Pengaruh Pengolahan Terhadap Protein Pengalengan

Terapi untuk penderita defisiensi protein yang pertama harus ditanggulangi adalah gejala infeksi akut seperti kejang, diare, dan dehidrasi. Kemudian menangani infeksi spesifik sambil menangani kondisi kekurangan kalori protein KKP. Penanganan penyakit dilakukan dengan memberi makanan cair terlebih dahulu dengan kalori dan zat gizi yang cukup. Konsentrasi zat diberi secara parsial dan bertingkat. Bila penderita telah dapat bertahan dengan makanan cair konsentrasi tinggi maka dilanjutkan dengan pemberian makanan semi padat kemudian makanan padat Sediaoetama, 2008.

2.4 Pengaruh Pengolahan Terhadap Protein

Pada prinsipnya pengolahan pangan bertujuan untuk: 1 pengawetan, pengemasan dan penyimpanan produk pangan; 2 mengubah bahan pangan menjadi produk yang diinginkan; 3 mempersiapkan bahan pangan agar siap dihidangkan. Salah satu cara pengolahan yang sering digunakan adalah pemanasan seperti sterilisasi, pengeringan, penggorengan, perebusan, pengukusan, pemanggangan, pengalengan, dan pasteurisasi. Hal-hal yang terjadi pada proses pengolahan terhadap protein adalah a reaksi Maillard yaitu reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi yang terutama terjadi pada penggorengan yang menyebabkan timbul warna kecoklatan, b pembentukan lisinolalanin karena pengolahan protein dengan bahan yang bersifat alkali sehingga memutus ikatan silang protein, toksisitas bila termakan, dan kerusakan ginjal, c rasemisasi asam amino yaitu perubahan bentuk L asam amino menjadi bentuk D yang terjadi bila protein diproses dengan penambahan basa, asam dan pada proses pemanggangan, e interaksi protein dengan lemak teroksidasi menyebabkan protein bermodifikasi menjadi bentuk yang sulit dicerna oleh enzim proteolitik ataupun kerusakan asam Universitas Sumatera Utara amino yang mengandung sulfur akibat teroksidasi radikal bebas Palupi, dkk., 2007. Penelitian oleh Sumiati 2008 pada ikan mujair Tilapia moasambica membuktikan bahwa proses pengolahan yang berbeda akan mempengaruhi nilai gizi terutama kandungan proteinnya. Kandungan protein ikan mujair menurun dari 62,97 g100 g menjadi 59,84 g100 g pada perebusan, 59,05 g100 g pada pengukusan, 57,78 g100 g pada pemanggangan dan penurunan paling drastis terjadi pada penggorengan yaitu menjadi 33,32 g100 g.

2.5 Analisis Protein

Analisis protein dapat dilakukan dengan dua cara yaitu 1 secara langsung menggunakan zat kimia yang spesifik terhadap protein, contohnya seperti dengan pereaksi Biuret, Lowry, Bradford atau dengan metode pengikatan warna dimana konsentrasi ditentukan berdasarkan kompleks warna yang terbentuk; 2 secara tidak langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang terkandung di dalam bahan, contohnya metode Kjeldahl dan metode Dumas dimana kadar protein sebanding dengan total N yang terkandung di dalamnya Rhee, 2005.

2.5.1 Metode Kjeldahl

Sejak abad ke-19, metode Kjeldahl telah dikenal dan diterima secara universal sebagai metode untuk analisis protein dalam berbagai variasi produk makanan dan produk jadi Rhee, 2005. Penetapan kadar protein dengan metode Kjeldahl merupakan metode empiris tidak langsung yaitu melalui penetapan kadar N dalam bahan yang disebut protein kasar Estiasih, dkk., 2012. Prinsip metode Kjeldahl ini adalah senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen tersebut mengalami oksidasi dan dikonversi menjadi ammonia dan Universitas Sumatera Utara bereaksi dengan asam pekat membentuk garam amonium. Kemudian ditambahkan basa untuk menetralisasi suasana reaksi dan kemudian didestilasi dengan asam dan dititrasi untuk mengatahui jumlah N yang dikonversi Estiasih, dkk., 2012. Tahapan kerja pada metode Kjeldahl dibagi tiga yaitu: a. Tahap Dekstruksi Pada tahap ini, sampel dipanaskan dengan asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur karbon C, hidrogen H, oksigen O dan nitrogen N kemudian teroksidasi menjadi karbon monoksida CO, karbon dioksida CO 2 dan air. Unsur N akan bereaksi dengan asam sulfat membentuk garam amonium sulfat. Untuk mempercepat proses destruksi maka ditambahkan katalisator berupa campuran Na 2 SO 4 dan HgO atau K 2 SO 4 dan CuSO 4 . Gunning menyarankan penggunaan katalisator K 2 SO 4 dan CuSO 4 karena sifat kalium sulfat yang dapat menaikkan titik didih sehingga destruksi berlangsung lebih cepat dan sempurna. Terkadang dapat pula ditambahkan selenium untuk mempercepat proses oksidasi akan tetapi, selenium sifatnya lebih reaktif sehingga oksidasi berlangsung sangat cepat yang memungkinkan hilangnya unsur nitrogen Rohman dan Sumantri, 2007. Menurut Chang 1998, reaksi pada tahap destruksi adalah: H H H -OOC-C- NH -C- COO- NH- C- COO- NH 4 2 SO 4 R R R b. Tahap Destilasi Garam amonium sulfat yang terbentuk dipecah menjadi ammonia NH 3 dengan penambahan basa NaOH dan dipanaskan. Ammonia yang dilepas ditampung dalam larutan asam. Agar kontak antara asam dan ammonia H 2 SO 4 Katalis Universitas Sumatera Utara berlangsung sempurna maka ujung tabung destilasi harus tercelup sedalam mungkin dalam larutan asam. Pada tahap destilasi dapat juga ditambahkan logam Zn agar tidak terjadi superheating percikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar Rohman dan Sumantri, 2007. Menurut Chang 1998, reaksi pada tahap destilasi adalah: NH 4 2 SO 4 + H 2 O + 2 NaOH 2 NH 4 OH + Na 2 SO 4 NH 4 OH + H 2 SO 4 NH 4 HSO 4 + H 2 O c. Tahap Titrasi Bila larutan asam yang digunakan untuk penampung destilat adalah asam klorida dan asam sulfat maka sisa asam yang tidak bereaksi dengan amonia akan bereaksi dengan larutan pentiter yaitu NaOH. Tetapi bila digunakan larutan penampung destilat berupa asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan mentritrasi ion amonium dengan menggunakan pentiter HCl Rohman dan Sumantri, 2007. Menurut Chang 1998, reaksi pada tahap titrasi adalah sebagai berikut: H 2 SO 4 + 2NaOH Na 2 SO 4 + 2 H 2 O Menurut Rohman dan Sumantri 2007, kadar protein dalam sampel dapat dihitung dengan rumus: Kadar = � ������ − � ������ � � ���� � �,�14 � �� �� � 100 dimana : V = Volume Tirasi ml N = Normalitas NaOH FK = Faktor Konversi BS = Berat Sampel g Universitas Sumatera Utara Faktor konversi untuk berbagai macam bahan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Faktor konversi untuk berbagai macam bahan N o Bahan Faktor Konversi FK 1 Bir, sirup, biji-bijian, ragi, makanan ternak, buah-buahan, teh, anggur 6,25 2 Beras 5,95 3 Roti, gandum, makaroni, bakmi 5,70 4 Kacang tanah 5,46 5 Kedelai 5,75 6 Kenari 5,18 7 Susu 6,38 Sumber: Rohman dan Sumantri 2007 Keuntungan menggunakan metode Kjeldahl ini adalah dapat diaplikasikan untuk semua jenis bahan pangan, tidak memerlukan biaya yang mahal untuk pengerjaannya, dapat dimodifikasi sesuai kuantitas protein yang dianalisis. Adapun kerugiannya adalah yang ditentukan adalah jumlah total nitrogen yang terdapat didalamnya bukan hanya nitrogen dari protein, waktu yang diperlukan relatif lebih lama minimal 4 jam untuk menyelesaikannya, presisi yang lemah, pereaksi yang digunakan ada yang bersifat beracun, korosif dan berbahaya bagi kesehatan, dan adanya variasi faktor konversi untuk masing-masing sampel Chang, 1998.

2.5.2 Metode Spektrofotometri

Penentuan kadar protein dengan menggunakan instrumen dibagi menjadi dua yaitu: 1 metode pengukuran langsung pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm dan 2 metode pembentukan warna dengan pereaksi tertentu Simonian, 2005. Universitas Sumatera Utara 1. Metode pengukuran langsung pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm Absorbansi pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm digunakan untuk menghitung konsentrasi protein dengan terlebih dahulu distandarisasi dengan protein standar. Metode ini dapat dengan mudah diaplikasikan dan sederhana, cocok untuk larutan protein yang telah dimurnikan atau dimurnikan parsial. Penetapannya berdasarkan absorbansi sinar ultraviolet oleh asam amino triptopan, tirosin dan ikatan disulfida sistein yang menyerap kuat pada panjang gelombang tersebut, terutama panjang gelombang 280 nm Simonian, 2005. Keuntungan metode ini adalah waktu yang diperlukan untuk analisis cepat, memiliki sensitifitas yang baik, tidak ada gangguan dari ion ammonium dan garam-garam buffer, larutan sampel masih dapat digunakan untuk analisis lain selain analisis protein. Kerugian metode ini adalah asam nukleat juga memiliki absorbansi yang kuat pada panjang gelombang 280 nm, susunan asam amino aromatis dapat bervariasi untuk setiap sampel protein, larutan protein harus benar-benar jernih dan tidak berwarna ataupun keruh Chang, 1998. 2. Metode pembentukan warna dengan pereaksi tertentu a. Pereaksi Biuret Semua protein terususun dari asam-asam amino yang terhubung oleh ikatan-ikatan peptida. Ion Cu 2+ dari CuSO 4 dalam suasana basa NaOH akan membentuk kompleks dengan ikatan peptida protein -CO-NH-, kompleks ini memberikan akan warna sehingga konsentrasi protein dapat ditentukan dengan spektrofotometer sinar tampak Estiasih, dkk., 2012. Pemilihan protein standar dapat menyebabkan kesalahan fatal dalam analisis, standar yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi. Universitas Sumatera Utara Untuk analisis protein secara umum, standar Bovine Serum Albumin BSA merupakan pilihan yang baik untuk analisis protein karena memiliki kemurnian yang tinggi, dan harganya tidak terlalu mahal. Selain itu, Bovine Gamma Globulin BGG juga merupakan pilihan yang baik bila akan digunakan untuk analisis kadar protein immunoglobulin dalam tubuh, karena BGG memberikan warna dan kurva yang sangat mirip dengan Immunoglobulin G Ig G. Asam amino tunggal dan dipeptida tidak akan memberikan reaksi dengan Biuret, akan tetapi tripeptida dan polipeptida akan membentuk kompleks chelat. Satu ion Cu 2+ akan bereaksi dengan empat sampai enam ikatan peptida. Krohn, 2005. Reaksi protein dengan pereaksi Biuret dapat dilihat pada Gambar 6. Reaksi Biuret ini menunjukkan hasil yang positif melalui pembentukan warna ungu, merah violet, atau biru violet. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan banyaknya ikatan peptida yang bereaksi. Pereaksi Biuret merupakan dasar dari metode pembentukan warna yang paling sederhana untuk penetapan konsentrasi total protein secara kuantitatif Sumardjo, 2006; Krohn, 2005. Protein + Cu 2+ Gambar 6. Reaksi protein dengan pereaksi Biuret Krohn, 2005 Komplek s Cu 2+ Universitas Sumatera Utara Keuntungan dari metode ini adalah prosedur yang sederhana, tidak memerlukan biaya yang mahal, waktu yang digunakan relatif singkat, deviasai warna sangat sedikit bila dibandingkan dengan Lowry, Bradford dan metode turbidimetri sehingga absorpsi warnanya relatif stabil, sangat sedikit senyawa yang berinteraksi dengan pereaksi Biuret, dan tidak mendeteksi nitrogen dari sumber non-protein. Kerugiannya adalah kurang sensitif dibandingkan dengan Lowry dan Bradford, absorbansinya dapat dipengaruhi oleh asam empedu, konsentrasi garam ammonium yang sangat tinggi, adanya variasi warna untuk beberapa protein tertentu, bila bahan mengandung lemak dan karbohidrat yang sangat tinggi dapat menyebabkan larutan menjadi buram sehingga tidak dapat ditembus cahaya UV, dan karena metode ini bukan merupakan metode absolut sehingga absorpsi warnanya perlu terlebih dahulu distandarisasi terhadap protein murni seperti Bovine Serum Albumin BSA Chang, 1998. b. Pereaksi Lowry Pada tahun 1951, Oliver H. Lowry memperkenalkan penggunaan pereaksi ini yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Biuret. Metode ini diakui cukup sensitif untuk menentukan konsentrasi total protein Krohn, 2005. Prinsipnya tidak jauh berbeda dengan Biuret, dimana ion tembaga akan membentuk kompleks dengan ikatan peptida kemudian dengan adanya pereaksi fosfotungstik-fosfomolibdat akan mengoksidasi rantai samping asam amino sehingga menghasilkan warna dan konsentrasi protein dapat diukur dengan spektrofotometer Chang, 1998. Reaksi protein dengan pereaksi Lowry dapat dilihat pada Gambar 7. Universitas Sumatera Utara Gambar 7. Reaksi protein dengan pereaksi Lowry Krohn, 2005 Keuntungan analisis dengan pereaksi ini adalah memiliki sensitifitas yang lebih baik dibanding Biuret, lebih spesifik dibanding metode lain, dan waktu untuk analisis lebih singkat bila dibandingkan dengan metode Kjeldahl sekitar 1-1,5 jam. Kerugian analisis dengan pereaksi Lowry adalah variasi warnanya yang lebih banyak dibanding dengan pereaksi Biuret, warna yang terbentuk tidak secara tepat menggambarkan konsentrasi protein, reaksinya sangat dipengaruhi oleh senyawa-senyawa pengganggu seperti glukosa, lemak, garam buffer fosfat, senyawa-senyawa yang mengandung amin, gula pereduksi, garam ammonium dalam konsentrasi tinggi dan senyawa sulfhidril Chang, 1998. c. Pereaksi Bradford Pada tahun 1976, Marion Bradford memperkenalkan penggunaan pereaksi Coomassive Blue untuk penetapan secara kuantitatif konsentrasi total protein. Coomasive Blue ini akan berinteraksi dengan gugus samping asam amino yang memiliki ikatan rangkap sehinngga terjadi perubahan warna pereaksi dari merah Ikatan peptida Kompleks Cu 2+ Universitas Sumatera Utara menjadi biru Chang, 1998. Reaksi protein dengan pereaksi Bradford dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah ini. Keuntungan analisis dengan pereaksi Bradford adalah tidak menggunakan pereaksi yang berbahaya, hanya protein yang akan diukur, memiliki presisi yang lebih tinggi dibanding metode Kjeldahl, waktu analisis yang diperlukan singkat, biaya yang diperlukan tidak terlalu mahal, dan cukup akurat untuk digunakan dalam analisis kandungan total protein dalam makanan. Adapun kerugiannya adalah kandungan asam amino yang berbeda akan mempengaruhi kapasitas pembentukan warna, senyawa gula, kalsium dan fosfat dapat mengganggu ikatan warna sehingga akan mengganggu hasil analisis, dan adanya variasi absorbansi yang signifikan tegantung jenis protein Chang, 1998.

2.5.3 Metode Titrasi Formol

Prinsip metode ini adalah dengan adanya air dan penambahan Kalium oksalat, protein akan dihidrolisis menjadi asam-asam amino. Selanjutnya dengan penambahan formaldehid akan memblokade gugus basa asam amino membentuk Gambar 8. Reaksi protein dengan pereaksi Bradford Krohn, 2005 Protein Kompleks protein-zat warna Universitas Sumatera Utara gugus dimethilol sehingga tidak mengganggu reaksi antara NaOH dengan gugus asam dari asam amino dan konsentrasi protein dapat ditentukan. Titrasi formol ini kurang tepat untuk menentukan kadar protein dam lebih tepat digunakan untuk menunjukkan proses hidrolisis protein Estiasih, dkk., 2012.

2.5.4 Metode Dumas

Pada metode ini sampel dioksidasi pada suhu sangat tinggi 700-900°C. Hasil oksidasi menghasilkan gas O 2 , N 2 dan CO 2 . Gas nitrogen yang dilepaskan dikuantitasi menggunakan kromatografi gas dengan detektor konduktivitas termal Thermal Detector ConductivityTDC kemudian jumlah nitrogen yang diperoleh dikonversi. Jumlah nitrogen dalam sampel sebanding dengan kadar proteinnya Pomeranz dan Meloan, 1987. Keuntungan metode ini adalah merupakan metode alternatif dari metode Kjeldahl tetapi waktu analisis yang diperlukan lebih singkat dari metode Kjeldahl, tidak menggunakan senyawa yang berbahaya, banyak sampel dapat diukur sekaligus karena perkembangan alatnya yang sudah menggunakan sistem otomatis. Adapun kekurangan metode ini adalah membutuhkan instrumen analisis yang mahal, tidak mengukur kadar protein yang sesungguhnya karena yang diukur adalah total nitrogen sehingga nitrogen non-protein juga terukur sebagai protein, memiliki variasi faktor konversi, membutuhkan sampel dalam jumlah besar untuk analisis Chang, 1998.

2.6 Pengalengan

Sistem pengawetan pangan secara umum adalah menghambat pertumbuhan mikroba. Pada akhir tahun 1795, Nicolas Appert, seorang pembuat kembang gula yang bekerja di dapur sederhana mengamati bahwa makanan yang dipanaskan di Universitas Sumatera Utara dalam suatu kemasan tertutup tetap awet bila kemasan tersebut tidak dibuka lagi atau tutupnya tidak bocor. Setelah beliau menghabiskan sepuluh tahun untuk membuktikannya, proses tersebut disebutnya dengan “seni Appertisasi”. Berdasarkan penemuan oleh Appert inilah pengawetan dengan pengalengan mulai dikembangkan. Pada tahun 1810, Peter Durant membuat hak paten untuk kemasan gelas dan logam untuk mengemas bahan pangan. Kemasan logam ini terbuat dari timah yang tebal, kasar dan sulit ditutup yang disebut canisters. Istilah can atau kaleng diduga berasal dari kata canisters tersebut Desrosier, 2008. Appert mensyaratkan bahwa kemasan bahan pangan harus ditutup dan dipanaskan dengan hati-hati dan kebersihan adalah hal yang penting dalam keseluruhan proses karena mikrobalah yang merupakan agensia pembusuk. Proses Appertisasi selalu menggunakan istilah kedap hermetic yang berarti penutupan rapat sehingga dapat mencegah terjadinya pembusukan dan fermentasi. Organisme tertentu masih resisten terhadap panas dan mampu membusukkan makanan kaleng walupun sudah dipanaskan pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, selain proses pemanasan, proses pendinginan juga merupakan hal yang penting, kaleng harus segera didinginkan agar organisme termofil yang masih hidup selama proses pemanasan dapat dimatikan Desrosier, 2008. Pengalengan hingga kini masih dianggap sebagai salah satu metode pengawetan pangan yang cukup efektif untuk mempertahankan daya simpan bahan. Proses pengalengan secara umum meliputi proses preparasi bahan dimana bahan dicuci kemudian disortasi, dikuliti dan direndam dalam air bersuhu 85-95°C yang disebut blanching. Blanching merupakan salah satu proses penting dalam pengalengan yang bertujuan untuk menghentikan aktivitas enzim bahan, Universitas Sumatera Utara mengurangi jumlah mikroba dan mengurangi gas sehingga membantu proses pengvakuman. Setelah preparasi selesai, bahan diisikan ke dalam kaleng beserta bahan-bahan tambahan lain yang diperlukan. Proses pengisian harus memperhatikan berat bahan dan volume ruang pengisian. Selanjutnya, kaleng dijenuhkan dengan metode pengaliran uap panas dan segera disegel agar tutup kaleng dapat menutup dengan rapat dan baik. Yang terakhir adalah proses sterilisasi. Proses ini dilakukan dengan cara sterilisasi panas pada suhu diatas 130°C Ramaswamy dan Chen, 2004. Keunggulan dari metode pengawetan dengan pengalengan adalah hampir semua bahan pangan dapat diawetkan dengan metode ini, mutunya stabil baik dalam skala besar maupun kecil, dapat digunakan segera bila diperlukan, daya simpannya lebih lama dibandingkan bahan segarnya, teksturnya mendekati tekstur bahan segar, kemasan kaleng melindingi bahan dari partikel-partikel asing dari luar, gas-gas, tekanan udara baik dari dalam maupun dari luar kaleng maupun benturan yang dapat merusak mutu bahan Winarno, 1995. Akan tetapi, pengalengan ini juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah penambahan garam dengan konsentrasi tinggi dan bahan pengasam dimana garam dan asam dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan protein, di samping itu juga harus melalui beberapa tahap pemanasan dalam prosesnya. Sebelum dikalengkan, bahan harus direndam terlebih dahulu dalam air panas bersuhu 85-95°C untuk menghentikan aktivitas enzimnya, kemudian kaleng dibuat vakum dengan metode penjenuhan uap panas. Sterilisasi untuk pengalengan juga dilakukan dengan pemanasan pada suhu diatas 130°C. Penambahan bahan pengasam dan pemanasan yang berulang kali ini akan Universitas Sumatera Utara menyebabkan penurunan kandungan nutrisi bahan makanan terutama zat yang tidak tahan panas seperti vitamin dan protein Ramaswamy dan Chen, 2004. Selain suhu pemanasan dan lama pemanasan, kecepatan penetrasi panas dalam makanan kaleng juga turut serta memberikan peranan terhadap nilai gizi makanan kaleng. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan penetrasi panas dalam makanan kaleng yaitu: luas permukaan kaleng, volume kaleng, sifat dan komposisi dari wadah kaleng yang digunakan, konsistensi produk, suhu pemanasan, kecepatan rotasi atau agitasi kaleng, isi dan ruang di atas kaleng head space dan metode pengemasan makanan ke dalam kemasan kaleng Buckle, dkk., 1985. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aberoumand 2011 pada ikan tuna Orcynopsis unicolor dan Euthynus affinis menunjukkan kadar protein yang ditetapkan dengan metode Kjeldahl pada kedua spesies ikan tuna tersebut menurun setelah dikalengkan. Namun, setelah penyimpanan selama enam bulan dengan rentang pengukuran dua bulan menunjukkan adanya peningkatan kadar protein sekitar 2-3. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Maheswa, dkk 2011 pada ikan tuna Euthynus affinis dalam medium kari dengan variasi kaleng yang mengandung timah dan kaleng bebas timah dimana kadar protein juga menurun dari sebelum dikalengkan dengan setelah dikalengkan dan kadar protein juga meningkat setiap bulannya selama lima bulan penyimpanan. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu penetapan kadar protein dalam sampel. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi dan Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Januari hingga April 2013.

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat instrumen Spektrofotometer Shimadzu model UV-1800, neraca analitik Mattler Toledo, centrifuge Hitachi, lumpang, stamfer, gelas ukur Orberol, labu ukur Orberol, maat pipet Pyrex, gelas beker Pyrex, erlenmeyer Pyrex, tabung Kjeldahl, hot plate, magnetic stirrer, selang air, pendingin liebig, buret, statis, klem, batang pengaduk, bola pengisap, pipet tetes, blender, kertas saring, spatula dan corong.

3.2 Bahan-bahan

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini bila tidak dinyatakan lain adalah berkualitas pro analisis E. Merck antara lain Bovine Serum Albumin BSA BDH Chemicals, aquadestilata, K Na Tartrat, KI, CuSO 4 , K 2 SO 4, H 2 SO 4 98 vv , NaOH, metilen biru, metilen merah, dan alkohol 96.

3.3 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif, artinya sampel dipilih hanya atas dasar pertimbangan peneliti yang menganggap unsur-unsur yang Universitas Sumatera Utara