Evaluasi Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Samosir Tahun 2014

(1)

Skripsi

EVALUASI PELAKSANAAN MUSYAWARAH RENCANA PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2014

Hebron E. Sitanggang (090906030)

Dosen Pembimbing: Drs. Tonny P. Situmorang, M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVESITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSISAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HEBRON E SITANGGANG (090906030)

Evaluasi Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Samosir Tahun 2014

Rincian isi Skripsi, 148 halaman, 25 buku, 4 jurnal, 7 situs internet. (KIsaran buku dari tahun 1983-2014)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan dan menganalisis fakta-fakta tentang Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Samosir Tahun 2014. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengevaluasi Pelaksanaan Musrenbang Kabupaten Samosir pada Tahun 2014 apakah benar-benar sesuai dengan mekanisme yang berlaku yaitu dilaksanakan dengan berjenjang mulai dari tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, kemudian diformulasikan menjadi skala prioritas pada pelaksanaan Musrenbang tingkat Kabupaten. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari buku-buku, surat kabar, majalah dan internet. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Musrenbang di Kabupaten Samosir memang sudah menerapkan pelaksanaan Musrenbang mulai dari tingkatan Desa/Kelurahan meskipun belum secara maksimal karena masih terdapat banyak kekurangan sampai kepada tingkat Kecamatan dan Kabupaten.


(3)

UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

FACULTY OF SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE sosisal DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

HEBRON E sitanggang (090906030)

Evaluation of the Implementation Council Development Plan (Musrenbang) Samosir 2014

Details of the contents Thesis, 148 pages, 25 books, journals 4, 7 internet sites. (Range of books from the year 1983 to 2014)

ABSTRACT

This study tried to describe and analyze the facts concerning the implementation of Council Development Plan (Musrenbang) Samosir 2014. The aim of the study was to evaluate the implementation of Musrenbang Samosir in 2014 is completely in accordance with existing mechanisms are implemented gradually from level Village / Village, District, and then formulated into a priority in the implementation of district level planning forums. The data used in this study comes from books, newspapers, magazines and the internet. The analysis method used in this research is descriptive qualitative.

The results of this study indicate that Musrenbang in Samosir is already implementing Musrenbang begins from the village / village though not optimally because there are still many shortcomings to the sub-district and district levels.


(4)

KATA PENGANTAR

Pujian dan penyembahan saya bagi Allah Tri Tunggal Maha Kudus yaitu Yesus Kristus, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini, dengan judul “EVALUASI PELAKSANAAN MUSYAWARAH RENCANA PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2014.Skripsi ini merupakan sebagian persyaratan guna mencapai derajat S1 Program Sarjana Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Progaram Studi Ilmu Politik.

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari dorongan dan uluran tangan berbagai pihak. Oleh karena itu tidak salah kiranya bila penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Bapak Drs. Tonny P. Situmorang, M.Si, selaku dosen pembimbing penulis

yang dengan sabar telah meluangkan waktu dan mengarahkan penulis

2. Ibu Dra.T.Irmayani, M.Si, selaku ketua Departemen Ilmu Politik USU

3. Bapak Ir.Marudut Tua Sitinjak, MM, selaku kepala Bappeda ( Badan

Perencanaan Pembangunan ) Kabupaten Samosir yang telah membantu penulis mengumpulkan data dan memberi ijin penelitian.

4. Orang tua penulis, Bapak Chardiman Sitanggang (Alm) dan Ibu Ruth Udur

Siahaan atas segala kasih sayang dan kepercayaan kepada penulis dari kecil sampai tumbuh dewasa untuk dapat merasakan kehidupan ini.

5. Keluarga penulis, adek-adekku tersayang, Daniel Abigael Sitanggang,

Grace Sitanggang, Christine Sitanggang, Zivie Silvia Sitanggang, Rischa Veive Sitanggang yang selalu memberikan senyuman dan motivasi hidup bagi penulis.

6. Sahabat-sahabat penulis, Abang-abang : Ghioseph Dody Desmond Siboro,

Andi P Samosir, S.Ip, Fredy Purba S.Ip, Albert Samry Sinurat, Albert Simamora, Leo varela Tampubolon, Jimmy Sinaga, Alex F Saragih, Benyamin F. Rumapea, Ian Pasaribu, Julwandri Munthe (Ketua PMKRI Medan ), Samran Simbolon, Halim Sembiring, atas motivasi dan pengalaman hidup, dkk stambuk 2009 yang baik-baik dan keluaga Gg. Golf No. 11 Pajak sore.

7. Terima kasih buat GBI Anugrah, Gembala Sidang Bapak Juster Manik dan

Ibu Juliana Tarigan, Bapak Simson Manurung dan ibu Butar-butar, Bapak Gibson Silitonga, Bapak Barus dan Ibu Ginting, Bang Waldy Simanjuntak dan Kak Riska Mediance Purba, Bang Putra Simanjuntak dan Kak Esna Manik, Kak Ecy Manik, Kak Yessy Manurung, Pretty Anastasya Manurung, Bang Solideo Pardamean Manurung, Siska, Friska, Bang Indra, Daniel Sinaga, Kak Dian, Elita, Heskiel, Kak Lamtiar, seluruh Youth Anugrah, FA 02 dan 10 yang tidak bisa saya sebutkan semuanya mauliate godang buat doa dan motivasi yang diberikan buat saya selama ini.


(5)

Semoga Allah Bapa di Surga selalu menyertai dan melimpahkan roh kudus serta memberikan kesehatan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis baik selama perkuliaan dan juga penyusunan skripsi ini. Semoga karya penelitian tugas akhir ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi banyak pihak demi yang membacanya serta bernilai ibadah dihadapan Allah Sang Pencipta

Medan, November 2013


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 13

I.3 Pembatasan Masalah ... 14

I.4 Tujuan Penelitian ... 14

I.5 Manfaat Penelitian ... 14

I.6 Kerangka Teori ... 15

1.6.1. Teori Kebijakan Publik ... 18

1.6.2. Teori Demokrasi Deliberatif ... 23

I.7 Metodologi Penelitian ... 29

1.7.1. Jenis Penelitian ... 29

1.7.2. Lokasi Penelitian ... 30

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data ... 30

I.8. Sistematika Penulisan ... 33

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN II.1 Deskripsi Kabupaten Samosir ... 34

II.1.1 Gambaran Umum dan Sejarah Kabupaten Samosir ... 34

II.1.2. Kondisi Geografis ... 38

II.1.3. Pemerintahan ... 41

II.1.4 Kependudukan dan Sosial Budaya ... 43

II.1.5. Visi dan Misi Kabupaten Samosir ... 49

II.2. Gambaran Umum Musrenbang ... 50

II.2.1. Kerangka Hukum Musrenbang Kabupaten/Kota ... 52

II.2.2. Partisipasi Masyarakat di Musrenbang Kabupaten/Kota .... 53

II.2.3. Tujuan dan Luaran Musrenbang Kabupaten/Kota ... 54

II.2.4. Proses Umum Musrenbang Kabupaten/Kota ... 55

II.3. Defenisi Pembangunan, Perencanaan, Perencanaan Pembangunan ... 59


(7)

BAB III ANALISIS DATA

III.1. Proses Perencanaan Pembangunan Kabupaten Samosir Tahun 2014

... 66

III.1.1. Pelaksanaan Musrenbang Desa/Kelurahan ... 76

III.1.2. Pelaksanaan Musrenbang Kecamatan ... 80

III.1.3. Pelaksanaan Musrenbang Kabupaten ... 86

III.2. Landasan Hukum Mussrenbang Kabupaten Samosir ... 92

III.3.Tujuan dan Sasaran Pembangunan ... 100

III.4. Prioritas Pembangunan ... 113

III.5. Analisis Teori Kebijakan Publik ... 132

III.6. Evaluasi Analistik Teori Demokrasi Deliberatif ... 141

BAB IV PENUTUP IV.1. Kesimpulan ... 144

IV.2. Saran ... 145


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Luas Wilayah Kabupaten Samosir Berdasarkan Kecamatan Tahun 2012 Tabel 2.2 Jumlah Penduduk, Kepadatan dan Jumlah Rumah Tanggadi Kabupaten Samosir Menurut Kecamatan Tahun 2012

Tabel 3.1 Rencana Jadwal Pelaksanaan Musrenbang Kecamatan Kabupaten Samosir Tahun 2014


(9)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSISAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HEBRON E SITANGGANG (090906030)

Evaluasi Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Samosir Tahun 2014

Rincian isi Skripsi, 148 halaman, 25 buku, 4 jurnal, 7 situs internet. (KIsaran buku dari tahun 1983-2014)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan dan menganalisis fakta-fakta tentang Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Samosir Tahun 2014. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengevaluasi Pelaksanaan Musrenbang Kabupaten Samosir pada Tahun 2014 apakah benar-benar sesuai dengan mekanisme yang berlaku yaitu dilaksanakan dengan berjenjang mulai dari tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, kemudian diformulasikan menjadi skala prioritas pada pelaksanaan Musrenbang tingkat Kabupaten. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari buku-buku, surat kabar, majalah dan internet. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Musrenbang di Kabupaten Samosir memang sudah menerapkan pelaksanaan Musrenbang mulai dari tingkatan Desa/Kelurahan meskipun belum secara maksimal karena masih terdapat banyak kekurangan sampai kepada tingkat Kecamatan dan Kabupaten.


(10)

UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

FACULTY OF SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE sosisal DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

HEBRON E sitanggang (090906030)

Evaluation of the Implementation Council Development Plan (Musrenbang) Samosir 2014

Details of the contents Thesis, 148 pages, 25 books, journals 4, 7 internet sites. (Range of books from the year 1983 to 2014)

ABSTRACT

This study tried to describe and analyze the facts concerning the implementation of Council Development Plan (Musrenbang) Samosir 2014. The aim of the study was to evaluate the implementation of Musrenbang Samosir in 2014 is completely in accordance with existing mechanisms are implemented gradually from level Village / Village, District, and then formulated into a priority in the implementation of district level planning forums. The data used in this study comes from books, newspapers, magazines and the internet. The analysis method used in this research is descriptive qualitative.

The results of this study indicate that Musrenbang in Samosir is already implementing Musrenbang begins from the village / village though not optimally because there are still many shortcomings to the sub-district and district levels.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi, yang semestinya menjamin hak-hak setiap warga negara dalam penyampaian aspirasi ataupun hak bersuara. Salah satu indikator terciptanya iklim demokrasi adalah adanya partisipasi aktif dan langsung dari rakyat. Artinya rakyat atau warga negara diikutsertakan oleh pemerintah dalam pembuatan keputusan. Disinilah peran pemerintah menjadi sangat penting untuk menampung aspirasi masyarakat, dan kemudian memproses menjadi kebijakan-kebijakan. Hal tersebut menunjukkan adanya kekuatan dan kewenangan masyarakat untuk mempengaruhi suatu keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan diatur secara bertahap sesuai dengan Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses penyusunan kebijakan pembangunan bersifat elitis, dalam arti pemerintahlah yang menjadi penentu kebijakan pembangunan, sedangkan masyarakat berperan memberikan masukan kepada pemerintah tentang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.


(12)

Penerapan kebijakan desentralisasi pasca reformasi tahun 1999, tidak hanya ditandai dengan keotonomian daerah dalam mengelola tata pemerintahannya, namun juga berimbas kepada terbukanya peluang partisipasi masyarakat dalam segala bidang. UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menekankan pentingnya partisipasi masyarakat sebagai elemen untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, menciptakan rasa memiliki masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan daerah, menjamin terdapatnya transparansi, akuntabililitas dan kepentingan umum, serta perumusan program dan pelayanan umum yang memenuhi aspirasi masyarakat.

Undang-undang tersebut diterjemahkan pemerintah pusat maupun daerah dengan berbagai regulasi dan tindakan yang mendorong penerapan pendekatan partisipasi dalam perencanaan pembangunan daerah serta membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan pemerintahan daerah. Pendekatan partipasi masyarakat tersebut menurut Widjono Ngoedijo (2007) dipandang sebagai cara terbaik untuk menumbuhkan rasa memiliki masyarakat atas proyek-proyek berbasis warga, mengembangkan dan memelihara lembaga-lembaga demokrasi, mengurangi konflik kepentingan, serta mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah secara berkelanjutan.

Salah satu sarana yang disediakan oleh pemerintah kepada setiap masyarakat untuk berperan dalam perencanaan pembangunan daerah adalah melalui pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) berdasarkan UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan


(13)

Nasional yang melembagakan Musrenbang di semua peringkat pemerintahan untuk membuat perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan. Undang-undang tersebut juga menekankan tentang perlunya sinkronisasi lima pendekatan perencanaan yaitu pendekatan politik, partisipatif, teknokratis, ’bottom-up’ dan ’top down’ dalam perencanaan pembangunan daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan sesuai dengan amanat Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan khususnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, maka Pemerintah Daerah dalam hal ini sebagai alat penyelenggara Negara berkewajiban untuk mengembangkan pembangunan yang ada di daerahnya. Pembangunan daerah yang dimaksudkan adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, kemampuan berdaya saing, maupun peningkatan indeks pembangunan manusia.

Ditetapkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa setiap daerah harus menyusun rencana pembangunan daerah secara sistematis, terarah, terpadu dan tanggap terhadap perubahan (Pasal 2 ayat 2), dengan jenjang perencanaan jangka panjang (25 tahun), jangka menengah (5 tahun) maupun jangka pendek atau tahunan (1 tahun), serta Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bab VII pasal 150 bahwa daerah wajib memiliki dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan


(14)

Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

Pembangunan yang baik akan terselenggara apabila diawali dengan perencanaan yang baik pula, sehingga mampu dilaksanakan oleh seluruh pelaku pembangunan serta memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu, maka proses perencanaan memerlukan keterlibatan masyarakat, diantaranya melalui konsultasi publik atau musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Musrenbang merupakan forum konsultasi para pemangku kepentingan untuk menghasilkan kesepakatan perencanaan pembangunan di daerah yang bersangkutan sesuai tingkatan wilayahnya. Penyelenggaraan musrenbang meliputi tahap persiapan, diskusi dan perumusan prioritas program/kegiatan, formulasi kesepakatan musyawarah dan kegiatan pasca musrenbang.

Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) pada hakikatnya adalah forum perencanaan pembangunan formal yang berusaha mempertemukan aspirasi masyarakat dari bawah dengan usulan program pembangunan dari instansi pemerintah. Musrenbang tercantum dalam beberapa undang-undang dan perda terkait dengan perencanaan pembangunan daerah, undang-undang tersebut adalah UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah,dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.


(15)

Musrenbang merupakan wahana publik ( public event) yang penting untuk

membawa para pemangku kepentingan ( stakeholders ) memahami isu isu dan

permasalahan daerah mencapai kesepakatan atas prioritas pembangunan, dan konsesus untuk pemecahan berbagai masalah pembangunan daerah. Musrenbang

juga merupakan wahana untuk mensinkronisasikan pendekatan “top Down

dengan “bottom up” pendekatan penilaian kebutuhan masyarakat (community

need assessment) dengan penilaian yang bersifat teknis ( technical assessment ),

resolusi konflik atas berbagai kepentingan pemerintah daerah dan non government

stakeholder untuk pembangunan daerah, antara kebutuhan programpembangunan

dengan kemampuan dan kendala pendanaan, dan wahana untuk mensinergikan

berbagai sumber pendanaan pembangunan1

Pelaksanaan Musrenbang yang berjenjang mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, hingga dibawa ke tingkat nasional merupakan kesempatan emas bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam

.

Rangkaian proses tersebut diharapkan mampu menyerap berbagai aspirasi dari masyarakat yang dilandaskan semangat mensukseskan pembangunan di segala bidang. Kegiatan ini berfungsi pula sebagai proses negosiasi, rekonsiliasi, dan harmonisasi perbedaan antara pemerintah dan pemangku kepentingan non pemerintah, sekaligus mencapai konsensus bersama mengenai prioritas kegiatan pembangunan berikut anggarannya.

1

Agus harto wibowo,2009.Analisis perencanaan partisipatif (sk: di kecamatan pemalang kabupaten pemalang), Semarang:Undip.hlm 22.


(16)

perencanaan pembangunan. Akan tetapi dalam penyelenggaraannya kerap kurang memperhatikan aspek partisipasi secara luas, dan masih terbatas pada seremonial dan acara rutin belaka. Peran lembaga daerah dalam hal ini pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk meningkatkan partisipasi masyarakat khususnya dalam forum Musrenbang mutlak diperlukan sebagai salah satu usaha menuju pemerintahan daerah yang lebih baik.

Seluruh tahapan musrenbang yang telah terlaksana merupakan sebuah lembaga publik yang melibatkan banyak pihak di luar DPRD dan pemerintah daerah terkait dalam proses pembangunan daerah. Keluaran yang dihasilkan oleh lembaga merupakan masukan yang kemudian diterapkan secara resmi oleh penyelenggara pemerintah daerah sebagai dokumen perencanaan pembangunan daerah. Dengan mempertimbangkan peran tersebut, musrenbang dapat ditempatkan dalam tingkat partisipasi genuine consultation (konsultasi sejati) karena musrenbang merupakan forum bersama antara berbagai elemen masyarakat dengan penyelenggara pemerintahan daerah namun tidak dapat ditempatkan dalam tingkat partisipasi effective advisory bodies atau badan penasihat yang efektif karena peran pemerintah daerah masih cukup besar dalam forum tersebut.

Namun demikian, musrenbang hanya merupakan satu tahapan dari rangkaian proses perencanaan dan penganggaran tahunan daerah. Masih terdapat serangkaian tahapan yang perlu dilalui, yaitu musrenbang provinsi, Rapat Koordinasi Pusat, dan musrenbang nasional, tahapan perumusan dan pembahasan


(17)

KUA, PPAS, RAPBD, dan APBD. Oleh karena itu, efektivitas musrenbang kabupaten/kota di dalam memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat akan sangat ditentukan oleh sejauh mana tahapan yang telah disebutkan di atas konsisten terhadap hasil kesepakatan musrenbang yang dituangkan kedalam RKPD.

Di tingkat masyarakat, tujuan Musrenbang adalah untuk mencapai kesepakatan tentang program prioritas departemen pemerintah daerah (Satuan Kerja Perangkat Daerah-SKPD) yang akan didanai dari anggaran tahunan lokal (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah-APBD) dan dana alokasi desa, dan untuk memilih masyarakat dan pemerintah perwakilan yang akan menghadiri Musrenbang di tingkat kabupaten. pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Samosir yang didalamnya termasuk penyusunan RKPD yang

melibatkan Musrenbang memenuhi prinsip participative, prinsip sustainable, dan

prinsip holistic.

Dalam Musrenbang masyarakat mengemban peran konsolidasi partisipasi, agregasi kepentingan, menyampaikan preferensi, memilih wakil,monitoring dan evaluasi pelaksanaan hasil musrenbang. Pemerintah berperan dalam penyediaan informasi, memberikan asistensi teknis, dan pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Adapun DPRD berperan dalam penjaringan aspirasi dan pengawasan.


(18)

Partisipasi masyarakat di suatu daerah dalam penyusunan rencana pembangunan daerah seyogyanya dapat menjadi salah satu tolak ukur sejauh mana daerah tersebut mengembangkan nilai-nilai tata kelola pemerintahan yang baik dalam roda pemerintahannya. Keterlibatan masyarakat dalam arti luas harus didorong baik melalui regulasi maupun penciptaan iklim demokratisasi yang ideal di daerah. Dengan demikian, akan semakin tumbuh rasa memiliki dari masyarakat terhadap program-program daerah tersebut.

Akan tetapi, kondisi yang ideal ini belum sepenuhnya terwujud dalam pelaksanaan alur perencanaan pembangunan daerah. Fenomena ini dapat dilihat dalam analisis Wawan Sobari (2007) yang menyoroti beberapa kelemahan dari pelaksanaan musrembang selama ini, yaitu pertama, partisipasi dalam konteks pelaksanaan Musrenbang ternyata lebih dipahami sebagai kontribusi masyarakat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan. Bukan secara komprehensif untuk mempromosikan demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengambilan keputusan pembiayaan pembangunan, sehingga pemerintah daerah dan DPRD belum bisa menjamin bahwa seluruh usul masyarakat dalam Musrenbang akan direalisasikan dalam APBD.

Salah satu indikator pembangunan daerah yang paling vital ialah bagaimana keikutsertaan masyarakat dalam mensukseskan pembangunan yang ada disekitarnya. Partisipasi disini tidak hanya dikaitkan dengan tingkat kehadiran masyarakat dalam berbagai bentuk rapat rencana pembangunan yang ada, melainkan dikaitkan juga dengan tingkat keaktifan masyarakat dalam hal


(19)

penyampaian aspirasi dan keluhan serta ikut mengawal kegiatan yang akan dilakukan dilingkungannya hingga turut serta mengawal proses pembangunan yang telah disepakati bersama. Pembangunan tidak akan bergerak maju apabila salah satu saja dari tiga komponen tata pemerintahan (pemerintah, masyarakat, swasta) tidak berperan atau berfungsi. Karena itu, musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) juga merupakan forum pendidikan warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan.

Jika memperhatikan indikator syarat keberhasilan Musrenbang berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.050-187/Kep/Bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), jelas dinyatakan bahwa informasi merupakan indikator penting dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat. Disebutkan bahwa informasi yang harus ada adalah informasi yang perlu disediakan untuk mendukung penyelenggaraan musrenbang. Informasi ini

harus disampaikan jauh sebelum waktu pelaksanaan musrenbang agar stakeholder

dapat mempelajari dan merencanakan pertanyaan yang perlu diajukan; informasi mesti sedemikian rupa sehingga mudah dipahami dan sesuai dengan tingkat

pengetahuan stakeholders. Informasi juga sejauh mungkin berbentuk visual

sehingga mudah dipahami.2

2

Departemen dalam Negeri.2007.Pedoman penilaian dan evaluasi pelaksaanaan penyelenggaraan Musrenbang,Jakarta:DIRJEN pembangunan Daerah.


(20)

Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) adalah forum perencanaan program yang disediakan oleh lembaga publik yaitu Pemerintah yang bekerjasama dengan warga dan pemangku kepentingan lainnya. Musrenbang yang bermakna, akan mampu membangun kesepahaman tentang kepentingan dan kemajuan daerah, dengan cara memotret potensi dan sumber-sumber pembangunan yang tersedia, baik dari dalam maupun dari luar daerah tersebut

Salah satu daerah yang patut dicermati dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di Kabupaten Samosir adalah daerah otonom hasil pemekaran dari Kabupaten Toba Samosir. Sehingga sangat vital bagi kita untuk melihat infrastruktur yang ada di daerah tersebut yang perencanaan pembangunannya dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang).

Dalam proses penyelenggaraan musyawarah perencanaan pembangunan yang dilaksanakan di Kabupaten Samosir, banyak sekali terdapat fenomena-fenomena menarik yang terjadi, terutama berkaitan dengan langkah pelibatan

masyarakat dan stakeholders guna menyelaraskan rencana pembangunan yang

dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Fenomena menarik itu antara lain:

a) Kurangnya pemahaman masyarakat peserta Musrenbang terhadap perencanaan pembangunan. Hal ini menunjukan bahwa proses Musrenbang belum diketahui dan dimengerti oleh sebagian besar peserta. Tidak ada


(21)

pemberitahuan secara rinci mengenai bagaimana proses Musrenbang, apa yang akan dibahas dalam Musrenbang, untuk kepentingan apa dan sebagainya; b) Proses perencanaan pembangunan belum diawali dengan kegiatan

pendahuluan untuk mendapatkan data yang valid mengenai potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat, sehingga usulan yang diajukan dalam Musrenbang merupakan rumusan elit perwakilan saja tanpa melibatkan kelompok-kelompok masyarakat yang ada dilingkungannya (misalnya kelompok tani, kelompok sosial, kelompok perempuan, organisasi kepemudaan, kalangan swasta dan lain-lain);

c) Dalam kegiatan Musrenbang ini masih terdapat tidak terakomodirnya kehadiran stakeholders penting dalam Musrenbang seperti Kader Pembangunan Desa, Tokoh Masyarakat, Organisasi Wanita, Tokoh Pemuda dan Organisasi Kepemudaan;

d) Minimnya kegiatan non fisik yang di usulkan dalam Musrenbang, sehingga proses pemberdayaan masyarakat menjadi terhambat serta lambatnya tindak lanjut nyata dari hasil Musrenbang, sehingga program/kegiatan yang diusulkan setiap tahun hampir sama;

e) Waktu penyelenggaraan sangat pendek, sehingga sulit untuk mendorong timbulnya partisipasi masyarakat yang aktif. Sempitnya waktu inilah yang menjadi kendala dalam penyerapan aspirasi masyarakat dalam pelaksanaan Musrenbang. Untuk mengatasi hambatan atau kendala tersebut, maka perlu dilakukan semacam evaluasi terhadap pelaksanaan penyelenggaraan


(22)

musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Ini juga sejalan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050/187/Kep/Bangda/2007. Adapun untuk mengevaluasi, menurut Dunn dalam Nawawi (2007) dilihat dari: a) Efektivitas, yaitu tentang apakah hasil yang diinginkan dari kegiatan

Musrenbang telah tercapai, yang dinilai dari: 1. Tujuan kebijakan;

2. Sasaran kebijakan;

b) Efisien, yaitu tentang seberapa banyak usaha yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yangdiinginkan melalui Musrenbang.Dapat dinilai dari:

1. Dari segi biaya; 2. Dari segi waktu; 3. Dari segi tenaga;

c) Kecukupan yaitu tentang apakah program yang dihasilkan dalam

musyawarah Musrenbang dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai-nilai kelompok tertentu. Dimana dalam suatu kebijakan terdapat alternatif apa yang akan dilakukan bila kebijakan telah di implementasikan;

d) Pemerataan yaitu berkenaan dengan apakah distribusi program serta manfaat dari kegiatan Musrenbang merata kepada kelompok-kelompok masyarakat yang ada;

e) Responsivitas yaitu mengenai bagaimana tanggapan dari masyarakat yang menjadi kelompok target program mengenai Musrenbang;


(23)

f) Ketepatan yaitu mengenai apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai. Apakah program yang telah dilakukan benar-benar bernilai atau bermanfaat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di Kabupaten Samosir serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan dari musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang).

2. Rumusan masalah

Dalam pembuatan sebuah penelitian, permasalahan yang diangkat seseorang peneliti merupakan unsur yang sangat penting. Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting, dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah yang menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian apa

saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya.3Masalah penelitian harus

tampak dan dirasakan sebagai suatu tantangan bagi peneliti untuk dipecahkan dengan mempergunakan keahlian atau kemampuan profesionalnya, yang tidak mungkin diselesaikan semua orang, khususnya orang-orang diluar disiplin ilmu

yang berkenaan dengan masalah tersebut.4

3

Husni Usman dan Pramono, 2000. Metode penelitian sosial, Bandung: Bumi aksara. Hal 26.

4

Hadari Nawawi dan Martini Hadari. 2006. Instrumen Penelitian bidang sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University press. Hal 24.


(24)

Oleh sebab itu, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Mengevaluasi bagaimana pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) Kabupaten Samosir Tahun 2014.

3 Pembatasan masalah

Adanya pembatasan masalah guna memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian, serta untuk menghasilkan uraian yang sistematis. Maka yang menjadi pembatasan dalam penelitian ini adalah: “penulisan terbatas pada pengkajian politik atau kebijakan yang menyangkut tentang musrenbang dalam proses musrenbang di Kabupaten Samosir tahun 2014.

4 Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai atau didapatkan dari penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui apakah memang benar pemerintah Kabupaten Samosir sudah melaksanakan MUSRENBANG dengan baik dan benar sesuai dengan mekanisme dan berjenjang dari tingkat desa, kecamatan, sampai kepada tingkat kabupaten.

5. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai karya ilmiah dalam upaya


(25)

syarat dalam menyelesaikan studi program sarjana strata satu (S1) Departemen Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Secara pribadi penelitian mampu mengasah kemampuan peneliti dalam

melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.

3. Memberikan informasi dan pengetahuan mengenai pemekaran wilayah

serta dampaknya terhadap kinerja pelayanan publik di Kabupaten Samosir.

4. Memberikan gambaran mengenai dampak pemekaran wilayah terhadap

kinerja daerah kepada pihak yang terkait dan berkepentingan sebagai referensi dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan.

5. Sebagai bahan acuan dan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan

penelitian yang sama di masa yang akan datang.

6. Kerangka teori

Sebagai penelitian yang baik dan benar, landasan teori merupakan suatu yang sangat penting dalam penulisan karya ilmiah. Fungsi dari teori ini sendiri digunakan sebagai suatu landasan berpikir dalam menganalisis sebuah fenomena yang sedang diteliti. Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan kontruksi defenisi dan proposis untuk menerangkan sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep. Dengan kata lain, teori adalah hubungan suatu konsep dengan konsep lainnya untuk menjelaskan fenomena


(26)

tertentu.5

Prinsip ini menunjukkan bahwa masalah dalam perencanaan pelasanaannya tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi atau unsur tetapi harus dilihat dari berbagai aspek dan dalam keutuhan konsep secara keseluruhan. Dalam konsep tersebut/ unsur

Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) pada hakikatnya adalah forum perencanaan pembangunan formal yang berusaha mempertemukan aspirasi masyarakat dari bawah dengan usulan program pembangunan dari instansi pemerintah. Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Samosir yang melibatkan Musrenbang dalam rangka penyusunan RKPD hingga pendanaan dalam APBD, memenuhi tiga prinsip berikut:

a. Prinsip Partisipatif (Participative)

Prinsip partisipatif menunjukkan bahwa rakyat atau masyarakat yang akan diuntungkan oleh (atau memperoleh manfaat dari) perencanaan harus turut serta dalam prosesnya. Dengan kata lain masyarakat menikmati faedah perencanaan bukan semata-mata dari hasil perencanaan, tetapi dari keikutsertaan dalam prosesnya.

b. Prinsip Renponsif

Prinsip ini menunjukkan bahwa perencanaan kegiatan yang dilaksanakan dan dihasilkan disebabkan adanya merespon apa yang terjadi dan isu yang berkembang di tengah masyarakat.

c. Prinsip Keseluruhan (Holistic)

5


(27)

yang dikehendaki selain harus mencakup hal-hal di atas juga mengandung unsur yang dapat berkembang secara terbuka dan demokratis. Dalam lingkup Kabupaten, Musrenbang Kabupaten adalah forum musyawarah tahunan para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten untuk mendapatkan masukan mengenai kegiatan prioritas pembangunan di wilayah Kabupaten terkait yang didasarkan pada masukan dari desa/kelurahan dan kecamatan, serta menyepakati rencana kegiatan lintas-desa/kelurahan dan kecamatan di kabupaten yang bersangkutan. Kerangka hukum Musrenbang Kabupaten antara lain adalah Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, PP No. 8/2008 Pasal 20 Ayat (1), Musrenbang Kabupaten merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Musrenbang Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD),

Pasal 18 ayat (4) yang menyebutkan “Musrenbang RKPD kabupaten/kota

dilaksanakan untuk keterpaduan Rancangan Renja antar SKPD dan antar Rencana Pembangunan Kecamatan”. Selain itu Peraturan Pemerintah No.19/ 2008 tentang Kecamatan Pasal 29 ayat (1) menyebutkan, “Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten, disusun perencanaan pembangunan sebagai kelanjutan dari hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa/ Kelurahan dan kecamatan”. Sedangkan untuk pelaksanaan Musrenbang Kabupaten berdasarkan pada Pedoman Penilaian dan Evaluasi Musrenbang tahun 2007. Selain indikator di atas teori yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut:


(28)

6.1. Teori dan konsep kebijakan publik

Setiap jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan di dalam menguji argumennya. Analisis dalam kerangka kebijakan publik secara tidak langsung menunjukkan penggunaan institusi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan pemecahan ke dalam komponen-komponennya, tetapi juga merencanakan dan mencari sintesis atas alternatif-alternatif yang memungkinkan. Kegiatan ini mencakup penyelidikan untuk menjelaskan atau memberikan wawasan terhadap problem atau isu yang muncul atau untuk mengevaluasi program yang sudah berjalan. Menurut Charles O. Jones kebijakan terdiri dari

komponen-komponen sebagai berikut:6

Goal atau tujuan yang diinginkan,

Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai

tujuan,

Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan,

Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan

tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program.

• Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak,

primer atau sekunder).

Jadi pada dasarnya studi kebijakan publik berorientasi pada pemecahan masalah riil yang terjadi di tengah masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa

6


(29)

dalam hubungannya dengan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah masyarakat, maka kebijakan adalah keputusan-keputusan pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah yang telah diutarakan. Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, Dunn mengemukakan bahwa ada

beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu, (agenda setting) penetapan

agenda kebijakan; (policy formulation) formulasi kebijakan; (policy adoption)

adopsi kebijakan; (policy implementation) isi kebijakan, dan (policy assessment)

evaluasi kebijakan.7

1. Agenda Setting

Tahap penetapan agenda kebijakan ini, yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan masalah publik yang akan dipecahkan. Pada hakekatnya

permasalahan ditemukan melalui proses problem structuring. Menurut Dunn

problem structuring memiliki 4 fase yaitu : pencarian masalah (problem search),

pendefenisian masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem

specification) dan pengenalan masalah (problem setting).

2. Policy Formulation

Berkaitan dengan policy formulation, Woll berpendapat bahwa formulasi

kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap para analis kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan bahwa sebuah pilihan kebijakan merupakan pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam

7


(30)

menentukan pilihan kebijakan pada tahap ini dapat menggunakan analisis biaya manfaat dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil pada posisi tidak menentu dengan informasi yang serba terbatas.

Pada tahap formulasi kebijakan ini, para analis harus mengidentifikasikan

kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui prosedur forecasting untuk

memecahkan masalah yang di dalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih.

3. Policy Adoption

Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan

kebijakan melalui dukungan para stakeholders atau pelaku yang terlibat. Tahap ini

dilakukan setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi alternatif kebijakan (policy alternative) yang

dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan masyarakat luas.

2) Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk menilai

alternatif yang akan direkomendasi.

3) Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan

kriteria-kriteria yang relevan (tertentu) agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebih besar daripada efek negatif yang akan terjadi.


(31)

4. Policy Implementation

Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan

memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas

dan dapat diukur. Tugas implementasi sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah.


(32)

5. Policy Assesment

Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran (kriteria-kriteria) yang telah ditentukan. Evaluasi kebijakan dapat dilakukan oleh lembaga independen maupun pihak birokrasi pemerintah sendiri (sebagai eksekutif) untuk mengetahui apakah program yang dibuat oleh pemerintah telah mencapai tujuan atau tidak. Apabila ternyata tujuan program tidak tercapai atau memiliki kelemahan, maka pemerintah harus mengetahui apa penyebab kegagalan (kelemahan) tersebut sehingga kesalahan yang sama tidak terulang di masa yang akan datang.

Menurut Dunn evaluasi kebijakan publik mengandung arti yang berhubungan dengan penerapan skala penilaian terhadap hasil kebijakan dan program yang dilakukan. Jadi termologi evaluasi dapat disamakan dengan

penaksiran (apprasial), pemberian angka (rating), dan penilaian (assesment).

Dalam arti yang lebih spesifik lagi, evaluasi kebijakan berhubungan dengan produk informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Maka dapat diketahui sifat dari evaluasi sebagai berikut :

1) Fokus nilai, dimana evaluasi dipusatkan pada penilaian menyangkut


(33)

2) Interdependensi fakta dan nilai, dimana tuntutan evaluasi tergantung pada fakta dan nilai untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi atau rendah.

3) Orientasi masa kini dan masa lampau, dimana evaluasi bersifat

retrospektif dilakukan setelah aksi-aksi dilakukan, sekaligus bersifat prospektif untuk kegunaan masa mendatang.

4) Dualitas nilai, dimana nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi

mempunyai kualitas ganda karena dipandang mempunyai tujuan dan sekaligus cara.

6.2. Teori demokrasi deliberatif

Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio atau deliberasi

(Indonesia) yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat deliberatif jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik, atau diskursus publik. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus publik ini


(34)

Regierten (pemerintahan oleh yang diperintah).8 Demokrasi deliberatif memiliki makna tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta

kedaulatan rakyat sebagai prosedur.9

Jika demokrasi perwakilan ditandai oleh kompetisi politik, kemenangan, dan kekalahan satu pihak, maka demokrasi deliberatif atau demokrasi musyawarah lebihmenonjolkan argumentasi, dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu dan mufakat. Demokrasi langsung mengandalkan Pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan elite-elite politik, Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog

dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder).

Tujuannya untuk mencapai mufakat melalui musyawarah berdasarkan hasil-hasil

diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen

engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation), prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Demokrasi deliberatif mengutamakan kerjasama antar-ide dan antar- pihak, sedangkan kata kunci demokrasi perwakilan adalah kompetisi antar-ide dan antar- kelompok.

8

Ibid., Hlm. 126.

9


(35)

sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan keterlibatan langsung warga negara.

Menurut Reiner Forst, “Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu

terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif.”10Dengan

demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas.11

Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat.Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat.Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional.Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan

Agar proses deliberasi (musyawarah) berjalan

fair, terlebih dahulu diperlukan pengujian secara publik dan diskursif. Habermas

menekankan adanya pembentukan produk hukum dengan cara yang fair agar

dapat mencapai legitimitas.

10

Reiner Forst, Kontexte der Gerechtigkeit, Frankfrurt a.M., 1994, Hlm. 192.

11


(36)

politik.Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka

masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.12

Habermas menegaskan bahwa ruang publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif.13

Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, sebagai pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst.), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar).

Ruang publik harus bersifat otonom, tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik.Ruang publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi antar warga itu sendiri.

14

12

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hlm. 128.

13

Ibid., Hlm. 128.

14

Ibid., Hlm. 128.

Dengan demikian, maka ruang publik begitu banyak terdapat ditengah-tengah masyarakat warga. Ruang publik tidak dapat dibatasi. Dimana ada masyarakat yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tema-tema yang relevan, maka disitulah akan hadir ruang publik. Ruang publik berifat bebas dan tidak


(37)

terbatas.Ia tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan pasar ataupun kepentingan-kepentingan politik.

Masyarakat kompleks terdiri dari jaringan-jaringan aneka bentuk komunikasi yang saling tumpang tindih dan terkait dengan berbagai kepentingan, gaya hidup dan orientasi nilai kultural, sosial, serta religius. Identitas antara kehendak pemerintah dan rakyatnya sulit dicapai.Kedaulatan rakyat tidak bisa dibayangkan secara konkrit.Kedaulatan rakyat dalam masyarakat kompleks cukup dibayangkan sebagai “kontrol atas pemerintah melalui opini publik”.Maka,

kedulatan rakyat bukanlah bentuk demokrasi langsung, melainkan demokrasi

perwakilan plus vitalisasi ruang publik politis.15Bagi Habermas, suatu negara dapat disebut berdaulat ketika negara (pada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dapat tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Teori demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan melancarkan kegiatan diskursus publik di pelbagai bidang sosial-politis-kultural untuk

meningkatkan partisipasi demokratis warga negara.16

Pada gagasan teori politik demokrasi deliberatif, Habermas optimis bahwa jurang pemisah yang ada antara lembaga pemerintah (legislatif, eksekutif,

15

F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 129.

16


(38)

dan yudikatif) dan lembaga non-pemerintah (para akademisi, pers, cendekiawan, mahasiswa, aktifis LSM, dan sebagainya), dapat terjembatani lewat jalan komunikasi politis. Menurut Habermas, masyaraktat kompleks dapat membendung imperatif-imperatif kapitalisme dan desakan-desakan birokrasi negara dengan cara menyambungkan antara sistem politik demokrasi deliberatif dengan ruang publik.

Kemudian untuk dapat mengidentifikasi sebuah proses pengambilan keputusan dapat dikategorikan sebagai proses yang memenuhi kriteria sebagai proses demokrasi deliberatif, maka menurut Carson & Karp (2005:122) haruslah memenuhitiga kriteria tertentu. Mereka mengungkapkan sebagai berikut:

These can be thought of as three criteria for a fully democratic deliberative process: (1) Influence: The process should have the ability to influence policy and decision making;(2) Inclusion: The process should be representative of the population and inclusive to diverse viewpoints and values, providing equal opportunity for all participate; (3) Deliberation: The process should provide open dialogue, access to information, respect, space to understand and reframe issues, and movement toward consensus. (Carson& Karp 2005:122).

Ketiga kriteria: influence, inclusion dan deliberation di atas dapat

digunakan sebagai alat analisis untuk mengidentifikasi sejauh mana sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu lembaga atau komunitas dapat dikategorikan ke dalam proses demokrasi deliberatif.


(39)

Masih tentang kriteria sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu komunitas dapat dikategorikan ke dalam proses demokrasi deliberatif yang berkualitas, Fishkin (2009) mengemukakan dibutuhkannya lima kondisi:

By deliberation we mean the process by which individuals sincerely weigh the merits of competing arguments in discussions together. We can talk about the quality of a deliberative process in terms of five conditions: (a) Information: The extent to which participants are given access to reasonably accurate information that they believe to be relevant to the issue; (b) Substantive balance: The extent to which arguments offered by one side or from one perspective are answered by considerations offered by those who hold other perspectives; (c) Diversity: The extent to which the major positions in the public are represented by participants in the discussion; (d) Conscientiousness: The extent to which participants sincerely weigh the merits of the arguments; (e) Equal consideration: The extent to which arguments offered by all participants are considered on the merits regardless of which participants offer them (Fishkin 2009:33-34,126,160).

7 Metode Peneltian 7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif yang bersifat analisis terhadap suatu gejala atau fenomena yang kemudian disinkronisasikan dengan teori yang digunakan dalam penelitian. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data,

tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari yang diamati.17

17

Hadari Nawawi. 1994. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM prss. Hal 203. Peneliti berusaha untuk mengungkapkan fakta sesuai dengan kenyataan yang ada tanpa melakukan intervensi terhadap kondisi yang terjadi. Penelitian kualitatif bertujuan untuk membuat gambaran dan hubungan antara fenomena yang diselediki. Penelitian


(40)

deskriptif tidak memberikan perlakuan, manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel bebas, tapi menggambarkan suatu kondisi yang apa adanya.

7.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan pada tingkat kabupaten, melihat kabupaten Samosir merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tobasamosir dan sangat menarik untuk diteliti bagaimana mekanisme atau proses pelaksanaan musyawarah rencana pembangunan di Kabupaten Samosir pada tahun 2014.

7.3 Tehnik Pengumpulan Data

Data merupakan instrumen penelitian yang harus dimiliki setiap penelitian ilmiah. Data ini menunjukkan kualitas atau mutu dari sesuatu yang ada, berupa keadaan, proses, kejadian atau peristiwa dan lain-lain yang dinyatakan dalam

bentuk perkataan.18Dalam penelitian, data sangat dibutuhkan sebagai acuan dan

untuk menjamin keakuratan analisis peneliti tersebut. Maka peneliti dalam hal ini melakukan teknik pengumpulan data dengan cara pengumpulan data primer dan

data sekunder.19Dengan pengelompokan informasi atau data yang telah diperoleh

perencanaan pembangunan (Musrenbang).

Berikut akan diuraikan maksud dai pengumpulan data tersebut:

18

Hadari Nawaw dan Martini Hadari. Op.cit. hal. 49.

19

Muhammad Idrus. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga. Hal 105.


(41)

1. Data Primer

Data primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari wawancara

dengan key informan dan informan-informan susulan penelitian mengenai

mengevaluasi pelaksanaan penyelenggaraan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di Kabupaten Samosir serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan dari musyawarah.

2. Data Sekunder

Data sekunder yakni data yang diperoleh dari Kantor Bupati Samosir dan instansi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, seperti data hasil

pelaksanaan kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan

(Musrenbang) Kabupaten Samosir, data monografi Kabuapaten Samosir, struktur organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Samosir dan data-data pendukung lainnya sesuai dengan penelitian.

Untuk mencari jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini penulis menggunakan informan/responden yang bertindak sebagai sumber data dan informan terpilih serta yang bersangkutan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan informan sebagai objek informasi tentang pelaksanaan penyelenggaraan musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di Kabupaten Samosir. Dalam wawancara yang dilakukan dengan informan, peneliti


(42)

metode penentuan sampel yang pertama-tama dipilih satu atau dua orang, karena dua orang ini belum dirasa lengkap dalam memberikan data, maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya.


(43)

8 Sistematika penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari penelitian ini, maka penulisan dilakukan secara terperinci dan sistematis sebagai salah satu syarat penelitian ilmiah. Penelitian ini terdiri dari 4 bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II: PROFIL KABUPATEN SAMOSIR DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SAMOSIR PERIODE 2009-2014.

Bab ini akan menguraikan profil Kabupaten samosir dan pemerintahan daerah Kabupaten Samosir.

BAB III: GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS EVALUASI PELAKSANAAN MUSRENBANG KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2014.

Bab ini akan menyajikan analisis relasi antara teori dengan fakta yang terjadi di lapangan, terkait dengan evaluasi terhadap proses pelaksanaan musrenbang Kabupaten Samosir 2014.

BAB I : PENUTUP Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan saran yang diperoleh dari ananlisis data.


(44)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI

2. 1. Gambaran Umum dan Sejarah Kabupaten Samosir

Kabupaten Samosir adalah hasil pemekaran dari kabupaten induknya yakni Kabupaten Toba Samosir yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir di Provinsi Sumatera Utara, diresmikan pada tanggal 7 Januari 2004 oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia.

Penerapan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, telah mendorong munculnya aspirasi masyarakat di daerah untuk membentuk kabupaten/kota baru yang bersifat otonom. Sebab dengan status daerah otonom baru, mereka berharap akan memperoleh peluang untuk mengurus daerahnya sendiri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pembentukan Kabupaten Samosir di Propinsi Sumatera Utara yang wilayahnya meliputi seluruh Pulau Samosir dan sebahagian wilayah di pulau sumatera sudah merupakan agenda Pemerintah Kabupaten Toba Samosir. Hal itu guna dalam kajian percepatan pemekaran Kabupaten Toba Samosir dengan melahirkan calon Kabupaten Samosir perlu segera dilakukan mengingat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.


(45)

Usul pemekaran Kabupaten Toba Samosir menjadi dua kabupaten yang didasarkan pada desakan masyarakat wilayah samosir dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Toba Samosir adalah :

1. Kabupaten Toba Samosir (Induk), terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan

yaitu Kecamatan Balige, Laguboti, Silaen, Habinsaran, Porsea, Lumbanjulu, Uluan, Pintu Pohan Meranti, Ajibata, dan Borbor.

2. Kabupaten Samosir (kabupaten baru), terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan

yaitu kecamatan Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mula-mula, Simanindo, Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Harian, dan Sitio-tio.

Aspirasi dan argumentasi masyarakat yang disampaikan kepada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Toba Samosir, Pemerintah Kabupaten Toba Samosir, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ditindaklanjuti dengan:

1. Keputusan DPRD Kabupaten Toba Samosir Nomor 4 Tahun 2002 tanggal

20 Juni 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir.

2. Surat Bupati Toba Samosir Nomor 1101/Pem/2002 tanggal 24 Juni 2002

yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara.

3. Surat Bupati Toba Samosir Nomor 135/1187/Pem/2002 tanggal 3 Juli

2002 yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara perihal laporan tentang aspirasi masyarakat Samosir untuk membentuk Kabupaten Samosir.


(46)

4. Terakhir, dari seluruh argumentasi, usulan DPRD dan Bupati Toba Samsoir ini diakomodir dengan keluarnya Undang-undang No. 36 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Terbentuknya Kabupaten Samosir sebagai kabupaten baru merupakan langkah awal untuk memulai percepatan pembangunan di wilayah Samosir menuju masyarakat yang lebih sejahtera, dengan tujuan untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam rangka perwujudan sosial, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, merespon serta merestrukturisasi jajaran pemerintahan daerah dalam rangka mempercepat proses pembangunan sehingga dalam waktu yang cukup singkat dapat sejajar dengan kabupaten lainnya dan akan mengangkat harkat hidup masyarakat yang ada di kabupaten Samosir pada khususnya, dan di

provinsi sumatera utara pada umumnya.20

Sejalan dengan tuntutan perkembangan era reformasi, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipandang perlu mendapat perubahan dengan terbitnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang salah satunya antara lain menetapkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu paket melalui pemilihan langsung. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pada tanggal 27 Juni 2005

20


(47)

diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Samosir secara langsung oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Samosir yakni terpilihnya Ir. Mangindar Simbolon dan Ober Sihol Parulian Sagala, SE sebagai Bupati dan Wakil Bupati Samosir Periode 2005-2010 yang selanjutnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.22-740 tanggal 12 Agustus 2005. Kemudian pada tanggal 13 September 2005, Bupati dan Wakil Bupati Samosir terpilih dilantik oleh Gubernur Sumatera Utara atas nama Presiden Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kabupaten Samosir.

Dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di Kabupaten Samosir sesuai amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir di Provinsi Sumatera Utara serta berbagai ketentuan yang berlaku sekaitan dengan tugas dan kewajiban pemerintahan, Pemerintah Kabupaten bersama DPRD Kabupaten Samosir telah berhasil menetapkan berbagai peraturan daerah antara lain Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebagai salah satu unsur pendukung dalam penyusunan APBD, Peraturan daerah (Perda) Kelembagaan Organisasi Perangkat Daerah sebagai landasan penataan organisasi, Perda tentang Lambang Daerah dan Perda Kabupaten Samosir Nomor 28 Tahun 2005 yang menetapkan bahwa tanggal 7 Januari sebagai Hari Jadi Kabupaten Samosir, kemudian Perda tentang Pemerintahan Desa sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah RI Nomor


(48)

72 Tahun 2005 tentang Desa, Perda tentang Perijinan, Pengelolaan Keuangan/Barang, Pengawasan Ternak, Pengelolaan Irigasi, Pengendalian Lingkungan Hidup, Pemberdayaan dan Pelestarian Adat Istiadat, APBD dan Perubahan APBD termasuk didalamnya Perda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2006-2010 sebagai landasan

penyelenggaraan pembangunan 5 (lima) tahun ke depan.21

2.1.1. Kondisi Geografis

Secara geografis Kabupaten Samosir terletak di antara 2021’38’’-

2049’48’’ Lintang Utara dan 98024’00’’ - 99001’48’’ Bujur Timur dengan

ketinggian antara 904 - 2.157 meter di atas pemukaan laut. Luas wilayahnya ±

2.069,05 km2, terdiri dari luas daratan ± 1.444,25 km2 (69,80 persen), yaitu

seluruh Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba dan sebahagian wilayah

daratan Pulau Sumatera, dan luas wilayah danau ± 624,80 km2 (30,20 persen).

Menurut daerah tingkat kecamatan, wilayah daratan yang paling luas

adalah Kecamatan Harian dengan luas ± 560,45 km2 (38,81 persen), diikuti oleh

Kecamatan Simanindo ± 198,20 km2 (13,72 persen), Kecamatan Sianjur

Mulamula ± 140,24 km2 (9,71 persen), Kecamatan Palipi ± 129,55 km2 (8,97

persen), Kecamatan Pangururan ± 121,43 km2 (8,41 persen), Kecamatan

Ronggurnihuta ± 94,87 km2 (6,57 persen), Kecamatan Nainggolan ± 87,86 km2

(6,08 persen), Kecamatan Onanrunggu ± 60,89 km2 (4,22 persen), dan Kecamatan

Sitiotio ± 50,76 km2 (3,51 persen).

diakses tanggal 29 Juni 2014.


(49)

Tabel 2.1

Luas Wilayah Kabupaten Samosir Berdasarkan Kecamatan Tahun 2012

Sumber : Samosir Dalam Angka 2013

Selanjutnya, yang menjadi batas-batas wilayah Kabupaten Samosir, yaitu:

• Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten

Simalungun;

• Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan

Kabupaten Humbang Hasundutan;

• Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten

Pakpak Barat;

No. Kecamatan Jumlah Desa Jumlah Kelurahan

Luas Wil. (Km²)

% Luas

1 Sianjur Mula-mula 12 - 140,20 9,71

2 Harian 13 - 560,45 38,81

3 Sitio-tio 8 - 50,76 3,51

4 Onan Runggu 12 - 60,89 4,22

5 Nainggolan 13 2 87,86 6,08

6 Palipi 17 - 129,55 8,97

7 Ronggurnihuta 8 - 94,87 6,57

8 Pangururan 25 3 121,43 8,41

9 Simanindo 20 1 198,20 13,72


(50)

• Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir.

Gambar 2.1.1. PETA KABUPATEN SAMOSIR MAP OF SAMOSIR REGENCY

Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Samosir Dalam Angka Tahun 2013. Kabupaten samosir.

Keadaan topografi dan kontur tanahnya beraneka ragam, yaitu datar, landai, miring dan terjal. Struktur tanahnya labil dan berada pada jalur gempa

tektonik dan vulkanik.22

2.1.2. Iklim

Posisi geografis yang berada di garis khatulistiwa, kabupaten Samosir

tergolong ke dalam beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 17° C-29°

C, dengankelembapan udara rata-rata 85.04%.

22

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2014. Samosir Dalam Angka In Figures Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Samosir. Hal 3.


(51)

Rata-rata curah hujan per bulan yang tertinggi terdapat di Kecamatan Sianjur Mulamula, yaitu 185,67 mm, disusul oleh Kecamatan Sitiotio 167,75 mm, Kecamatan Pangururan 140,00 mm, Kecamatan Simanindo 137,67 mm, Kecamatan Palipi 115,83 mm, Kecamatan Onanrunggu 110,25 mm, Kecamatan Harian 86,67 mm, Kecamatan Ronggur Nihuta 80,08 mm, dan yang terendah terdapat di Kecamatan Nainggolan, yaitu 35,50 mm.

Sementara itu, rata-rata banyaknya hari hujan tiap bulan yang tertinggi terdapat di Kecamatan Sianjur Mulamula, yaitu 15,17 hari, disusul oleh Kecamatan Pangururan 12,50 hari, Kecamatan Sitiotio 10,67 hari, Kecamatan Simanindo 9,92 hari, Kecamatan Onanrunggu 9,67 hari, Kecamatan Palipi 9,08 hari, Kecamatan Ronggur Nihuta 7,83 hari, dan yang terendah terdapat di

Kecamatan Nainggolan dan Kecamatan Harian, yaitu masing-masing 7,50 hari.23

2.1.3. Pemerintahan

2.1.3.1. Wilayah Administrasi

Wilayah administrasi pemerintahan kecamatan di Kabupaten Samosir belum ada mengalami pemekaran, yaitu terdiri dari 9 kecamatan, sementara wilayah administrasi pemerintahan desa/kelurahan mengalami pemekaran pada tahun 2011, yaitu dari 111 desa dan 6 kelurahan menjadi 128 desa dan 6

kelurahan.24

23

Ibid. Hal 4.

24


(52)

2.1.3.2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Berdarkan data dari Sekretariat DPRD Kabupaten Samosir, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Samosir hasil pemilu legislatif tahun 2009 adalah sebanyak 25 orang, terdiri dari 22 orang laki-laki (88,00 persen) dan 3 orang perempuan (12,00 persen), berasal dari 15 Partai Politik peserta Pemilu, yaitu Partai Hanura, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, Partai Perjuangan Indonesia Baru masing-masing 3 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Damai Sejahtera masing-masing 2 orang, dan Partai Republika Nusantara, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Patriot, Partai Kasih Demokrasi Indonesia, Partai Pelopor, Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Buruh, Partai Keadilan dan

Persatuan Indonesia masing-masing 1 orang.25

2.1.3.3. Pegawai Negeri Sipil

Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Samosir, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Daerah Otonom Kabupaten Samosir pada tahun 2012 adalah sebanyak 3.727 orang, terdiri dari 1.443 orang laki-laki (38,72 persen) dan 2.284 orang perempuan (61,28 persen). Jumlah PNS ini mengalami penurunan sebanyak 146 orang (3,77 persen) bila dibandingkan dengan tahun 2011.

Menurut usia, PNS Daerah Otonom Kabupaten Samosir yang paling banyak adalah berusia 25 - 44 tahun, yaitu sebanyak 2.168 orang (58,17 persen),

25


(53)

disusul oleh yang berusia 45 - 60 tahun sebanyak 1.548 orang (41,53 persen), dan yang berusia 20 - 24 tahun sebanyak 11 orang (0,30 persen).

Selanjutnya menurut tingkat pendidikan, PNS Daerah Otonom Kabupaten Samosir yang paling banyak adalah yang berpendidikan Strata-1, yaitu sebanyak 1.357 orang (36,41 persen), diikuti oleh SLTA sebanyak 1.236 orang (33,16 persen), Diploma I/II/III sebanyak 1.063 orang (28,52 persen), Strata-2 sebanyak 32 orang (0,86 persen), SLTP sebanyak 26 orang (0,70 persen), dan yang

berpendidikan SD sebanyak 13 orang (0,35 persen).26

2.1.3.4. Administrasi Pemerintahan

Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Samosir kepemilikan sertifikat hak atas tanah di Kabupaten Samosir pada tahun 2011/2012 mengalami peningkatan sebesar 28,14 persen bila dibandingkan dengan tahun 2010/2011, yaitu dari 2.971 menjadi 3.807.

Banyaknya narapidana dan tahanan pada cabang rumah tahanan negara di pangururan pada tahun 2011 adalah sebanyak 824 orang, namun pada tahun 2012

mengalami penurunan menjadi 345 orang.27

2.1.4. Kependudukan dan Sosial Budaya

Kondisi kependudukan maupun keadaan sosial budaya mayarakat di Kabupaten Samosir mempunyai karakter yang khas yang memegang teguh kebudayaan dan agama serta adat-istiadat yang ada di daerah tersebut.

Berdasarkan angka proyeksi penduduk pertengahan tahun 2012, jumlah penduduk Kabupaten Samosir adalah 121.594 jiwa, terdiri dari 60.384 penduduk

26

Ibid., Hal 21.

27


(54)

laki-laki (49,66 persen) dan 61.210 penduduk perempuan (50,34 persen), dengan rasio jenis kelamin sebesar 98,65 dan angka kepadatan penduduk mencapai 84,19

jiwa/km2. Sementara itu jumlah rumah tangga adalah 29.775 rumah tangga

dengan rata-rata penduduk tiap rumah tangga sebesar 4,08 jiwa/rumah tangga. Menurut persebaran penduduk tiap kecamatan, penduduk yang lebih banyak adalah di Kecamatan Pangururan, yaitu 29.889 jiwa (24,58 persen),

dengan angka kepadatan penduduk 246,14 jiwa/km2, sedangkan penduduk yang

paling sedikit adalah di Kecamatan Sitiotio yaitu 7.239 jiwa (5,95 persen), dengan

angka kepadatan penduduk rata-rata 142,61 jiwa/km2.

Kecamatan yang mempunyai angka kepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Harian, walaupun wilayahnya paling luas, yaitu mencapai

560,45 km2, namun hanya didiami oleh 7.988 jiwa (6,57 persen) penduduk

dengan angka kepadatan penduduk rata-rata 14,25 jiwa/km2. Hal ini disebabkan

karena sebagian besar wilayahnya merupakan areal hutan produksi maupun hutan

lindung dan juga areal pertanian.28

28


(55)

Tabel 2.2

Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga di Kabupaten Samosir Menurut Kecamatan Tahun 2012

NO. KECAMATAN

JUMLAH PENDUDUK

(jiwa)

KEPADATAN (jiwa/km2)

RUMAH TANGGA

1. Sianjur Mula-mula 9.286 66,22 2.386

2. Harian 7.988 14,25 1.929

3. Sitiotio 7.239 142,61 1.801

4. Onan Runggu 10.497 172,39 2.734

5. Nainggolan 12,041 137,05 3.042

6. Palipi 16.348 126,19 3.907

7. Ronggur Nihuta 8.492 89,51 2016

8. Pangururan 29.889 246,14 6.929

9. Simanindo 19.814 99,97 5.031

2012 121.594 84,19 29.775

2011 120.772 83,62 29.365

2010 119.653 82,85 28.934

2009 132.023 91,41 31.768

2008 131.549 91,08 31.274


(56)

Gambar 2.2

Distribusi Penduduk Kabupaten Samosir Menurut Kecamatan Tahun 2012

2.1.4.1. Pendidikan

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), persentase penduduk Kabupaten Samosir berusia 10 tahun ke atas yang masih sekolah diperkirakan sebesar 28,42 persen, sedangkan yang tidak/belum pernah sekolah adalah 1,21 persen, dan yang tidak bersekolah lagi adalah 70,36 persen. Persentase penduduk yang masih sekolah dan yang tidak bersekolah lagi mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun sebelumnya, sementara yang tidak/belum pernah sekolah mengalami penurunan.

Berdasarkan tingkat pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) penduduk Kabupaten Samosir pada tingkat Sekolah Dasar adalah 107,20 persen, tingkat Sekolah Menengah Tingkat Pertama adalah 92,82 persen, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas adalah 102,35 persen. Sementara itu, Angka Partisipasi Murni


(57)

(APM) pada tingkat Sekolah Dasar adalah 94,71 persen, tingkat Sekolah Menengah Tingkat Pertama adalah 78,56 persen, dan Sekolah Menengah Tingkat Atas adalah 79,86 persen.

Persentase penduduk Kabupaten Samosir berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf pada tahun 2012 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2011, yaitu dari 2,16 persen menjadi 1,70 persen. Menurut jenis kelamin, persentase penduduk perempuan yang buta huruf, yaitu 3,01 persen, lebih tinggi

dari penduduk laki-laki yang hanya sebesar 0,36 persen.29

2.1.4.2. Kesehatan dan Keluarga Berencana

Angka Harapan Hidup (e0) penduduk Kabupaten Samosir setiap tahun

mengalami peningkatan hingga mencapai 69,95, lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata Angka Harapan Hidup penduduk Sumatera Utara, yaitu sebesar 69,81 tahun.

Berdasarkan data dari kantor keluarga berencana Kabupaten Samosir, banyaknya Pasangan Usia Subur (PUS) tahun 2012 di Kabupaten Samosir adalah 13.293 pasangan, 11.036 pasangan (79,26 persen) diantaranya adalah akseptor

aktif. Sementara itu jumlah akseptor baru adalah sebanyak 3.634 pasangan.30

29

Ibid., hal 101.

30


(58)

2.1.4.3. Perumahan

Berdasarkan hasil SUSENAS, persentase rumah tangga di Kabupaten Samosir yang sudah menggunakan listrik PLN sebagai sumber penerangan utama adalah 94,07 persen, listrik Non PLN 3,99 persen, aladin/petromak 1,15 persen, dan pelita/obor 0,79 persen.

Menurut sumber air minum utama, persentase rumah tangga yang menggunakan air kemasan bermerk/air isi ulang/leding dengan meteran/leding eceran adalah 10,32 persen, sedangkan yang menggunakan sumur bor /pompa/sumur terlindung/sumur tidak terlindung/ mata air terlindung/mata air tidak terlindung/air sungai/danau/air hujan adalah 61,01 persen, dan yang lainnya adalah 28,68 persen. Sementara itu persentase rumah tangga yang memiliki lantai rumah terbuat dari

bukan tanah adalah 99,25 persen dan terbuat dari tanah adalah 0,75 persen.31

2.1.4.4. Sosial Lainnya

Berdasarkan data dari kantor kementerian agama Kabupaten Samosir, pada tahun 2012 penduduk Kabupaten Samosir yang beragama Kristen adalah sebanyak 85.459 jiwa (56,90 persen), Katolik 62.613 jiwa (41,69 persen), Islam

1.524 jiwa (1,01 persen), dan lainnya 591 jiwa (0,39 persen).32

31

Ibid., hal 102.

32


(59)

2.1.5. Visi dan Misi Kabupaten Samosir

Visi merupakan gambaran sikap mental dan cara pandang jauh ke depan mengenai organisasi sehingga organisasi tersebut tetap eksis, antisipatif dan

inovatif. Oleh karena itu, yang menjadi visi Kabupaten Samosir tahun 2010-2015

adalah: “SAMOSIR MENJADI DAERAH TUJUAN WISATA LINGKUNGAN

YANG INOVATIF 2015.” Beberapa kata kunci dari kalimat visi tersebut, dapat

dijelaskan seperti berikut:

1. Wisata Lingkungan mengandung makna bahwa pariwisata yang

mempertimbangkan dampak sosial ekonomi dan lingkungan dimasa kini dan masa mendatang dengan memperhatikan kebutuhan pengunjung (wisatawan), industri pariwisata, lingkungan sekitar dan masyarakat tuan rumah. Arah pengembangan destinasi pariwisata lingkungan adalah pariwisata berkelanjutan yaitu upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup melalui pengaturan, penyediaan pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya alam dan budaya secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat.

2. Inovatif mengandung makna bahwa Kabupaten Samosir akan berkreasi,

mau dan dapat mengadakan pembaharuan sesuai tantangan, untuk menggali dan memperkenalkan hal-hal yang baru akan seni, budaya dan situs/artefak sejarah etnis batak maupun kawasan wisata rekreasi yang berbasis lingkungan.


(60)

Dalam rangka mewujudkan visi dimaksud, maka disusun Misi Kabupaten

Samosir 2011-2015 adalah sebagai berikut:

1.

Memantapkan Good Governance dengan dukungan SDM yang berkualitas

serta prasarana dan sarana yang memadai dan berstandart.

2. Mengembangkan ekonomi kerakyatan untuk peningkatan kesejahteraan

rakyat dengan pengelolaan Sumber Daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan terkendali.

3. Meningkatkan infrastruktur dan konservasi alam yang handal berdasarkan

tata ruang yang mantap untuk mendukung industri pariwisata berbasis lingkungan dan budaya.

4. Meningkatkan kondusifitas daerah dengan mendorong pelaksanaan

demokrasi dan penegakan hukum.

5. Mengembangkan jejaring yang sinergis kepada semua pihak.33

2.2. Gambaran umum MUSRENBANG Kabupaten

Musyawarah perencanan pembangunan (MUSRENBANG) kabupaten

adalah musyawarah pemangku kepentingan (stakeholder) ditingkat

kabupaten/kota untuk mematangkan Rancangan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) kabupaten/kota yang disusun berdasarkan kompilasi seluruh Rancangan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) hasil forum SKPD dengan cara meninjau keserasian antara seluruh rancangan Renja

33


(61)

SKPD yang hasilnya digunakan untuk pemutakhiran Rancangan RKPD dengan merujuk kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Undang-Undang No 25 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Pengertian sumber daya yang dimaksudkan adalah potensi, kemampuan dan kondisi lokal, termasuk anggaran, untuk dikelolah dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu di dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa kabupaten/kota merupakan daerah otonom, dalam artian bahwa daerah memiliki kewenangan membuat daerah kebijakan untuk memberikan pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk pemberdayaan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Guna mewujudkan kemajuan daerah, kesejahteraan, dan kemadirian masyarakat maka perlu didukung oleh pengelolaan pembangunan yang partisipatif. Pada tataran pemerintahan diperlukan perilaku pemerintahan yang jujur, terbuka, bertanggung jawab, dan demokratis. Sedangkan pada tataran masyarakat perlu dikembangkan mekanisme yang memberikan peluang peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bagi kepentingan bersama.

Salah satu arena proses pengambilan keputusan secara parisipatif dalam kebijakan daerah adalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) kabupaten/kota. Musrebang kabupaten/kota adalah arena strategis bagi para pihak


(62)

dalam merumuskan perencanaan pembangunan secara kolaboratif dengan melibatkan 3 pilar pemerintahan, yaitu pemerintah daerah (eksekutif dan legislative), kalangan masyarakat, dan kalangan swasta. Dengan demikian musrenbang menjadi arena strategis untuk para pihak dalam merumuskan perencanaan pebangunan daerah.

2.2.1. Kerangka Hukum Musrenbang Kabupaten/Kota

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan kerangka dasar otonomi daerah yang salah satunya mengamanatkan dilaksanakannya perencanaan pembangunan dari bawah secara partisipatif. Payung hukum untuk pelaksanan Musrenbang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang system Perencanan Pembangunan Nasional, dan secara teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 18 ayat (2)

menyebutkan bahwa “Musrenbang RKPD dilaksanakan oleh Bappeda setiap

tahun dalam rangka membahas RancanganRKPDtahun berikutnya”. Selanjutnya

pada Pasal 18 ayat (4) disebutkan bahwa, “Musrenbang RKPD kabupaten/kota

dilaksanakan untuk keterpaduan Rancangan Renja SKPD dan antar-Rencana Pembangunan Kecamatan”. Kedua ayat dalam pasal 18 ini memberikan


(63)

dasar hokum bagi pelaksanaan Musrenbang RKPD kabupaten/kota sebagai ruang untuk membahas rancangan RKPD untuk tahun yang akan datang.

Untuk mendukung pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut, maka pembangunan yang dilaksanakan dengan meggunakan paradigm pembedayaan masyarakat sangat diperlukan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pengendalian pembangunan pada tataran pemerintrah di desa/kelurahan, kecamatan, dan pemerintah kabupaten.

2.2.2 Partisipasi Masyarakat di Musrenbang Kabupaten/Kota

Salah satu kunci dalam proses Musrenbang adalah adanya musyawarah dalam merumuskan kebijakan dan program daerah. Konsep musyawarah menunjukkan bahwa forum Musrenbang bersifat partisipatif dan dialogis, bukan seminar dan sosialisasi informasi. Proses musrenbang jangan sampai disusun sebagai suatu acara seremonial yang separuh atau sebagian besar dari waktunya diisi dengan samburan dan pidato-pidato. Inti dari musrenbang adalah partisipasi aktif warga. Dalam setiap level musrenbang, pelibatan masyarakat merupakan cerminan dari praktik partisipasi warga dan sekaligus arena akuntabilitas pemerintahan.

Forum Musrenbang kabupaten/kota merupakan langkah penghujung dalam proses perencanaan, yaitu pemeriksaan bersama dokumen Rancangan Awal RKPD kabupaten/kota yang merupakan hasil kompilasi Rancangan Renja SKPD


(64)

yang merupakan kombinasi hasil dari proses partisipatif spasial dan sektoral (musrenbang desa/kelurahan, kecamatan, sampai forum SKPD) dan proses teknokrati

2.2.3. Tujuan dan Luaran Musrenbang Kabupaten/Kota Tujuan Musrenbang kabupaten/kota yaitu:

1. Meyempurnaka Rancangan Awal RKPD yang memuat:

• Prioritas pembangunan daerah;

• Alokasi anggaran indikatif berdasarkan program dan fungsi

SKPD;

• Rancangan Alokasi Dana Desa;

• Usulan kegiatan yang pendanaannya berasal dari APBD

provinsi, APBN, dan sumber pendanaan lainnya;

2. Menyusun rincian rancangan awal kerangka anggaran yang merupakan

rencana kegiatan pengadaan barang dan jasa yang perlu dibiayai oleh APBD untuk mencapai tujuan pembangunan.

3. Menyusun rincian rancangan awal kerangka regulasi yang merupakan

rencana kegiatan melalui pengaturan yang mendorong partisipasi masyarakat ataupun lembaga terkait lainnya untuk mencapai tujuan pembangunan.


(1)

benar-benar mencerminkan partisipasi deliberatif, serta perlu dipikirkan cara untuk meningkatkan popular partisipasi. Partisipasi seperti ini bisa terwujud pada warga Negara yang sudah terdidik dan terorganisir sehingga mereka mempunyai kesadaran kritis dan kompetensi terhadap masalah-masalah publik di Kabupaten Samosir. Diharapkan akan muncul organisasi-organisasi masyarakat, berbagai komunitas, ruang-ruang publik yang semarak, jaringan sosial yang padat, dan media yang bebas serta krtis. Berbagai elemen masyarakat Kabupaten Samosir mampu mengorganisir kepentingan mereka, mempunyai peta masalah dan ide-ide alternatife untuk kebijakan, aktif mencermati dan merespon kebijakan publik dan aktif melakukan watch dog terhadap lembaga-lembaga publik.


(2)

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil estimasi dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pelaksanaan Musrenbang di Kabupaten Samosir sudah dilaksanakan mulai dari tingkat Desa, sudah mulai melibatkan masyarakat walaupun belum maksimal dan masih memiliki kekurangan dan banyak kendala yang harus dibenahi dalam pelaksanaan Musrenbang kedepannya.

2. Dengan dilibatkannya masyarakat masalah yang diusulkan dalam perumusan masalah seharusnya benar-benar apa yang dirasakan masyarakat Kabupaten Samosir.

3. Perumusan masalah di setiap Desa dan Kecamatan yang ada di Kabupaten Samosir belum disusun berdasarkan masalah yang benar-benar mendesak dan berdasarkan usulan dari masyarakat, akan tetapi masih terdapat berbagai program yang dijadikan skala prioritas merupakan hasil titipan dari SKPD ataupun anggota DPRD.


(3)

4.2. Saran dan Implikasi

Berdasarkan hasil studi empiris yang dilakukan maka ada beberapa saran dan kebijakan yang dapat diberikan untuk-untuk pihak terkait, yakni:

1. Pelaksanaan Musrenbang di Kabupaten Samosir diharapkan lebih memperhatikan waktu dan sosialisasi yang lebih matang lagi kedepannya sehingga masyarakat mengetahui secara detail tentang pelaksanaan Musrenbang.

2. Penentuan skala prioritas diharapkan memang benar-benar bersumber dari apa yang dirasakan masyarakat itu sendiri sehingga diperlukan pemecahan masalah karena menyangkut kepentingan umum bukan berdasarkan titipan program dari instansi tertentu ataupun perorangan.

3. Diharapkan dalam musrenbang warga didorong untuk terlibat mengambil keputusan.Musrenbang bukan hanya alat tetapi juga sebuah ruang yang menjamin warga dijamin memiliki hak dan kebebasan berpendapat serta terlibat dalam setiap pengambilan keputusan.Lebih dari itu, musrenbang dapat sangat bermanfaat untuk membangun mutual trust, kebersamaan, kemitraan, dan penyelesaian masalah yang tepat dan efektif.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Samosir Dalam Angka Tahun 2013. Kabupaten samosir.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2014. Samosir Dalam Angka In Figures Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Samosir. Hal 3.

Conyers, Diana, 1994, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hlm 4.

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hlm. 128 F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 127 Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hasibuan, Malayu, S.P.Drs, 1993, Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah, CV. Haju Masagung, Jakarta.hlm 95.

Universitas Indonesia UI Press, Jakarta.

Howlett, Michael dan Ramesh, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem, Oxford University Press, Toronto, 1995.

Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga. Hal 105.

Kunarjo, 2002, Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan.

Masri Singarimbun & Sofian Ependi. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S. Hal.37


(5)

Moelyarto, Tjokrowinoto, 1999, Restrukturisasi Ekonomi dan Birokrasi, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Hlm 91.

Hadari Nawawi. 1994. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM prss. Hal 203.

Hadari Nawawi dan Martini Hadari. Op.cit. hal. 49.

Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 2006. Instrumen penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Reiner Forst, Kontexte der Gerechtigkeit, Frankfrurt a.M., 1994, Hlm. 192. RKPD Kabupaten Samosir Tahun 2015

Samosir Dalam Angka In Figures Tahun 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Samosir. Hal 152.

Tjokroamidjojo, Bintoro, 1995, manajemen Pembangunan, Gunung Agung, Jakarta. Hlm 35.

Sumber Jurnal:

Samsul Ma’rif; Prihadi Nugroho dan Lydia Wijayanti. Evaluasi Efektivitas Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) Kota Semarang

Wahyu Ishardino Satries.Mengukur Tingkat Partisipasi Masyarakat Kota Bekasi Dalam Penyusunan APBD Melalui Pelaksanaan Musrenbang 2010.


(6)

Rieval Wijaya Syahputra dan Febry Yuliani. Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musyawarah Perncanaan Pembangunan (MUSRENBANG) Di Kelurahan Kulim.

Perundang-undangan :

Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

Sumber Internet: