Hubungan konsumsi kopi dengan tekanan darah pada pasien rawat jalan puskesmas Bogor Tengah

(1)

HUBUNGAN KONSUMSI KOPI DENGAN TEKANAN DARAH

PADA PASIEN RAWAT JALAN PUSKESMAS

BOGOR TENGAH

TRI WAHYUNI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

ABSTRAK

TRI WAHYUNI. Hubungan Konsumsi Kopi dengan Tekanan Darah pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas Bogor Tengah. Dibimbing oleh YEKTI HARTATI EFFENDI dan DODIK BRIAWAN.

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari hubungan pola konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan Puskesmas Bogor Tengah. Penelitian ini menggunakan desain Case Control dengan perbandingan kasus dan kontrol adalah 1:1 dengan jumlah keseluruhan 160 contoh. Contoh kontrol yang memiliki tekanan darah <120/<80 mmHg, sedangkan contoh kasus yang memiliki tekanan darah >140/>90 mmHg berdasarkan diagnosa dokter minimal 1 bulan terakhir. Data pola konsumsi kopi diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner berisi 15 pertanyaan. Kebiasaan minum kopi contoh kasus berkurang setelah didiagnosa hipertensi dan secara statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna (p<0,05). Konsumsi kopi lebih dari 7 cangkir/minggu secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan hipertensi (OR=0,677; 95% CI: 0,333–1,378) (p>0,05).

Kata kunci : hipertensi, kasus kontrol, kopi

ABSTRACT

TRI WAHYUNI. The Relationship between Coffee Consumption and Blood Pressure in the Outpatient at Bogor Tengah Community Health Center. Supervised by YEKTI HARTATI EFFENDI and DODIK BRIAWAN.

The objective of this research was to study the relationship pattern of coffee consumption with the incidence of hypertension in outpatient Bogor Tengah Community Health Center. The design of this study was Case Control in the ratio of cases and controls were 1:1 with a total of 160 subjects. The control subjects were defined who had blood pressure ≤120/≤80 mmHg, while the cases subjects had blood pressure ≥140/≥90 mmHg based on the doctor's diagnosis at least 1 month previously. Pattern coffee consumption data was collected through interviews using a questionnaire containing 15 questions. The habit of drinking coffee in the case group decreased after being diagnosed hypertension and showed a statistically significant difference (p<0,05). Coffee consumption more than 7 cups per week there is not statistically significant with the hypertension (OR=0,677; 95% CI: 0,333–1,378) (p>0,05).


(3)

RINGKASAN

TRI WAHYUNI. Hubungan Konsumsi Kopi dengan Tekanan Darah Pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas Bogor Tengah. Dibimbing oleh YEKTI HARTATI EFFENDI dan DODIK BRIAWAN.

Konsumsi kopi sering dikaitkan dengan sejumlah faktor risiko penyakit jantung koroner, termasuk meningkatkan tekanan darah dan kadar kolesterol darah (Mattioli 2007). Adanya hubungan antara konsumsi kopi dan tekanan darah pertama kali dilaporkan 75 tahun yang lalu, namun hingga kini masih menjadi kontroversial (Zhang et al. 2011).

Tujuan umum penelitian adalah untuk mempelajari hubungan pola konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan Puskesmas Bogor Tengah. Tujuan khusus penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi 1) karakteristik contoh yang meliputi umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, berat badan, tinggi badan, dan status gizi secara antropomeri; 2) tekanan darah contoh serta riwayat penyakit keluarga dan contoh yang terkait dengan tekanan darah; 3) pola konsumsi kopi contoh yang meliputi jenis, frekuensi, jumlah, serta waktu mengkonsumsi kopi. (2) Menganalisis hubungan frekuensi konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi.

Desain penelitian yang digunakan adalah non eksperimen dengan rancangan Case Control Study (perbandingan kasus dan kontrol 1:1). Lokasi penelitian di Puskesmas Bogor Tengah. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei–Juni 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan Puskesmas Bogor Tengah berjumlah 5743 orang. Contoh adalah pasien rawat jalan Puskesmas Bogor Tengah dengan kriteria usia 25–60 tahun, berjenis kelamin laki-laki dan/atau perempuan, tidak sedang hamil bagi calon contoh perempuan, memiliki tekanan darah <120/<80 mmHg untuk contoh kelompok kontrol, sedangkan contoh kelompok kasus memiliki tekanan darah >140/>90 mmHg berdasarkan diagnosa dokter minimal satu bulan terakhir. Penarikan contoh dilakukan selama 2 bulan dan didapatkan calon contoh kontrol yang mememenuhi kriteria sebanyak 100 orang namun yang bersedia menjadi contoh adalah 90 orang. Sedangkan calon contoh kelompok kasus yang memenuhi kriteria sebanyak 85 orang namun yang bersedia menjadi contoh adalah 80 orang. Maka ditetapkan 80 contoh kasus dan 80 contoh kontrol, sehingga total contoh dalam penelitian ini adalah 160 orang. Calon contoh yang bersedia ikut dalam penelitian harus menandatangani formulir informed consent setelah mendapat penjelasan tentang penelitian.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan), status gizi dengan menggunakan data berat badan dan tinggi badan, pola konsumsi kopi (jenis, frekuensi, waktu dan jumlah), riwayat penyakit dan tekanan darah. Data karakteristik contoh, riwayat penyakit contoh dan keluarga diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data berat badan dan tinggi badan dilakukan dengan cara penimbangan dan pengukuran. Data tekanan darah diperoleh melalui pengukuran oleh tenaga kesehatan. Data pola konsumsi kopi diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner yang berisi 15 pertanyaan tentang jenis kopi, jumlah kopi yang diminum, frekuensi minum kopi dan waktu minum kopi. Data pola konsumsi kopi pada kelompok kasus dilihat sebelum dan setelah contoh didiagnosa hipertensi. Data sekunder berupa profil Puskesmas Bogor Tengah yang diperoleh dari laporan tahunan puskesmas tahun 2011.


(4)

Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16.0 for Windows. Perhitungan odds ratio dengan uji Chi Square digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel, sedangkan uji beda menggunakan Independent sample T-test dan Mann Whitney.

Wilayah kerja Puskesmas Bogor Tengah meliputi 2 kelurahan, yaitu Kelurahan Cibogor dan Kelurahan Pabaton. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Bogor Tengah pada akhir tahun 2011 sebesar 10.233 jiwa dan sebanyak 42,53% penduduk bekerja bekerja sebagai buruh. Puskesmas Bogor Tengah memiliki pelayanan rawat jalan dan rawat inap berupa rumah bersalin 24 jam, serta memiliki fasilitas penunjang yaitu laboratorium klinik, pelayanan radiologi dan pemeriksaan USG ibu hamil. Total kunjungan pasien pada akhir bulan Desember 2011 sebanyak 63.127 orang. dengan rata-rata kunjungan perbulan 5.261 orang. Penyakit hipertensi merupakan peringkat keempat dari lima kelompok besar penyakit di Puskesmas Bogor Tengah.

Secara keseluruhan, separuh contoh memiliki umur berkisar antara 30–49 tahun (50,6%) dan terdapat perbedaan umur contoh pada kelompok kontrol dan kasus (p<0,05). Jenis kelamin contoh sebagian besar adalah perempuan (78,8%). Sebanyak 31,2% contoh kasus menamatkan pendidikannya hingga SMA, sedangkan 43,8% contoh kontrol merupakan tamatan Akademi/Perguruan Tinggi. Pendapatan contoh sebagian besar masuk dalam kategori sedang (75%) dengan rata-rata pendapatan contoh sebesar Rp1.862.220±1.185.304/bulan. Lebih dari separuh contoh kelompok kontrol berstatus gizi normal (56,2%), sedangkan 40% contoh kelompok kasus memiliki status gizi obesitas I, dan terdapat perbedaan status gizi antar kelompok contoh (p<0,05).

Kriteria tekanan darah contoh mengacu pada JNC 7 (The Seventh of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High

Blood Pressure). Lebih dari separuh contoh kasus memiliki tekanan darah kategori

hipertensi tingkat I sebesar 52,5%. Tekanan darah sistolik pada kelompok kasus rata-rata sebesar 157,41±17,21 mmHg dan kelompok kontrol rata-rata sebesar 109,81±10,45 mmHg. Tekanan darah diastolik pada kelompok kasus rata-rata sebesar 94,96±8,09 mmHg dan kelompok kontrol rata-rata sebesar 77,63±5,28 mmHg. Terdapat 8,8% contoh kelompok kasus dan 2,5% contoh kelompok kontrol memiliki riwayat hiperkolesterolemia. Lebih dari separuh contoh kelompok kasus memiliki riwayat hipertensi keluarga sebesar 57,5% sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 36,2%. Riwayat penyakit diabetes mellitus keluarga juga dimiliki contoh kelompok kasus dan kontrol yaitu masing-masing sebesar 15% dan 8,8%.

Kebiasaan mengonsumsi kopi contoh kelompok kasus berkurang setelah didiagnosa hipertensi dari 40% menjadi 30% dan terdapat perbedaan kebiasaan mengonsumsi kopi contoh sebelum dan setelah diagnosa hipertensi (p<0,05). Lebih dari separuh contoh kelompok kontrol memiliki kebisaan mengonsumsi kopi yaitu sebesar 51,2%. Contoh kelompok kontrol dan kasus memiliki kebiasaan mengonsumsi kopi saat pagi hari dengan jenis kopi yang banyak digunakan adalah jenis kopi instan dibandingkan kopi hitam/bubuk. Frekuensi konsumsi kopi 1–7 cangkir/minggu merupakan persentase terbesar yang ditemukan baik pada contoh kelompok kontrol dan kasus. Takaran kopi yang banyak digunakan contoh kelompok kontrol dan kasus dalam satu cangkir kopi yang dikonsumsi adalah 1–3 sendok teh kopi untuk jenis hitam/bubuk dan 1 bungkus untuk jenis kopi instan.

Hasil uji statistik menggunakan Chi Square menunjukkan bahwa frekuensi minum kopi lebih dari 7 cangkir/minggu tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) dengan OR=0,667. Hal ini berarti bahwa konsumsi kopi lebih dari 7 cangkir/minggu menjadi salah satu faktor protektif terhadap kejadian hipertensi, meskipun hubungan tersebut tidak signifikan secara statistik.


(5)

HUBUNGAN KONSUMSI KOPI DENGAN TEKANAN DARAH

PADA PASIEN RAWAT JALAN PUSKESMAS

BOGOR TENGAH

TRI WAHYUNI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari

Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

Judul Skripsi : Hubungan Konsumsi Kopi dengan Tekanan Darah pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas Bogor Tengah

Nama : Tri Wahyuni

NIM : I14096047

Disetujui oleh

dr. Yekti Hartati Effendi S.Ked Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen


(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Hubungan Konsumsi Kopi dengan Tekanan Darah pada Pasien Rawat Jalan Puskesmas Bogor Tengah‖. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan;

2. dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked dan Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku dosen pembimbing skripsi yang telah senantiasa meluangkan waktu, memberikan arahan, masukan, kritikan, dan dukungan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi;

3. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pemandu seminar serta dosen penguji skripsi;

4. Kepala Puskesmas Bogor Tengah yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk dapat melakukan pengumpulan data penelitian;

5. Ifna Fani, Ade Ayu Rahmawati, dan Yulistia Kartika Sari selaku pembahas yang telah memberikan kritik dan saran;

6. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan berupa doa, moril, dan materil kepada penulis;

7. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak yang membutuhkan dan menjadi sumber informasi serta inspirasi bagi penelitian selanjutnya.

Bogor, Maret 2013


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 17 Oktober 1988. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, putri dari pasangan Bapak Romdhani Abdullah dan Ibu Siti Jumiah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 01 Cilacap pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 04 Cilacap hingga tahun 2003. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 03 Cilacap hingga tahun 2006.

Tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Diploma 3 di Politeknik Kesehatan Depkes Bandung pada Program Studi Gizi dan mendapatkan gelar Ahli Madya Gizi pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di Program Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa kegiatan antara lain memberikan konsultasi gizi di Puskesmas Harmoni Sempur pada bulan April 2011, berpartisipasi sebagai panitia Seminar Nasional Gizi ―Lebih Sehat, Muda, dan Menarik dengan Minuman Antioksidan dan Susu‖ yang dilaksanakan pada bulan Juni 2011. Bulan November 2011, penulis menjadi peserta dalam Seminar Nasional ―Strategi Swasembada Garam‖ serta di bulan Januari 2012 menjadi peserta Seminar Nasional ―Pangan dan Gizi Mewujudkan Generasi Sehat, Cerdas, dan Kuat Menuju Indonesia Prima‖.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Kegunaan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kopi ... 4

Kafein ... 5

Efek Kafein ... 6

Polifenol ... 8

Pengolahan Produk Kopi ... 9

Pengolahan Biji Kopi Sangrai dan Kopi Bubuk ... 9

Pengolahan Kopi Rendah Kafein ... 13

Pengolahan Kopi Instan ... 14

Tekanan Darah ... 15

Hipertensi ... 16

Faktor-faktor Berhubungan dengan Hipertensi ... 19

Patofisiologi Hipertensi ... 25

Tanda dan Gejala Klinis ... 26

KERANGKA PEMIKIRAN ... 28

DEFINISI OPERASIONAL ... 30

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat ... 31

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh ... 31

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 32

Pengolahan dan Analisis Data ... 34

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 36

Karakterisktik Contoh ... 37

Tekanan Darah dan Riwayat Penyakit ... 41

Tekanan Darah ... 41

Riwayat Penyakit Contoh dan Keluarga ... 43

Pola Konsumsi Kopi ... 45

Pola Konsumsi Kopi Kelompok Kontrol ... 45

Pola Konsumsi Kopi Kelompok Kasus ... 46

Hubungan Frekuensi Konsumsi Kopi dengan Kejadian Hipertensi ... 49

SIMPULAN DAN SARAN ... 54


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Komponen kimia biji kopi arabika dan kopi robusta sebelum dan setelah

disangrai (% bobot kering) ... 5

2. Kandungan kafein berbagai pangan ... 7

3. Klasifikasi tekanan darah orang dewasa berdasarkan JNC 7 ... 17

4. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) ... 22

5. Jenis dan cara pengumpulan data ... 33

6. Lima kelompok besar penyakit di Kota Bogor dan kunjungan puskemas Bogor Tengah tahun 2011 ... 37

7. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik contoh ... 38

8. Distribusi hasil pengukuran tekanan darah contoh ... 41

9. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit ... 43

10. Pola konsumsi kopi pada kelompok kontrol ... 46

11. Pola konsumsi kopi pada kelompok kasus ... 47

12. Hubungan frekuensi minum kopi dengan kejadian hipertensi ... 49

13. Hubungan frekuensi minum kopi dengan kejadian hipertensi setelah Penyesuaian dengan karakteristik contoh ... 50


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian ... 28 2. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan kriteria JNC 7 (2003) ... 42


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penjelasan informed consent ... 63

2. Formulir informed consent ... 64

3. Kuesioner penelitian ... 65


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kopi menjadi salah satu minuman paling popular dan digemari di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia. Satu cangkir kopi menjadi perangkat simbol yang luar biasa karena tidak hanya berfungsi sebagai penghilang rasa kantuk atau teman begadang, tetapi sebagai kode simbolik yang digunakan oleh sebagian kalangan penikmatnya untuk mengaktualisasikan keberadaan mereka dalam kelompok sosial. Saat ini kopi merupakan komoditas nomor dua yang paling banyak diperdagangkan setelah minyak bumi. Berdasarkan Food and Agriculture Organization (FAO), total 6,7 juta ton kopi diproduksi dalam kurun waktu 1998–2000 dan diperkirakan akan meningkat 1,9% pada tahun 2010 menjadi 7 juta ton. Konsumsi kopi juga diproyeksikan meningkat sebesar 0,4% per tahun dari 6,7 juta ton pada tahun 1998—2000 menjadi 6,9 juta ton pada tahun 2010 (FAO 2003). Indonesia merupakan salah satu produsen kopi terbesar di dunia, tetapi memiliki nilai konsumsi kopi per kapita yang masih relatif rendah yaitu sekitar 70.000 ton/tahun atau 0,5 kg/orang/tahun, jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Finlandia, Norwegia, Denmark, Austria, Jerman, dan Belgia yang telah mencapai sekitar 8—11 kg/orang/tahun (United States Departement of Agriculture/USDA 2000; diacu dalam Widyotomo & Sri 2007).

Disisi lain kopi sering dikaitkan dengan sejumlah faktor risiko penyakit jantung koroner, termasuk meningkatkan tekanan darah dan kadar kolesterol darah. Meskipun dikatakan sebagai penyebab berbagai penyakit khususnya hipertensi, namun berbagai hasil studi epidemiologi mengenai efek konsumsi kopi terhadap tekanan darah tidak konsisten, beberapa menunjukkan hubungan yang positif, ada yang mengatakan tidak ada hubungannya, bahkan beberapa menunjukkan ada hubungan terbalik (Mattioli 2007). Hal ini dapat diduga karena kandungan polifenol terutama chlorogenic acid (CGA) pada kopi yang digunakan sebagai antioksidan yang dapat menurunkan toksik radikal bebas dalam tubuh (Hardinsyah 2009).

Hipertensi menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling umum dan penting di seluruh dunia. Telah diperkirakan bahwa 29% dari populasi orang dewasa di dunia atau sekitar 1,56 miliar orang, akan memiliki hipertensi pada tahun 2025 (Kearney et al. 2005, diacu dalam Engberink et al. 2009). Peningkatan tekanan darah merupakan salah satu faktor risiko untuk penyakit arteri koroner, stroke, penyakit ginjal dan memperpendek harapan hidup. Faktor


(14)

gaya hidup dan kebiasaan makan menjadi peran yang sangat penting dalam hipertensi dan kontrol tekanan darah. Faktor risiko hipertensi antara lain kelebihan asupan garam dan atau alkohol, pola makan, aktivitas fisik dan berat badan yang berlebihan. Faktor konsumsi lainnya yang cukup menarik adalah konsumsi kopi.

Adanya hubungan antara konsumsi kopi dan tekanan darah pertama kali dilaporkan 75 tahun yang lalu, tetapi hingga kini masih menjadi kontroversial (Zhang et al. 2011). Meta-analisis pada 11 percobaan dengan durasi rata-rata 56 hari dan dosis kopi rata-rata 5 cangkir/hari, menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 2,4 mmHg dan diastolik sebesar 1,2 mmHg dibandingkan dengan kelompok kontrol (Jee et al. 1999). Hasil serupa juga ditemukan oleh Noordzij et al. (2005) pada 16 percobaan acak terkontrol selama durasi rata-rata 42 hari, bahwa terdapat peningkatan yang signifikan tekanan darah sistolik dan diastolik masing-masing sebesar 2,04 mmHg (95% CI: 1,10— 2,99) dan 0,73 mmHg (95% CI: 0,14—1,31) pada percobaan kopi dengan dosis rata-rata 725 ml/hari (setara 3—3,5 cangkir/hari ukuran 200 ml) dan pil kafein dengan dosis rata-rata 410 mg/hari. Noordzij et al. (2005) juga menemukan adanya peningkatan tekanan darah lebih besar pada kelompok perlakuan pil kafein [sistolik 4,16 mmHg (2,13—6,20 mmHg) dan diastolik 2,41 mmHg (0,98— 3,84 mmHg)] dibandingkan kelompok perlakuan kopi [sistolik 1,22 mmHg (0,52— 1,92 mmHg) dan diastolik 0,49 mmHg (-0,06—1,04 mmHg)].

Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) (2011) menyatakan bahwa meningkatnya taraf hidup dan pergeseran gaya hidup masyarakat perkotaan di Indonesia telah mendorong terjadinya pergeseran dalam pola konsumsi kopi baik pada kelompok muda maupun golongan tua (AEKI 2011). Minuman kopi dan teh menurut hasil penelitian yang dilakukan di Singapura, merupakan sumber cairan tubuh kedua (32%) setelah air putih (74%) (Hardinsyah et al. 2010). Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai hubungan konsumsi kopi terhadap kejadian hipertensi pada kelompok usia dewasa.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan Puskesmas Bogor Tengah.


(15)

Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh yang meliputi umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, berat badan, tinggi badan, dan status gizi secara antropomeri;

2. Mengidentifikasi tekanan darah contoh serta riwayat penyakit keluarga dan contoh yang terkait dengan tekanan darah;

3. Mengidentifikasi pola konsumsi kopi contoh yang meliputi jenis, frekuensi, waktu serta lamanya mengkonsumsi kopi.

4. Menganalisis hubungan konsumsi kopi (frekuensi minum kopi) dengan kejadian hipertensi.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah informasi kepada masyarakat mengenai hubungan antara konsumsi kopi dengan kejadian hipertensi,sertadapat dijadikan rujukan oleh peneliti selanjutnya khususnya untuk penelitian-penelitian yang relevan.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Kopi (Coffea sp.)

Kopi merupakan biji-bijian dari pohon jenis coffea. Kopi termasuk ke dalam famili Rubiaceae, subfamili Ixoroideae, dan suku Coffeae (Panggabean 2011). Satu pohon kopi dapat menghasilkan sekitar satu kilogram kopi per tahun. Sebanyak lebih dari 25 jenis kopi dengan 4 jenis kopi yang cukup terkenal yaitu kopi arabika (Coffea arabica), kopi liberika (Coffea liberica), kopi robusta (Coffea canephora) dan kopi excelsa (Coffea dewevrei) yang mewakili 70% dari total produksi kopi. Kopi arabika mengusai 70% pasar di dunia dan robusta sebanyak 30%. Kopi arabika memiliki kualitas tinggi dan beraroma harum, sedangkan kopi robusta cenderung berasa asam dan pahit serta kandungan kafein yang lebih tinggi 2–3 kali dari kopi arabika (Muchtadi 2009).

Kopi arabika merupakan kopi tradisional dengan cita rasa terbaik. Kopi ini tumbuh di negara beriklim tropis atau subtropis pada ketinggian 1000—2100 meter diatas permukaan laut dengan suhu rata-rata 16—22ºC Semakin tinggi lokasi perkebunan kopi, maka cita rasa yang dihasilkan oleh biji kopi akan semakin baik. Kopi robusta dapat tumbuh pada ketinggian 400—1.200 meter diatas permukaan laut dengan suhu 20—28ºC. Jenis kopi yang merupakan turunan dari kopi arabika dan robusta adalah kopi luwak asli Indonesia. Kopi luwak merupakan kopi dengan harga jual tertinggi karena proses terbentuknya dan rasanya yang unik (Panggabean 2011).

Kopi terkenal akan kandungan kafeinnya yang tinggi. Satu cangkir kopi setara dengan 120—480 ml dapat mengandung kafein 75 mg—400 mg atau lebih, bergantung pada jenis biji kopi, cara pengolahan kopi dan mempersiapkan minuman kopi (Weinberg & Bonnie 2010). Kafein merupakan senyawa hasil metabolisme sekunder golongan alkaloid dari tanaman kopi dan memiliki rasa yang pahit. Berbagai efek kesehatan dari kopi pada umunya terkait dengan aktivitas kafein didalam tubuh. Cara baik minum kopi adalah dengan meminimalkan deterpen dengan cara minum kopi yang disaring atau kopi instan serta mengkonsumsinya dalam jangka waktu 4—6 jam. Rekomendasi yang aman minum kopi bagi orang sehat adalah 2—3 cangkir (Muchtadi 2009; Purwantyastuti 2009).

Komponen kimia biji kopi berbeda-beda, tergantung tipe kopi, tanah tempat tumbuh dan pengolahan kopi. Struktur kimia yang terpenting terdapat di dalam


(17)

kopi adalah kafein dan caffeol. Komponen biji kopi arabika dan robusta sebelum dan sesudah disangrai dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Komponen kimia biji kopi arabika dan robusta sebelum dan setelah disangrai (% bobot kering)

Komponen

Arabika Robusta

Biji kopi (%)*

Kopi sangrai (%)**

Biji kopi (%)*

Kopi sangrai (%)**

Kafein 0,9—1,2 1,2—1,5 1,6—2,4 2,2—2,4

Air 0—5 0—5

Trigonelline 1,0—1,2 0,5—1,0 0,6—0,75 0,3—0,7

Protein dan Asam Amino

- Protein 11—13 7,5 11—13 7,5

- Asam Amino 2 0 2 0

Gula 6—8 0,3 6—7 0,3

Polisakarida 50—55 38 37—47 42 Oligosakarida 6,0—8,0 0-3,5 5,0—7,0 0—3,5 Asam

- Asam Alifatik 1,5—2,0 1,6 1,5—2,0 1,6

- Asam Quinat 0,8 1,0

- Asam Klorogenat 5,5—8,0 2,5 7,0—10 3,8 Lemak 12,0—18,0 14,5—20,0 9,0—13,0 11,0—16,0 Mineral (sebagai oksida) 3,0—4,2 3,5—4,5 4,0—4,5 4,6—5,0

Sumber : *Clarke & Macrae (1987), diacu dalam Ridwansyah (2003) **Yusianto (1999), diacu dalam Panggabean (2011)

Kafein (1,3,7-Trimetilxantin)

Komponen utama di dalam biji kopi adalah kafein dan caffeol. Kafein merupakan zat perangsang syaraf yang sangat penting, sementara caffeol adalah salah satu zat pembentuk cita rasa dan aroma. Kafein merupakan salah satu jenis alkaloid yang dapat dijumpai secara alami dalam daun, biji, atau buah berbagai tanaman seperti kopi, daun teh, biji coklat yang digunakan untuk produk cokelat dan buah kola yang digunakan untuk produk minuman ringan (soft drink). Selain itu, kafein juga ada pada tanaman guarana yang disebut guaranina dan pada tanaman mate yang disebut mateina (Panggabean 2011).

Kandungan kafein setiap jenis kopi berbeda-beda. Kadar kafein rata-rata pada jenis kopi arabika adalah 1,2%—1,5 % dan pada jenis kopi robusta 2,2%— 2,4%. Kafein mempunyai rasa yang pahit, namun kafein sendiri hanya menyumbang cita rasa pahit sebanyak kurang dari 10%. Kafein bekerja sebagai perangsang saraf pusat, jantung dan pernafasan serta bersifat diuretik ringan. Kafein berbentuk serbuk putih yang mengandung gugus metil dengan rumus kimia C8H10N4O2 (Panggabean 2011).


(18)

Selama proses pembutan kopi, banyak kafein yang hilang karena rusak ataupun larut dalam air perebusan. Kandungan kafein dalam kopi memiliki efek yang beragam pada setiap manusia. Beberapa orang akan mengalami efeknya secara langsung, sedangkan orang lain tidak merasakannya sama sekali. Hal ini terkait dengan sifat genetika yang dimiliki masing-masing individu terkait dengan kemampuan metabolisme tubuh dalam mencerna kafein (Weinberg & Bonnie 2010). Menurut Food and Drug Administration (FDA) (2007), overdosis karena kafein jarang terjadi, namun tanda keracunan kafein telah terlihat pada anak-anak seperti tremor (gemetar diluar kesadaran), mual, muntah, denyut jantung yang tidak teratur, panik, dan kebingungan.

International Food Information Council Foundation (IFIC) menyatakan bahwa batas aman konsumsi kafein yang masuk ke dalam tubuh perharinya adalah 100—150 mg atau 1,73 mg/kgBB, sedangkan untuk anak-anak dibawah 14—22 mg. Dengan jumlah ini, tubuh sudah mengalami peningkatan aktivitas yang cukup untuk membuatnya tetap terjaga (IFIC 2007). Sebuah studi menunjukkan bahwa 100—200 mg kafein (1—2,5 cangkir kopi) setiap hari adalah batas aman yang dianjurkan oleh beberapa dokter, namun jumlah tersebut berbeda setiap individu dan para ahli sepakat bahwa 600 mg kafein (4—7 cangkir kopi) atau lebih setiap harinya adalah jumlah yang terlalu banyak karena overdosis kafein berbahaya dan dapat membunuh (FDA 2007).

Efek Kafein

Menurut Austalian Drug Foundation (ADF) (2011), pengaruh setiap obat termasuk kafein bervariasi setiap individu. Kafein mempengaruhi seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya ukuran tubuh, berat badan, status kesehatan, faktor genetik dan jumlah yang dikonsumsi. Efek yang dirasakan seseorang yang mengkonsumsi kafein secara teratur akan berbeda dengan orang yang hanya sesekali mengkonsumsi.

Pengaruh dari konsumsi kafein dapat dirasakan dalam waktu 5—30 menit dan bertahan hingga 12 jam. Kafein membutuhkan waktu 5—30 menit untuk beredar dalam tubuh setelah di konsumsi. Efeknya akan berlanjut dalam darah selama sekitar 12 jam. Konsumsi satu atau dua cangkir kopi dalam sehari dapat membuat seseorang merasa lebih terjaga dan waspada untuk sementara waktu (ADF 2011). Konsentrasi kafein dalam darah mencapai puncaknya pada 30—120 menit setelah dikonsumsi dan meningkat hingga 75% dari nilai maksimal dalam waktu 15 menit (Nurminen et al. 1999; Weinberg & Bonnie 2010).


(19)

Tabel 2 Kandungan kafein berbagai pangan sumber kafein

Jenis Pangan Produk Pangan Ukuran Kandungan Kafein

(mg)

Kopi Kopi murnia Kopi instana Kopi dekafeinasia Kopi espressoa

Es krim kopi Starbucksc

250 ml 250 ml 250 ml 250 ml 30 g

150—240 80—120 2—6 105—110 40—60

Teh Tehc

Teh hijaub Teh hitamb Es tehd

150 ml 240 ml 240 ml 240 ml

40—80 25—40 40—70 9—50 Minuman ringan Coca colac

Coca cola classicb Coca cola dietc Pepsi colab Pepsi dietb

355 ml 355 ml 355 ml 355 ml 355 ml 64 35 45 38 36 Cokelat Cokelata

Minuman cokelatd Susu cokelata Cokelat susu bara Cokelat bara Brownies cokelatc Es krim cokelatc Cookies cokelatc

250 ml 240 ml 250 ml 55 g 55 g 35 g 50 g 30 g

30—60 3—32 2—7 3—20 40—50 8 2—5 3—5 Minuman berenergi Red Bullb

Minuman berenergi laina

250 ml 250 ml

80 50—80

Sumber: a. ADF (2011) b. Kovacs B (2011) c. FDA (2007) d. IFIC (2008)

Food and Drug Administration (FDA) dan American Medical Association (AMA) menyatakan bahwa asupan moderat kafein diakui sebagai asupan yang aman. Berikut klasifikasi asupan kafein (Kovacs B 2011):

1. Asupan rendah sampai moderat: 130 mg—300 mg perhari 2. Asupan moderat: 200 mg—300 mg per hari

3. Dosis tinggi: > 400 mg per hari

4. Konsumsi kafein yang berbahaya: 6000 mg per hari

Penggunaan obat apapun termasuk kafein membawa beberapa risiko bahkan dapat menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan. Konsumsi kafein yang berlebihan tidak hanya berdampak jangka pendek tapi juga jangka panjang yang dapat mengganggu kesehatan. Efek jangka pendek konsumsi kafein antara lain: merasa lebih waspada dan aktif, buang air kecil lebih sering, peningkatan denyut jantung, dan stimulasi sistem saraf dan otak. Konsumsi kafein yang moderat (contoh: 4 cangkir kopi sehari) tidak akan menyebabkan kerusakan jangka panjang. Namun penggunaan secara berlebihan dapat memiliki beberapa efek serius seperti: osteoporosis, tekanan darah tinggi,


(20)

penyakit jantung, insomnia parah, infertilitas, depresi, gelisah, tremor otot, dan dapat menyebabkan kematian (ADF 2011).

Polifenol (Chlorogenic Acid/CGA)

Polifenol adalah senyawa kimia yang ditemukan dalam makanan yang membantu untuk mencegah kerusakan radikal bebas dalam tubuh yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan karena merupakan molekul yang tidak stabil dan dapat merusak dinding arteri. Polifenol dapat ditemukan pada buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, dan beberapa makanan dan minuman. Efek dari polifenol dalam makanan saat ini menjadi perhatian besar karena aktivitas antioksidan dan antikanker (Manach et al. 2004; Yang et al. 2001).

Ada banyak jenis polifenol yang terkandung dalam makanan dan merupakan antioksidan in vitro yang kuat. Konsumsi kakao, teh atau kopi dapat menambah asupan polifenol menjadi 500—1000 mg. Asupan total polifenol yang diharapkan sebesar 828 mg per hari bagi setiap orang. Jumlah total polifenol dari minum kopi adalah yang tertinggi diantara minuman lainnya 200mg/100ml, teh hijau (115mg/100ml), teh hitam (96mg/100ml) (Purwantyastuti 2009).

Polifenol dalam kopi mengandung chlorogenic acid (CGA), caffeic acid, ferrulic acid dan p-coumaric acid, yang merupakan komponen antioksidan. Asam klorogenat (CGA) merupakan komponen utama polifenol dalam kopi karena itu kopi mengandung asam klorogenat paling tinggi dibandingkan dalam minuman lainnya seperti coklat dan teh. Kadar asam klorogenat akan meningkat seiring dengan tingkat kematangan dan tingkat kadar kafein. Kandungan asam klorogenat pada biji kopi robusta dan arabika masing-masing 7%—10% dan 5%—7%. Satu cangkir kopi mengandung asam klorogenat sebesar 15—325 mg tergantung varietas, komposisi, pengolahan dan penyajian (Pergizi Pangan 2009). Penyangraian biji kopi yang lebih cepat memiliki kandungan asam klorogenat dan caffeic acid lebih banyak dan semakin gelap biji kopi, kandungan asam klorogenat akan semakin sedikit. Suhu penyangraian yang terlalu tinggi akan menurunkan kadar asam klorogenat, sehingga kandungan yang tersisa dalam biji kopi berkisar 0,5%—7% (Frost-Meyer & John 2012).

Berbagai penelitian tentang asam klorogenat menunjukan bahwa 1) peningkatan asupan asam klorogenat dapat melindungi eritrosit dari stress oksidasi, 2) memelihara oksidan alami dalam tubuh termasuk vitamin E, 3) melindungi membran dan plasma sel dari oksidasi, 4) menurunkan toksik radikal


(21)

bebas dalam tubuh. Peran proteksi ini akan berimplikasi pada berbagai penyakit yang berkaitan dengan disfungsi endothelial seperti penyakit kronik dan akut karena merokok, penyakit hipertensi, hiperkolesterol, hiperglikemia, atherosclerosis, serta gagal jantung. Hasil kajian epidemiologi mutakhir membuktikan bahwa minum secangkir kopi atau sekedarnya dapat meningkatkan kemampuan tubuh memerangi oksidan, bahkan asupan polifenol seperti asam klorogenat dapat menurunkan risiko penyakit jantung (Pergizi Pangan 2009). Pengolahan Produk Kopi

Secara umum, kopi dibedakan menjadi enam jenis olahan, yaitu biji kopi (bean), bubuk kopi (powder), kopi rendah kafein (decaffeinated), kopi instan (granular), kopi mix, dan kopi siap minum. Beberapa contoh produk kopi bubuk yang mudah ditemui di masyarakat antara lain Kapal Api, Torabika, Kopi Cap Piala, Kopi Cap Liong Bulan, Kopi Cap Singa, Kopi Cap Ayam Merak. Salah satu produk kopi instan yang sering ditemui antara lain Nescafe Classic dan Torabika 3in1. Produk kopi yang sudah cukup terkenal dengan kopi mix antara lain Nescafe Mocha, Nescafe Coffeemix, Nescafe Creme, Kapal Api Susu, Kapal Api Grande, Kapal Api Mocha ABC Susu, ABC Mocca, Indocoffeemix, Luwak White Koffie, Good Day, Torabika Cappuccino, Torabika Duo Kopi Susu, Torabika Kopi Jahe, Torabika Kopi Mocha, Indocafe Coffemix, Indocafe Cappucino, Good Day Cappucino, Good Day Carrebian Nut, Good Day Chococinno, Good Day Coffeemix, Good Day Coolin Coffee, Good Day Mocacinno, Good Day Vanilla Latte.

a. Pengolahan Biji Kopi Sangrai dan Kopi Bubuk

Proses pengolahan bubuk kopi terdiri dari beberapa tahapan proses yaitu sebagai berikut:

1. Penyiapan Bahan Baku

Kualitas kopi yang baik hanya dapat diperoleh dari biji yang telah masak dan melalui pengolahan yang tepat. Biji kopi yang baru panen harus segera diolah. Pasalnya, biji kopi mudah rusak dan menyebabkan perubahan citarasa pada seduhan kopi (Panggabean 2011).


(22)

Menurut Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute (ICCRI) (2007) kunci dari proses produksi kopi bubuk adalah penyangraian. Proses ini merupakan tahapan pembentukan aroma dan citarasa khas kopi dari dalam biji kopi dengan perlakuan panas. Biji kopi secara alami mengandung cukup banyak senyawa organik calon pembentuk citarasa dan aroma khas kopi. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan selama menyangrai, diantaranya sistem mesin penyangrai, bahan plat tabung penyangrai, stabilitas sumber api tabung penyangrai, dan jenis bahan baku kopi serta karakteristiknya. Selain faktor alat, aspek lainnya yang juga penting yaitu suhu, waktu, keahlian, dan teknik penyangraian (Panggabean 2011). Berdasarkan suhu penyangraian yang digunakan, kopi sangrai dibedakan atas 3 golongan yaitu light roast (193º—199ºC), medium roast (204ºC) dan dark roast (213º—221ºC). Light roast menghilangkan 3—5% kadar air, medium roast, 5—8% dan dark roast 8—14% (Varnam & Sutherland 1994; diacu dalam Ridwansyah 2003). Waktu yang diperlukan saat menyangrai berkisar antara 5–30 menit tergantung pada jenis alat dan mutu kopi bubuk. Waktu sangrai ditentukan atas dasar warna biji kopi sangrai atau sering disebut derajad sangrai. Makin lama waktu sangrai, warna biji kopi sangrai mendekati cokelat tua kehitaman. Penyangraian diakhiri saat aroma dan citarasa kopi yang diinginkan telah tercapai yang ditandai dengan perubahan warna biji kopi yang semula berwarna kehijauan menjadi cokelat tua (light), cokelat-kehitaman (medium), dan hitam (dark) (ICCRI 2007).

Proses sangrai diawali dengan penguapan air yang ada di dalam biji kopi dengan memanfaatkan panas yang tersedia dengan suhu 100ºC dan kemudian diikuti dengan reaksi pirolisis. Pirolisis merupakan reaksi dekomposisi senyawa hidrokarbon menjadi unsur karbon antara lain karbohidrat, hemiselulosa dan selulosa yang ada di dalam biji kopi sebagai akibat dari pemanasan. Reaksi ini terjadi setelah suhu sangrai di atas 180ºC. Secara kimiawi, proses ini ditandai dengan evolusi gas CO2 dalam jumlah banyak dari ruang sangrai berwarna putih. Secara fisik, pirolisis ditandai dengan perubahan warna biji kopi yang semula kehijauan menjadi kecoklatan. Saat proses penguapan air, beberapa senyawa volatil yang terkandung yang terkandung di dalam biji kopi seperti aldehid, furfural, keton, alkohol, dan ester ikut teruapkan. Proses ini ditandai dengan penurunan kerapatan curah sebagai akibat dari perubahan fisik biji kopi seperti


(23)

penyembangan volume (swelling) dan pembentukan pori-pori di dalam jaringan sel sehingga berat biji kopi per satuan volume menjadi lebih kecil. Swelling selama penyangraian disebabkan karena terbentuknya gas-gas yang sebagian besar terdiri dari CO2, kemudian gas-gas ini mengisi ruang dalam sel atau pori-pori kopi. Biji kopi beras dengan kadar air 12% memiliki kerapatan curah 615 kg/m3, setelah disangrai selama 8 menit, kerapatan curahnya berkurang menjadi 506 kg/m3. Pada penyangraian menit ke dua puluh dua, kerapatan curah biji kopi menurun tajam menjadi 317 kg/m3 (ICCRI 2007).

Perubahan sifat fisik dan kimia terjadi selama proses penyangraian, menurut Ukers & Prescott, diacu dalam Ciptadi & Nasution (1985) terjadi seperti swelling, penguapan air, tebentuknya senyawa volatile, karamelisasi karbohidrat, pengurangan serat kasar, denaturasi protein, terbentuknya gas CO2 sebagai hasil oksidasi dan terbentuknya aroma yang karakteristik pada kopi. Senyawa yang membentuk aroma di dalam kopi menurut Mabrouk & Deatherage, diacu dalam Ciptadi & Nasution (1985) adalah :

1. Golongan fenol dan asam tidak mudah menguap yaitu asam kofeat, asam klorogenat, asam ginat dan riboflavin.

2. Golongan senyawa karbonil yaitu asetaldehid, propanon, alkohol, vanilin aldehid.

3. Golongan senyawa karbonil asam yaitu oksasuksinat, aseto asetat, hidroksi pirufat, keton kaproat, oksalasetat, mekoksalat, merkaptopiruvat. 4. Golongan asam amino yaitu leusin, iso leusin, variline, hidroksiproline,

alanin, threonin, glisin dan asam aspartat.

5. Golongan asam mudah menguap yaitu asam asetat, propionat, butirat dan volerat.

Di dalam proses penyangraian sebagian kecil dari kafein akan menguap dan terbentuk komponen-komponen lain yaitu aseton, furfural, amonia, trimethilamin, asam formiat dan asam asetat. Kafein di dalam kopi terdapat baik sebagai senyawa bebas maupun dalam bentuk kombinasi dengan klorogenat sebagai senyawa kalium kafein klorogenat (Ciptadi & Nasution 1985).


(24)

Setelah proses sangrai selesai, biji kopi harus segera didinginkan di dalam bak pendingin. Pendinginan yang kurang cepat dapat menyebabkan proses penyangraian berlanjut dan biji kopi menjadi gosong (over roasted). Selama pendinginan, biji kopi diaduk secara manual agar proses pendinginan lebih cepat dan merata. Selain itu, proses ini juga berfungsi untuk memisahkan sisa kulit ari yang terlepas dari biji kopi saat proses sangrai (Mulato 2002, diacu dalam Israyanti 2012).

4. Pencampuran

Pencampuran biji kopi sangrai bertujuan untuk mendapatkan citarasa dan aroma yang khas dengan mencampur beberapa jenis bahan baku atas dasar jenis biji kopi berasnya (contoh: arabika, robusta, dan excelsa), jenis proses yang digunakan (proses kering, semi-basah, dan basah), dan asal bahan baku (ketinggian, tana, dan agroklimat). Beberapa jenis bahan baku tersebut disangrai secara terpisah, ditimbang dalam proporsi tertentu (atas dasar uji citarasa), dan kemudian dicampur dengan alat pencampur putar tipe hexagonal (ICCRI 2007).

5. Penghalusan Biji Kopi Sangrai

Biji kopi sangrai dihaluskan dengan alat penghalus (grinder) sampai diperoleh butiran kopi bubuk dengan kehalusan tertentu. Butiran kopi bubuk mempunyai luas permukaan yang sangat besar sehingga senyawa pembentuk citarasa dan penyegar mudah larut ke dalam air panas. Semakin kecil butiran kopi akan semakin baik rasa dan aroma yang dihasilkan karena sebagian besar bahan yang terdapat dalam kopi dapat larut ke dalam air ketika diseduh (ICCRI 2007).

6. Pengemasan

Pengemasan bertujuan untuk mempertahankan aroma dan citarasa kopi bubuk selama transportasi, pendistribusian ke konsumen, dan selama dijajakan di took/warung, pasar tradisional, dan pasar swalayan. Kesegaran, aroma, dan citarasa kopi bubuk akan berkurang secara signifikan setelah satu atau dua minggu jika tidak dikemas secara baik. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keawetan kopi bubuk selama dikemas adalah kondisi penyimpanan (suhu lingkungan), tingkat sangrai, kadar air kopi bubuk, kehalusan bubuk, dan kandungan oksigen di dalam kemasan. Kandungan air dalam kemasan akan menghidrolisa senyawa kimia yang terdapat di dalam kopi bubuk dan menyebabkan bau apek (stale), sedangkan oksigen


(25)

akan mengurangi aroma dan citarasa kopi melalui proses oksidasi (ICCRI 2007).

b. Pengolahan Kopi Decaffeinated (Kopi Rendah Kafein)

Kandungan kafein dalam biji kopi berkisar antara 1,2%—2,4%. Kandungan kafein dalam biji kopi perlu diturunkan sampai batas aman karena terdapat beberapa individu yang sensitif terhadap kafein (ICCRI 2007). Dekafeinasi biasanya dilakukan sebelum proses penyangraian. Prosesnya meliputi pembasahan biji kopi dengan air dan diikuti oleh ekstraksi dengan pelarut organik yaitu metilen klorida (CH2Cl2) dalam ekstraktor dengan perbandingan biji kopi dengan metilen klorida adalah 1:5 pada suhu 80º selama 5—7 jam bergantung pada kadar kafein yang akan diekstrak (Ridwansyah 2003; ICCRI 2007).

Tahap awal proses dekafeinasi adalah pemanasan awal biji kopi dengan uap air panas pada suhu 230ºF (110ºC) selama 30 menit yang akan menghasilkan kadar air 16—18%. Tujuan pemanasan awal adalah untuk membantu proses hidrolisis dari kafein selama ekstraksi. Tahap selanjutnya dilakukan penambahan air/pre-wetting hingga kadar air mencapai 40%, setelah itu ditambahkan pelarut metilen klorida. Proses ekstraksi kafein selanjutnya dilakukan pada suhu 50—120ºC dimana kafein sebagian besar akan dihilangkan yaitu sebanyak 95%—98%. Setelah proses ekstraksi selesai, pelarut kemudian dialirkan keluar dari ekstraktor. Untuk menghilangkan sisa pelarut yang terdapat pada biji kopi, maka dilakukan penguapan pelarut dengan uap air panas (destilasi uap). Setelah proses dekafeinasi, bjji kopi biasanya masih mengandung kafein dan zat pelarut. Beberapa negara yang tergabung didalam European Economic Community (EEC) menetapkan batas kandungan kaffein didalam biji kopi bebas kafein (decaffeinated) dan kopi instan bebas kaffein tidak melebihi 0,1% dan 0,3%. Sedangkan zat pelarut yang tersisa dari biji kopi bebas kaffein tidak melebihi 10 mg/kg pelarut (Ridwansyah 2003).

Biji kopi rendah kafein akan disangrai dengan suhu dan waktu yang sama saat menyangrai biji kopi biasa. Biji kopi rendah kafein yang telah disangrai akan dihaluskan dengan alat yang sama dengan penghalusan biji kopi biasa. Citarasa dan aroma kopi bubuk rendah kafein tidak sebaik dan setajam biji kopi biasa. Hal ini disebabkan beberapa senyawa pembentuk citarasa dan aroma ikut larut bersama kafein saat proses ekstraksi berlangsung (ICCRI 2007).


(26)

Bubuk kopi sangrai merupakan bahan baku kopi instan. Bubuk kopi diperoleh dari proses penghalusan biji kopi sangrai dengan ukuran partikel pada tingkat medium (hasil ayakan 60 mesh) (ICCRI 2007).

1. Ekstraksi

Proses ekstraksi kopi instan menggunakan percolater (penyaring kopi) dan sentrifuge untuk mengepres sisa ampas. Tujuannya untuk memperoleh ekstraksi optimum dari padatan terlarut tanpa merusak kualitas. Ekstraksi bubuk kopi yang optimum tergantung pada suhu air dan laju air melalui ampas bubuk kopi. Air panas dimasukkan dengan tekanan dan suhu mencapai 80°C selama 45 menit. Sisa bubuk hasil pelarutan akan dikempa secara manual untuk mengekstrak komponen kopi yang masih tertinggal. Penggunaan suhu air tertinggi memungkinkan hasil konsentrasi ekstrak tertinggi. Rendemen ekstraksi berkisar antara 30—32% berat bubuk kopi. Sisa ampas bubuk kopi selanjutnya akan dibuang karena masih mengandung 70% kadar air untuk diolah menjadi biogas (Ridwansyah 2003; ICCRI 2007).

2. Kristalisasi, Penghalusan, dan Pencampuran

Ekstrak kopi dimasukkan ke dalam alat kristalisator dan ditambah gula dengan perbandingan 1:1. Selama 30 menit pertama, larutan ekstrak kopi dan gula dipanaskan pada suhu 100ºC, setelah larutan mendekati jenuh, suhunya diturunkan menjadi 70ºC selam 20 menit berikutnya. Pada 10 menit terakhir, sumber panas dimatikan, larutan jenuh kemudian didinginkan dengan suhu ruang hingga terbentuk kristal gula-kopi (ICCRI 2007). Setelah kristal gula-kopi terbentuk, akan digiling secara mekanik menjadi bubuk halus. Kopi instan selain disajikan dalam bentuk murni juga dapat dicampur dengan bubuk krimmer instan atau bahan tambahan lainnya pada proporsi tertentu dengan alat pencampur putar tipe hexagonal.

3. Aromatisasi

Produk akhir kristalisasi akan berdampak pada kehilangan aroma kopi, sehingga biasanya dilakukan proses aromatisasi untuk memberikan aroma kopi bagi konsumen saat mereka membuka kemasan kopi. Hal ini dilakukan dengan cara me-recovery aroma volatil yaitu menyemprotkan aroma volatil tersebut kedalam kopi instan dengan menggunakan minyak kopi sebagai bahan pembawa aroma volatile, selain itu hal ini diperlukan untuk


(27)

mengurangi resiko oksidasi dan mengisi gas karbondioksida (Ridwansyah 2003).

4. Pengemasan

Kopi instan harus dilindungi dengan cara menerapkan pengemasan yang baik sebelum didistribusikan ke toko/warung, pasar tradisonal atau pasar swalayan. Kemasan yang digunakan harus mampu melindungi produk dari absorbs kelembaban udara yng tidak hanya menyebabkan produk menggumpal (mengeras/memadat) tetapi juga dapat mempercepat penurunan aroma (Ridwansyah 2003).

Tekanan Darah

Peredaran darah dalam tubuh terjadi karena adanya organ jantung yang memompa darah melalui kontraksi dan relaksasi. Ketika jantung berkontraksi, dihasilkanlah gelombang tekanan pembuluh darah yang dapat dirasakan dengan mudah pada tangan bagian atas dengan menggunakan alat pengukur tekanan darah. Tekanan darah merupakan desakan darah terhadap dinding-dinding pembuluh darah arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke seluruh tubuh. Ada dua macam tekanan darah, yaitu tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik (Hull 1996; Soeharto 2004). Tekanan darah sitolik dihasilkan pada puncak kontraksi yaitu dimana darah menekan dinding arteri saat jantung berkontraksi memompa darah, sedangkan tekanan darah diastolik dihasilkan ketika jantung berelaksasi yaitu saat jantung relaks dan darah mengalir ke dalam jantung. Oleh karena itu, tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio dari tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik (Soeharto 2004).

Mengukur tekanan darah secara benar sangatlah penting untuk mendiagnosis adanya hipertensi dan mengevaluasi respon pengobatan anti hipertensi. Alat pengukur tekanan darah atau spigmomanometer ada 3 jenis : (1) menggunakan air raksa, (2) jenis aneroid dan (3) jenis digital. Pengukur yang paling ideal adalah yang menggunakan air raksa, namun penggunaannya harus benar. Pengukur tekanan darah jenis aneroid dan digital dapat digunakan apabila kurang terampil dalam menggunakan spigmomanometer air raksa, namun harus sering dikalibrasi (Department of Health, Social Services and Public Safety 2012).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengukur tekanan darah adalah ruang pemeriksaan nyaman, pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali dan dihitung rata-ratanya. Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong dan hindari konsumsi kopi, alkohol dan rokok 30 menit sebelum dilakukan


(28)

pengukuran tekanan darah, karena semua hal tersebut akan meningkatkan tekanan darah dari nilai sebenarnya. Duduk dengan tenang selama 5 menit sebelum pemeriksaan dan jangan berbicara saat pemeriksaan serta tenangkan pikiran, karena pikiran yang tegang dan stress akan dapat meningkatkan tekanan darah. Pemeriksaan tekanan darah sebaiknya dilakukan dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk setinggi jantung di atas meja dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas. Dianjurkan tidak merokok 30 menit sebelum pengukuran tekanan darah. Seseorang dikatakan memiliki tekanan darah tinggi/hipertensi jika tekanan darahnya melebihi 140/90 mmHg melalui 3 kali pengukuran tekanan darah dengan jarak pengukuran tekanan darah pertama ke pengukuran tekanan darah selanjutnya masing-masing 1 minggu (Kaplan 1999, diacu dalam Yuniati 2007; Depkes 2007).

Tekanan darah normal biasanya tidak melebihi 140 mmHg untuk tekanan sistolik dan diastolik tidak melebihi 90 mmHg serta kurang dari 120/80 mmHg. Tekanan darah sistolik (TDS) meningkat sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi tekanan darah diastolik (TDD) meningkat seiring dengan TDS sampai usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh terjadinya proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis. Tekanan darah yang selalu tinggi adalah salah satu faktor risiko untuk stroke, serangan jantung, gagal jantung dan aneurisma arterial dan merupakan penyebab utama gagal jantung kronis (Susilo & Ari 2011).

Hipertensi

Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang > 140 mmHg untuk tekanan darah sistoliknya dan atau > 90 mmHg untuk tekanan darah diastolik (Depkes 2006). Hipertensi yang tidak ditanggulangi merupakan faktor risiko untuk penyakit jantung koroner, stroke, dan gagal jantung. WHO melaporkan sekitar 16,2 juta kematian di dunia disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Faktor risiko yang bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut adalah hipertensi, kadar kolesterol tinggi, tembakau, konsumsi buah dan sayuran yang rendah serta kurang aktivitas fisik (Kusmana 2009).

Hipertensi umumnya mulai pada usia muda, sekitar 5—10% ditemukan kasus hipertensi pada usia 20—30 tahun. Bagi pasien yang berusia 40—70 tahun, setiap peningkatan tekanan darah sistolik 20 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 10 mmHg dapat meningkatkan risiko kardiovaskular 2 kali lipat (Kusmana 2009).


(29)

Klasifikasi hipertensi dapat dilihat berdasarkan tekanan darah sistolik dan diastolik dalam satuan millimeter merkuri (mmHg). The Seventh of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) mengategorikan tekanan darah orang dewasa menjadi empat yaitu kelompok normal, pre-hipertensi, hipertensi tingkat I dan hipertensi tingkat II.

Tabel 3 Klasifikasi pengukuran tekanan darah orang dewasa dengan usia diatas 18 tahun berdasarkan JNC 7 Tahun 2003

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

Tekanan Darah Diastolik (mmHg)

Normal Pre Hipertensi Hipertensi Tingkat I HipertensiTingkat II

<120 120-139 140 – 159 >160

<80 80 – 89 90 – 99 >100

(U.S Department of Health and Human Services 2003)

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu hipertensi essensial/primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi essensial/primer merupakan jenis hipertensi yang penyebabnya masih belum dapat diketahui. Sekitar 90—95 % penderita hipertensi menderita jenis hipertensi ini. Oleh karena itu, penelitian dan pengobatan lebih banyak ditujukan bagi penderita hipertensi essensial ini (Depkes 2006). Faktor yang dapat menjadi penyebab hipertensi primer antara lain (Askes 2011):

1. Tekanan darah tidak terdeteksi (diastolik < 90 mmHg, sistolik >105 mmHg); 2. Peningkatan kolesterol darah;

3. Kebiasaan merokok dan atau alkohol; 4. Kelebihan berat badan/kegemukan/obesitas; 5. Kurang aktivitas fisik/olah raga;

6. Gagal ginjal

7. Faktor genetik/keturunan 8. Usia

Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, dan ada sekitar 5—10% dari seluruh penderita hipertensi masuk kedalam kategori ini. Penyebab hipertensi sekunder antara lain (Kertohoesodo 1987):

1. Sebab – sebab hormonal

2. Kelainan pada ginjal, endokrin, kekakuan dari aorta

3. Adanya perubahan pada organ jantung dan pembuluh darah yang menyebabkan meningkatnya terkanan darah


(30)

4. Feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (naradrenalin).

Hipertensi atau peningkatan tekanan darah merupakan salah satu faktor risiko sindrom metabolik selain diabetes mellitus, dislipidemia, obesitas sentral, dan mikroalbuminuria. Sindrom metabolik adalah kumpulan faktor risiko metabolik yang berkaitan secara langsung terhadap terjadinya peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes melitus (Semiardji 2004). The World Health Organization (WHO) (1999) menyampaikan definisi seseorang mengalami sindrom metabolik dengan kriteria antara lain:

1. Gangguan pengaturan glukosa atau diabetes melitus; 2. Resistensi insulin;

3. Hipertensi dengan terapi anti-hipertensi (>140/90 mmHg);

4. Dislipidemia dengan trigliserida plasma > 150 mg/dL dan/atau cholesterol high density lipoprotein (HDL-C) < 35 mg/dL untuk pria; <40 mg/dL untuk wanita;

5. Obesitas sentral (pria: rasio lingkar pingang-pinggul > 0,90; wanita >0,85) dan/atau indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m2;

6. Mikroalbuminuria (Urea Albumin Excretion Rate >20 mg/min atau rasio albumin/kreatinin > 30 mg/g).

Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang memiliki salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2 dari empat kriteria terakhir yaitu memiliki diabetes melitus dan/atau resistensi insulin yang disertai sedikitnya 2 kriteria lain yaitu hipertensi, dislipedemia, obesitas sentral, dan mikroalbuminuria (Adriansjah & Adam 2006). Kriteria lain yang sering digunakan untuk menilai seseorang mengalami sindrom metabolik adalah NCEP-ATP III (National Cholesterol Education Program Expert Panel on Detection, Evaluation, dan Treatment of High Blood Cholesterol in Adults Treatment Panel III) (2002), yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria antara lain:

1. Lingkar perut pria >102 cm; wanita >88 cm; 2. Trigliserida > 150 mg/dL

3. HDL-C pria < 40 mg/dL; wanita <50 mg/dL; 4. Tekanan darah > 130/85 mmHg;


(31)

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi

Hipertensi merupakan penyakit yang tidak disebabkan oleh satu faktor saja, bahkan pada hipertensi primer/essensial tidak diketahui penyebab pastinya, hanya diketahui hal-hal yang berperan dalam meningkatkan tekanan darah. Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan tekanan darah dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol dan faktor yang dapat dikontrol.

a. Faktor yang tidak dapat dikontrol 1. Usia

Terdapat hubungan yang positif antara usia dan frekuensi hipertensi, dimana prevalensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia (Bullock 1996). Risiko terkena hipertensi tinggi pada saat memasuki masa pra lansia dan dengan bertambahnya usia, risiko menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40% dengan kematian lebih banyak terjadi pada usia diatas 65 tahun. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya usia disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, yang menyebabkan penyempitan lumen dan kekakuan dinding pembuluh darah dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik (Kamso 2000; Depkes 2007).

2. Jenis kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita (WHO 2001). Setelah menopause, prevalensi hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Bullock 1996).

Wanita yang belum menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang sistem imun dan berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoproptein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang dtinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya aterosklerosis. Ketika memasuki masa pemenopause, wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen dan seiring dengan bertambahnya usia, hormon estrogen berubah kuantitasnya secara alami. Proses ini akan terus berlanjut sehingga kadar HDL menurun dan menyebabkan kemungkinan terjadinya aterosklerosis semakin besar. Hal ini umumnya terjadi pada wanita usia 45–55 tahun (Kumar et al. 2005, diacu dalam Ananda 2011).


(32)

3. Ras

Kajian populasi menunjukan bahwa orang kulit hitam memiliki risiko hipertensi dua kali lebih besar dibandingkan dengan orang kulit putih. Tingkat keparahan dan kematian yang disebabkan oleh hipertensi juga lebih tinggi pada orang kulit hitam. Hal tersebut terjadi diduga karena akses terhadap pelayanan kesehatan yang lebih rendah, perbedaan genetik dengan kulit putih, aspek psikososial dan atau karena faktor nutrisi (Bullock 1996).

4. Keturunan (genetik)

Genetik berperan dalam perkembangan hipertensi, yang tentunya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan lainnya. Diduga peran genetik dalam terjadinya hipertensi berkaitan dengan sensitivitas terhadap garam yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal, sistem saraf simpatik, and lain-lain (Luft & Weinberger 1997).

Jika kedua orang tua memiliki hipertensi primer, kecenderungan hipertensi pada anaknya adalah satu dari dua anak. Jika salah satu dari orang tua hipertensi, maka kecenderungannya satu dari tiga anak. Sedangkan orang tua yang normotensi, kecenderungan hipertensi pada anaknya adalah satu dari 20 anak (Bullock 1996). Hal ini sejalan dengan dengan pernyataan Depkes RI (2006), bahwa meskipun tidak setiap penderita hipertensi didapat dari garis keturunan, namun seseorang akan memiliki potensi untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi, terutama hipertensi primer (esensial). Bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya.

b. Faktor yang dapat dikontrol 1. Status sosial ekonomi

Level tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan sosio ekonomi rendah selalu dapat ditunjukkan di negara-negara yang berada pada tahap pasca peralihan perubahan ekonomi dan epidemiologi. Akan tetapi, dalam masyarakat yang berada pada masa peralihan, level tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi ternyata terdapat pada golongan sosio ekonomi yang lebih tinggi. Hubungan terbalik itu berkaitan dengan tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan


(33)

(WHO 2001). Pendapatan yang rendah diketahui menjadi penyebab yang lebih besar terhadap kejadian hipertensi jika dibandingkan dengan faktor risiko yang lainnya (Bullock 1996).

Menurut Gaudemaris et al. (2002) pada penduduk Perancis ditemukan adanya hubungan antara jabatan rendah dalam pekerjaan dengan prevalensi hipertensi yang tinggi dan rendahnya tingkat pengobatan penyakit hipertensi. Pada perempuan selain dipengaruhi tingkat pekerjaan juga dipengaruhi tingkat pendidikan yang rendah, dan pada laki-laki selain dipengaruhi pekerjaan yang rendah juga dipengaruhi tingkat konsumsi alkohol.

2. Kegemukan (obesitas)

Tubuh manusia terdiri dari berbagai komponen penyusun yang terdiri dari tulang, otot, berbagai organ, cairan tubuh, dan lemak yang kesemuanya akan menghasilkan berat badan. Secara normal beberapa komponen akan mengalami perubahan seiring pertumbuhan tubuh, perkembangan reproduksi, akibat latihan fisik, maupun akibat proses penuaan. Penambahan berat badan bisa diakibatkan dari perubahan faktor-faktor tersebut tetapi terutama akibat penumpukan lemak yang tersimpan dalam sel lemak. Obesitas dapat disebabkan akibat sel lemak mengalami hipertrofi, hiperplasi ataupun keduanya.

Pada semua golongan umur maupun etnis, kelebihan berat badan adalah faktor utama yang mempengaruhi tekanan darah. Indeks Massa Tubuh (IMT) 25–29 kg/m2 mempunyai risiko 70% lebih besar terkena hipertensi. Joint National Committee (1977) menunjukkan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) diatas 27 berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Lingkar pinggang > 34 inci (86 cm) pada laki-laki dan 39 inci (99 cm) pada perempuan diikuti dengan peningkatan risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lain (Myers 2004).

Menurut penelitian Wildman et al. (2005) yang dilakukan di Cina, tekanan darah baik sistolik maupun diastolik meningkat seiring pertambahan IMT dan lingkar pinggang. Sedangkan penelitian Nowson et al. (2005) menyebutkan dengan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang dimodifikasi disertai olah raga dengan intensitas sedang > 30 menit setiap hari, dicapai penurunan berat badan 5 kg dalam waktu tiga bulan yang diikuti dengan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 5 mmHg dan


(34)

diastolik sebesar 4 mmHg bila dibandingkan diet rendah lemak yang biasa dilakukan.

Tabel 4 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)

Kriteria Kategori IMT (kg/m2)

WHO

Underweight < 18,5

Normal 18,5—24,9

Overweight > 25

Pre Obese 25,0—29,9

Obese I 30,0—34,9

Obese II 35,0—39,9

Obese III > 40,0

International Obesity Task

Force (IOTF,

WHO)

Underweight < 18,5

Normal 18,5—22,9

Overweight > 23

Risiko obesitas 23,0—24,9

Obese I 25,0—29,9

Obese II > 30,0

Depkes

Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0—18,5

Normal 18,5—25,0

Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,0—27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

Sumber: WHO (1998), IOTF-WHO (2000), Depkes (1994)

3. Psikososial dan stress

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul perubahan patologis. Gejala yang muncul antara lain berupa hipertensi atau penyakit maag (Depkes 2006).

Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan adanya transaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologis, dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Damayanti 2003, diacu dalam Depkes 2006). Peningkatan darah akan lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi (Pinzon 1999, diacu dalam Depkes 2006). Hal ini sejalan dengan pernyataan Simon (2002) bahwa seseorang yang mengalami stress, cemas dan depresi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita


(35)

hipertensi dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami masalah tersebut.

4. Merokok

Rokok merupakan salah satu penyebab terjadinya hipertensi, selain itu juga sebagai salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular (Bullock 1996). Di dunia, tembakau merupakan penyebab kelima penyakit kardiovaskular. Merokok meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Oleh karena itu, merokok pada penderita hipertensi akan semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes 2006).

Data Depkes menyebutkan bahwa pada tahun 2002 konsumsi rokok di Indonesia menempati urutan ke lima diantara sepuluh negara dengan konsumsi rokok tertinggi dengan trend yang meningkat selama periode 1970–2000 sebesar 7 kali lipat, yaitu 23 milyar batang pada tahun 1970 menjadi 217 milyar batang pada tahun 2000.

Nikotin dan gas monoksida (CO) adalah dua bahan penting dalam asap rokok yang berkaitan dengan penyakit kardiovaskular. Asap rokok mengandung sekitar 0,5% sampai 3% nikotin, dan jika dihisap maka kadar nikotin dalam darah akan berkisar antara 40-50 mg/ml. Nikotin di dalam rokok melepaskan zat cathecolamins yang dapat meningkatkan tekanan darah dan zat lainnya yang dapat mengganggu jantung, membuat irama jantung menjadi tidak teratur, mempercepat aliran darah, menimbulkan kerusakan lapisan dalam pembuluh darah dan menimbulkan penggumpalan darah. Sedangkan CO memiliki kemampuan yang jauh lebih kuat daripada sel darah merah dalam hal menarik atau menyerap oksigen, sehingga menurunkan kapasitas darah merah tersebut untuk membawa oksigen ke jaringan-jaringan, termasuk jantung (Soeharto 2000).

5. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik memiliki konsep yang lebih luas dari olah raga dan dapat didefinisikan sebagai pergerakan otot yang menggunakan energi. Aktivitas fisik berpengaruh secara langsung terhadap tekanan darah karena latihan fisik dapat mempengaruhi tekanan darah dengan menormalkan proses-proses tubuh lainnya (Hull 1996). Aktivitas fisik atau olah raga merupakan bentuk pemberian rangsang berulang pada tubuh. Tubuh akan beradaptasi


(36)

jika diberi rangsangan secara teratur dengan takaran dan waktu yang tepat (Depkes 2007).

Latihan aerobik dengan intensitas ringan sampai sedang, seperti jalan atau berenang secara teratur sekitar 30—45 menit selama 3—4 kali dalam seminggu dapat menurunkan hipertensi sekitar 4—8 mmHg dan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner sebesar 30% dibandingkan dengan individu yang sedentary. Hal ini diduga karena latihan mengakibatkan penurunan tekanan darah dan meningkatkan HDL kolesterol (Chalmers et al. 1999).

6. Konsumsi alkohol berlebih

Konsumsi alkohol yang berlebihan akan meningkatkan kejadian penyakit kardiovaskular dan terjadinya hipertensi. Orang yang mengkonsumsi alkohol setiap hari akan menyebabkan tekanan darah sistolik naik sekitar 6,6 mmHg dan tekanan darah diastolik sekitar 4,7 mmHg dibandingkan dengan peminum sekali seminggu, berapa pun jumlah total yang diminum setiap minggunya (WHO 2001).

Konsumsi alkohol berlebihan di negara barat seperti Amerika berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan terjadinya hipertensi sekunder di kelompok usia ini (Depkes 2006)

7. Konsumsi kopi

Kopi disebut-sebut sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan hipertensi. Kopi mengandung kafein yang merupakan stimulan ringan yang dapat mengatasi kelelahan, meningkatkan konsentrasi dan menggembirakan suasana hati. Kopi merupakan sumber kafein terbesar, konsumsi kafein yang terlalu banyak akan membuat jantung berdegup lebih cepat dan tekanna darah meningkat. Kafein dalam 2—3 cangkir kopi (200—250 mg) terbukti dapat meningkatkan tekanan sistolik sebesar 3—14 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 4—13 mmHg. Kafein bukan termasuk zat gizi, tetapi secara nyata menyebabkan naiknya tekanan darah dalam waktu singkat untuk kemudian kembali normal (Khomsan 2004). Mengkonsumsi kopi pada penderita hipertensi akan membahayakan karena meningkatkan risiko terjadinya stroke dan meningkatkan ekskresi kalsium yang akan berakibat peningkatan tekanan darah (Simon 2002).


(37)

8. Konsumsi garam (natrium) berlebih

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respons penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7—8 gram memiliki tekanan darah yang lebih tinggi (Depkes 2006).

Pada umumnya manusia mengkonsumsi natrium (Na+) melebihi kebutuhannya, sehingga mengurangi asupan Na+ dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi esensial (Garrow 1996, diacu dalam Yuliarti 2007). Kadar natrium darah diatur oleh ginjal yaitu oleh hormon aldosteron, yang mengatur keseimbangan air dan garam dalam tubuh. Recommended Daily Intake (RDI) untuk natrium adalah 920—2300 mg per hari. Menurut Scottish Intercollegiate Guideline Network (SIGN) penurunan konsumsi garam dari 10 mg menjadi 5 gram dapat menurunkan TDS sebesar 5 mmHg dan TDD sebesar 3 mmHg pada penderita hipertensi usia lanjut (SIGN 2001, diacu dalam Yuliarti 2007).

9. Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia

Hiperlipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau penurunan kadar kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat (Depkes 2006)

Patofisiologi Hipertensi

Progresifitas hipertensi pada usia 10—30 tahun dimulai dari prehipertensi (meningkatnya curah jantung), kemudian menjadi hipertensi stadium awal pada usia 20—40 tahun (dimana ketahanan perifer meningkat), kemudian menjadi hipertensi pada usia 30—50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40—60 tahun (Sharma et al. 2008; diacu dalam Ananda 2011).

Mekanisme terjadinya hipertensi dimulai dengan terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE


(38)

memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di dalam hati. Selanjutnya angiotensinogen akan diubah menjadi angiotensin I oleh hormon renin yang diproduksi oleh ginjal. Kemudian angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh ACE yang terdapat di paru-paru. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

Aksi pertama adalah dengan meningkatkan rasa haus dan sekresi antidiuretic hormone (ADH). ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur kekentalan dan volume urin. Meningkatnya ADH diiukuti dengan jumlah urin yang dieksresikan ke luar tubuh sangat sedikit (anti diuresis) sehingga osmolalitasnya menjadi pekat dan tinggi. Untuk mengencerkannya, cairan dari bagian intraseluler ditarik untuk meningkatkan volume cairan ekstraseluler. Mekanisme ini menyebabkan volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah (Muhaimin 2008; diacu dalam Ananda 2011).

Aksi kedua adalah dengan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi eksresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorbsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler. Inilah yang kemudian akan meningkatan volume dan tekanan darah (Muhaimin 2008; diacu dalam Ananda 2011).

Tanda dan Gejala Klinis Hipertensi

Pada pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, maka dari itu pada umumnya sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan khusus dan tidak mengetahui bahwa dirinya menderita hipertensi. Keluhan-keluhan yang tidak spesifik yang umum dialami oleh seseorang yang mengalami tekanan darah tinggi/hipertensi antara lain: sakit kepala yang khas terjadi pada bangun tidur di pagi hari dan akan berkurang ketika siang hari (Tierney et al. 2002, diacu dalam Sumaerih 2007), gelisah, jantung berdebar, pusing, penglihatan kabur, rasa sakit didada, sukar tidur/insomnia, telinga berdengung, mudah marah, rasa berat di tengkuk, mata berkunang-kunang, lesu dan mudah lelah (Mansjoer et al. 2002, diacu dalam Sumaerih 2007; Depkes 2006). Sedangkan gejala akibat komplikasi


(39)

hipertensi pada organ target seperti ginjal, mata, otak dan jantung antara lain ganngguan penglihatan, gangguan saraf, gangguan jantung, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan serebral/otak yang mengakibatkan kejang dan perdarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran hingga koma (Depkes 2006).


(40)

KERANGKA PEMIKIRAN

Trend proporsi penyebab kematian telah bergeser dari penyakit menular ke penyakit tidak menular yang merupakan penyakit akibat gaya hidup, modernisasi serta penyakit-penyakit degeneratif. Salah satu yang termasuk penyakit tidak menular adalah penyakit yang disebabkan oleh peningkatan tekanan darah. Tekanan darah tinggi/hipertensi adalah faktor risiko ketiga terbesar penyebab kematian dini. Penyakit ini dipengaruhi oleh cara dan kebiasaan hidup sesorang dan sering disebut sebagai the killer disease. Seseorang biasanya datang untuk berobat setelah timbul kelainan organ akibat hipertensi. Maka dari itu perlu diperhatikan faktor-faktor risiko penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah.

Pada umumnya faktor risiko hipertensi dikelompokan menjadi dua yaitu, faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah. Usia, jenis kelamin, genetik/keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah. Pada usia muda dan setengah baya, hipertensi lebih banyak menyerang pria daripada wanita, namun memasuki usia 65 tahun, penderita hipertensi lebih banyak ditemukan pada kelompok wanita, hal ini diakibatkan oleh faktor hormonal.

Perilaku tidak sehat seperti merokok, diet rendah serat, kurang aktivitas gerak, kegemukan, konsumsi alkohol, hiperlipidemia/hiperkolesterolemia, stress dan konsumsi garam berlebih sangat erat berhubungan dengan kejadian hipertensi yang masih dapat diubah. Satu lagi perilaku tidak sehat yang masih dapat diubah yaitu konsumsi kopi yang berlebihan. Meskipun beberapa hasil penelitian menyatakan ketidakkonsistenan mengenai efek kopi dengan tekanan darah, namun hal tersebut masih menjadi faktor yang perlu diperhatikan, karena beberapa efek kafein yang terkandung dalam kopi menyebabkan kerja jantung dan pembuluh darah menjadi berlebihan yang bersamaan dengan peningkatan denyut jantung, hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.


(41)

Keterangan :

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan variabel yang diteliti = Hubungan variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Gaya Hidup

Tekanan Darah:

 Normal

 Tekanan Darah Tinggi / Hipertensi

Karakteristik Contoh dan Keluarga:

 Usia

 Jenis kelamin

 Jumlah pendapatan contoh dan anggota keluarga

 Jumlah pengeluaran minuman (kopi)

 Riwayat penyakit keluarga dan contoh

 Status Gizi (IMT) contoh

Pola Konsumsi Kopi:

 Jenis

 Jumlah

 Frekuensi

 Waktu/saat minum

 Lama minum 

Efek Minum Kopi: Efek Negatif:

 Sakit kepala

 Jantung berdetak lebih cepat

 Ketagihan

 Sering buang air kecil  Gangguan lambung

Efek Positif:

 Rasa kantuk berkurang

 Lebih bugar

 Rasa lelah berkurang

 Mudah konsentrasi

 Lebih tenang Stress Merokok Konsumsi

alkohol

Konsumsi garam

(Natrium)

Aktivitas fisik/olah raga


(1)

Lampiran 4. Hasil uji statistik (

chi square

)

1. Faktor Umur Terhadap Hipertensi

Value df p

Pearson Chi-Square 20.197a 1 0.000 Continuity Correctionb 18.729 1 0.000 Likelihood Ratio 20.868 1 0.000 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 20.071 1 0.000 N of Valid Casesb 160

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for kategori umur

40 th (>= 40 th / < 40 th) 4.956 2.402 10.227 For cohort Kelompok

Hipertensi 2.469 1.535 3.973 For cohort Kelompok Kontrol 0.498 0.372 0.668 N of Valid Cases 160

2. Faktor Status Gizi Terhadap Hipertensi

Value df p

Pearson Chi-Square 22.581a 1 0.000 Continuity Correctionb 21.051 1 0.000 Likelihood Ratio 23.337 1 0.000 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 22.440 1 0.000 N of Valid Casesb 160

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for kategori status

gizi (gemuk / tidak gemuk) 5.296 2.595 10.811 For cohort Kelompok

Hipertensi 2.092 1.548 2.828 For cohort Kelompok Kontrol .395 .249 .626


(2)

3. Frekuensi Minum Kopi (cangkir/minggu) Hitung OR

Value df p

Pearson Chi-Square 1.162a 1 0.281 Continuity Correctionb 0.807 1 0.369 Likelihood Ratio 1.165 1 0.280 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 1.155 1 0.283 N of Valid Casesb 160

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi minum kopi (>= 7

cangkir/minggu / 0-6 cangkir/minggu) 0.677 0.333 1.378 For cohort Kelompok Hipertensi 0.816 0.553 1.204 For cohort Kelompok Kontrol 1.204 0.871 1.664

Total contoh 160

4. Hubungan

frekuensi

minum

kopi

dengan

hipertensi

dengan

penyesuaian umur < 40 tahun

Value df p

Pearson Chi-Square 1.597a 1 0.206 Continuity Correctionb 0.839 1 0.360 Likelihood Ratio 1.751 1 0.186 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 1.568 1 0.211 N of Valid Casesb 55

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi minum kopi (>= 7

cangkir/minggu / 0-6 cangkir/minggu) 0.359 0.070 1.842 For cohort Kelompok Hipertensi 0.444 0.112 1.757 For cohort Kelompok Kontrol 1.238 0.932 1.644


(3)

5. Hubungan

frekuensi

minum

kopi

dengan

hipertensi

dengan

penyesuaian umur ≥ 40 tahun

Value df p

Pearson Chi-Square 0.202a 1 0.653 Continuity Correctionb 0.047 1 0.828 Likelihood Ratio 0.200 1 0.655 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 0.200 1 0.655 N of Valid Casesb 105

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi minum kopi (>= 7

cangkir/minggu / 0-6 cangkir/minggu) 0.815 0.332 1.996 For cohort Kelompok Hipertensi 0.924 0.649 1.317 For cohort Kelompok Kontrol 1.135 0.659 1.953

Total Contoh 105

6. Hubungan

frekuensi

minum

kopi

dengan

hipertensi

dengan

penyesuaian status gizi IMT gemuk

Value df p

Pearson Chi-Square 0.853a 1 0.356 Continuity Correctionb 0.292 1 0.589 Likelihood Ratio 0.805 1 0.370 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 0.839 1 0.360 N of Valid Casesb 59

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi minum kopi (>= 7

cangkir/minggu / 0-6 cangkir/minggu) 0.520 0.128 2.111 For cohort Kelompok Hipertensi 0.826 0.515 1.324 For cohort Kelompok Kontrol 1.587 0.621 4.055


(4)

7. Hubungan

frekuensi

minum

kopi

dengan

hipertensi

dengan

penyesuaian status gizi IMT normal

Value df p

Pearson Chi-Square 0.000a 1 0.982 Continuity Correctionb 0.000 1 1.000 Likelihood Ratio 0.000 1 0.982 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 0.000 1 0.982 N of Valid Casesb 101

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi minum kopi (>= 7

cangkir/minggu / 0-6 cangkir/minggu) 0.990 0.409 2.395 For cohort Kelompok Hipertensi 0.994 0.562 1.756 For cohort Kelompok cKontrol 1.004 0.733 1.374

Total Contoh 101

8. Hubungan

frekuensi

minum

kopi

dengan

hipertensi

dengan

penyesuaian terdapat riwayat penyakit contoh

Value df p

Pearson Chi-Square 0.014a 1 0.905 Continuity Correctionb 0.000 1 1.000 Likelihood Ratio 0.014 1 0.905 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 0.014 1 0.907 N of Valid Casesb 22

Odds Ratio

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi minum kopi (>= 7

cangkir/minggu / 0-6 cangkir/minggu) 0.857 0.069 10.666 For cohort Kelompok Hipertensi 0.971 0.595 1.586 For cohort Kelompok Kontrol 1.133 0.149 8.644


(5)

9. Hubungan

frekuensi

minum

kopi

dengan

hipertensi

dengan

penyesuaian tidak terdapat riwayat penyakit contoh

Value df p

Pearson Chi-Square 1.386a 1 0.239 Continuity Correctionb 0.971 1 0.324 Likelihood Ratio 1.400 1 0.237 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 1.376 1 0.241 N of Valid Casesb 138

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi minum kopi (>= 7

cangkir/minggu / 0-6 cangkir/minggu) 0.632 0.293 1.361 For cohort Kelompok Hipertensi 0.768 0.483 1.220 For cohort Kelompok Kontrol 1.215 0.893 1.652

Total Contoh 138

10. Hubungan

frekuensi

minum

kopi

dengan

hipertensi

dengan

penyesuaian terdapat riwayat hipertensi keluarga

Value df

Asymp. Sig. (2-sided) Pearson Chi-Square 0.250a 1 0.617 Continuity Correctionb 0.027 1 0.869 Likelihood Ratio 0.247 1 0.619 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 0.247 1 0.619 N of Valid Casesb 75

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi minum kopi (>= 7

cangkir/minggu / 0-6 cangkir/minggu) 0.720 0.198 2.616 For cohort Kelompok Hipertensi 0.873 0.493 1.546 For cohort Kelompok Kontrol 1.212 0.590 2.491


(6)

11. Hubungan

frekuensi

minum

kopi

dengan

hipertensi

dengan

penyesuaian tidak terdapat riwayat hipertensi keluarga

Value df p

Pearson Chi-Square 0.034a 1 0.854 Continuity Correctionb 0.000 1 1.000 Likelihood Ratio 0.034 1 0.854 Fisher's Exact Test

Linear-by-Linear Association 0.033 1 0.855 N of Valid Casesb 85

Odds Ratio

OR

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Frekuensi minum kopi (>= 7

cangkir/minggu / 0-6 cangkir/minggu) 0.919 0.372 2.268 For cohort Kelompok Hipertensi 0.950 0.550 1.643 For cohort Kelompok Kontrol 1.034 0.724 1.477


Dokumen yang terkait

Hubungan Psoriasis Dengan Profil Lipid Pasien Rawat Jalan Di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012-2013

1 58 86

Hubungan Faktor-faktor Pemanfaatan Puskesmas Dengan Trend Kunjungan Rawat Jalan Pasca Pelaksanaan Kebijakan Pembebasan Biaya Retribusi Pelayanan Kesehatan Dasar Di Puskesmas Helvetia, Pasar Medan, dan Polonia Di Kota Medan Tahun 2006

9 56 141

Hubungan Kebiasaan Berolahraga Jalan Kaki dengan Kontrol Tekanan Darah Pada pasien Hipertensi

5 28 91

Perancangan Alat Pengukur Tekanan Darah Untuk Monitoring Pasien Rawat Jalan Dengan Tampilan Web

1 8 29

HUBUNGAN ASUPAN KALIUM DAN KONSELING GIZI DENGAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN Hubungan Asupan Kalium dan Konseling Gizi dengan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi di Surakarta.

0 2 18

PENDAHULUAN Hubungan Asupan Kalium dan Konseling Gizi dengan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi di Surakarta.

0 3 5

HUBUNTEKAN Hubungan Asupan Kalium dan Konseling Gizi dengan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan RSUD Dr. Moewardi di Surakarta.

0 2 16

HUBUNGAN TINGKAT STRES DAN ASUPAN NATRIUM DENGAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN Hubungan Tingkat Stres Dan Asupan Natrium Dengan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan Rsud Dr. Moewardi Di Surakarta.

0 1 19

PENDAHULUAN Hubungan Tingkat Stres Dan Asupan Natrium Dengan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan Rsud Dr. Moewardi Di Surakarta.

0 0 6

Hubungan Kebiasaan Mengkonsumsi Kopi dengan Tekanan Darah Pada Dewasa Muda

0 1 6