BAB II GAMBARAN UMUM BANK GARANSI SEBAGAI
PENGALIHAN KEWAJIBAN
A. Bank Garansi Sebagai Bentuk Usaha Bank
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa defenisi Bank Garansi BG adalah jaminan yang diberikan oleh bank, maksudnya bank menyatakan
suatu pengakuan tertulis yang isinya menyetujui mengikatkan diri kepada penerima jaminan dalam jangka waktu dan syarat-syarat tertentu apabila
dikemudian hari ternyata si terjamin ternyata tidak memenuhi kewajibannya kepada si penerima jaminan.
30
Berdasarkan pengertian dari Bank Garansi di atas tergambarkan bahwa mengenai pemberian Bank Ganransi ini sebenarnya terjadinya suatu pengalihan
kewajiban karena dipersyaratkan adanya suatu perjanjian atau kontrak sebelumnya.
Dalam praktek perbankan, umumnya juga menuju kepada suatu pengertian dan maksud yang sama mengenai pengalihan kewajiban dimasud. Untuk lebih
memahami mengenia pengalihan kewajiban dalam Bank Garansi ini, maka dikutip dari beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 2388Kep.Dir tanggal 18 Maret 1991 Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian
yang dibagi ke dalam 3 tiga bagian yang luas yaitu:
31
30
Muhammad Djumhana., Op. cit., hal. 460.
31
Pasal 1 angka 3 a SK. Direksi Bank Indonesia Nomor 2388Kep.Dir tanggal 18 Maret 1991.
Universitas Sumatera Utara
a. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang
mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji wanprestasi;
b. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-
surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin
cidera janji wanprestasi; dan
c. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat
menimbulkan kewajiban finansial bagi bank.
Sehubungan dengan hal itu, Y. Sunyoto memberikan defenisi mengani bank garansi yaitu:
32
”Bank garansi itu merupakan jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank atau oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank LKBB
yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima jaminan apabila pihak yang dijamin cidera janji wanprestasi.”
Sementara menurut OP. Simorangkir, ”Bank garansi artinya garansi atau jaminan yang diberikan oleh bank komersial, maksudnya bank menjamin si
nasabah terjamin memenuhi kewajiban para pihak lain sesuai dengan persetujuan”.
33
Pada Bank garansi menurut Bank Rakyat Indonesia Cabang Putri Hijau Medan itu sendiri menganut pengertian mengenai bank garansi yaitu:
34
”Bank Garansi BG adalah jaminan yang diberikan oleh bank untuk kepentingan nasabah, yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan
kepada penerima jaminan pihak ketiga bahwa bank akan memenuhi kewajiban nasabah kepada penerima jaminan pihak ketiga apabila
nasabah wanprestasi tidak memenuhi kewajiban kepada penerima jaminan pihak ketiga sesuai dengan yang telah diperjanjikan.”
32
Y. Sunyoto., Hukum Perbankan Di Indonesia, Jakarta: Sebelas Maret Unversity Press, 1995, hal. 32.
33
OP. Simorangkir., Seluk Beluk Bank Komersial, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1986, hal. 133.
34
Surat Edaran Nose: S.10-DIRADK042003 tentang Bank Garansi, Surat Edaran ini dijadikan pedoman perkreditan di Bank Rakyat Indonesia Cabang Putri Hijau Medan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian perlu disadari bahwa dengan memberikan BG, berarti bank telah membuat pengakuan atau janji secara tertulis kepada penerima jaminan
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban nasabah kepada penerima jaminan pihak ketiga apabila nasabah wanprestasi dengan membayar sejumlah uang
tertentu. Dalam hubungan transaksi ini, jelas bahwa dengan pemberian BG, resiko yang dihadapi oleh penerima jaminan pihak ketiga diambil alih oleh bank.
Sebagai kompensasi atas kesanggupan mengambil alih resiko ini, bank harus mendapatkan fee provisi dan meminta kontra garansi dari nasabah sebagai pihak
yang dijamin oleh bank dalam jumlah yang memadai sesuai dengan perhitungan bisnis.
Di samping kesadaran akan adanya resiko, hal selanjutnya yang paling mendasar untuk difahami yaitu bahwa resiko BG akan terjadi apabila nasabah
sebagai pihak yang dijamin oleh bank yang diberikan jaminan oleh bank melakukan perbuatan wanprestasi. Dengan demikian analisis resiko harus diawali
dengan menilai kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga penerima jaminan yang mencakup aspek-aspek kualitatif seperti karakter
dan manajemen dan aspek kuantitatif kondisi finansial nasabah. Dengan memperhatikan pengertian di atas dapat dipahami bahwa lahirnya
BG didahului adanya proses transaksi antara nasabah dengan pihak ketiga penerima jaminan, sehingga BG merupakan perjanjian accesoir dan perjanjian
pokoknya yaitu transaksi antara nasabah dengan pihak ketiga penerima jaminan. Ditinjau dari segi hukum BG termasuk perjanjian penggunaan borgtocht,
yang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata, yang
Universitas Sumatera Utara
mengatur mengenai penangguhan hutang secara umum. Sedangkan ketentuan yang mengatur bentuk dan syarat-syarat minimal BG, ditentukan oleh Bank
Indonesia yang akan dijelaskan pada bab III penelitian ini. Dalam ketentuan yang mengatur materi BG, antara lain diatur mengenai
klausula yaitu ketentuan yang mengatur bahwa dalam fungsinya sebagai penanggung borg, bank melepaskan hak-hak istimewa sebagaimana diatur
dalam Pasal 1831 KUH Perdata, sehingga dengan demikian bank harus membayar klaim yang diajukan oleh penerima BG apabila nasabah wanprestasi.
Sejalan dengan pengertian di atas, pemberian BG harus dilakukan sesuai dengan filosofis dan proses pemberian kredit, baik menyangkut analisis kelayakan
dan analisis resiko maupun ketentuan kewenangan memutus.
35
Dilihat dari keentuan KUH Perdata, garansi bank adalah perjanjian penangguhan utang borgtoch sebagaimana diatur dalam Buku III Bab XVII,
yakni Pasal 1820 sampai dengan 1850, dimana bank dalam hal ini bertindak sebagai penanggung.
Pengaturan Bank Garansi semula diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 11110KEPDIRUPPB tentang pemberian jaminan oleh
bank dan pemberian jaminan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank, tanggal 29 Maret 1977. Mengungat perkembangan perbankan Indonesia setelah Paket
Kebijakan 1988, maka peraturan mengenai pemberian Bank Garansi tersebut perlu disempurnakan sehingga keluarlah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 2388KEPDIR tentang Pemberian Garansi Bank tanggal 18 Maret 1999.
35
Muhammad Djumhana., Op. cit, hal. 461.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk Bank Garansi menurut Pasal 1 Ayat 3 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 2388KEPDIR tersebut di atas adalah:
1. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang
mengakibatkan kewajiban membayar terhadap yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji wanprestasi;
2. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat
berharga, seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila yang dijamin cidera
janji wanprestasi; dan 3.
Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank.
Bentuk dari garansi sebagaimana yang diuraikan pada Angka 1 tersebut berupa Bank Garansi atau disebut sebagai Standby Letter of Credit Standby LC
atau SBLC. Menyangkut penerbitan garansi ini, bank dapat menerbitkannya, baik dalam mata uang rupiah maupun mata uang asing. Hal yang harus diperhatikan
pula oleh bank yang menjalankan kegiatan pelayanan atau penerbitan garansi, yaitu:
1. Penerbitan garansi terkena ketentuan tentang batas maksimum pemberian
kredit dan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum KPMM, dimana penghitungannya dilakukan secara gabungan sehingga meliputi pemberian
garansi oleh kantor bank, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 2388KEPDIR tersebut di atas;
Universitas Sumatera Utara
2. Penerbitan Bank Garansi atau Standby LC atas permintaan bukan
penduduk hanya diperkenankan apabila disertai dengan kontrak garansi dari bank di laur negeri yang bonafid dalam pengertian bank tersebut
tidak termasuk cabang bank yang bersangkutan di luar negeri, atau setoran sebesar 100 dari nilai garansi yang diberikan, hal ini sesuai
denga ketentuan dalam Pasal 8 Ayat 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 2388KEPDIR tersebut di atas; dan
3. Bank dilarang bertindak sebagai Pnejamin Emisi Efek, ditentukan dalam
Pasal 8 Ayat 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 2388KEPDIR tersebut di atas.
Dalam kegiatan pelayanan jasa berupa penerbitan garansi, maka bank penerbit akan menerima imbalan jasa dari si terjamin berupa provisi keuntungan
berupa fee. Di samping pembebanan provisi, semua biaya yang timbul akibat pemberian Bank Garansi menjadi beban pihak yang diberi jaminan sebagaimana
juga yang berlaku dalam pemberian kredit. Dalam KUH Perdata secara umum mengenal bentuk perjanjian semacam
garansi bank atau Bank Garansi. Dengan demikian ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata berlaku pula dalam perjanjian Bank Garansi. Tetapi mengenai
bentuk dan syarat-syarat yang lebih rinci diserahkan kepada para pihak. Hanya saja karena Bank Garansi ini perjanjiannya sering dilakukan dan banyak
digunakan, maka agar bank-bank memiliki pedoman yang lengkap dalam pelaksanaan pemberian Bank Garansi sesuai dengan Pasal 2 Ayat 2 ditetapkan
Universitas Sumatera Utara
syarat-syarat pemberian Bank Garansi yang dalam penelitian ini dibahas pada sub bab selanjutnya.
36
Telah disebutkan terdahulu bahwa Bank Garansi merupakan bagian dari pemberian kredit yang juga merupakan salah satu bentu fasilitas usaha yang
diperbolehkan dikelola oleh bank-bank. Dalam pemberian garansi, di samping pemberian Bank Garansi, ada bentuk lain yang berhubungan dengan Bank Garansi
ini yaitu: 1.
Garansi yang berhubungan dengan surat berharga. Bentuk lain dari garansi yang diterbitkan bank dapat berbentuk penandatanganan kedua dan
seterusnya atas surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila
yang dijamin cidera janji wanprestasi. Menurut ketentuan dalam Pasal 3 Ayat 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 2388KEPDIR,
pemberian Bank Garansi ini berlaku sejak tanggal dilakukannya pembubuhan tanda tangan oleh bank dan berakhir apabila:
a. Telah ada pembayaran dari debitur, baik dalam hal tidak terjadi
protes maupun dalam hal terjadi protes yang kemudian diterima; b.
Tidak diterima pemberitahuan protes dalam tenggang waktu dan menurut ketetuan yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang; dan c.
Tenggang waktu penuntutan pembayaran menurut Kitab Undang- Undang Hukum Dagang dan KUH Perdata telah kadaluarsa, dalam
36
HR. Daeng Naja., Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2005, hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
hal diterima pemberitahuan protes sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
2. Garansi yang berhubungan dengan perjanjian bersyarat. Bentuk lain dari
garansi yang diterbitkan oleh bank dapat berbentuk garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban
finansial bagi bank. Adapun konkritnya dapat berupa surat yang dapat menimbulkan kewajiban membayar suatu jumlah tertentu apabila pihak yang
dijamin tersebut cidera janji wanprestasi atau berupa Letter of Credit LC. Penerbitan LC tunduk pada ketentuan Uniform Customs and Practices for
Documentary Credit UCP. Menurut ketentuan Pasal 4 Ayat 2 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 2388KEPDIR, pemberian
garansi ini berlaku sejak saat penandatanganan garansi dan berakhir pada saat realisasi garansi dalam hal syarat perjanjian dipenuhi atau pada saat tidak
dipenuhi syarat perjanjian. Menurut Widjanarto, jenis Bank Garansi BG yang dapat diberikan oleh
bank, antara lain adalah:
37
a. Bank garansi untuk jaminan tender dalam negeri tender bid bond. Bank
garansi jenis ini diberikan kepada peserta tender yang diadakan oleh pihak- pihak di Indonesia dalam rangka suatu proyek atau suatu pesanan. Bank
Garansi tersebut tidak dapat dipakai sebagai jaminan bank untuk penarikan uang muka dan berlaku untuk satu kali tender saja;
b. Bank Garansi untuk jaminan penerimaan panjaruang muka atau
voorschot. Dalam suatu kontrak kerjapembelian suatu proyekbarang, adakalanya pemilik proyekpembeli barang lebih dahulu sehingga atas
uang mukapenyerahan barang tersebut diperlukan adanya Bank Garansi;
c. Bank Garansi untuk bea cukai guna penangguhan bea masuk. Bank
Garansi jenis ini diberikan kepada importir yang memasukkan barang ke dalam negeri. Bank Garansi untuk importir tersebut biasanya hanya dapat
37
Ibid., hal. 88.
Universitas Sumatera Utara
diberikan apabila LC importirnya dibuka melalui bank penerbit Bank Garansi;
d. Bank Garansi untuk bea dan cukai guna penangguhan pembayaran pita
cukaitembakau. Bank Garansi jenis ini biasanya diberikan kepada perusahaan-perusahaan rokok besar yang bonafid;
e. Bank Garansi untuk penyaluragendealerdepot holder sehubungan
dengan transaksi yang bertalian dalam rangka penunjukan oleh produsen maupun yang bukan produsen; dan
f. Lain-lain jenis Bank Garansi yang diperkenankan oleh peraturan Bank
Indonesia maupun pemerintah.
Selain yang telah disebutkan di atas mengenai bentuk-bentuk lain yang berhubungan dengan Bank Garansi, maka terdapat pula usaha bank lain seperti
Bank Perspesi, dan Swap Bunga. Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi adalah bank yang ditunjuk
Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak. Penunjukan bank sebagai Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi baik bagi kantor pusat maupun seluruh cabang bank yang
bersangkutan. Untuk dapat ditunjuk sebagai Bank Perspesi Direksi bank yang bersangkutan mengajukan surat permohonan kepada Menteri Keuangan melalui
Direktur Jenderal Anggaran dengan tembusan disampaikan kepada Direksi Bank Indonesia.
38
Swap Bunga merupakan salah satu bentuk dari transaksi derivatif sebagaimana digambarkan dalam pengertian transaksi derivatif yang terdapat
dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28119KEPDIR
38
Ibid, hal. 465.
Universitas Sumatera Utara
tentang Transaksi Derivatif tanggal 29 Desember 1995.
39
Menurut ketentuan yang baru, transaksi derivatif adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau
perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari, seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks baik yang
diikuti dnegan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, tetapi tidak termasuk transaksi derivatif kredit.
40
Penggunaan instrument Bank Garansi dalam bertransaksi saat semakin hari semakin banyak digunakan bukan saja dalam bertransaksi secara lokal namun
sudah menggapai secara internasional. Bahkan dalam kondisi dan transaksi tertentu Bank Garansi sering juga digunakan sebagai pengganti Letter of Credit.
Dalam tranksasi Bank Garansi di Indonesia terdapat dua landasan hukum yang umum dipakai yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga
Bab XVII dari pasal 1820 sd pasal 1850 yakni perihal Penjaminan dan Peraturan Bank Indonesia dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.2388KEPDIR tanggal 18 Maret 1991 yang diedarkan melalui Surat Edaran No.237UKU tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Bank Garansi oleh Bank.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tersebut di atas mengikat bagi seluruh perbankan yang beroperasi dan di bawah pengawasan Bank Indonesia dan
bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi dalam rangka pembinaan dan pengawasan dan bahkan untuk pelanggaran pada pasal-pasal tertentu dapat
dikenakan sanksi tambahan berupa denda 3 dari nilai nominal pelanggaran SE
39
Peraturan ini termasuk peraturan yang sudah lama dan saat ini sudah diganti dengan peraturan yang baru yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor 731PBI2005 tentang Transaksi
Derivatif.
40
Pasal 1 Angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 731PBI2005 tentang Transaksi Derivatif.
Universitas Sumatera Utara
Bank Indonesia No.237UKU tanggal 18 Maret 1991 butir 13.1 dan 13.2 dan Keputusan Direksi Bank Indonesia No.2388KEPDIR tanggal 18 Maret 1991
pasal 5 ayat 1 dan 2. Dari kedua landasan hukum tersebut di atas masing-masing bank akan
membuat ketentuan internal yang wajib dilaksanakan oleh para pegawai yang ada di bank tersebut. Dalam membuat ketentuan internal tentunya bank akan
menafsirkan kedua dasar hukum dimaksud berdasarkan persepsi dan pendapatnya masing-masing sehingga tidak mengherankan jika ketentuan tentang Bank
Garansi dari satu bank dengan bank lainnya akan berbeda. Dalam Keputusan Direksi Bank Indonesia No.2388KEPDIR tanggal 18
Maret 1991 pasal 2 dan atau SE Bank Indonesia No.237UKU tanggal 18 Maret 1991 butir 4 disebutkan bahwa dalam penerbitan Bank Garansi pihak penerbit
Bank Garansi Bank sekurang-kurangnya memuat 8 delapan hal sebagai berikut:
1. Judul “Garansi Bank” atau “Bank Garansi”
2. Nama dan alamat bank pemberi
3. Tanggal penerbitan
4. Transaksi antara pihak yang dijamin dengan penerima jaminan sesuai
dengan jenis bank garansi 5.
Jumlah uang yang dijamin 6.
Tanggal mulai berlaku dan berakhir 7.
Penegasan batas waktu poengajuan klaim
Universitas Sumatera Utara
8. Dengan tegas menyebutkan tunduk pada pasal 1831 atau pasal 1832 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas khususnya butir 4 dan adanya
pemahaman bahwa Garansi Bank merupakan perjanjian buntut accessoir yang ditinjau dari segi hukum merupakan perjanjian penanggunan borgtocht maka
Bank Garansi akan ada atau dapat diterbitkan jika ada perjanjian induk yang mendahuluinya. Dengan demikian, Bank Garansi juga akan berakhir secara
hukum jika perjanjian induk yang mendahuluinya tersebut berakhir. Berdasarkan hal tersebut maka setiap penerbitan Bank Garansi wajib
didukung adanya dokumen yang menjadi dasar diterbitkannya Bank Garanis dimaksud seperti : Undangan Tender untuk Tender Bond, KontrakSales
AgreementAgreement lainnya untuk Performance Bond dan dokumen-dokumen lain sebagai dasar penerbitan Bank Garansi underlying transaction.
Permasalahan yang ada saat ini adalah, bahwa sesuai Keputusan Presiden No.80 tahun 2003 untuk pengadaan barangjasa yang bersumber pada
APBNAPBD pada pasal 31 ayat 1 menyebutkan, ”Para pihak menandatangani kontrak selambat-lambatnya 14 empat belas hari kerja terhitung sejak
diterbitkannya Surat Keputusan Penetapan Pengadaan BarangJasa dan setelah penyedia barangjasa menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5”.
Artinya, penyedia barangjasa wajib menyerahkan Bank Garansi Pelaksaan terlebih dahulu sebelum kontrak ditandatangani. Dihadapkan pada SE Bank
Indonesia No.237UKU tanggal 18 Maret 2008 maka terdapat pertentangan khususnya tentang kapan Bank Garansi harus diterbitkan.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai Bank Indonesia, Bank Garansi merupakan acessoir dari perjanjiankontrak yang ada yakni Bank Garansi akan adaditerbitkan apabila ada
kontrakperjanjian yang mendahuluinya sebagai underlying transaction. Sedangkan Keppres mengatur bahwa Bank Garansi harus ada sebelum kontrak
ditandatangani. Jadi jika kedua ketentuan dimaksud saling dihadapkan maka seperti halnya menentukan mana yang lebih dahulu antara telur atau ayam.
Dengan adanya pertentangan kedua peraturan dimaksud maka bank dihadapkan kepada masalah yang dilematis:
1. Jika mengikuti Keppres No.80 tahun 2003 maka Bank sebagai penerbit
Bank Garansi dapat dianggap melanggar ketentuan SE Bank Indonesia No.237UKU tanggal 18 Maret 1991.
2. Jika mengikuti SE Bank Indonesia No.237UKU tanggal 18 Maret 1991
sebagai ketentuan yang sifatnya wajib diikuti oleh seluruh perbankan di Indonesia, maka kemungkinan besar Bank Garansi tidak akan dapat
diterbitkan karena sifatnya yang accessoir dimaksud. Dengan demikian bank tidak dapat melayani kepentingan nasabahnya dan akan kehilangan
bisnisnya. Demikian pula kontraktorsupplier penyedia jasa pada proyek-proyek yang
bersumber pada APBNAPBD akan menghadapi dilema yang sama dimana posisinya menjadi sulit, apalagi dihadapkan pada kenyataan bahwa
kontraktorsupplier pada posisi tawar yang lebih rendahlemah dibandingkan pemberi kerja.
Universitas Sumatera Utara
Menghadapi kondisi dimaksud dan demi pelayanan kepada nasabahnya maka banyak bank melakukan kebijakan yang disesuaikan dengan
kepentingannya untuk dapat memenuhi kebutuhan nasabah antara lain dengan menerima Surat Perintah Kerja dari pemberi kerja sebagai underlying transaction
dalam penerbitan Bank Garansi. Apakah dengan diterbitkannya Bank Garansi yang mengacu kepada Surat Perintah Kerja dimaksud permasalahan Bank Garansi
dapat selesai dan teratasi? Jawabnya tentu belum. Hal ini mengingat Surat Perintah Kerja bukanlah perjanjianagreement yang menjelaskan hak dan
kewajiban masing-masing pihak namun baru sepihak saja. Memperhatikan semakin banyaknya penggunaan instrument Bank Garansi
dalam bertransaksi dan dikaitkan dengan 2 ketentuan yang ada tersebut di atas, mungkin perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian baik terhadap SE Bank
Indonesia No.237UKU tanggal 18 Maret 1991 yang saya annggap sudah cukup lama sejak tahun 1991 maupun terhadap Keputusan Presiden No.80 tahun 2003
itu sendiri. Khusus untuk perbaikan terhadap SE Bank Indonesia mungkin perlu pula
diatur dapat tidaknya penggunaan Uniform Rules for Demang Guarantee Pub.458 di wilayah Indonesia, karena hal ini juga sering menjadi permasalahan dalam
transaksi Bank Garansi. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa bank garansi merupakan perjanjian
buntut assesoir dari perjanjian induknya. Artinya suatu bank garansi baru akan terbit jika ada perjanjian induk sebagai underlying transaction yang menjadi dasar
diterbitkannya suatu bank garansi.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh suatu bank garansi diterbitkan atas dasar perjanjiankontrak “X” antara “A” dengan “B” dimana “A” adalah pembeli suatu
produk dari “B”. Karena “B” ingin memperoleh kepastian tentang pembayaran atas barang yang nanti akan diserahkannya kepada “A”, maka “B” meminta
kepada “A” untuk menyerahkan suatu bank garansi jaminan pembayaran sebesar nilai transaksinya. Selanjutnya atas dasar perjanjianakontrak “X” tersebut “A”
meminta kepada bank “P” untuk menerbitkan bank garansi pembayaran dan selanjutnya menyerahkan bank garansi dimaksud kepada “B” selaku pihak yang
menerima. Bank garansi yang diterbitkan oleh bank “P” berisi suatu pernyataanjanji kepada “B” bahwa apabila “A” tidak memenuhi kewajibannya
berdasarkan perjanjiankontrak “X” tidak membayar barang yang diserahkan oleh “B” maka bank “P” akan membayar kepada “B” sebesar maksimal nilai bank
garansi nilai penjaminan. Jadi dalam hal ini hak yang dimiliki “B” atas bank garansi dimaksud baru timbul atau baru dapat digunakan apabila “A” tidak
memenuhi kewajiban kepadanyawanprestasi. Sedangkan jika “A” telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada “B” maka hak “B” berdsarkan
bank garansi akan berakhir. Selanjutnya, mengingat “B” sebenarnya bukanlah produsen dari produk
yang dijualnya, dalam hal ini “B” bertindak sebagai perantara, maka “B” perlu memesan produk dimaksud kepada produsen, misalnya dalam hal ini adalah “C”.
Sebagaimana halnya “B”, maka produsen “C” juga menginginkan kepastian jaminan pembayaran atas barang yang dipesan “B” sehingga ketika
kontrak sales agreement “Y” ditandatangani maka “B” diminta untuk
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan bank garansi sebesar nilai transaksinya dan “B” mendatangi bank- nya bank “Q” untuk menerbitkan bank garansi dengan jaminan bank garansi
yang diterima “B” dari bank “P”. Sepintas skema transaksi dimaksud nampaknya logis dan dapat
dilaksanakan. Namun jika ditinjau dari aspek resiko, maka penerbitan bank garansi dengan skema “back to back” sebagaimana diilustrasikan di atas sangatlah
beresiko bagi bank “Q” dengan analisis sebagai berikut : 1.
Bank garansi yang diserahkan oleh “B” sebagai jaminan kepada bank “Q” adalah transaksi antara “B” dengan “A” dimana bank “P” selaku penerbit
bank garansi akan membayar kepada “B” apabila “A” tidak melaksanakan kewajibannya kepada “B” berdasarkan perjanjiankontrak “X” sebagai
underlying transaction. 2.
Bank garansi yang akan diterbitkan oleh bank “Q” adalah transaksi antara “B” dengan “C” dimana bank “Q” akan membayar kepada “C” jika “B”
tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan kontrak “Y” sebagai underlying transaction.
3. Jika “B” tidak memenuhi kewajibannya kepada “C” maka “C” akan klaim
kepada bank “Q” dan bank “Q” akan membayar klaim dimaksud. Sumber dana untuk penggantian uang yang telah dibayarkan oleh bank “Q” kepada
“C” adalah bank garansi yang dijaminkan oleh “B” yakni bank garansi yang diterbitkan oleh bank “P”.
Universitas Sumatera Utara
4. Jika “A” sebagai pihak yang dijamin oleh bank “P” telah memenuhi
kewajibannya kepada “B” sesuai perjanjiankontrak “X” maka kewajiban bank “P” menjadi nihil.
5. Dengan demikian maka bank “Q” akan menderita kerugian karena bank
“Q” tidak dapat menerima uang dari bank garansi yang dipegangnya sebagai jaminan.
Berdasarkan ilustrasi tersebut di atas jelas bahwa terdapat resiko yang sangat besar atas suatu transaksi bank garansi dengan pola back to back tersebut.
Kunci dari ilustrasi tersebut di atas adalah: 1.
Kontrak yang berbeda antara satu dengan yang lainnya; dan 2.
Dasar pencairanklaim suatu bank garansi adalah adanya suatu wan- prestasi dan bukan prestasi.
Hal ini berbeda dengan Letter of Credit dimana dalam tata cara pengajuan klaimnnya juga sangat berbeda dengan bank garansi. Dalam Letter of Credit pihak
penerima Letter of Credit akan menerima pembayaran dari bank penerbit jika dapat menyerahkan dokumen-dokumen sesuai yang dimintakan dalam Letter of
Credit atau dengan kata lain jika penerima Letter of Credit dapat berprestasi dengan cara menunjukkan dokumen yang ditentukan maka akan menerima
pembayaran. Jika Leter of Credit yang diterimanya dijaminkandigunakan untuk membuka Letter of Credit lainnya.
Dari gambaran tersebut maka bagi masyarakat yang hendak menggunakan instrument perbankan baik berupa bank garansi maupun Letter of Credit harus
Universitas Sumatera Utara
memahami terlebih dahulu jenis transaksi dan karakter dari masing-masing instrument yang akan digunakan sehingga kemungkinan resiko dapat dihindari.
B. Hubungan Antara Para Pihak Dalam Garansi Bank