Prestasi Akademik Mahasiswa Underachiever

9 pertahanan diri defence mechanism seperti bertindak agresif ataupun membuat keributan lelucon di kelas. Karakteristik sekunder yaitu biasanya mereka memperlihatkan perilaku menghindar. Mereka sering mengatakan bahwa pelajaran di kampus tidak relevan atau tidak penting karena itu mereka biasanya lebih tertarik kegiatan selain kegiatan kampus. Kaufman dalam Trevallion, 2008 menyatakan bahwa karakteristik ini tampil dalam dua arah yaitu agresif atau menghindar. Mereka juga akan memperlihatkan ketergantungan seperti tergantung pada orang lain untuk menyelesaikan tugasnya. Karakteristik tersier mahasiswa underachiever antara lain buruknya keahlian dalam tugas-tugas kampus, kebiasaan belajar yang buruk, memiliki masalah penerimaan oleh teman sebaya, konsentrasi yang buruk dalam aktivitas kampus, tidak bisa mengatur diri baik di rumah maupun di kampus, mudah bosan, “meninggalkan” kegiatan kelas, memiliki kemampuan berbahasa oral yang baik, tapi buruk dalam menulis, mudah terdistraksi dan tidak sabaran, sibuk dengan pikirannya sendiri, kurang jujur, sering mengkritik diri sendiri, mempunyai hubungan pertemanan yang kurang baik, suka bercanda di kelas membuat keributan, ramah terhadap orang yang lebih tua, dan berperilaku yang tidak biasa.

1.4. Prestasi Akademik Mahasiswa Underachiever

Menurut Elabum Vaughn, 2001, pengalaman di kampus akan mempengaruhi persepsi mahasiswa terhadap kemampuan akademis, penerimaan sosial, popularitas, perilaku, self-efficacy, dan bahkan ketertarikan fisik. Pesepsi kemampuan akademiknya akan mempengaruhi penampilan, motivasi terhadap 10 tugas akademik, orientasi karir, dan perkiraan keberhasilan di masa depan. Perasaan anak tentang dirinya selama di kampus bisa mempengaruhi perkembangan konsep dirinya terutama konsep diri akademiknya Swann dalam Elabum Vaughn, 2001. Mengacu pada pendapat Shaffer 2002 yang menjelaskan bahwa pada awal masa kanak-kanak, individu mulai membangun konsep dirinya yakni satu set keyakinan mengenai karakteristik mereka. Penelitian Keller, Ford, dan Meacham dalam Shaffer, 2002 menunjukkan bahwa anak-anak prakampus menggambarkan diri mereka berdasarkan karakteristik yang konkrit, seperti nama, penampilan fisik, kepemilikan, dan perilaku yang khas pada mereka. Usia 8-11 tahun anak mulai menggambarkan dirinya berdasarkan karakternya. Mereka mulai mengurangi penekanan terhadap perilakunya dan mulai menonjolkan kemampuannya. Misalnya “saya dapat mengerjakan ulangan dengan baik”. Mereka juga mulai menggambarkan dirinya berdasarkan sifat-sifat psikologis. Hal tersebut dimulai dari penggambaran kualitas secara umum, seperti “pintar” dan “bodoh”. Selajutnya pada usia remaja, penggambaran diri merekapun berubah. Contoh “saya tidak terlalu pintar dalam matematika”, “Saya senang dengan pelajaran sejarah”. Underachievement terjadi karena kegagalan individu untuk merealisasikan diri ReisDel Siegle McCoah, dalam Gallager, 2005, karenanya underachievement dapat dilihat sebagai dampak dari perkembangan emosi yang berinteraksi dengan status kognisi yang mengarahkan ke keadaan underachievement Gallager, 2005. Salah satu faktor yang sering muncul pada mahasiswa underachiever adalah rendahnya self-image dan buruknya self-esteem 11 Davis Rimm, dalam Gallager, 2005. Konsep diri yang positif terbentuk dari prestasi Gallager, 2005. Hasil tinjauan literartur yang dilakukan Lau dan Chan 2001 juga menunjukkan hal yang sama, bahwa dari berbagai karakteristik mahasiswa underachiever yang diajukan oleh berbagai peneliti, temuan yang paling konsisten adalah rendahnya konsep diri atau self-esteem mereka, terutama pada area konsep diri akademik. Mahasiswa yang underachiever tidak percaya bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk berprestasi, karenanya mereka tidak berusaha keras untuk belajar dan mudah menyerah ketika menghadapi kegagalan. Kemudian kegagalan dalam bidang akademik akan membuat mereka tidak percaya diri dalam belajar sehingga mereka kehilangan konsep dirinya. Hubungan yang negatif antara konsep diri akademik dengan prestasi menjadi lingkaran yang membuat pola underachievement sulit diputus. 1.5. Mengatasi Mahasiswa Underachiever Beberapa literatur menyatakan bahwa underachievement adalah pola perilaku yang dipelajari dan tentunya dapat juga diubah Gallagher, 2005; Joan, 2004. Coyle dalam Trevallion, 2008 menyatakan bahwa untuk meningkatkan prestasi anak underachiever dapat dilakukan dengan membangun self-esteem, meningkatkan konsep diri, meningkatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik, mengajari cara belajar study skills, manajemen waktu dan mengatasi kekurangannya dalam hal akademik. Pringle dalam oxfordbrooks.ac.uk, 2006 juga menyatakan hal yang sama, bahwa untuk mengatasi mahasiswa underachiever dapat dilakukan oleh guru dengan meningkatkan konsep diri dan 12 moral mahasiswa, memberikan dukungan, memberikan kesempatan untuk mengerjakan sesuatu dengan bebas, ataupun membuat suasana belajar yang menyenangkan. Jika guru bersikap negatif terhadap mahasiswa underachiever ataupu kurang memperhatikan mereka, akan berakibat makin menguatnya pola underachievement pada mahasiswa tersebut. Self esteem dan self-concept sangat berhubungan dan biasanya digunakan secara bertukar. Menurut Snow Jackson dalam Adams, 1997, konsep diri self-concept adalah sejauh mana ia mengetahui dirinya individual’s self- knowlwdge, dan self-esteem adalah persepsi individu harga diri dan penghormatan terhadap dirinya dan kualitas perasaan individu terhadap kedua hal tersebut. Menurut Branden 1998, konsep diri adalah siapa dan apa yang individu pikirkan mengenai diri sendiri baik secara sadar maupun tidak sadar, mencakup fisik dan psikologi serta kelebihan dan kekurangannya. Harter dalam Papalia, 2007 juga menjelaskan bahwa konsep diri merupakan konstruksi kognitif yang menggambarkan dan menilai diri. Konsep diri diperoleh dari hasil belajar, oleh karena itu konsep diri biasanya menetap dan konsisten. Persepsi tentang diri mengarahkan perilaku seseorang, dan individu akan berperilaku sesuai dengan persepsinya tersebut Purkey dalam Adams, 1997. Konsep diri berkorelasi dengan prestasi Snow Jackson dalam Adams, 1997, motivasi Raffini, 1993, dan tujuan pribadi Lazarus dalam Adams, 1997. Perbaikan konsep diri akan mengarahkan peningkatan penyesuaian diri dan prestasi Snow Jackson dalam Adams, 1997. 13 2. Tes Intelegensi 2.1. Pengertian Intelegensi Andrew Crider dalam Azwar, 2008 mengatakan bahwa intelegensi itu bagaikan listrik, gampang untuk diukur tapi hampir mustahil untuk didefinisikan. Kata-kata ini banyak benarnya. Tes intelegensi sudah dibuat orang sekitar diri sendiri delapan dekade yang lalu, akan tetapi sejauh ini belum ada definisi intelegensi yang dapat diterima secara universal. Alfred binet dan Theodore Simon tahun 1857-1911 mendifinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu: a kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; b kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan c kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan autocritism. Lewis Madison mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan seseorang untuk berfikir secara abstrak. Sedangkan H.H Goddard mendefinisikan intelegensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah- masalah yang akan datang Azwar, 2008. VAC Henmon salah seorang diantara penyusun tes intelegensi kelompok henmon-nelson, mengatakan bahwa intelegensi terdiri atas dua macam faktor yaitu a kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, dan b pengetahuan yang telah diperoleh Azwar, 2008. Edward Lee Thorndike seorang tokoh psikologi fungsionalisme mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta. Galton mendasarkan tes