Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol, Fraksi n-Heksana dan Etilasetat Daun Mindi (Melia azedarach L.) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

(1)

(2)

Lampiran 2. Morfologi tumbuhan mindi

Tumbuhan mindi


(3)

Lampiran 2. (Lanjutan)

Simplisia daun mindi

Serbuk simplisia daun mindi


(4)

a a b c d

e Lampiran 3. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun mindi

(perbesaran 10x40)

Keterangan : a. Jaringan palisade berisi Kristal Kalsium berbentuk prisma b. Rambut penutup

c. Xylem dengan Penebalan Spiral

d. Stomata tipe anomositik e. Sel-Sel Minyak


(5)

Lampiran 4. Bagan kerja penelitian Daun Daun Mindi Simplisia Serbuk Simplisia Karakterisasi

simplisia Skrining Fitokimia 500 g serbuk simplisia

- Pemeriksaan makroskopik - Pemeriksaan mikroskopik - Penetapan kadar :

-Air

-Sari yang larut dalam air

-Sari yang larut dalam etanol -Abu total

-Abu yang tidak larut dalam asam

- Pemeriksaan : -Alkaloida -Glikosida -Flavonoida -Tanin -Saponin -Steroida/

triterpenoida Maserat

Ekstrak kental

Dicuci, ditiriskan dan ditimbang sebagai berat basah

Dikeringkan dalam lemari pengering

Ditimbang berat kering Dihaluskan

Dimasukkan ke dalam wadah

Dikumpulkan Maserat Direndam dengan 75 bagian etanol 80% Dibiarkan 5 hari sambil sering diaduk

Disaring

Ampas

Ditambahkan etanol 80% hingga diperoleh 100 bagian Dibiarkan selama 2 hari terlindung dari cahaya Dienaptuangkan

Maserat

Dipekatkan dengan Rotary Evaporator


(6)

Lampiran 5. Bagan pembuatan fraksi n-heksana dan fraksi etilasetat daun mindi (Melia azedarach L.)

Ekstrak etanol daun mindi (20 g)

Fraksi n-heksana Fraksi air

Fraksi n-heksana Pekat (2,588 g)

Fraksi etilasetat

Fraksi air (13,206 g)

Fraksi etilasetat pekat (4,006 g)

Dihomogenkan

Dimasukkan dalam corong pisah Difraksinasi dengan 50 ml n-heksana sebanyak 3 kali

Ditambahkan 40 ml etanol dan 100 ml aquades

Dikumpulkan

Dipekatkan dengan rotary evaporator

Difraksinasi dengan 50 ml etilasetat sebanyak 3 kali

Dikumpulkan Dipekatkan dengan


(7)

Lampiran 6. Bagan pengujian aktivitas antibakteri

Diambil dengan jarum ose steril

Ditanam pada media Nutrient Agar miring

Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam

Disuspensikan dalam 10 ml media Nutrient

Broth steril

Diukur kekeruhan suspensi bakteri menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh nilai transmitan 25%

Dimasukkan 0,1 ml inokulum ke dalam cawan petri

Ditambahkan 15 ml media Mueller Hinton Agar ke dalam cawan petri

Dihomogenkan dan dibiarkan hingga Memadat

Diletakkan pencadang kertas yang telah direndam ke dalam larutan uji ekstrak/ fraksi dengan berbagai konsentrasi dan pelarut DMSO sebagai blanko

Diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 – 24 jam

Diukur diameter daerah hambatan di sekitar pencadang kertas dengan menggunakan jangka sorong

Biakan murni bakteri

Stok kultur bakteri

Inokulum bakteri

Media Padat


(8)

Lampiran 7. Perhitungan karakterisasi simplisia daun mindi (Melia azedarach L.) 1.Penetapan kadar air

Kadar air

=

No. Berat sampel (g) Volume air (ml) Kadar air (%) 1. 2. 3. 5,01 5,04 5,08 0,3 0,3 0,3 5.98 5.94 5.90

Kadar air I =

Kadar air II =

Kadar air III =

Kadar air rata-rata = 2. Penetapan kadar sari larut air

Kadar sari larut air

=

No. Berat sampel (g) Berat sari (g) Kadar sari larut air (%) 1. 2. 3. 5,03 5,04 5,02 0,1900 0,1788 0,1682 18,88 17,73 16,75

Kadar sari larut air I = = 18,88 %

Kadar sari larut air II = = 17,73 %

Kadar sari larut air III = = 16,75 %


(9)

Lampiran 7. (Lanjutan)

3. Penetapan kadar sari larut etanol Kadar sari larut etanol

=

No. Berat sampel (g) Berat sari (g) Kadar sari larut etanol (%) 1. 2. 3. 5,05 5,03 5,02 0,1130 0,1158 0,1132 11,18 11,51 11,27

Kadar sari larut etanol I = = 11,18 %

Kadar sari larut etanol II = = 11,51 %

Kadar sari larut etanol III = = 11,27 %

Kadar sari larut etanol rata-rata = = 11,32%

4. Penetapan kadar abu total

Kadar abu total =

No. Berat sampel (g) Berat abu (g) Kadar abu total (%) 1. 2. 3. 2,0011 2,0219 2,0146 0,1420 0,1495 0,1386 7,09 7,39 6,87

Kadar abu total I =

Kadar abu total II =

Kadar abu total III =


(10)

Lampiran 7. (Lanjutan)

5. Penetapan kadar abu tidak larut asam Kadar abu tidak larut asam

=

No. Berat sampel (g) Berat abu (g) Kadar abu tidak larut asam (%)

1. 2. 3.

2,0011 2,0219 2,0146

0,0085 0,0066 0,0112

0,424 0,326 0,550

Kadar abu tidak larut asam I =

Kadar abu tidak larut asam II =

Kadar abu tidak larut asam III =

Kadar abu tidak larut asam rata-rata


(11)

Lampiran 8. Data hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan fraksi etilasetat daun mindi (Melia azedarach L.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus

1.Data hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol terhadap bakteri

Staphylococcus aureus

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter Daerah Hambatan (mm)

D1 D2 D3 D*

500 20,1 20,4 20,5 20,33

400 18,2 18,4 18,7 18,43

300 16,2 16,8 16,9 16,63

200 15,1 15,1 15,3 15,16

100 14,3 14,1 14,1 14,16

75 12.,7 12,9 12,4 12,67

50 11,2 11,1 11,1 11,13

25 9,3 9,2 9,3 9,26

Blanko - - - -

2. Data hasil uji aktivitas antibakteri fraksi n-heksana terhadap bakteri

Staphylococcus aureus

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter Daerah Hambatan (mm)

D1 D2 D3 D*

500 17,7 17,8 17,8 17,76

400 16,6 16,6 16,9 16,70

300 14,61 14,61 14,62 14,61

200 13,9 13,8 13,9 13,86

100 12,9 13,0 13,1 13,0

75 12,9 12,8 12,5 12,73

50 10,5 10,6 10,8 10,63

25 8,5 8,5 8,6 8,53

Blanko - - - -

Keterangan:

D = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri

D* = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata- rata - = Tidak terdapat daerah hambatan pertumbuhan bakteri


(12)

Lampiran 8. (Lanjutan)

3. Data hasil uji aktivitas antibakteri fraksi etilasetat terhadap bakteri

Staphylococcus aureus

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter Daerah Hambatan (mm)

D1 D2 D3 D*

500 21,1 21,1 21,0 21,06

400 20,1 20,2 19,9 20,0

300 18,2 18,7 18,6 18,5

200 15,4 15,8 15,5 15,60

100 14,8 14,7 15,0 14,83

75 13,7 13,9 13,6 13,73

50 11,7 11,8 11,5 11,67

25 9,8 9,8 9,8 9,8

Blanko - - - -

Keterangan :

D = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri

D* = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata- rata - = Tidak terdapat daerah hambatan pertumbuhan bakteri


(13)

Lampiran 9. Data hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan fraksi etilasetat daun mindi (Melia azedarach L.) terhadap bakteri Escherichia coli

1. Data hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol terhadap bakteri Escherichia

coli

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter Daerah Hambatan (mm)

D1 D2 D3 D*

500 19,4 19,0 19,1 19,16

400 17,7 17,4 17,5 17,50

300 15,8 15,3 15,6 15,56

200 14,0 14,3 14,7 14,33

100 13,1 13,4 12,9 13,13

75 12,1 12,1 12,2 11,63

50 10,9 10,9 10,1 10,20

25 9,2 9,0 9,0 9,06

Blanko - - - -

2. Data hasil uji aktivitas antibakteri fraksi n-heksana terhadap bakteri Escherichia

coli

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter Daerah Hambatan (mm)

D1 D2 D3 D*

500 17,1 16,8 17,2 17,0

400 16,0 15,9 15,9 15,93

300 14,1 14,1 14,1 14,10

200 13,1 13,1 13,3 13,16

100 12,6 12,8 12,6 12,67

75 11,9 12,0 11,9 11,93

50 10,1 10,0 10,1 10,06

25 8,0 8,1 8,0 8,03

Blanko - - - -

Keterangan :

D = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri

D* = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata- rata - = Tidak terdapat daerah hambatan pertumbuhan bakteri


(14)

Lampiran 9. (Lanjutan)

3. Data hasil uji aktivitas antibakteri fraksi etilasetat terhadap bakteri Escherichia

coli

Konsentrasi (mg/ml)

Diameter Daerah Hambatan (mm)

D1 D2 D3 D*

500 20,3 20,0 20,30 20,20

400 18,3 18,7 18,9 18,63

300 16,3 16,4 16,9 16,53

200 14,8 14,4 14,3 14,50

100 13,1 13,7 13,9 13,56

75 12,8 12,3 12,4 12,50

50 11,0 11,0 11,1 11,03

25 9,5 9,1 9,4 9,3

Blanko - - - -

Keterangan :

D = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri

D* = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata- rata - = Tidak terdapat daerah hambatan pertumbuhan bakteri


(15)

Lampiran 10. Hasil pengujian aktivitas antibakteri

Gambar uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun mindi terhadap bakteri

Staphylococcus aureus

Keterangan ;

1. Konsentrasi 25 mg/ml 6. Konsentrasi 300 mg/ml 2. Konsentrasi 50 mg/ml 7. Konsentrasi 400 mg/ml 3. Konsentrasi 75 mg/ml 8. Konsentrasi 500 mg/ml

4. Konsentrasi 100 mg/ml 9. Blanko

5. Konsentrasi 200 mg/ml

1 2

3

5 4

6 9

7 8


(16)

Lampiran 10. (Lanjutan)

Gambar hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun mindi (Melia azedarach L.) terhadap bakteri Escherichia coli

Keterangan ;

1. Konsentrasi 25 mg/ml 6. Konsentrasi 300 mg/ml 2. Konsentrasi 50 mg/ml 7. Konsentrasi 400 mg/ml 3. Konsentrasi 75 mg/ml 8. Konsentrasi 500 mg/ml

4. Konsentrasi 100 mg/ml 9. Blanko

5. Konsentrasi 200 mg/ml

1 2

3

4 5

6

7 8


(17)

Lampiran 10. (Lanjutan)

Gambar hasil uji aktivitas antibakteri fraksi n-heksan daun mindi (Melia

azedarach L.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus

Keterangan ;

1. Konsentrasi 25 mg/ml 6. Konsentrasi 300 mg/ml 2. Konsentrasi 50 mg/ml 7. Konsentrasi 400 mg/ml 3. Konsentrasi 75 mg/ml 8. Konsentrasi 500 mg/ml

4. Konsentrasi 100 mg/ml 9. Blanko

5.Konsentrasi 200 mg/ml

1 2 3

4 5

6

7 8


(18)

Lampiran 10. (Lanjutan)

Gambar hasil uji aktivitas antibakteri fraksi n-heksan daun mindi (Melia

azedarach L.) terhadap bakteri Escherichia coli

Keterangan ;

1. Konsentrasi 25 mg/ml 6. Konsentrasi 300 mg/ml 2. Konsentrasi 50 mg/ml 7. Konsentrasi 400 mg/ml 3. Konsentrasi 75 mg/ml 8. Konsentrasi 500 mg/ml

4. Konsentrasi 100 mg/ml 9. Blanko

5.Konsentrasi 200 mg/ml

1 2

3

4 5

6

7 8


(19)

Lampiran 10. (Lanjutan)

Gambar hasil uji aktivitas antibakteri fraksi etilasetat daun mindi (Melia

azedarach L.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus

Keterangan ;

1. Konsentrasi 25 mg/ml 6. Konsentrasi 300 mg/ml 2. Konsentrasi 50 mg/ml 7. Konsentrasi 400 mg/ml 3. Konsentrasi 75 mg/ml 8. Konsentrasi 500 mg/ml

4. Konsentrasi 100 mg/ml 9. Blanko

5.Konsentrasi 200 mg/ml

1 2

3

4 5

6

7 8


(20)

Lampiran 10. (lanjutan)

Gambar hasil uji aktivitas antibakteri fraksi etilasetat daun mindi (Melia

azedarach L.) terhadap bakteri Escherichia coli

Keterangan ;

1. Konsentrasi 25 mg/ml 6. Konsentrasi 300 mg/ml 2. Konsentrasi 50 mg/ml 7. Konsentrasi 400 mg/ml 3. Konsentrasi 75 mg/ml 8. Konsentrasi 500 mg/ml 4. Konsentrasi 100 mg/ml 9. Blanko 5. Konsentrasi 200 mg/ml

1 2

3

4 5

6

7 8


(21)

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A.H. (2010). Tanaman Obat Indonesia. Jakarta : Salemba Medika. Halaman 82-83

Ahmed, M.F., Rao, A.S., Ahemad R.S., dan Ibrahim, M. (2012). Phytochemical Studies and Antioxidant activity of Melia azedarach Linn Leaves by DPPH Scavenging Assay. International Journal of Pharmaceutical

Applications. 3(1) : 271-276

Anisah, Khotimah, S., dan Yanti A.H. (2014). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Rimpang Jeringau (Acorus Caramus L.) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Jurnal Protobiont. 3(3) : 1-5 Astuti, U.N.W., Rismawati, D., Hidayati, S., dan Suntoro, H. (2005).

Pemanfaatan Mindi (Melia azedarach L) sebagai Anti Parasit Trypanosoma evansi dan Dampaknya terhadap Struktur Jaringan Hepar dan Ginjal Mencit. Jurnal. Yogyakarta : UGM.

Basset, J., Denney, R.C., Jeffrey, G.H., dan Mendham, J. (1994). Buku Ajar

Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Halaman 165.

Cala, A.C., Chagas, A., Oliveira, M., Matos, A., Borgers, L., Sousa, L.,Souza, F., dan Oliveira, G. (2011). In Vitro Anthelmintic Effect of Melia azedarach L. dan Claussenii C against Sheep Gastrointestinal Nematodes. Journal of

ScienceDirect. 2(1) : 98-102

Cowan, M.M. (1999). Plant Product as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology. Reviews. 12 : 564 -582.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 299-336, 149-152.

Dey, P.M. (2012). Methods in Plant Bioochemistry. Volume I. USA : Academic Press. Halaman 81.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 33.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Repuvlik Indonesia. Halaman 855, 896, 898.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 1; 10-11. Djauhariya dan Hernani. (2004). Gulma Berkhasiat Obat. Jakarta: Penebar


(22)

Dwidjoseputro. (1978). Dasar- Dasar Mikrobiologi. Jakarta : Penerbit Djambatan. Halaman 15; 17; 106-107.

Dzen, S.M., Roekistiningsih., Santoso, S., dan Winarsih, S. (2003). Bakteriologi

Medik. Malang : Bayumedia Publishing. Halaman 35-37, 122-123.

Elliott, T., Worthington, T., Osman, H., Gill, dan Martin. (2009). Mikrobiologi

Kedokteran dan Infeksi. Jakarta : EGC. Halaman 49-50.

Farnsworth, N.R. (1966). Biologycal and Phytochemical Screening of Plants.

Journal of Pharmaceutical Science. 55(3): 225-276.

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Halaman 46-47.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Edisi kedua. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 6 Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Jakarta : Badan

Litbang Kehutanan. Halaman 1118.

Irianto, K. (2006). Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Bandung : Alfabeta. Halaman 56-57.

Irianto, K. (2013). Mikrobiologi Medis (Medical Microbiology). Bandung : Alfabeta. Halaman 44-46.

Jawetz, E., Joseph, M., Edward, A.A., Geo, F.B., Janet ,S.B., dan Nicholas, L.D. (2001). Mikrobiologi Kedokteran. Penerjemah: Mudihardi, E., Kuntaman.,Wasito,E.B., Mertamiasih, M., Harsono, S., Alimsardjono., L. Jakarta: Penerbit Salemba Medica. Halaman 357.

Jawetz., Melnick., dan Adelberg’s. (2007). Medical Microbiology. Edisi ke-24.

New York : The McGraw-Hill Companies. Halaman 66-67.

Khan, A.V., Khan, A.A., dan Shulda, I. (2008). In Vitro Antibacterial Potential of Melia azedarach Crude Leaf Extracts Against Some Human Pathogenic Bacterial Strains. Journal of Ethnobotanical Leaflets. 12 : 439-445.

Lay, B.W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Halaman 34, 72-73.

Lee, J. J. (1983). Microbiology. New York : United States of America. Halaman 30-31.

Marliana, E., dan Saleh, C. (2011). Uji Fitokimia dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Etanol, Fraksi n-Heksana, Etilasetat dan Metanol dari


(23)

Buah Labu Air (Lagenari siceraria (Molina) Standl. Jurnal Kimia

Mulawarman. 8(2): 63-69.

Mehmood, A., Murtaza, G., Bahti, T.M. (2013). Phyto-medicated synthesis of silver nanoparticles from Melia azedarach L leaf extract; characterization and antibacterial activity. Journal of Chemistry. Arabian : King Saud University.

Ngajow, M., Abidjulu, J., dan Kamu, V.S. (2013). Pengaruh Antibakteri Ekstrak Kulit Batang Matoa (Pometia pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro. Jurnal MIPA UNSRAT. 2(2) : 128-132.

Nuria, M.C., Faizatun, A., dan Sumantri. (2009). Uji Anttibakteri Ekstrak Etanol Daun Jarak Pagar (Jatropa cuircas L) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922, dan Salmonella typhi ATCC 1408. Jurnal Ilmu-ilmu Petanian. 5 : 26-37.

Odugbemi, T. (2008). A textbook of Medicinal Plants from Nigeria. Nigeria : University of Lagos Press. Halaman 219-220.

Oxoid. (1982). The Oxoid Manual of Culture Media, Ingredients and other

Laboratory Services. Edisi kelima. England: Oxoid LTD. Halaman

223-224, 212-213

Pratiwi, S.T. (2008). Mikrobiologi Farmasi. Jakarta : Erlangga. Halaman 112. Permadani, A. (2008). Tanaman Obat Pelancar Air Seni. Jakarta : Penebar

Swadaya. Halaman 80.

Robinson, T. (1995). The Organic Constituents of Hight Plant. Edisi keempat. New York: University of Massachusetts. Terjemahan: Kosasih Padmawinata. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keempat. Bandung: ITB. Halaman 191-193.

Saputra, L. (2012). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Binarupa Aksara. Halaman 125-125, 195.

Sharma, D., dan Paul, Y. (2013). Preliminary and Pharmacological Profile of Melia azedarach L. ; An Overview. Journal of Applied Pharmaceutical

Science. 3(12) : 133-138.

Sudharmono, U. (2014). Uji Keamanan Ekstrak Etanol Daun Mindi (Melia azedarach L) pada Tikus Galur Wistar Berdasarkan Dosis Letal 50 serta Gambaran Histopatologi. Jurnal. Bandung : Fakultas Ilmu Keperawatan Sukrasmo. (2003). Tanaman Obat Multifungsi. Jakarta : Agromedia Pustaka.

Halaman 9.


(24)

World Health Organization. (1998). Quality Control Methods for Medicinal

Plant Material. Switherland: WHO. Halaman 27-30.

Yuniarti, T. (2008). Ensiklopedia Tanaman Obat Tradisional. Yogyakarta : Media Pressindo. Halaman 267-268.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental (experimental research), yang meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi bahan tumbuhan, pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak dan pengujian antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-hesana dan etilasetat daun mindi (Melia azedarach L.). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Framakognosi dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

3.1 Alat- alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah aluminium foil, blender (National), timbangan analitik (Mettler Toledo), alat-alat gelas, alat tanur (Nabertherm), Kurs Porselen, cawan beralas datar, rotary evaporator, penangas air, desikator, oven (Memmert), autoklaf (Fisons), inkubator (Memmert), mikroskop, jarum ose, lampu bunsen, cawan petri, jangka sorong, pinset, pipet mikro (Eppendorf), Spektrofotometer visibel (Dynamica Halo Vis-10) dan Laminar Air Flow Cabinet (Astec HLF 1200 L).

3.2 Bahan-bahan

BahaBahan kimia pro-analisa yang digunakan adalah etilasetat, n-heksan, raksa (II) klorida, kalium iodida, iodium, bismut (III) nitrat, asam nitrat pekat, α-naftol, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam klorida pekat, asam sulfat pekat, asam asetat anhidrat, kloralhidrat, toluena,


(26)

kloroform, etanol, eter, metanol, isopropanol dan serbuk magnesium kecuali etanol dan air suling. Tumbuhan yang digunakan adalah daun mindi (Melia

azedarach L.). Bakteri yang digunakan adalah bakteri Staphylococccus aureus

ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 8939.

3.3 Penyiapan Bahan Tumbuhan

Penyiapan bahan tumbuhan meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi bahan tumbuhan dan pembuatan simplisia daun mindi (Melia

azedarach L.)

3.3.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Pengumpulan bahan dilakukan secara purposif yaitu diambil dari satu daerah saja tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama di daerah lain. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun mindi (Melia azedarach L.) yang diperoleh dari Jalan Berdikari, Kelurahan Padang Bulan Selayang, Kecamatan Medan Baru, Provinsi Sumatera Utara.

3.3.2 Identifikasi bahan tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Lembaga Imu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor Jalan Raya Jakarta-Bogor km.46 Cibinong, Indonesia. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 01, halaman 45.

3.3.3 Pembuatan simplisia

Pembuatan simplisia daun mindi dilakukan dengan cara: daun yang muda dan tua yang masih segar dibersihkan dari kotoran yang melekat kemudian dicuci bersih, ditiriskan dan ditimbang berat basahnya. Daun tersebut dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 40-60oC sampai simplisia


(27)

menjadi rapuh (diremas menjadi hancur) dan ditimbang berat keringnya, kemudian daun mindi yang telah kering diserbuk menggunakan blender, dimasukkan dalam wadah plastik yang tertutup rapat dan disimpan pada suhu kamar.

3.4. Pembuatan Larutan Pereaksi 3.4.1. Pereaksi Mayer

Sebanyak 2,266 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 mL. Pada wadah lain, 50 g kalium iodida dilarutkan dalam 100 mL air suling. Larutan I 60 mL dicampurkan dengan 10 mL larutan II dan ditambahkan air suling hingga 100 mL (Depkes, RI., 1995).

3.4.2 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, dilarutkan dalam air suling secukupnya, lalu ditambahkan 2 g iodium kemudian ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 mL (Depkes, RI., 1995).

3.4.3 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismut (III) nitrat ditimbang, dilarutkan dalam 20 mL asam nitrat pekat, padah wadah lain ditimbang sebanyak 27,2 g kalium iodida, dilarutkan dalam 50 mL air suling, kemudian kedua larutan dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan yang jernih diambil dan diencerkan dengan air suling hingga volume larutan 100 mL (Depkes, RI., 1995). 3.4.4 Pereaksi Molisch

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 mL (Depkes, RI., 1995).


(28)

3.4.5 Pereaksi besi (III) klorida 1 %

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air secukupnya hingga diperoleh larutan 100 mL (Depkes, RI., 1995).

3.4.6 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida sebanyak 100 mL (Depkes, RI., 1995).

3.4.7 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dengan air suling sebanyak 100 mL (Depkes, RI., 1995).

3.4.8 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 mL larutan asam klorida pekat ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 mL (Depkes, RI., 1995).

3.4.9 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 10 tetes asam asetat anhidrat dicampur dengan 1 tetes asam sulfat pekat. Ditambahkan dengan hati-hati asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut, didinginkan (Depkes, RI., 1995).

3.4.10 Larutan kloralhidrat

Pereaksi kloralhidrat dibuat dengan cara melarutkan kloralhidrat sebanyak 50 g dalam 20 mL air (Depkes, RI., 1995).

3.5 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia 3.5.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran, warna, bau dan rasa dari daun mindi segar dan simplisia daun mindi.


(29)

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia daun mindi. Serbuk simplisia ditaburkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati dibawah mikroskopik. Gambar mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 3, Halaman 49. 3.5.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan menurut metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 mL, alat penampung dan pendingin, tabung penyambung dan penerima 10 mL.

Cara kerja :

Dimasukkan 200 mL toluena dan 2 mL air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Toluen dibiarkan mendingin selama ± 30 menit dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 mL. Serbuk simplisia 5 g yang telah ditimbang seksama dimasukkan ke dalam labu, lalu dipanaskan dengan hati-hati selama 15 menit. Toluena yang mendidih kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Semua air yang terdestilasi pada dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Semua air dan toluena yang telah memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 mL. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998).


(30)

3.5.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL air-kloroform (2.5 kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 mL filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan residu dipanaskan pada 1050C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, RI., 1995).

3.5.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL etanol 95% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali 6 jam pertama yang kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 mL filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Residu dipanaskan pada suhu 1050C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari larut dalam etanol 95% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, RI., 1995). 3.5.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Sisa dan kertas saring dipijar dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus lalu diuapkan, pijarkan hingga bobot tetap, ditimbang, kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, RI., 1995).


(31)

3.5.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 mL asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang hingga bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut asam ditimbang terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, RI., 1995).

3.6 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dari serbuk simplisia, ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan fraksi etilasetat meliputi pemeriksaan golongan senyawa alkaloida, glikosida, glikosida antrakuinon, flavonoida, saponin, tanin dan steroida/triterpenoida (Depkes, RI., 1995; Farnswoth, 1966). Prosedur pemeriksaan ekstrak etanol dan fraksi daun mindi sama seperti prosedur skrining fitokimia terhadap daun mindi.

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 mL asam klorida 2 N dan 9 mL air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit. Didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan :

a. Filtrat sebayak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Meyer, akan terbentuk endapan menggumpal bewarna putih atau kuning.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorff, akan terbentuk endapan merah atau jingga.


(32)

Serbuk mengandung alkaloida jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan menggunakan dua golongan larutan percobaan yang digunakan (Depkes, RI., 1995).

3.6.2 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 2 g, lalu disari dengan 20 mL campuran etanol 95% dengan air (7:2) dan 10 mL asam klorida 2 N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 mL filtrat ditambahkan 25 mL air suling dan 25 mL timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 mL campuran isopropanol dan kloroform (2:2), dilakukan berulang kali sebanyak 2 kali. Sari air dikumpulkan dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 mL metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut : 0,1 mL larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 mL air dan 5 tetes pereaksi Molisch. Langkah selanjutnya, secara perlahan-lahan ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya cincin berwarna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan glikosida (Depkes, RI., 1995).

3.6.3 Pemeriksaan glikosida antrakinon

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,2 g, kemudian ditambahkan 5 mL asam sulfat pekat 2 N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 mL benzene, dikocok dan didiamkan. Lapisan benzene dipisahkan dan disaring, kocok lapisan benzene dengan 2 mL NaOH 2 N, didiamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan benzene tidak berwarna menunjukkan adanya antrakinon (Depkes, RI., 1995).


(33)

3.6.4 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambahkan 20 mL air panas, dididihkan selama 10 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 mL filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 mL asam klorida pekat dan 2 amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.6.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 mL air panas, didinginkan kemudian dikocok selama 10 detik, jika terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes, RI., 1995).

3.6.6 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 mL air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 mL dan ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Perubahan warna hijau, biru atau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.6.7 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan n-heksana selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna biru atau hijau menunjukkan adanya steroid dan timbul warna merah, pink atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Farnsworth, 1966).


(34)

3.7 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 80%. Cara kerja :

Dimasukkan sebanyak Sebanyak 10 bagian (500 g) serbuk simplisia ke dalam bejana tertutup, ditambahkan cairan penyari 75 bagian (3750 mL pelarut etanol 80%), dibiarkan selama 5 hari dan terlindung dari cahaya matahari sambil sering diaduk. Ampas dicuci dengan etanol 80% hingga diperoleh 100 bagian (5000 mL) maserat dan dipindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan di tempat yang sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari, kemudian dienaptuangkan. Maserat dipekatkan dengan alat rotary evaporator pada temperatur kurang lebih 40oC dan diperoleh ekstrak etanol kental (Ditjen POM RI, 1979). Langkah selanjutnya terhadap ekstrak dilakukan skrining fitokimia seperti yang dilakukan pada serbuk simplisia.

3.8 Pembuatan Fraksi n-Heksana dan Fraksi Etilasetat

Pembuatan fraksi n-Heksana dan etilasetat dilakukan secara ekstraksi cair-cair. Sebanyak 20 g ekstrak etanol ditambahkan 40 mL etanol dan 100 mL air suling dihomogenkan lalu dimasukkan ke dalam corong pisah, kemudian difraksinasi dengan 50 mL n-heksana sebanyak 3 kali. Lapisan n-heksana dipisahkan dan kemudian diuapkan hingga diperoleh fraksi n-heksan pekat dan ditimbang. Lapisan air dari pemisahan n-heksan difraksinasi dengan 50 mL etilasetat sebanyak 3 kali. Lapisan etilasetat dipisahkan dan kemudian diuapkan hingga diperoleh fraksi etilasetat pekat dan ditimbang. Fraksi air yang diperoleh diuapkan dan ditimbang. Bagan pembuatan fraksi dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 51.


(35)

3.9 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri ini, disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan didalam oven pada suhu 170°C selama 1 jam. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Jarum ose dan pinset disterilkan dengan lampu bunsen (Lay, 1994).

3.10 Pembuatan Media

3.10.1 Pembuatan media nutrient agar (NA) Komposisi: Lab-Lemco powder 1,0 g

Yeast exstract 2,0 g Peptone 5,0 g Sodium chloride 5,0 g Agar 15,0 g Cara pembuatan :

Sebanyak 28 g nutrient agar dilarutkan dalam air suling steril ad 1000 mL kemudian dipanaskan hingga semua larut, dalam keadaan panas larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. Lalu disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Oxoid, 1982).

3.10.2 Pembuatan media nutrient broth (NB) Komposisi: Lab-Lamco powder 1,0 g

Yeast extract 2,0 g

Peptone 5,0 g


(36)

Cara pembuatan :

Sebanyak 13 g nutrient broth dilarutkan dalam air suling steril ad 1000 mL kemudian dipanaskan hingga semua larut, dalam keadaan panas larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. Lalu disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Oxoid, 1982).

3.10.3 Pembuatan media mueller hinton agar Komposisi: Meat Infusion 6,0 g

Casein Hydrolysate 17,5 g

Starch 1,5 g

Agar No. 1 10,0 g Cara pembuatan :

Sebanyak 35 g mueller hinton agar dilarutkan dalam air suling steril ad 1000 mL kemudian dipanaskan hingga semua larut, dalam keadaan panas larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer. Lalu disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit (Oxoid, 1982).

3.11 Pembuatan Media Agar Miring

Sebanyak 3 mL media nutrient agar cair, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diletakkan pada sudut kemiringan 30o- 45o dan dibiarkan memadat, kemudian disimpan di lemari pendingin (Lay, 1994).

3.12 Pembuatan Larutan Uji Dengan Berbagai Konsentrasi

Sebanyak 1 g ekstrak etanol daun mindi ditimbang seksama dengan neraca analitik, dilarutkan dengan pelarut DMSO sebanyak 2 mL dan diperoleh konsentrasi ekstrak 500 mg/mL. Dibuat pengenceran sampai diperoleh ekstrak


(37)

dengan konsentrasi 400 mg/mL, 300 mg/mL, 200 mg/mL, 100 mg/mL, 75 mg/mL, 50 mg/mL, 25 mg/mL. Dilakukan prosedur yang sama dengan fraksi n-heksana dan fraksi etilasetat.

3.13 Pembiakan Bakteri

3.13.1 Pembuatan stok kultur bakteri

Satu koloni bakteri diambil dengan menggunakan jarum ose steril. Koloni bakteri tersebut kemudian ditanamkan pada media nutrient agar miring dengan cara menggores, setelah itu diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37o C selama 18 - 24 jam (Ditjen POM RI, 1995).

3.13.2 Penyiapan inokulum bakteri

Koloni bakteri diambil dari stok kultur bakteri yang telah tumbuh pada media nutrient agar miring diambil dengan menggunakan jarum ose steril. Koloni bakteri tersebut kemudian disuspensikan ke dalam tabung yang berisi 10 mL larutan nutrient broth, kemudian diukur kekeruhan larutan menggunakan alat spektrofotometer visible pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh transmitan 25% (Ditjen POM RI, 1995).

3.14 Uji Aktivitas Antibakteri

Sebanyak 0,1 mL inokulum ke dalam cawan petri, kemudian ditambahkan 15 mL media mueller hinton agar steril yang telah dicairkan dan ditunggu hingga suhu mencapai 45oC, dihomogenkan dan dibiarkan memadat, kemudian diletakkan cakram kertas yang telah dicelupkan ke dalam ekstrak etanol dengan berbagai konsentrasi ke dalam cawan petri, lalu diinkubasi pada suhu 36-37oC selama 18-24 jam. Diukur daerah hambat disekitar cakram kertas dengan


(38)

menggunakan jangka sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali (Ditjen POM RI, 1995). Dilakukan pengujian yang sama terhadap fraksi n-heksana dan etilasetat.


(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Pusat Penelitian Biologi- LIPI Bogor, menunjukkan bahwa tumbuhan bahan tumbuhan adalah jenis Melia

azedarach L, suku Meliaceae.

4.2 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi 4.2.1 Pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun mindi (Melia azedarach L) mempunyai panjang ± 1,75 cm, lebar 0,75 cm sampai 3,5 cm, ujungnya runcing, pinggir bergerigi, berwarna hijau atau hijau kekuningan, permukaan atas dan bawah licin, tidak berbau dan rasa agak pahit.

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik

Hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia daun mindi dijumpai fragmen pengenal berupa epidermis dengan stomata tipe anomositik, rambut penutup terdiri dari satu sel dan fragmen berkas pengangkut dengan penebalan spiral. Pada jaringan palisade berisi kristal kalsium oksalat berbentuk prisma.

4.2.3 Pemeriksaan karekterisasi serbuk simplisia

Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun mindi dapat dilihat pada Tabel 4.1.


(40)

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun mindi dibandingkan dengan literatur MMI

No. Pemeriksaan Hasil (%) Persyaratan MMI

(%)

1 Kadar air 5,94 ≤ 10,00

2 Kadar sari yang larut dalam air 17,78 ≥ 10,00 3 Kadar sari yang larut dalam

etanol

11,32 ≥ 9,00

4 Kadar abu total 7,11 ≤ 8,00

5 Kadar abu yang tidak larut

dalam asam 0,43

≤ 1,00

Penetapan kadar air pada simplisia dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam simplisia yang digunakan. Kadar air simplisia ditetapkan untuk menjaga kualitas simplisia karena kadar air berkaitan dengan kemungkinan pertumbuhan jamur/kapang. Hasil penetapan kadar air diperoleh lebih kecil dari 10% yaitu 5,94%. Kadar air yang melebihi 10% dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, keberadaan jamur atau serangga, serta mendorong kerusakan mutu simplisia (WHO, 1998).

Penetapan kadar sari dilakukan menggunakan dua pelarut, yaitu air dan etanol. Penetapan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui kadar senyawa kimia bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia, sedangkan kadar sari larut dalam etanol dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa larut dalam etanol, baik senyawa polar maupun non polar. Hasil karakterisasi simplisia daun mindi menunjukkan kadar sari yang larut dalam air sebesar 17,78%, sedangkan kadar sari yang larut dalam etanol sebesar 11,32%.

Penetapan kadar abu total pada simplisia daun mindi menunjukkan sebesar 7,11%. Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan mineral internal dan eksternal (Ditjen POM RI, 2000). Penetapan kadar abu tidak larut


(41)

dalam asam sebesar 0,43%. Kadar abu tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususnya pasir yang ada pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO, 1998). Hasil karakterisasi simplisia daun mindi (Melia azedarach L) dijumpai pada Materi Medika Indonesia VI sehingga dari hasil penelitian ini memenuhi syarat dan dapat digunakan sebagai bahan penelitian. Hasil perhitungan karakterisasi simplisia daun mindi meliputi penetapan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu dan kadar abu tidak larut asam dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 53.

4.3 Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi

Ekstraksi daun mindi menggunakan metode maserasi yang diekstraksi dengan pelarut etanol 80% untuk mendapatkan ekstrak etanol. Diharapkan senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalamnya dapat tersari sempurna. Hasil penyarian dari 500 g serbuk simplisia daun mindi (Melia azedarach L) diperoleh ekstrak etanol 45,38 g, sehingga diperoleh rendeman sebesar 9,07%. Ekstrak etanol kemudian dilakukan fraksinasi (ekstraksi cair-cair) menggunakan pelarut n-heksana dan aquadest, dari 20 g ekstrak diperoleh fraksi n-heksana 2,588 g, selanjutnya fraksi air di fraksinasi dengan etilasetat sehingga diperoleh fraksi etilasetat 4,006 g (Harborne, 1987).

4.4 Hasil Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia digunakan untuk menentukan senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam tumbuhan. Hasil skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia Ekstrak etanol, Fraksi n-Heksana dan fraksi etilasetat (Melia


(42)

mengandung golongan senyawa metabolit sekunder seperti yang terlihat pada Tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak daun mindi (Melia azedarach L).

No. Parameter Serbuk

Simplisia Ekstrak Etanol Fraksi n-Heksana Fraksi etilasetat

1. Alkaloid + + - +

2. Flavonoid + + - +

3. Glikosida + + - +

4. Glikosida antrakinon - - - -

5. Saponin + + - +

6. Tanin + + - +

7. Steroid/Triterpenoid + + + -

Keterangan:

(+) positif : mengandung golongan senyawa (-) negatif : tidak mengandung golongan senyawa

Hasil skrining yang dilakukan pada penelitian ini terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol menunjukkan hasil postif pada senyawa polar, semipolar dan non polar yaitu alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Fraksi n-heksana hanya mengandung senyawa nonpolar yaitu steroid/triterpenoid dan fraksi etilasetat mengandung senyawa polar dan semipolar seperti alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin dan tanin. Tumbuhan mindi (Melia azedarach L) mengandung alkaloid, steroid, tanin, flavonoid, glikosida dan saponin (Ahmed, et al., 2012) sebagai senyawa metabolit sekunder yang memiliki potensi sebagai antibakteri (Robinson, 1995).

4.5 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol, Fraksi n-heksana, Fraksi etilasetat Daun Mindi (Melia azedarach L.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-rata

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan


(43)

bakteri rata-rata dapat dilihat pada Lampiran 8 dan Lampiran 9.

Tabel 4.3 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-rata Staphylococcus aureus

No. Konsentrasi (mg/ml)

Diameter Daerah Hambatan (mm)* Ekstrak Etanol Fraksi

n- Heksana

Fraksi Etilasetat

1. 500 20,33 17,76 21,06

2 400 18,43 16,70 20,0

3 300 16,63 14,61 18,5

4 200 15,16 13,86 15,6

5 100 14,16 13,0 14,83

6 75 12,67 12,73 13,73

7 50 11,13 10,63 11,67

8 25 9,26 8,53 9,8

10 Blanko (DMSO) - - -

Hasil pengukuran diameter daya hambat menujukkan hasil yang efektif dari ekstrak etanol dan etilasetat daun mindi (Melia azedarach L.) yang sama sebesar 100 mg/ml terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan diameter daya hambat yang berbeda masing-masing 14,16 mm dan 14,83 mm, serta fraksi

n-heksan menunjukkan konsentrasi yang berbeda sebesar 300 mg/ml dengan

diameter daya hambat 14,61 mm.

Tabel 4.4 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata-rata Escherichia coli

No. Konsentrasi (mg/ml)

Diameter Daerah Hambatan (mm)* Ekstrak Etanol Fraksi n- Heksana Fraksi Etilasetat

1. 500 19,16 17,0 20,20

2 400 17,50 15,93 18,63

3 300 15,56 14,10 16,53

4 200 14,33 13,16 14,50

5 100 13,13 12,67 13,56

6 75 11,63 11,93 12,50

7 50 10,20 10,06 11,03

8 25 9,06 8,06 9,3

10 Blanko (DMSO) - - -

Keterangan :

D* = Diameter daerah hambatan pertumbuhan bakteri rata- rata - = Tidak terdapat daerah hambatan pertumbuhan bakteri DMSO = Dimetilsulfoksida


(44)

Hasil pengukuran diameter daya hambat menunjukkan hasil yang efektif dari ekstrak etanol dan etilasetat daun mindi (Melia azedarach L.) pada konsentrasi yang sama sebesar 200 mg/ml terhadap bakteri Escherichia coli dengan diameter daya hambat yang berbeda masing-masing 14,33 mm dan 14,50 mm, serta pada fraksi n-heksan menunjukkan konsentrasi yang berbeda sebesar 300 mg/ml dengan diameter daya 14,10 mm.

Pada Tabel 4.3 dan 4.4 terlihat bahwa batas daerah hambat yang dinilai efektif yang memenuhi persyaratan (Ditjen POM RI, 1995), dengan diameter daya hambat lebih kurang 14-16 mm.

Berdasarkan dari hasil pengukuran daerah hambat, hasil pengukuran diameter daerah hambatan fraksi etilasetat daun mindi (Melia azedarach L) menunjukkan aktivitas terkuat pertama dalam menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dibandingkan dengan ekstrak etanol

dan fraksi n-heksan. Hal ini dikarenakan keberadaan metabolit sekunder menjadi faktor penting melalui mekanismenya terhadap bakteri dimana kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada fraksi etilasetat yaitu alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin.

Anisah, dkk., (2014) menyampaikan bahwa Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel bakteri tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel bakteri. Cowan (1999) mengemukakan bahwa flavonoid sebagai antibakteri dengan membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa intraseluler. Nuria, dkk., (2009) menyatakan bahwa saponin sebagai antibakteri dengan menurunkan tegangan


(45)

permukaan sehingga mengakibatkan naiknya permeabilitas senyawa intraseluler akan keluar. Dipertegas oleh Ngajow, dkk., (2013) senyawa saponin berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang rentan, lalu mengikat membran sitoplasma dan mengganggu serta mengurangi kestabilan. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel. Agen antimikroba yang mengganggu membran sitoplasma bersifat bakterisida. Cowan (1999) berpendapat bahwa tanin memiliki aktifitas antibakteri yang berhubungan dengan kemampuannya untuk menginaktifkan adhesin sel mikroba juga menginaktifkan enzim dan mengganggu transport protein pada lapisan dalam sel. Ekstrak etanol daun mindi (Melia azedarach L) menunjukkan aktivitas terkuat kedua dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dibandingkan dengan fraksi etilasetat dan fraksi n-heksan. Hal ini dikarenakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada ekstrak etanol daun mindi mengandung jumlah senyawa polifenol yang dipertegas oleh Ahmed, et al., (2012) bahwa ekstrak etanol daun mindi mengandung jumlah tertinggi senyawa polifenol. Polifenol merupakan senyawa organik yang diketahui aktif menghambat beberapa jenis bakteri. Pernyataan diatas ditambahkan lebih lanjut oleh Anisah, dkk., (2014) bahwa salah satu contoh golongan senyawa polifenol adalah flavonoid. Dilihat dari hasil skrining fitokimia menunjukkan senyawa metabolit sekunder yang terkandung pada ekstrak etanol lebih banyak dibandingkan fraksi etil asetat namun diameter zona bening yang dihasilkan lebih kecil daripada fraksi etilasetat. Penjelasan lebih lanjut diterangkan oleh penelitian Marliana, dkk., (2010) bahwa hal tersebut disebabkan karena adanya kerja yang tidak sinergis antara senyawa metabolit sekunder dalam ekstrak etanol dalam peranannya sebagai antibakteri.


(46)

Fraksi n-Heksana daun mindi (Melia azedarach L) menunjukkan aktivitas terkuat ketiga dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dibandingkan dengan fraksi etilasetat dan ekstrak etanol. Hal ini dikarenakan kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada fraksi n-heksan daun mindi yaitu steroid/triterpenoid. Aktifitas antibakteri triterpenoid diduga melibatkan pemecahan membran oleh komponen-komponen lipofilik (Ngajow, dkk., 2013).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa urutan ekstrak dan fraksi daun mindi yang memberikan daya hambat efektif terhadap bakteri

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yaitu fraksi etilasetat, ekstrak etanol

dan fraksi n-heksana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bakteri Staphylococcus aureus memiliki zona hambat lebih besar dibandingkan dengan bakteri Escherichia coli pada berbagai variasi konsentrasi larutan uji. Menurut Anisah, dkk., (2014), perbedaan daya hambat dari ekstrak terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dikarenakan perbedaan dari struktur susunan dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri dari lapisan peptidoglikan yang berbeda antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif memiliki tiga lapisan peptidoglikan yang terdiri dari fosfolipid, protein dan lipopolisakarida dengan kandungan lipid sebesar 11% – 22%. Bakteri gram negatif hanya terdiri dari dua lapisan yaitu lipopolisakarida dan protein dengan kandungan lipid sebesar 1% - 4%.


(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian yang dilakukan terhadap daun mindi (Melia azedarach L.) diperoleh kesimpulan:

a. Simplisia daun mindi memenuhi persyaratan Materia Medika Indonesia dengan hasil karakterisasi simplisia daun mindi diperoleh kadar air 5,94%, kadar sari larut dalm air 17,78%, kadar sari larut dalam etanol 11,32%, kadar abu total 7,11% dan kadar abu tidak larut dalam asam 0,43% .

b. Hasil skrining serbuk simplisia dan ekstrak etanol menunjukkan hasil postitif pada alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Fraksi n-heksana hanya mengandung steroid/triterpenoid dan pada fraksi etilasetat mengandung alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin dan tanin. c. Ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan fraksi etilasetat mempunyai aktivitas

antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan aktivitas terbesar hingga terkecil berturut-turut yaitu pada fraksi etilasetat, ekstrak etanol dan fraksi n-heksana.

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memformulasi ekstrak etanol daun mindi (Melia azedarach L) sebagai obat antidiare dan obat luka dengan terlebih dahulu melakukan pengujian toksisitas.


(48)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi habitat, morfologi, sistematika, sinonim, nama daerah, nama asing, kandungan kimia dan manfaat dari tumbuhan.

2.1.1 Habitat

Tumbuhan ini cepat tumbuh dan berkembang di semua negara tropis dan subtropis, di Jawa mindi tidak tumbuh liar, tapi awalnya ditanam untuk pohon peneduh pada perkebunan kopi pada zaman pendudukan Belanda (Heyne, 1987). Tumbuhan ini pertama kali dikenal dan dinaturalisasi di Filipina dan dikembangkan secara khas di Manila sampai sekarang (Khan, et al., 2008). 2.1.2 Morfologi

Tumbuhan bercabang banyak ini mempunyai kulit batang yang berwarna cokelat tua, dengan ketinggian sampai 4 meter. Daunnya majemuk, menyirip ganda, tumbuh berseling. Anak daun berbentuk bulat telur sampai lanset, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal membulat atau tumpul, permukaan atas daun berwarna hijau tua, bagian bawah hijau muda (Yuniarti, 2008).

Pada tumbuhan masih muda memiliki kulit licin dan berlentisel, kayu gubal putih coklat, kayu teras coklat kemerahan. Bunga majemuk malai, pada ketiak daun panjang malai 10-22 cm, warna keunguan, berkelamin dua (biseksual) atau bunga jantan dan bunga betina pada tumbuhan yang sama. Buah bulat atau jorong, yang tidak membuka, ukuran 2-4 cm x 1-2 cm, kulit luar tipis, licin, berkulit kering keriput, buah muda hijau, buah masak kuning, dalam satu buah umumnya terdapat 4-5 biji. Biji kecil 3,5x1,6 mm, lonjong, licin, warna


(49)

coklat, biji kering warna hitam (Sharma dan Paul, 2013). 2.1.3 Sistematika

Sistematika tumbuhan mindi (Sukrasmo, 2003)

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Rutales Suku : Meliaceae Marga : Melia

Jenis : Melia azedarach L. 2.1.4 Sinonim

Sinonim Tumbuhan mindi adalah Melia dubia auct. (non. Cav.) How et T. Chen, Melia dubia Cav., Melia japonica G. Don. dan Melia toosendan Sieb.et Zucc (Yuniarti, 2008).

2.1.5. Nama daerah

Renceh, mindi (Sumatera); gringging, cakra-cikri (Jawa) (Yuniarti, 2008). 2.1.6 Nama asing

Chinna berry, China tree (Inggris) (Permadani, 2008) ; Alelaila (Puerto Rico); Jacinto (Panama); Aleli (Venezuela); lilac (India barat); Cinnamomum (Brazil) (Khan, et al., 2008) ; Lelaila, Aleli, Pasilla, Violeta (Singapura); giant paradise (Argentina); Ku/ia (China); Chiwesischer holunder, Poteronosterbaurn, Paradiesbaurn, Persicher fleider (Jerman); Lilas des indes, Lilas de chine, Lilas de perse, Paraiso, Margoiser, Margoiser (Perancis); Bakain, Ramyaka, Drek, Dharek, Karmuka, Keshamushti, Khammaga, Ghoranim, Kalo neem, Bakan Limado, Bakai Nimbu, Neem dan Malaivernba (India) (Sharma dan Paul, 2013).


(50)

2.1.7 Kandungan kimia

Kulit kayu dan kulit akar mengandung toosendamin (C30H38O11) dan komponen yang larut (C30H40O12). Selain itu juga terdapat alkaloid azaridine (margosina), kaempferol, resin, tanin, n-triacon-tane, -sitosterol dan triterpen kulinone. Biji mengandung resin yang sangat beracun dan 60% minyak lemak. Daun mengandung alkaloid paraisina, flavonioid rutin, zat pahit, saponin, tanin, steroida dan kaemferol (Yuniarti, 2008).

2.1.8 Manfaat tumbuhan mindi

Tumbuhan mindi (Melia azedarach L.) mempunyai manfaat yang serbaguna atau multipurpose spesies. Kulit batang dan daun dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, demam, antiseptik, peptisida dan obat kanker. Kulit mindi dipakai sebagai penghasil obat untuk mengeluarkan cacing usus. Kulit, daun dan akar mindi telah digunakan sebagai obat rematik, demam, bengkak dan radang (Khan, et al., 2008). Pernyataan diatas dipertegas oleh Sudharmono, (2014) bahwa tumbuhan mindi banyak dimanfaatkan untuk mengobati darah tinggi, sakit lambung, nyari perut, jamur di kulit kepala, obat pencahar, perangsang muntah, peluruh kencing dan cacingan. Seluruh bagian tumbuhan berkhasiat sebagai pembunuh serangga.

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan


(51)

minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM RI, 2000).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstrak zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM RI, 1995).

2.2.1 Metode ekstraksi

Menurut (Ditjen POM RI, 2000), metode ekstraksi adalah cara dingin dan cara panas.

a. Cara Dingin

Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari: maserasi dan perkolasi. 1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,


(52)

tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

b. Cara Panas 1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi

sempurna. 2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

3. Digesti

Digestasi adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50⁰C.

4. Infudasi

Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98 ⁰C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM RI, 2000).


(53)

2.2.2 Ekstraksi cair-cair

Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik yang mana suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan pelarut kedua (biasanya pelarut organik), yang pada hakikatnya tidak tercampurkan, pada proses ini terjadi pemindahan satu atau lebih zat terlarut (solute) ke dalam pelarut yang kedua (Bassett, dkk., 1994). Fraksinasi adalah suatu metode pemisahan senyawa organik berdasarkan kelarutan senyawa-senyawa tersebut dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur, biasanya antara pelarut air dan pelarut organik seperti metanol, etanol, etilasetat, n-heksana dan petroleum eter (Dey, 2012).

Pemisahan yang dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat dan mudah, yang dapat dilakukan dengan cara mengocok-ngocok dalam sebuah corong pisah selama beberapa menit (Bassett, dkk., 1994). Solut atau senyawa organik akan terdistribusi ke dalam fasenya masing-masing bergantung pada kelarutannya terhadap fase tersebut dan kemudian akan terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah yang dapat dipisahkan dengan membuka kunci pipa corong pisah (Odugbemi, 2008). Kebanyakan ekstraksi cair-cair dilakukan dengan menggunakan corong pisah. Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan secara kovalen dengan substituent yang mudah mengalami ionisasi dan senyawa polar lainnya akan tertahan dalam fase air (Gandjar dan Rohman, 2007).

Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (<10%), dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).


(54)

2.3 Sterilisasi

Proses sterilisasi merupakan proses penghilangan semua jenis mikroorganisme yang hidup. Metode-metode sterilisasi yaitu :

1. Metode Sterilisasi Fisika, meliputi sterilisasi pemanasan basah, pemanasan kering dan radiasi.

a. Sterilisasi pemanasan basah, Teknik sterilisasi ini yang paling pasti adalah penggunaan uap air disertai tekanan, yang dilakukan dalam alat yang disebut otoklaf. Metode ini dilakukan dengan suhu 1210C dengan waktu 15 menit.

b. Sterilisasi pemanasan kering, Alat-alat yang akan disterilkan dengan cara ini, ditempatkan di dalam oven dimana suhunya dapat mencapai 160-1700C selama 1-2 jam.

c. Radiasi : proses dikeluarkannya energi dalam bentuk gelombang (sinar UV), radiasi energi tinggi yang terpancar dari isotop radioaktif seperti Co60 (Sinar ) atau yang dihasilkan oleh percepatan mekanis elektron

(sinar katoda & sinar ).

2. Metode Sterilisasi Kimia, metode ini dilakukan untuk bahan-bahan yang mudah rusak bila disterilkan dalam suhu tinggi. Salah satu sterilisasi kimia yang dapat digunakan cairan desinfektan, berupa senyawa aldehid, hipoklorit, fenolik dan alkohol.

3. Metode Sterilisasi Penyaringan Bakteri, metode ini digunakan untuk sterilisasi larutan yang tidak tahan pemanasan, sangat baik untuk sediaan-sediaan farmasi steril yang harus dibuat segar. Pada proses ini digunakan membran filter yang terbuat dari selulosa asetat. Membran filter tidak dapat digunakan untuk menyaring virus (Lee, 1983).


(55)

2.4 Bakteri

Bakteri adalah sel prokariotik yang khas, uniselular dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Reproduksi terutama dengan pembelahan biner sederhana yaitu suatu proses aseksual. Beberapa dapat tumbuh pada 00C, ada yang tumbuh dengan baik pada sumber air panas yang suhunya 900C atau lebih (Irianto, 2013).

2.4.1 Ukuran bakteri

Ukuran bakteri bervariasi baik penampang maupun panjangnya, bakteri yang khas berdiameter sekitar 0,5 sampai 1,0 µm dan panjangnya 1,5 sampai 2,5 µm (Irianto, 2013).

2.4.2 Bentuk bakteri

1. Golongan basil berbentuk batang dengan panjang yang bervariasi. Sebagian besar basil tampak sebagai batang tunggal yang disebut monobasil. Basil dapat bergandengan dua-dua yang disebut diplobasil, yang bergandeng-gandengan panjang membentuk rantai disebut streptobasil (Pratiwi, 2008).

Monobasil

Diplobasil

Streptobasil Gambar 2.1 Bentuk Bakteri Basil

2. Golongan spiral merupakan bakteri yang memiliki satu atau lebih lekukan dan mempunyai berbagai variasi. Bakteri yang berbentuk batang melengkung menyerupai koma disebut vibrio. Bakteri yang berpilin kaku disebut spiral, sedangkan bakteri yang berpilin fleksibel disebut spirochaeta (Irianto, 2006).

Spiral Vibrio Spirochaeta


(56)

3. Golongan Kokus merupakan bakteri yang berbentuk bulat dinamakan kokus (coccus) dan mempunyai beberapa variasi. Kokus yang berbentuk tunggal, ini disebut monokokus. Kokus yang bergandeng dua-dua, ini disebut diplokokus; Kokus yang bergandengan empat dan membentuk bujursangkar, ini disebut tetrakokus; Kokus yang bergerombol membentuk kubus, ini disebut sarcina; kokus yang berbentuk sekelompok sel yang tidak teratur, sehingga terbentuknya mirip dompolan buah anggur disebut stafilokokus; Kokus bergandeng-gandengan memanjang membentuk rantai, ini disebut steptokokus (Tamher, 2002).

Monokokus Diplokokus Tetrakokus

Sarkina Streptokokus Stafilokokus Gambar 2.3 Bentuk Bakteri Kokus 2.4.3 Pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan bakteri

Kondisi lingkungan yang mendukung dapat memacu pertumbuhan dan reproduksi bakteri. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan reproduksi bakteri adalah :

a.Suhu

Seperti halnya makhluk hidup tingkat tinggi, untuk pertumbuhannya bakteri memerlukan suhu tertentu. Berdasarkan suhu yang diperlukan untuk tumbuh, bakteri dapat dibagi menjadi :

a)bakteri psikrofil yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu antara 0 - 20ᴼC dengan suhu optimal 25oC.

b)bakteri mesofil yaitu bakteri yang tumbuh pada suhu antara 25 - 40ᴼC dengan suhu optimal 37oC


(57)

c)bakteri termofil yaitu bakteri yang tumbuh antara suhu 50-60ᴼC (Dzen, dkk., 2003).

b.pH

pH merupakan indikasi konsentrasi ion hidrogen. Peningkatan dan penurunan konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan ionisasi gugus-gugus dalam protein, amino dan karboksilat. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang mengganggu pertumbuhan sel (Pratiwi, 2008).

Mikroorganisme memerlukan pH tertentu untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme asidofil tumbuh pada pH 1,0-5,5; Mikroorganisme neutrofil tumbuh pada pH 5,5- 8,5 dan mikroorganisme alkalofil tumbuh pada pH 9-11,0 (Jawetz, et al., 2007).

c.Tekanan osmosis

Osmosis merupakan perpindahan air melewati membran semipermeabel karena ketidakseimbangan material terlarut dalam media. Medium yang baik untuk pertumbuhan sel adalah medium isotonis terhadap sel tersebut. Dalam larutan hipotonik air akan masuk ke dalam sel mikroorganisme, sedangkan dalam larutan hipertonik air akan keluar dari sel sehingga membran plasma mengerut dan lepas dari dinding sel (plasmolisis) (Pratiwi, 2008).

d.Oksigen

Mikroorganisme dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, yaitu:

a) Bakteri aerob yaitu bakteri yang untuk pertumbuhannya memerlukan adanya oksigen.

b) Bakteri anaerob yaitu bakteri yang tidak membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya.


(58)

c) Bakteri anaerob fakultatif yaitu bakteri yang tumbuh dengan ada atau tanpanya oksigen.

d) Bakteri mikroaerofilik yaitu bakteri yang memerlukan oksigen tetapi dalam konsentrasi terendah (Pratiwi, 2008).

2.4.4 Faktor pertumbuhan bakteri

Fase pertumbuhan bakteri meliputi fase penyesuaian, fase pembelahan, fase statisioner dan fase kematian.

a. Fase penyesuaian (lag phase)

Fase ini merupakan fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan yang baru. Ciri–ciri fase ini yaitu tidak ada pertambahan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mokroorganisme dan media pertumbuhan.

b. Fase pembelahan (log phase)

Pada fase ini kecepatan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri terjadi sangat cepat dan maksimum. Komposisi sel bakteri dan bahan metabolitnya relatif konstan untuk jangka waktu tertentu. Hal ini tergantung dari sifat-sifat alamiah bakteri dan keadaan lingkungannya. Keadaan ini dipertahankan sampai keadaan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. c. Fase stasioner (stationary phase)

Pada fase ini kecepatan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri mencapai titik terendah atau boleh dikatakan nol. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan telah berubah dan tidak menguntungkan bagi pertumbuhan maupun perkembangbiakan bakteri dikarenakan nutrisi telah habis dan terjadi penumpukan hasil metabolik yang bersifat toksis. Jumlah sel bakteri yang hidup tampak konstan, hal ini terjadi karena jumlah sel yang baru terbentuk seimbang


(59)

dengan jumlah sel yang mati. d. Fase penurunan (death phase)

Ciri-ciri fase ini, terjadinya peningkatan kematian sel bakteri sehingga terjadi penurunan populasi bakteri (Dzen, dkk., 2003).

2.5 Uraian Bakteri Uji

2.5.1 Bakteri Staphylococcus aureus

Sistematika bakteri Staphylococcus aureus (Dwidjoseputro, 1978) Divisi : Protophyta

Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Familia : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus

Species : Staphylococcus aureus

Bakteri ini termasuk bakteri Gram-positif, berbentuk sferis atau kokus dalam susunan tidak teratur, diameter 0,8 - 1,0μm, koloni berwarna kuning keemasan. Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya ialah 15 - 40°C, sedangkan suhu pertumbuhan optimum ialah 35 – 37°C. pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,4 (Saputra, 2012).

Staphylococcus aureus adalah sebagai kuman flora normal pada kulit dan

selaput lendir pada manusia. Staphylococcus aureus dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun pada hewan. Bakteri Staphylococcus aureus dapat mengakibatkan infeksi kerusakan pada kulit atau luka pada organ tubuh jika bakteri ini mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh (Saputra, 2012).


(60)

2.5.2 Bakteri Escherichia coli

Sistematika bakteri Escherichia coli (Dwidjoseputro, 1978) Divisi : Protophyta

Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Familia : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Species : Escherichia coli

Bakteri ini termasuk bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek (kokobasil) dengan ukuran 0,4-0,7µm x 1,4µm (Saputra, 2012). Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya ialah 8 - 46°C, sedangkan tumbuh sangat baik pada suhu 37°C. Bakteri Escherichia coli bersifat anaerob dan aerob fakultatif. Bakteri ini merupakan flora normal di saluran cerna manusia. Bakteri ini dapat menyebabkan beragam infeksi seperti infeksi traktus gastrointestinal, traktus urinarius, saluran empedu, septikemia, sindrom hemolitik-uremik, kolitis hemoragik dan meningitis neonatal (Elliott, 2009).

2.6 Uji Aktivitas Antibakteri

Ada beberapa metode umum yang dapat digunakan dalam uji aktivitas antibakteri yaitu :

a. Metode Difusi

Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Pada metode difusi, cakram kertas


(61)

yang berisi agen antibakteri diletakkan di atas permukaan media padat yang telah dicampur dengan mikroba yang akan berdifusi pada media tersebut dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 - 24 jam. Area jernih disekitar cakram kertas yang menunjukkan daya hambat antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri.

b.Metode Dilusi

Metode dilusi digunakan untuk menentukan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dan KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum). Pengujian dilakukan menggunakan tabung reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba. Masing-masing tabung kemudian diisi dengan sampel uji pada rentang konsentrasi tertentu. Tabung tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 - 24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah sampel uji pada tabung yang menunjukkan dengan hasil mulai yang jernih adalah KHM. Biakan dari semua tabung jernih diinokulasikan pada media padat, diinkubasi pada suhu 37oC selama 18 - 24 jam dan diamati ada tidaknya koloni mikroba yang tumbuh. Konsentrasi terendah sampel uji pada biakan padat yang

ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan mikroba adalah KBM (Dzen, dkk., 2003).


(62)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropis memiliki kekayaan alam yang melimpah berupa hewan dan tanaman tropis. Berbagai tanaman tropis dengan segala macam khasiatnya merupakan sumber daya alam yang dapat diberdayakan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa. Penelitian tentang obat tradisional telah banyak dilakukan terutama untuk meningkatkan kesehatan manusia (Astuti, dkk., 2005).

Potensi pengembangan industri obat tradisional terus mengalami peningkatan. Kondisi ini dipengaruhi oleh kesadaran meningkat tentang manfaat tanaman sebagai obat, sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to nature) dengan memanfaatkan obat-obat alami yang berguna untuk meningkatkan derajat kesehatan (Djauhariya dan Hernani, 2004).

Tumbuhan mindi (Melia azedarach L.) merupakan salah satu tumbuhan yang dipercaya dapat digunakan untuk pengobatan luka dan diare sebagai obat tradisional. Berdasarkan berbagai literatur juga mencatat pengalaman secara turun-temurun dari berbagai negara dan daerah bahwa tumbuhan ini dapat menyembuhkan penyakit-penyakit seperti cacingan, skabies, kudis, darah tinggi dan untuk pengobatan tumor dan kanker (Agoes, 2010). Berbagai Penelitian diantaranya Mehmood, 2013 membuktikan bahwa dengan pembuatan ekstrak etanol dari daun mindi menjadi nanopartikel perak yang diuji ke dalam aktivitas antibakteri; anthelmintik (Cala, et al., 2011) dan antioksidan (Ahmed, et al., 2013).


(63)

Tumbuhan mindi sangat kaya dengan kandungan kimia yaitu margoside, toosendamin, liminoid, meliasin, resin, n-tricontane, betha-sitosterol dan triterpen kulinone (Agoes, 2010) dan azadirachtin (Astuti, dkk., 2010). Berdasarkan skrining fitokimia yang telah dilakukan menunjukkan bahwa daun mindi mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan steroid (Sudharmono, 2014) yang berfungsi sebagai antibakteri (Robinson, 1995).

Bakteri yang sering menyebabkan infeksi pada manusia adalah bakteri

Staphylococcus aureus berupa bakteri Gram positif merupakan flora pada

berbagai tubuh manusia terutama kulit yang menyebabkan infeksi seperti bisul, jerawat dan impertigo. Escherichia coli, bakteri Gram negatif merupakan flora normal pada saluran pencernaan yang dapat menyebabkan diare, infeksi saluran kemih dan sepsis (Jawetz, dkk., 2001).

Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia dan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol, fraksi n-heksana dan etilasetat terhadap bakteri Staphylococcus

aureus dan Escherichia coli mewakili Gram positif dan Gram negatif dengan


(64)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka perumusan masalah penelitian adalah a. Apakah karakteristik simplisia daun mindi sesuai dengan Materia Medika

Indonesia (MMI)?

b. Apa saja golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada serbuk simplisia, ekstrak etanol dan fraksi daun mindi?

c. Apakah ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan

Escherichia coli?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, maka hipotesis penelitian adalah : a. Karakteristik simplisia daun mindi sesuai dengan MMI.

b. Golongan senyawa metabolit sekunder pada simplisia, ekstrak etanol, fraksi

n-heksan, serta fraksi etilasetat daun mindi yaitu alkaloid, glikosida, tanin,

saponin, flavonoid dan steroid/triterpenoid.

c. Ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi mempunyai aktivitas antibakteri terhadap masing-masing bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui karakteristik simplisia daun mindi menurut MMI.

b. Untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada simplisia, ekstrak etanol dan fraksi daun mindi


(65)

c. Untuk mengetahui adanya aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi terhadap masing-masing bakteri

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi ilmiah tentang aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat daun mindi terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia

coli dengan terlebih dahulu melakukan penelitian karakteristik, golongan

senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada serbuk simplisia, ekstrak dan fraksi serta uji aktivitas antibakteri daun mindi.


(1)

3.4 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 21

3.4.1 Pereaksi Mayer ... 21

3.4.2 Pereaksi Bouchardat ... 21

3.4.3 Pereaksi Dragendorff ... 21

3.4.4 Pereaksi Molisch ... 21

3.4.5 Pereaksi besi (III) klorida 1% b/v ... 22

3.4.6 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 22

3.4.7 Pereaksi natrium hidroksida 2 N ... 22

3.4.8 Pereaksi asam sulfat 2 N ... 22

3.4.9 Pereaksi Lieberman-Bourchard ... 22

3.4.10 Larutan kloralhidrat ... 22

3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 22

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik ... 22

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 23

3.5.3 Penetapan kadar air ... 23

3.5.4 Penetapan kadar sari larut dalam air ... 24

3.5.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ... 24

3.5.6 Penetapan kadar abu total ... 24

3.5.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam ... 25

3.5 Skrining Fitokimia ... 25

3.5.1 Pemeriksaan alkaloid ... 25

3.5.2 Pemeriksaan glikosida ... 26

3.5.3 Pemeriksaan glikosida antrakinon ... 26

3.6.4 Pemeriksaan flavonoida ... 27


(2)

3.6.6 Pemeriksaan tannin ... 27

3.6.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 27

3.7 Pembuatan Ekstrak ... 28

3.8 Pembuatan Fraksi n-heksan dan Etilasetat ... 28

3.9 Sterilisasi Alat ... 28

3.10 Pembuatan Media ... 29

3.10.1 Pembuatan Media nutrient agar ... 29

3.10.2 Pembuatan Media nutrient broth ... 29

3.10.3 Pembuatan Media mueller hinton agar ... 30

3.11 Pembuatan Media Agar Miring ... 30

3.12 Pembuatan Larutan Uji dengan Berbagai Konsentrasi .... 30

3.13 Pembiakan Bakteri ... 31

3.13.1 Pembuatan stok kultur bakteri ... 31

3.13.2 Penyiapan inokulum bakteri ... 31

3.14 Uji Aktivitas Antibakteri ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 33

4.2 Hasil Pemeriksaan Karakterisasi... 33

4.2.1 Pemeriksaan makroskopik ... 33

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 33

4.2.3 Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia ... 33

4.3 Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi ... 35


(3)

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(4)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 4.1 Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun

mindi dibandingkan dengan MMI

………... 34

4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak

etanol daun mindi

……… 36

4.3 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

……… 37

4.4 Hasil pengukuran diameter daerah hambatan

pertumbuhan bakteri Escherichia coli


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Bakteri basil ... 12

2 Bakteri spiral ... 12

3 Bakteri kokus ... 13

4 Tumbuhan mindi (Melia azedarach L.) ... 47

5 Daun mindi (Melia azedarach L.) ... 47

6 Simplisia daun mindi (Melia azedarach L.) ... 48

7 Serbuk simplisia daun mindi (Melia azedarach L) ... 48

8 Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun mindi .... 49


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 46 2 Morfologi tumbuhan mindi ... 47

3 Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun

mindi (pembesaran 10×40)... 49 4 Bagan kerja penelitian ... 50 5 Bagan pembuatan fraksi n-heksana dan fraksi etilasetat

daun mindi (Melia azedarach L.) 51

6 Bagan pengujian aktivitas antibakteri ... 52 7 Perhitungan karakterisasi simplisia daun mindi (Melia

azedarach L.) ... 53 8 Data hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi

n-heksana dan fraksi etilasetat daun mindi (Melia

azedarach L.) terhadap bakteri Staphylocccus aureus ... 56 9 Data hasil uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol, fraksi

n-heksana dan fraksi etilasetat daun mindi (Melia

azedarach L.) terhadap bakteri Escherichia coli ... 58 10 Hasil pengujian aktivitas antibakteri ... 60


Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi N-Heksana, Etilasetat Dan Etanol Rumput Laut Coklat (Sargassum Polycystum C.Agardh) Terhadap Bakteri Escherichia Coli Dan Staphylococcus Aureus

5 45 83

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Binara Dan Ekstrak Etanol Daun Ulam-Ulam Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus Dan Escherichia Coli

8 82 96

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak n-Heksana, Etilasetat dan Etanol Daun Sembung Rambat (Mikania micrantha Kunth) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Dan Escherichia coli

15 77 72

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana Serta Etilasetat Buah Babal (Artocarpusheterophyllus Lamk.)terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

1 11 79

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol, Fraksi n-Heksana dan Etilasetat Daun Mindi (Melia azedarach L.) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 0 2

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol, Fraksi n-Heksana dan Etilasetat Daun Mindi (Melia azedarach L.) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 1 4

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol, Fraksi n-Heksana dan Etilasetat Daun Mindi (Melia azedarach L.) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 0 14

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol, Fraksi n-Heksana dan Etilasetat Daun Mindi (Melia azedarach L.) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 0 4

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol, Fraksi n-Heksana dan Etilasetat Daun Mindi (Melia azedarach L.) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli

0 0 20

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL, FRAKSI n-HEKSANA DAN ETILASETAT DAUN MINDI

0 0 15