mengurangi luasan penyerapan cahaya matahari pada tanaman pokok untuk fotosintesis (Rifa’i 2010). Hal ini dapat terjadi sebagai dampak dari terhambatnya pertumbuhan tanaman pokok sengon akibat pemupukan yang kurang intensif dan dengan tingginya persaingan unsur hara yang kebanyakan diserap oleh tanaman singkong. Menurut Gardner et al. (1991), untuk memperoleh laju pertumbuhan tanaman budidaya yang maksimum, harus terdapat cukup banyak daun dalam tajuk untuk menyerap sebagian besar radiasi matahari yang jatuh ke atas tajuk tanaman.

5.3 Suhu dan Kelembaban

Menurut Badan Kerjasama Ilmu Tanah BKSPTN (1991), secara langsung suhu mempengaruhi fotosintesis tumbuhan, absorpsi air, serta transpirasi. Persentase penutupan tajuk menggambarkan besarnya cahaya yang masuk, sehingga jika cahaya merupakan pembatas, maka suhu memberikan pengaruh yang kecil terhadap proses fotosintesis. Kondisi ini dapat dialami pada tanaman pertanian di pola AF1 yang memperoleh asupan cahaya paling rendah dibandingkan dengan pola lain.

Pengaruh suhu terhadap transpirasi yaitu pada suhu yang rendah maka jumlah transpirasi akan rendah, dan sebaliknya (Badan Kerjasama Ilmu Tanah BKSPTN 1991). Data hasil pengukuran suhu dan kelembaban pada 3 (tiga) pola agroforestri disajikan pada Tabel 4.


(26)

Tabel 4 Rata-rata suhu dan kelembaban pada 3 (tiga) pola agroforestri di RPH Jatirejo

Pola Agroforestri Rata-rata Suhu (⁰C) RH (%)

AF1 25,13 74

AF2 25,72 75

AF3 25,33 67

AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas

Secara umum kondisi suhu dan kelembaban masing-masing tegakan memilki nilai yang tidak jauh berbeda. Menurut Soekotjo (1976) diacu dalam anonim (2011), pertumbuhan diameter batang tergantung pada kelembaban nisbi, permukaan tajuk, iklim dan kondisi tanah. Tingginya suhu udara akan meningkatkan laju transpirasi yang biasanya ditandai dengan turunnya kelembaban udara relatif. Apabila hal seperti ini cukup lama berlangsung, maka dapat menyebabkan keseimbangan air tanaman terganggu dan dapat menurunkan pertumbuhan tanaman termasuk diameter tanaman seperti yang terjadi pada pola AF2.

5.4 Parameter Tanah

Tanah merupakan kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air, dan udara dan merupakan media tumbuh tanaman (Hardjowigeno 2003). Menurut Hanafiah (2005), tanah sebagai media tumbuh memiliki 4 fungsi utama antara lain: sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran, penyedia kebutuhan primer tanaman (air, udara, unsur hara), penyedia kebutuhan sekunder tanaman (hormon, vitamin, enzim), serta sebagai habitat biota tanah.

Sifat fisik tanah berhubungan dengan kesesuaian tanah untuk berbagai penggunaan, yang meliputi: penetrasi akar, sirkulasi air dan udara, dan kemampuan tanah dalam menyimpan air. Peranan sifat fisik tersebut tergantung dari jumlah, ukuran, dan komposisi partikel masing-masing tanah. Hasil analisis sifat fisik tanah pada tiga pola agroforestri disajikan pada Tabel 5.


(27)

Tabel 5 Hasil analisis sifat fisik tanah pada 3 (tiga) pola agroforestridi RPH Jatirejo

No Lokasi

Tekstur

BD (g/cm3)

PR (%)

Kadar Air (% Volume) pada

Pf

Air Tersedia

(%) Pasir Debu Liat

...(%)... Pf 2,54

Pf 4,2

1 AF1 84,26 7,35 8,39 1,09 58,77 36,21 22,51 13,70 2 AF2 75,90 17,51 6,59 1,37 48,34 35,96 24,33 11,63 3 AF3 81,69 11,61 6,70 1,40 47,08 33,95 24,49 9,46 AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas

Tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan daya serap air,ketersediaan air di dalam tanah, besar aerasi, infiltrasi dan laju pergerakan air. Dengan demikian secara tidak langsung tekstur tanah jugadapat mempengaruhi perkembangan perakaran dan pertumbuhan tanaman serta efisiensi dalam pemupukan.

Tanah dengan kandungan debu tinggi memiliki kombinasi yang baik antara permukaan tanah dan ukuran pori-pori tanah. Secara umum tanah tersebut mengandung unsur hara yang lebih besar karena fraksi debu berasal dari mineral feldspar dan mika yang sifatnya cepat lapuk tergolong lebih cepat dibanding pasir (Foth 1984).

Bulk Density (BD) merupakan berat suatu massa tanah per satuan volume tertentu termasuk ruang porinya. BD merupakan petunjuk kepadatan tanah (Hardjowigeno 2003). Semakin tinggi nilai BD, semakin padat suatu tanah. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi tanah di pola AF3 yang memiliki nilai BD tertinggi. Pada pola ini dapat diartikan bahwa kemampuan tanah untuk meneruskan air atau ditembus akar tanaman makin sulit. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya nilai BD pada lokasi ini yaitu adanya pemadatan tanah akibat aktivitas hewan yang mencari makan, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan kepadatan tanah walaupun pengaruhnya tidak terlalu besar. Lee (1990) diacu dalam Dirjen Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial menyatakan, kondisi seperti ini dapat mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air dengan tertutupnya pori-pori tanah. Berkurangnya pori-pori tanah yang umumnya disebabkan oleh pemadatan tanah, menyebabkan menurunnya infiltrasi. Tanah


(28)

dengan BD tinggi dapat menurunkan laju pergerakan air di dalam tanah dan aerasi tanah juga menjadi rendah.

Nilai porositas tanah tertinggi terdapat pada pola AF1 yaitu 58,77%. Jika nilai porositasnya tinggi maka nilai BD akan semakin rendah. Porositas merupakan proporsi ruang pori (ruang kosong total) dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara (Hanafiah 2005). Tanah yang porositasnya tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut memiliki ruang pori yang cukup untuk pergerakan air dan udara keluar masuk tanah. Kondisi ini didukung dengan tingginya kandungan fraksi pasir, sehingga akar mudah untuk berpenetrasi serta air dan udara untuk bersikulasi. Selain itu, kondisi ini juga dapat mengakibatkan kapasitas infiltrasi yang tinggi sehingga tercipta drainase dan aerasi yang baik. Fraksi liat yang tinggi menyebabkan air tidak mudah hilang, sehingga meningkatkan air tersedia dalam tanah. Hubungan nilai BD dengan porositas dan air tesedia dalam tanah pada tiga pola agroforestri di RPH Jatirejo disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Hubungan nilai bulk density dengan porositas dan air tesedia dalam tanah pada 3(tiga) pola agroforestri di RPH Jatirejo

Pertumbuhan tanaman yang baik memerlukan penyediaan yang cukup dari berbagai unsur-unsur yang penting. Jika setiap unsur berada dalam jumlah yang tidak seimbang maka akan mengakibatkan pertumbuhan yang tidak normal. Rekapitulasi data hasil analisis sifat kimia tanah pada 3 (tiga) pola agroforestri disajikan pada Tabel 6. Sedangkan data lengkap hasil analisis kimia tanah dari laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan terdapat pada Lampiran 2. 0 10 20 30 40 50 60 70

1,09 1,37 1,4

P er se n ta se ( % )

Bulk Density (g/cm3)

Porositas


(29)

Tabel 6 Hasil analisis sifat kimia tanah pada 3 (tiga) pola agroforestri

Parameter Hasil Analisis

AF1 AF2 AF3

pH 1:1 H2O 4,80 4,70 5,50

KCl 4,00 3,90 5,10

Walkley & Black C-org (%) 1,68 2,15 2,00

Kjeldhal N-Total (%) 0,15 0,19 0,18

C/N Rasio (%) 11,20 11,32 11,11

Bray I P (ppm) 116,60 128,80 139,30

NNH4OAc pH 7.0 Ca 1,56 1,24 2,40

Mg 0,32 0,18 1,04

K 0,44 0,30 0,34

KTK 3,96 4,23 4,11

KB (%) 65,15 47,04 98,30

0,05 N HCl Fe 0,36 0,54 4,81

Cu 0,10 0.14 1,06

B (ppm) 1,20 0,65 1,53

AF1 = sengon+mindi+cabai+jagung; AF2 = sengon+mindi+jagung+singkong; AF3 = sengon+mindi+cabai+jagung+nanas

Tingkat kemasaman tanah pada masing-masing pola agroforestri tergolong masam. Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kiamiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Berdasarkan data di atas pola yang memiliki nilai pH terendah adalah pada pola AF2 dan tertinggi pada pola AF3. Menurut Hanafiah (2005), pH yang rendah (<6,5) dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi P, Ca, dan Mg, serta terjadi toksisitas unsur mikro seperti Al dan Fe. Pengetahuan mengenai pengaruh pH terhadap pola ketersediaan hara tanah dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada suatu jenis tanah. Kisaran pH optimum untuk tanaman nanas berkisar antara 4,5–6,5, namun masih mampu bertahan pada pH di bawah 5,0. Jagung akan tumbuh secara optimum pada kisaran pH 5,5–7 dan agak mampu untuk bertahan pada tanah dengan pH di bawah 5,5 (Hanafiah 2005). Dari pernyataan tersebut dapat menunjukkan bahwa tanaman nanas dan jagung masih dapat dijadikan pilihan untuk dikembangkan pada tanah tersebut. pH optimum untuk tanaman cabai terdapat pada kisaran 5,5‒6,8. Cabai akan mengalami pertumbuhan kerdil pada tanah yang masam (pH kurang dari 5,5) karena keracunan aluminium Al atau Mn (Suwandi et al. 2007, diacu dalam Yudilastri et al. 2010).


(30)

Unsur hara berfungsi sebagai bahan makanan pada tanaman. Unsur hara makro relatif diperlukan dalam jumlah besar oleh tanaman. Kekurangan unsur hara makro menimbulkan defisiensi yang tidak bisa digantikan oleh unsur hara lain, sedangkan jika kelebihan tidak menimbulkan pengaruh karena akan terlarut ke dalam tanah atau larut oleh air. Unsur hara mikro diperlukan tanaman dalam jumlah sedikit. Kekurangan unsur hara mikro biasanya dapat digantikan oleh unsur-unsur hara mikro yang lainnya, sedangkan kelebihan unsur hara mikro dapat menjadi racun.

Kandungan N pada ketiga pola agroforestri tergolong rendah yaitu terdapat pada kisaran 0,10–0,20% (Irawan 2011). Namun pada AF2 menunjukkan kandungan N yang paling tinggi dibanding pola lainnya. Hal ini dikarenakan pemberian pupuk kandang berupa kotoran ayam mengandung N tiga kali lebih besar daripada pupuk kandang yang lain (Hardjowigeno 2003). Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman, yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti batang, cabang, dan daun serta mendorong terbentuknya klorofil sehingga daunnya menjadi lebih hijau, yang berguna bagi proses fotosintesis (Lingga 1986). Selain itu N juga berfungsi mempercepat pertumbuhan tanaman serta berperan dalam pembentukan protein tanaman. Tanaman yang tumbuh harus mengandung N untuk membentuk sel-sel baru. Proses fotosintesis dapat menghasilkan karbohidrat dari CO2 dan H2O, namun proses tersebut tidak dapat

berlangsung untuk menghasilkan protein tanpa adanya N. Oleh karena itu, jika terjadi kekurangkan N akan menghambat proses pertumbuhan (Badan Kerjasama Ilmu Tanah BKSPTN 1991). Kandungan N yang lebih tinggi dapat mengasamkan reaksi tanah, menurunkan pH tanah, dan merugikan tanaman, sebab akan mengikat unsur hara lain seperti Mg. Banyaknya kandungan air tersedia pada pola AF1 dapat mengurangi kandungan N. Suplai air yang tinggi dapat mempengaruhi proses dekomposisi melalui penurunan kecepatan dekomposisi.

C-organik atau karbon yang terdapat dalam bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroorganisme. Dalam proses pencernaan oleh mikroorganisme terjadi reaksi pembakaran antara unsur karbon dan oksigen menjadi kalori dan karbon dioksida (CO2). CO2 ini dilepas menjadi gas, kemudian


(31)

unsur N yang terurai ditangkap mikroorganisme untuk membangun tubuhnya. Pada waktu mikroorganisme ini mati, unsur N akan tinggal bersama kompos dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman. Selama proses fotosintesis tanaman menggunakan CO2, kemudian bergabung dengan ekositem melalui serasah

tanaman yang jatuh. Sumber utama pemasok C pada tanah yaitu melalui: 1) serasah yang berasal dari tajuk tanaman tahunan(pohon) maupun tanaman musiman, serta dari tanaman sisa panen; 2) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, dan respirasi akar; 3) biota yang terdapat pada tanah. Proses hilanganya unsur C dalam tanah dapat terjadi melalui respirasi tanah, respirasi tanaman, terangkut panen, dipergunakan oleh biota, serta melalui erosi (Hairiah et al. 2002). Nilai kandungan C-organik pada ketiga pola agroforestri tersebut termasuk ke dalam kategori rendah hingga sedang.

Perubahan imbangan C/N menunjukkan kecepatan dekomposisi bahan organik. Nilai C/N antara 12‒14 adalah merupakan nilai tengah, artinya kandungan bahan organiknya cukup baik apabila digunakan sebagai bahan pendukung pertumbuhan tanaman. Nilai kurang dari 11 artinya bahan organiknya sudah sangat melapuk dalam tanah dan sebaiknya ditambahkan bahan yang mengandung organik, seperti kompos atau kotoran ternak. Nilai C/N di atas 15 berarti bahwa bahan organik belum terdekomposisi sehingga perlu waktu untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Faktor yang mempengaruhi penghancuran bahan organik antara lain suhu, kelembaban, tata udara tanah, pengolahan tanah, pH dan jenis bahan organik hancur atau sulit hancur. Nisbah C/N terendah ditunjukkan pada pola AF3. Kandungan C/N yang lebih rendah menunjukkan bahwa tanah tersebut mengandung bahan organik yang lebih tinggi (Sudaryono 2009) dan telah terdekomposisi dengan baik. Kisaran nilai C/N pada ketiga pola agroforestri tersebut tergolong sedang, yaitu C/N berada pada kisaran nilai antara 11‒15 (Irawan 2012).

Jumlah kandungan P dalam tanah sangat dipengaruhi oleh sifat dan ciri suatu tanah. Unsur P berperan bagi tanaman dalam hal pembelahan dan pembesaran sel, pembentukan bunga, buah, dan biji, serta merangsang perkembangan akar. Kadar P yang tinggi ditemukan pada top soil atau lapisan


(32)

olah, karena adanya penimbunan bahan organik. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan P adalah pH tanah.

Menurut Badan Kerjasama Ilmu Tanah BKSPTN (1991), ketersediaan P maksimum dijumpai pada kisaran pH 5,5–7,0. Hal ini dapat dilihat pada pola AF3 yang menunjukkan kandungan P tertinggi dengan pH 5,5. Pada tanah masam banyak ditemukan unsur Al yang selain bersifat racun juga mengikat P, sehingga unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman (Hardjowigeno 2003). Hal ini dapat dijadikan indikator pertumbuhan pada pola AF 2. Walaupun kandungan P lebih tinggi dibanding pola AF1, namun apabila tanahnya lebih masam, maka unsur P tersebut tidak memberikan pengaruh yang positif bagi pertumbuhan karena tanaman tidak bisa menyerapnya. Peningkatan produksi ubi kayu atau singkong diikuti dengan peningkatan pembentukan akar tanaman, dimana dengan adanya pembentukan akar baru ini akan meningkatkan jumlah umbi per tanaman (Ispandi dan Munip 2005). Peningkatan pembentukan akar tanaman tersebut merupakan peran utama dari unsur P, sehingga dalam pola AF2 ini, tanaman pokok sengon kurang mendapat asupan unsur P karena unsur P banyak yang terserap oleh ubi kayu. Menurut data BPS (2005) di dalam Subandi et al. (2006), kebutuhan hara (kg/ha) untuk tanaman ubi kayu lebih besar dibanding tanaman jagung. Ubi kayu membutuhkan 20,7 kg/ha unsur P dan 96,1 kg/ha unsur K, sedangkan jagung hanya membutuhkan 16,0 kg/ha unsur P dan 60,8 kg/ha unsur K. Hal ini berdampak pada pertumbuhan tanaman sengon yang kurang baik dibandingkan dengan pada pola lain karena defisiensi unsur hara terutama P dan K. Oleh karena itu, apabila ubi kayu ditanam pada tanah tanpa pemupukan yang cukup, produktivitas tanah akan menurun karena deplesi kandungan hara baik akibat terangkut hasil penen ataupun erosi (Howeler 2002, diacu dalam Hafif 2011). Hal ini juga dapat menjadi salah satu faktor tertinggalnya pertumbuhan tanaman sengon dibandingkan dengan pola lain.

Penambahan P dalam tanah dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain: penambahan pupuk fosfat dan dari sisa-sisa hewan dan tanaman. Penambahan P yang berasal dari sisa-sisa tanaman dan hewan tergolong sangat kecil, karena konsumsi fosfat oleh tanaman dan hewan juga sedikit. Oleh karena itu, penambahan P tertinggi adalah berasal dari pemberian pupuk P. Kehilangan


(33)

unsur P dapat terjadi melalui beberapa cara, seperti karena erosi, tercuci (leaching), dan karena terangkut tanaman.

Pengaruh nyata dari K adalah dapat meningkatkan sintesis dan translokasi karbohidrat, sehingga mempercepat penebalan dinding sel dan meningkatkan turgor batang, sehingga batang tidak mudah patah atau rebah (Hanafiah 2005). Pengaruh K pada tanaman pokok sengon terlihat pada pola AF1 yang memiliki jumlah pohon terbanyak yaitu 54 pohon dengan kandungan K tertinggi. Selain itu, unsur K berfungsi untuk membentuk pati, mengaktifkan enzim, serta berperan dalam pembukaan stomata. Apabila tanaman kekurangan unsur K, maka dapat menghambat pembukaan stomata oleh tanaman (Hardjowigeno 2003). Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya matahari untuk berlangsungnya proses fotosintesis, sehingga pada akhirnya akan menurunkan laju fotosintesis yang akan berdampak pada pertumbuhan tanaman seperti yang terjadi pada pola AF2 yang menunjukkan kandungan K yang terendah.

Kalsium (Ca) merupakan komponen struktural dinding sel terutama pada daun dan batang tanaman yang dapat memperkuat bagian-bagian tersebut. Selain itu Ca juga berfungsi dalam pemanjangan sel dan pembelahan sel. Tanaman yang kekurangan Ca pertumbuhannya akan lebih lambat (cenderung kerdil) karena terganggunya pembentukan pucuk atau tunas tanaman, ujung-ujung akar (titik tumbuh), dan jaringan penyimpan (Hanafiah 2005). Kondisi seperti ini dapat dilihat pada pola AF2 yang memiliki kandungan Ca yang lebih rendah dibandingkan pola lain. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata pertumbuhan tinggi yang lebih rendah dari pola lain. Unsur Mg merupakan satu-satunya molekul anorganik yang menyusun molekul klorofil untuk proses fotosintesis, sehingga kekurangan unsur Mg dapat menghambat proses fotosintesis yang pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan tanaman.

Selain unsur Mg dan N, unsur hara mikro seperti Fe dan Cu juga berperan dalam pembentukan klorofil dan penyusunan protein. Rendahnya kandungan unsur B pada pola AF2, dapat mengakibatkan beberapa pohon yang mengalami mati pucuk (die back).

Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan salah satu sifat kimia tanah yang terkait erat dengan ketersediaan hara bagi tanaman dan menjadi indikator


(34)

kesuburan tanah. Pada ketiga pola agroforestri nilai KTK tergolong sangat rendah yaitu kurang dari 5me/100g (Irawan 2012). Nilai KTK yang rendah berarti menunjukkan kemampuan tanah dalam menjerap dan menyediakan unsur hara kurang baik (Hardjowigeno 2003). Pemberian pupuk organik yang lebih banyak berupa pupuk kandang dari kotoran ayam pada pola AF2, secara kimiawi dapat meningkatkan KTK tanah. Namun tanah dengan KTK tinggi jika memiliki kejenuhan basa yang rendah, maka dapat mengurangi kesuburan tanah (Hardjowigeno 2003).

Nilai Kejenuhan Basa (KB) tanah merupakan persentase dari total KTK yang diduduki oleh kation-kation basa, yaitu Ca, Mg, Na, dan K. KB berbanding lurus dengan pH tanah, makin rendah pH, maka KB juga makin rendah seperti yang ditunjukkan pola AF2. Nilai KB pada ketiga pola agroforestri tergolong sedang hingga sangat tinggi. Nilai KB tertinggi ditunjukkan pada pola AF3 yang berarti tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno 2003).

5.5 Pengelolaan Lahan dan Pemeliharaan Tanaman

Pertumbuhan tanaman pokok sengon juga sangat bergantung pada sistem pengelolaan lahan dan pemeliharaannya. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi: penyiangan, pendangiran, pemangkasan, dan pemupukan. Penyiangan gulma pada pola AF1 dan AF2 dilakukan setiap 2 minggu sekali bersamaan dengan kegiatan pendangiran. Pada pola AF3, penyiangan dilakukan setiap 3 minggu sekali bersamaan dengan pendangiran. Menurut Anino (1997) diacu dalam Krisnawati (2011), selama satu tahun pertama pohon harusbersih dari alang-alang paling tidak 2 m di sekitar pohon. Penyiangan dilakukan untuk memberikan ruang tumbuh pada tanaman pokok yang lebih baik dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan persen jadi tanaman, serta untuk memperkecil persaingan dalam hal cahaya, kelembaban tanah dan nutrisi pada tanaman pokok (Hartini dan Anna 2010).

Secara umum kegiatan pendangiran sering dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiangan dan pemupukan. Pendangiran merupakan kegiatan penggemburan tanah di sekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah (aerasi tanah) untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Manfaat utama dari


(35)

pengolahan tanah adalah tersebarnya bahan organik dan pupuk yang lebih merata, sehingga ketersediaan bahan organik bagi mikroorganisme akan meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas dan jumlah mikroorganisme (Anas dan Bangun 2010). Selain itu, pengolahan tanah juga dapat meningkatkan akumulasi karbon yang larut dalam air maupun karbon total dan juga meningkatkan senyawa N yang dapat dimineralisasi pada lapisan 0‒7,5 cm.

Pemangkasan cabang merupakan kegiatan pembuangan cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang panjang yang bebas dari mata kayu (Hartini dan Anna 2010). Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh pasokan cahaya untuk mendukung pertumbuhan tanaman tumpang sari. Pemangkasan cabang umumnya dilakukan pada tanaman masih muda. Menurut Siahaya (2007) untuk setiap kali pemangkasan digunakan intensitas 30%, yaitu tajuk yang dibuang sebesar 30%. Pemangkasan tajuk yang dilakukan pada AF1 yaitu dengan menyisakan 4‒5 ranting tiap pohon, untuk AF2 2‒3 ranting, dan pola AF3 3‒4 ranting per pohon.

Pemangkasan tajuk berhubungan dengan nilai Live Crown ratio (LCR). Nilai LCR yang disajikan pada Tabel 3, menggambarkan sisa tajuk yang terdapat pada pohon. Bedasarkan data pola AF2 mempunyai nilai LCR yang terendah. Hal ini dapat dijadikan salah satu faktor pembatas pertumbuhan pada pola AF2, karena proses fotosintesis berjalan kurang optimal.

Kegiatan pemupukan yang dilakukan pada masing-masing pola agroforestri umumnya hampir sama, termasuk dalam hal jenis pupuknya, namun untuk frekuensi dan dosisnya ada sedikit perbedaan. Pemupukan hanya dilakukan pada tanaman semusim saja, sedangkan tanaman pokok sengon hanya mengandalkan asupan nutrisi melalui pemupukan yang diberikan pada tanaman semusim. Nutrisi yang diberikan pada tanaman semusim akan mengalami leaching ke bagian bawah dan akan ditampung oleh jaringan di bawahnya, dalam hal ini adalah akar dari tanaman pokok sengon. Pupuk kandang hanya diberikan sekali pada saat penanaman tanaman semusim. Kegiatan pemupukan pada masing-masing pola agroforestri disajikan pada Tabel 7.


(36)

Tabel 7 Kegiatan pemupukan pada 3 (tiga) pola agroforestri di RPH Jatirejo No Pola

Agroforestri

Jenis

Tanaman Jenis Pupuk Dosis Frekwensi 1 AF1 Jagung Urea 20 kg/1000 m2 1 x (umur

15 hari) Urea 20 kg/1000 m2 1 x (umur

40 hari) Kompos 90 kg/1000 m2 1 x (awal

tanam) Cabai ZA+Phonska+Puradam (4 kg + 3 kg + 0,5

kg)/1000 m2

1 x (umur 20 hari) Burat + ZA + Puradam

+ Phonska

(1kg + 10kg + 1kg + 5 kg)/1000 m2

1 x (umur 2 bulan)

Pupuk daun 1 botol Setiap

minggu 2 AF2 Jagung Kompos ayam 180 kg/1000 m2 1 x (awal

tanam) Redumil+Puradam+ZA (2 bungkus+0,5 kg

+ 2,5 kg)/1000 m2

1 x (awal tanam)

Urea 25 kg/1000 m2 1 x (umur

15 hari)

Urea 30 kg/1000 m2 1 x (umur

36 hari) 3 AF3 Jagung Kompos ayam 150 kg/1000m2 1 x (awal

tanam) Phonska + ZA 3kg + 4 kg 2 x (umur

25; 30 hari) Phonska ± 5 gr/batang 1 x (umur

45 hari) Cabai Kompos ayam 150 kg/1000 m2 1 x (awal

tanam) ZA + Phonska (4kg+3kg)/1000m2 3 x (umur

1,5; 2,5; 3 bulan) ZA + TSP + KCl +

Pupuk organik

1 : 2 : 1: 1 1 x (di atas umur 3 bulan) Tetes 60 liter/larik 3 x (tiap

1,5 bulan) HNO (Pupuk daun) 1 botol Tiap 2

minggu (mulai umur 20 hari) Nanas Tetes 60 liter/larik 4 x (tiap 3

bulan) Pola AF3 mendapat perlakuan pemupukan yang lebih intensif dibandingkan dengan pola agroforestri lainnya. Adanya penambahan pupuk tetes


(37)

(limbah pengolahan tebu) pada pola ini juga dapat meningkatkan aktivitas mikroba dalam tanah. Tetes tebu merupakan sumber karbon dan nitrogen. Tetes tebu berfungsi untuk menyuburkan mikroba yang ada di dalam tanah, karena dalam tetes tebu terdapat nutrisi bagi mikroba (Martinsari et al. 2010). Selain itu, tetes tebu juga mengandung karbohidrat dalam bentuk gula yang tinggi (64%) disertai berbagai nutrien yang diperlukan jasad renik. Untuk pola ini, penggarap juga memberikan tetes ke tanaman pokok sengon bersamaan dengan nanas.

Adanya pemberian bahan organik yang lebih banyak pada pola AF2 berupa pupuk kandang, secara kimiawi dapat meningkatkan KTK tanah. Namun kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak terlalu tinggi, maka memerlukan kapasitas pemberian yang lebih besar, sehingga kurang ekonomis. Selain itu, pupuk organik juga mudah terurai habis di alam dan respon tanaman lebih lambat dibandingkan dengan pupuk buatan. Jenis pupuk organik seperti pupuk kandang, memiliki beberapa kelebihan dalam memperbaiki sifat-sifat fisik tanah antara lain permeabilitas tanah, porositas tanah, struktur tanah, daya menahan air dan lain sebagainya.


(38)

6.1Kesimpulan

1. Semakin banyak kombinasi tanaman semusim, maka masukan unsur hara melalui kegiatan pemupukan akan semakin tinggi sehingga ketersediaan nutrisi bagi tanaman pokok dapat tercukupi

2. Kombinasi tanaman yang lebih banyak pada sistem agroforestri di RPH Jatirejo menunjukkan pertumbuhan tanaman pokok yang lebih baik dibanding dengan kombinasi tanaman yang lebih sedikit.

3. Pertumbuhan tanaman pokok pada pola AF 2 yang terhambat diduga dari rendahnya rata-rata panjang dan lebar tajuk serta LCR sehingga dapat mengurangi luasan penyerapan cahaya matahari untuk fotosintesis, serta kondisi pH tanah yang rendah memungkinkan ditemukan banyak ion-ion Al yang memfiksasi P sehingga unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman. 6.2 Saran

1. Kegiatan pemupukan pada tanaman tumpang sari perlu ditingkatkan agar tanaman pokok yang tidak dipupuk dapat memperoleh asupan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhannya.

2. Budidaya tanaman tumpang sari yang berpengaruh negatif pada pertumbuhan tanaman pokok seperti tanaman singkong sebaiknya dilakukan pergiliran tanaman dan pemupukan yang intensif agar tidak terjadi persaingan yang berdampak negatif.


(39)

DI RPH JATIREJO, KECAMATAN PUNCU,

KABUPATEN KEDIRI

REALITA DENIK PURWOHANDINI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(40)

[Anonim]. 2011. Pengaruh cahaya terhadap diameter dan tinggi tanaman. [terhubung berkala]. http://www.silvikultur.com/pengaruh_cahaya_ terhadap_diameter_tinggi.html [5 Mei 2012].

Anas I, Bangun P. 2010. Mikroorganisme tanah dari budidaya pertanian olah tanah minimum. [terhubung berkala]. http://repository.ipb.ac.id/bitstream /handle/23456789/25568/Iswandi%20Anas_Aat%%286%20hal%29.pdf?s equence=1 [2 Mei 2012].

Andayani W. 2005. Ekonomi Agroforestri. Yogyakarta: Debut Press.

Atmosuseno BS. 1999. Budidaya, Kegunaan dan Prospek Sengon. Jakarta: Penebar Swadaya.

Badan Kerjasama Ilmu Tanah BKSPTN. 1991. Kesuburan Tanah. Palembang: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan.

Desa Gadungan. 2010. Profil Desa Tahun 2010. Kediri: Desa Gadungan, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri

Dirjen Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial. 2011. BPDAS Serayu Opak Progo. [terhubung berkala]. http://bpdasserayuopakprogo.dephut.go.id/ infodas/konsep-das [5 Mei 2012].

Foth HD. 1984. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Purbayanti ED, Lukiwati DR, Trimulatsih R, penerjemah; Hudoyo SAB, editor. Yogyakarta: UGM Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Soil Science.

Gardner FP, Pearce RB, Mitchel RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo H, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Physiology of Crop Plants.

Hafif B. 2011. Peningkatan kualitas tanah masam dan hasil ubi kayu dengan brachiaria, mikoriza, dan kompos jerami padi diperkaya kalium [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hairiah K, van Noorwijk M, Suprayogo D. 2002. Interaksi antara pohon-tanah tanaman semusim: Kunci keberhasilan kegagalan dalam sistem agroforestri. Di dalam: Hairiah K, Widianto, Utami SR, Lusiana B, editor. Wanulacs: Model Simulasi Untuk Sistem Agroforestri. Bogor: International Center for Research in Agroforestry. Hlm. 19-42.

Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestry. Bahan Ajaran 1. Bogor : World Agroforestry Centre (ICRAF).

Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.


(41)

Hartini KS, Anna N. 2010. Modul pemeliharaan hutan. [terhubung berkala]. http://bpphp2.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article &id=156:pemeliharaan-hutan&catid=105:diklatpembinaanhutan&Utemid =159 [20 Mei 2012].

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Irawan F. 2012. Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Bagian II). [terhubung berkala]. http://www.scribd.com/doc/34148906/60/Kriteria-Penilaian-Sifat -Kimia-TanahBagian-II [10 Mei 2012].

Irwanto. 2008. Peningkatan produktivitas lahan dengan sistem agroforestri. [terhubung berkala]. http://indonesiaforest.net/agroforestri_irwanto.pdf [22 Apr 2012].

Isphandi A. 2003. Pemupukan P, K dan waktu pemberian pupuk K pada tanaman ubikayu lahan kering vertisol. Jurnal Ilmu Pertanian 10(2):35-50.

Isphandi A, Munip A. 2005. Efektifitas pengapuran terhadap serapana hara dan produksi beberapa klon ubi kayu di lahan kering masam. Jurnal Ilmu Pertanian 12:125-139.

Krisnawati H, Varis E, Kallio M, Kanninen M. 2011. Paraserienthes falcataria (L.) Nielsen: ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor: CIFOR.

Kurniawansyah R. 2012. Sisa hutan alam Indonesia tinggal 60 juta hektare. [terhubung berkala]. http://www.mediaindonesia.com/read/2012/04/12/ 312428/89/14/Sisa-HutanAlamIndonesia-Tinggal-60-Juta Hektare [25 April 2012].

Mahendra F. 2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Matatula J. 2009. Upaya rehabilitasi lahan kritis dengan penerapan teknologi

agroforestry sistem silvopastoral di Desa Oebola Kecamatan Fatuleu Kabupaten Kupang. Inotek 13(1):63-74.

Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.

Martinsari T, Wijayanti YW, Purwanti E. 2010. Optimalisasi fermentasi urine sapi dengan aditif tetes tebu (Molasses) untuk menghasilkan pupuk organic cair yang berkualitas tinggi. [terhubung berkala]. Kemahasiswaan.um.ac.id /.../PKM-GT10UM-Tri-Optimalisasi-Freme [2 Mei 2012].

Priyadarshini R. 2011. Keragaman vegetasi, penutupan tajuk, dan pengaruhnya terhadap populasi cacing tanah dan infiltrasi pada agroforestri kopi. Berk Penel Hayati Edisi Khusus 5F:25-28.

Pulungan SI, Mardisadora O, Nurmansyah, Madudin D, Herwauti TE. 2008. Pengaruh aplikasi foliar metanol terhadap peningkatan pertumbuhan vegetate dan generate tanaman cabai (Capsicum annuum L.). [terhubung


(42)

berkala]. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/36574/ pengaruh%20aplikasi%20foliar%20metanol_abstract.pdf [10 Mei 2012]. Purnomo D. 2005. Tanggapan varietas tanaman jagung terhadap irradiasi rendah.

Agrosains 7(1):86-93.

[Puslitbang Tanah] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah. 2004. Cara pengambilan contoh tanah untuk analisis (uji tanah). [terhubung berkala]. http://www.soilclimate.ir.id/uii_tanah.htm [27 Nov 2011].

Rahayu S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan di Indonesia, Gejala, Penyebab dan Teknik Pengendaliannya. Yogyakarta: Kanisius.

Rifai M. 2010. Pertumbuhan tanaman pokok gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada beberapa pola agroforestri di Desa Cikanyere, Kecamatan Sukares-mi, Kabupaten Cianjur [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Santoso HB. 1992. Budidaya Sengon. Yogyakarta: Kanisius.

[SPH III Jombang] Seksi Perencanaan Hutan III Jombang. 2004. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Kelas Perusahaan Sengon. Jombang: Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

Siahaya L. 2007. Penanaman dan pemeliharaan. [terhubung berkala]. http://indonesiaforest.webs.com/tanam_lady.pdf [10 Mei 2012].

Siswanto BE. 2008. Pengaruh bentuk dan ukuran plot serta intensitas penarikan contoh terhadap kesalah dugaan dalam inventarisasi hutan tanaman. Mitra Hutan Tanaman 3(3):163-168.

Sitompul SM. 2003. Radiasi dalam sistem agroforestri. Di dalam: Hairiah K, Widianto, Utami SR, Lusiana B, editor. Wanulacs : Model Simulasi Untuk Sistem Agroforestri. Bogor: International Center for Research in Agroforestry. Hlm. 79-103.

Subandi, Widodo Y, Saleh N, Santoso LJ. 2006. Inovasi teknologi produksi ubi kayu untuk agroindustri dan ketahanan pangan.[terhubung berkala]. http://balitkabi.bimasakti.malang.te.net.id/PDF/06-Subandi.pdf [10 Mei 2012].

Sudaryono. 2009. Tingkat kesuburan tanah ultisol pada lahan pertambangan batubara Sangatta, Kalimantan Timur. J Tek Ling 10(3):337-346.

Supriyanto, Irawan US. 2001. Teknik Pengukuran Tajuk dan Pembukaan Tajuk Tegakan dengan Menggunakan Spherical Densiometer. Bogor: Laboratorium Silvikultur SEAMEO BIOTROP.

Wijayanto N, Rifa’i M. 2010. Pertumbuhan tanaman pokok gmelina (Gmelina arborea Roxb.) pada beberapa pola agroforestri di Desa Cikanyere, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. Jurnal Silvikultur Tropika 01(1): 29-34.


(43)

Yudilastari T, Sujiprihati S, Syukur M. 2010. Evaluasi Hasil cabai persilangan half diallel dan pendugaan parameter genetik populasinya. [terhubung berkala]. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/36754 [27 Jun 2012].


(44)

DI RPH JATIREJO, KECAMATAN PUNCU,

KABUPATEN KEDIRI

REALITA DENIK PURWOHANDINI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(45)

DI RPH JATIREJO, KECAMATAN PUNCU,

KABUPATEN KEDIRI

REALITA DENIK PURWOHANDINI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(46)

iii

RINGKASAN

REALITA DENIK PURWOHANDINI. Pertumbuhan Tanaman Pokok Sengon pada Beberapa Pola Agroforestri di RPH Jatirejo, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.

Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diterapkan oleh RPH Jatirejo dalam rangka menekan laju kerusakan hutan serta konflik lahan yang sering terjadi antara masyarakat dengan pihak perhutani. Pola agroforestri yang berbeda memungkinkan terjadinya perbedaan respon bagi pertumbuhan tanaman pokok. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kombinasi pola agroforestri dan sistem pengelolaan lahan terhadap pertumbuhan tanaman pokok sengon (Paraserianthes falcataria).

Kombinasi tanaman pada masing-masing pola agroforestri meliputi: pola AF1 (sengon, mindi, cabai, jagung), AF2 (sengon, mindi, jagung, singkong), dan AF3 (sengon, mindi, cabai, jagung, nanas). Pola AF3 memiliki rata-rata pertumbuhan yang paling baik, walaupun memiliki kombinasi tanaman yang paling banyak. Hal ini diduga dari kegiatan pemupukan yang lebih intensif.

Pola AF2 menunjukkan rata-rata pertumbuhan paling rendah. Pada pola ini yang mendapat perlakuan pupuk hanya tanaman jagung, sedangkan tanaman singkong memiliki sifat yang rakus terhadap unsur hara terutama unsur P dan K, sehingga terjadi defisiensi unsur tersebut bagi tanaman pokok.

Persentase penutupan tajuk, rata-rata lebar dan panjang tajuk, serta LCR pada pola AF2 menunjukkan nilai terkecil. Hal ini dapat mengurangi luasan penyerapan cahaya matahari untuk fotosintesis yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman pokok.

Pada tanah dengan pH rendah banyak ditemukan unsur Al yang mengikat unsur P, sehingga P tidak dapat diserap oleh tanaman. Hal ini dapat terjadi pada pola AF2. Walaupun kandungan P lebih tinggi dibanding pola AF1, namun apabila tanahnya lebih masam, maka unsur P makin sulit diserap tanaman. Nilai Kejenuhan Basa (KB) tertinggi pada pola AF3 menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur.


(1)

(2)

44

Lampiran 1 Layout pola agroforestri di RPH Jatirejo

Layout pola agroforestri 1


(3)

45

Lanjutan Lampiran 1


(4)

(5)

iii

RINGKASAN

REALITA DENIK PURWOHANDINI. Pertumbuhan Tanaman Pokok Sengon pada Beberapa Pola Agroforestri di RPH Jatirejo, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.

Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diterapkan oleh RPH Jatirejo dalam rangka menekan laju kerusakan hutan serta konflik lahan yang sering terjadi antara masyarakat dengan pihak perhutani. Pola agroforestri yang berbeda memungkinkan terjadinya perbedaan respon bagi pertumbuhan tanaman pokok. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kombinasi pola agroforestri dan sistem pengelolaan lahan terhadap pertumbuhan tanaman pokok sengon (Paraserianthes falcataria).

Kombinasi tanaman pada masing-masing pola agroforestri meliputi: pola AF1 (sengon, mindi, cabai, jagung), AF2 (sengon, mindi, jagung, singkong), dan AF3 (sengon, mindi, cabai, jagung, nanas). Pola AF3 memiliki rata-rata pertumbuhan yang paling baik, walaupun memiliki kombinasi tanaman yang paling banyak. Hal ini diduga dari kegiatan pemupukan yang lebih intensif.

Pola AF2 menunjukkan rata-rata pertumbuhan paling rendah. Pada pola ini yang mendapat perlakuan pupuk hanya tanaman jagung, sedangkan tanaman singkong memiliki sifat yang rakus terhadap unsur hara terutama unsur P dan K, sehingga terjadi defisiensi unsur tersebut bagi tanaman pokok.

Persentase penutupan tajuk, rata-rata lebar dan panjang tajuk, serta LCR pada pola AF2 menunjukkan nilai terkecil. Hal ini dapat mengurangi luasan penyerapan cahaya matahari untuk fotosintesis yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman pokok.

Pada tanah dengan pH rendah banyak ditemukan unsur Al yang mengikat unsur P, sehingga P tidak dapat diserap oleh tanaman. Hal ini dapat terjadi pada pola AF2. Walaupun kandungan P lebih tinggi dibanding pola AF1, namun apabila tanahnya lebih masam, maka unsur P makin sulit diserap tanaman. Nilai Kejenuhan Basa (KB) tertinggi pada pola AF3 menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur.


(6)

iv

SUMMARY

REALITA DENIK PURWOHANDINI. The growth of sengon on some patterns in Agroforestri Subdistrict, RPH Jatirejo, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri. Supervised by NURHENI WIJAYANTO.

Agroforestri is one of land use system that have applied by RPH Jatirejo in order to decrease the rate of damage forest and land conflict that often occurring between the society with Perhutani. Different pattern of agroforestry system can make different response for staple crops growth. The goal of this researches are to review the combined effect of agroforestry pattern and land management system to the growth of sengon (Paraserianthes falcataria).

A combination of plants on each pattern agroforestri includes: pattern AF1 (sengon, mindi, chilli, corn), AF2 (sengon, mindi, corn, cassava), and AF3 Saturday (sengon, mindi, chili, corn, pineapple). AF3 pattern has the best average growth, although have more combination of plants. It suggest from more intensive activities of fertilizing.

Pattern of AF2 show the lowest average growth. In this pattern just corn that get fertilizer treatment, cassava plants while having a voracious properties of nutrient elements in particular elements of P and K so that element for staple crops could be decrease.

The percentage of the closing header, width and length average headers, as well as LCR at the smallest value shows the pattern of AF2. It can reduce the absorption of sunlight to expressing the photosynthesis which can inhibit the growth of staple crops.

On the ground with low pH found elements Al that will binding P element, so P can’t be absorbed by the plants. This can occur in AF2 pattern. Although AF2 have P higher than AF1, but if the soil is more sour, P elements will be absorbed more difficult by the plants. The highest overfullness basa (KB) on the AF3 pattern shows that the land on AF3 pattern is not yet occure many land leaching and show fertile land.