BAB IV PENERAPAN PERLINDUNGAN HUKUM MENGENAI PERJANJIAN
ANTARA NASABAH DENGAN BANK MENGENAI SIMPANAN DALAM PERBANKAN
PADA BANK BRI CABANG PUTRI HIJAU MEDAN
A. Bentuk Perjanjian antara Bank dengan Nasabah mengenai Simpanan dalam praktek
Perbankan[
Sebelum membahas tentang bentuk perjanjian antara bank dengan nasabah mengenai simpanan dalam praktek perbankan, saya ingin memperkenalkan terlebih dahulu profil Bank
Rakyat Indonesia BRI. Bank Rakyat Indonesia BRI adalah salah satu bank milik pemerintah yang terbesar di Indonesia. Pada awal dibentuknya, bank ini bernama Hulpen Spaarbank der
Inlandsche Bestuurs Ambtenaren atau Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi yang berkebangsaan Indonesia pribumi. Setelah masa kemerdekaan, bank ini menjadi bank pertama
milik pemerintah. Hal itu dikuatkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1946 Pasal 1 yang menerangkan bahwa bank yang didirikan oleh Raden Aria Wirjaatmadja ini
menjadi bank milik pemerintah. Pada 1948, terjadi perang kemerdekaan yang mengakibatkan kegiatan Bank Rakyat Indonesia terhenti dan mulai aktif kembali beroperasi setelah Perjanjian
Renville pada 1949. Beroperasinya kembali bank ini diikuti dengan perubahan nama menjadi Bank Rakyat Indonesia Serikat. Pada waktu itu, melalui Perpu Nomor 41 Tahun 1960,
dibentuk Bank Koperasi Tani dan Nelayan BKTN yang merupkan peleburan dari BRI, Bank Tani Nelayan, dan Nederlandsche Maatschappij NHM. Kemudian, berdasarkan Penetapan
Presiden Penpres Nomor 9 Tahun 1965,BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani dan Nelayan. Setelah berjalan selama satu
bulan,keluarlah Penpres Nomor 17 Tahun 1965 mengenai pembentukan Bank tunggaldengan
68
nama Bank Negara Indonesia. Dalam ketentuan baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani dan Nelayan eks BKTN disatukan dengan nama Bank Negara Indonesia Unit II bidang Rural.
Sementara itu, NHM menjadi Bank Negara Indonesia unit bidang Ekspor Impor Exim. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 mengenai Undang-Undang Pokok
Perbankan dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 mengenai Undang-Undang Bank Sentral, fungsi Bank Indonesia kembali menjadi Bank Sentral dan Bank Negara Indonesia Unit II
Bidang Rular dan Ekspor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua bank, yaitu Bank Rakyat Indonesia dan Bank Ekspor Impor Indonesia. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1968, menetapkan kembali tugas-tugas pokok Bank Rakyat Indonesia sebagai bank umum. Sejak 1 Agustus 1992, berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun
1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992, status Bank Rakyat Indonesia berubah menjadi PT. Bank Rakyat Indonesia Persero. Meskipun mengalami perubahan status,
kepemilikan masih tetap 100 persen berada di tangan Pemerintah. Seiring dengan perkembangan dunia perbankan Indonesia, Bank Rakyat Indonesia pun
berkembang semakin pesat. Bank Rakyat Indonesia pun telah tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Selain tersebar di seluruh pelosok Indonesia, Bank Rakyat Indonesia pun memiliki
perwakilan di luar negeri, seperti Kantor Perwakilan Hongkong. Visi dan Misi BRI
Inilah visi dan misi yang ingin dicapai oleh BRI. Visi : Menjadi bank komersial terkemuka yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah.
Misi : 1.
Melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan mengutamakan pelayanan kepada usaha mikro, kecil dan menengah untuk menunjang peningkatan ekonomi masyarakat.
2. Memberikan pelayanan prima kepada nasabah melalui jaringan kerja yang tersebar
luas dan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional dengan melaksanakan praktikgood corporate governance.
3. Memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
69
Berkaitan dengan visi dari bank BRI yaitu menjadi bank komersial yang terkemuka yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah, maka para nasabah harus mengetahui apa yang
menjadi program-program atau ketentuan yang diberikan pihak Bank BRI termasuk mengenai perjanjian simpanan.
Perjanjian adalah suatu persetujuan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih Pasal 1313 KUHPerdata. Perjanjian yang
dimaksud di atas adalah pengertian perjanjian yang masih dalam arti yang masih sangat luas, karena pengertian tersebut hanya mengenai perjanjian sepihak dan tidak menyangkut mengikatnya
kedua belah pihak. Perjanjian hendaknya menyebutkan bahwa kedua belah pihak harus saling mengikat,
sehingga timbul suatu hubungan hukum diantara para pihak. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagi Undang-Undang bila terjadi pelanggaran isi perjanjian. Pada hal perjanjian,
KUH Perdata hanya bersifat sebagai pelengkap dan bukan sebagai hukum yang utama. Syarat-syarat dalam suatu perjanjian dibagi dalam dua 2 dua kelompok, yaitu :
1. Syarat subyektif
Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat
perjanjian, yang meliputi :
69
Wawancara dengan Raskita Sinulingga Priority Banking Officer BRI18 Juni 2012.
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
2. Syarat obyektif
Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu sendiri, yang meliputi :
a. Suatu hal tertentu,
b. Suatu causa atau sebab yang halal.
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak
yang tidak cakap. Jadi perjanjian yang telah dibuat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Apabila
syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian.
Dengan demikian apabila dalam pembuatan perjanjian, salah satu syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut belum bisa dikatakan sah, syarat-syarat
tersebut pun berlaku dalam pembuatan suatu kontrak. Dalam pembuatan suatu perjanjian atau kontrak dikenal salah satu asas, yaitu asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan
berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan suatu pemahaman bahwa setiap orang dapat melakukan suatu kontrak dengan siapa pun dan untuk hal apapun. Pasal 1338 ayat 1 memberikan
dasar bagi para pihak akan adanya asas kebebasan berkontrak. Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. R. Subekti menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan.
Perjanjian itu terdiri dari :
70
a. Ada pihak-pihak
Sedikitnya dua orang atau lebih, pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat manusia atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum seperti
yang di tetapkan oleh Undang-undang. b.
Ada persetujuan antara pihak-pihak Persetujuan antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap bukan merupakan suatu perundingan.
Dalam perundingan umumnya dibicarakan mengenai syarat-syarat dan obyek perjanjian maka timbulah persetujuan.
c. Ada prestasi yang akan dilaksanakan
Prestasi merupakan kewajiban yang harus di penuhi oleh pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban untuk membayar harga barang dan penjual
berkewajiban untuk menyerahkan barang. d.
Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan dalam Undang-undang yang menyebutkan
bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Dari syarat-syarat tertentu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok.
70
Abdul Kadir Mohammad, ”Hukum Perikatan”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992, hal. 78.
f. Ada tujuan yang hendak dicapai
Tujuan yang hendak di capai dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri dalam menentukan isi perjanjian meskipun didasarkan atas kebebasan berkontrak akan tetapi tidak
boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang- undang.
Pada umumnya suatu perjanjian tidak terikat kepada bentuk-bentuk tertentu. Para pihak dapat dengan bebas menentukan bentuk perjanjian yang diinginkan sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak. Bentuk yang dapat dipilih oleh para pihak adalah : a.
Perjanjian dalam bentuk lisan; b.
Perjanjian dalam bentuk tertulis. Perjanjian dalam bentuk tertulis lebih sering dipilih sebab memiliki kekuatan pembuktian
yang lebih kuat dari pada bentuk lisan apabila terjadi perselisihan. Untuk perjanjian jenis tertentu, Undang-undang mengharuskan bentuk-bentuk tertentu yang apabila tidak dipenuhi
maka akan mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut. Dalam hal ini, bentuk tertulis tidak hanya berfungsi sebagai alat pembuktian saja, namun juga merupakan syarat untuk adanya
bestaanwaarde perjanjian itu. Bentuk atau jenis perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-
undang, akan tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran pasal dari KUH Perdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya. Perbedaan tersebut dapat
dikelompokkan sebagai berikut : 1.
Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya : jual beli, sewa-menyewa. Dari contoh ini, penulis
menguraikan tentang apa itu jual beli. Jual-beli itu adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dimana pihak yang satu si
penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak lainnya pembeli berjanji untuk membayar harga, yang terdiri atas sejumlah uang sebagai
imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Dari sebutan jual-beli ini tercermin kepada kita memperlihatkan dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan di pihak lain
dinamakan pembeli. Dua perkataan bertimbal balik itu, adalah sesuai dengan istilah Belanda Koop en verkoop yang mengandung pengertian bahwa, pihak yang satu Verkoop
menjual, sedangkan koop adalah membeli. 2.
Perjanjian Sepihak Perjanjian sepihak merupakan kebalikan dari pada perjanjian timbal balik. Perjanjian
sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Contohnya : Perjanjian hibah.
Pasal 1666 KUH Perdata memberikan suatu pengertian bahwa penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma, dan
dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan suatu barang, guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Perjanjian ini juga selalu disebut dengan perjanjian
cuma-cuma. Yang menjadi kriteria perjanjian ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak
atau salah satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
3. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alasan hak yang membebani
Perjanjian cuma-cuma atau percuma adalah perjanjian yang hanya memberi keuntungan pada satu pihak, misalnya: Perjanjian pinjam pakai. Pasal 1740 KUH Perdata
menyebutkan bahwa : Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya, untuk dipakai dengan cuma-cuma
dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya waktu tertentu, akan mengembalikannya kembali. Sedangkan perjanjian atas beban atau
alas hak yang membebani, adalah suatu perjanjian dalam mana terhadap prestasi ini dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, dan antara kedua prestasi
ini ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif imbalan. Misalnya A menyanggupi
memberikan kepada B sejumlah uang, jika B menyerah lepaskan suatu barang tertentu kepada A.
4. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya bahwa perjanjian itu memang ada diatur dan diberi nama oleh undang-undang. Misalnya jual-
beli; sewa-menyewa; perjanjian pertanggungan; pinjam pakai dan lain-lain. Sedangkan perjanjian bernama adalah merupakan suatu perjanjian yang munculnya berdasarkan
praktek sehari-hari. Contohnya : Perjanjian sewa-beli. Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas banyaknya.
Lahirnya perjanjian ini dalam praktek adalah berdasarkan adanya suatu azas kebebasan berkontrak, untuk mengadakan suatu perjanjian atau yang lebih dikenal Party
Otonomie, yang berlaku di dalam hukum perikatan. 5.
Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Untuk berpindahnya hak
milik atas sesuatu yang diperjualbelikan masih dibutuhkan suatu lembaga, yaitu lembaga penyerahan. Pentingnya perbedaan antara perjanjian kebendaan dengan perjanjian obligatoir
adalah untuk mengetahui sejauh mana dalam suatu perjanjian itu telah adanya suatu penyerahan sebagai realisasi perjanjian, dan apakah perjanjian itu sah menurut hukum atau
tidak. 6.
Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian
kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping adanya perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya jual
beli barang bergerak perjanjian penitipan, pinjam pakai. Salah satu contoh uraian di atas yaitu : “Perjanjian penitipan barang, yang tercantum dalam Pasal 1694 KUH Perdata, yang
memberikan seseorang menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya.”
71
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pegawai Bank BRI bentuk perjanjian simpanan menurut Bank BRI terbagi atas :
a. Perjanjian Simpanan Giro
b. Perjanjian Simpanan Deposito
c. Perjanjian Simpanan Tabungan
71
Tan Kamello, Op.Cit.
Syarat-syarat sahnya perjanjian Simpanan tersebut sama saja yaitu berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata, pihak bank akan memberitahukan bagaimana sifat dan bentuk dari masing-
masing perjanjian tersebut kepada nasabah agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat merugikan satu pihak. Oleh sebab itu didalam perjanjian Simpanan harus terlebih dahulu
menjelaskan apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Hal tersebut sangat penting didalam perjanjian simpanan dikarenakan dalam perjanjian simpanan ini yang
dibutuhkan adalah Prinsip Kepercayaan. Pandangan dari pihak Bank hasil wawancara dengan Raskita Sinulingga bahwa
perjanjian simpanan terjadi pada saat nasabah memberikan dana atau uangnya kepada bank untuk disimpan tanpa ada paksaan dan bank akan memberikan formulir mengenai perjanjian
simpanan tersebut yang ditandatangani oleh nasabah dan syarat-syarat atau kewajiban pihak bank dalam menjaga dan melindungi serta memberikan beberapa kemudahan bagi
nasabah memberikan bunga atau kemudahan dalam mengambil dananya kapan saja atau ATM. Bentuk perjanjian simpanan yang diberikan oleh bank yang dapat dipilih oleh nasabah adalah :
a. Perjanjian dalam bentuk tertulis;
Perjanjian dalam bentuk tertulis memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat dari pada bentuk lisan apabila terjadi perselisihan.
Pelaksanaan perjanjian tidak selalu terjadi begitu penandatanganan perjanjian selesai.Untuk melihat lahirnya perjanjian harus melihat kembali kapan terjadinya kata sepakat.
Jadi dengan adanya kata sepakat perjanjian simpanan tersebut sah dan mengikat serta memenuhi unsur konsensualisme ada kata sepakat seperti dimaksud pada pasal 1320 KUHPerdata.
Di sinilah bank dengan nasabah telah tercapai kata sepakat baik berdasarkan teori kepercayaan vertrouwentheorie maupun teori penerimaan ontvangstheorie. Dan sejak saat itu
kedua belah pihak sudah terikat. Perjanjian simpanan secara tertulis hanya formalitas, berfungsi untuk kepentingan pembuktian dan kepentingan administrasi.
72
B. Perlindungan Hak-hak para nasabah mengenai simpanan dalam praktek perbankan