Dampak Eliminasi Sektor Informal

29 cukup besar dalam peningkatan produk nasional. Mengingat perannya yang signifikan dalam pembangunan, strategi pembinaan sektor informal masih terus berlanjut, terutama dalam hal pemberian program bantuan terencana oleh pemerintah. Pemerintah perlu membantu dalam pemberian fasilitas kredit. Begitu juga kepedulian kaum profesional pengusaha, pemilik modal sangat dituntut dalam pemberian penyuluhan manajemen; penataran keterampilan; promosi pemasaran; penyediaan bahan baku; kepada pekerja sektor informal yang muaranya adalah untuk meningkatkan daya saing ekonomi pelaku-pelaku usaha kecil mikro. Bahwa masalah utama yang dihadapi pekerja sektor informal menurut Todaro 1998, adalah menyangkut keterbatasan modal kerja. Oleh karenanya, pemberian kredit lunak akan sangat membantu unit-unit yang lebih banyak, sehingga pada akhirnya akan menciptakan pendapatan dan lapangan kerja yang lebih banyak lagi. Untuk dapat meningkatkan modal, pekerja sektor informal memperoleh kemudahan memperoleh skim kredit lunak dari lembaga-lembaga keuangan perbankan.

2.3. Dampak Eliminasi Sektor Informal

Upaya memaksimalisasi peran sektor informal dalam pembangunan, sering dihadapkan pada dilema, pada satu sisi pemerintah ingin memberi kemudahan fasilitas bagi rakyat kecil perkotaan untuk mencari nafkah melalui berbagai sumberdaya yang tersedia, namun di sisi lain pemerintah juga ingin menciptakan suasana kehidupan kota yang bersih, rapi dan asri. Sikap ambivalen pemerintah itu terlihat melalui slogan-slogan dukungannya terhadap pembinaan usaha rakyat kecil Universitas Sumatera Utara 30 notabene pekerja sektor informal, sehingga perlu didorong dan dikembangkan. Pada saat yang sama, pemerintah tidak henti-hentinya melakukan upaya penggusuran demi memperindah kota sehingga mempersempit ruang gerak pekerja sektor informal. Komplek pemukiman kumuh slum yang umumnya dihuni pekerja sektor informal selalu menjadi incaran penggusuran karena disinyalir dapat menimbulkan masalah bagi pengembangan wilayah kota, seperti kemacetan lalu lintas dan sebagai tempat penampungan penghuni liar. Pemukiman kumuh biasanya terjadi karena empat hal yang saling berkaitan dan saling meneguhkan, yaitu kepadatan penduduk, pekerjaan dan penghasilan penghuni yang tidak tetap, tidak mendapat layanan publik, dan gaya hidup pedesaan yang tak lagi cocok dengan kehidupan kota Surbakti dalam Suyanto, ed., 1995. Dalam perspektif perencana kota, selain dicap liar dan menjadi sumber penyebab munculnya segala gangguan, sektor ini seakan-akan dipandang sama sekali tidak memberi sumbangan apapun bagi masyarakat sekitar maupun perkembangan kota pada umumnya. Secara fisik upaya-upaya penggusuran dan meminggirkan segala sesuatu yang berbau informal memang dapat membuat suasana kota tampak indah dan bersih. Tetapi konsep pengembangan wilayah, bukan hanya berorientasi fisik, lebih dari itu peningkatan kualitas hidup yang menciptakan harga diri pada masyarakat, merupakan aspek-aspek yang menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan proses pembangunan dan pengembangan wilayah. Sebagaimana Todaro 1998, mengatakan kecukupan sustenance; jati diri self-esteem; serta kebebasan freedom; adalah tiga serangkai yang menjadi hakekat pembangunan. Ketiga hal ini merupakan tujuan Universitas Sumatera Utara 31 pokok yang harus dicapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam bentuk di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang zaman. Usaha penggusuran bagi masyarakat pekerja sektor informal, selain memperkecil peluang untuk memiliki rumah sendiri, sesungguhnya dapat berpontesi mematikan atau mengeleminir ruang gerak rakyat miskin perkotaan untuk tetap survive. Penggusuran bukan hanya sekedar menggusur tempat tinggal, tetapi juga menggusur sebagian penyangga ekonomi rakyat miskin. Bagi golongan masyarakat miskin perkotaan, rumah memang bukan hanya sekedar tempat tidur atau berteduh saja, tetapi rumah merupakan tempat bekerja dan sekaligus tempat untuk mengayam jaringan sosial ekonomi yang menunjang mekanisme survival penghuninya. Sektor informal yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat miskin golongan marginal kota, mulai tidak berdaya karena dijejali dengan berbagai kebijakan pembangunan kota yang sangat berkiblat ke Barat. Plaza, supermarket maupun hipermarket dibiarkan banyak bermunculan; di sisi lain daerah operasi becak dibatasi atau bahkan dilarang sama sekali; pedagang asongan digusur; dan berbagai usaha memoles kota menjadi gemerlap umumnya cenderung semakin mempersempit ruang gerak pekerja sektor informal untuk berkembang. Ada kesan, segala hal yang berbau tradisional dan terklasifikasi informal adalah sesuatu yang dianggap jelek dan memalukan, sehingga perlu dimarginalisasi dan dieliminasi eksistensinya. Soemardjan dalam Suyanto, 1995, mengatakan; Universitas Sumatera Utara 32 di mata perencana kota, acapkali muncul keyakinan bahwa jaringan dan pranata sosial sektor informal tidak saja kurang mendukung tumbuhnya etik wiraswasta yang kompetibel, tetapi juga diyakini jaringan dan pranata sosial itu harus ditransformasikan atau sama sekali dihilangkan demi pembangunan ekonomi. Kebijakan pembangunan kota dengan cara membatasi ruang gerak pekerja sektor informal, justru tidak membuat kota menjadi gemerlap dan maju, tetapi wajah kota semakin tercoreng oleh berbagai masalah sosial yang terjadi seiring dengan menyempitnya peluang kerja di berbagai sektor. Tak dapat dielakkan bila kondisi ini terus berlangsung, maka orang-orang yang terlibat dalam sektor informal menjadi berpola rasional, kontraktual, dan individualis seperti layaknya ciri masyarakat kapitalis. Mekanisme involutif sektor informal menjadi mandul dan daya serap sektor tersebut menjadi tidak fleksibel lagi. Bagi kota sendiri, menyempitnya daya serap sektor informal dan tidak tertampungnya para migran dalam kegiatan perekonomian kota sudah tentu akan berarti masalah. Jumlah masyarakat miskin tidak saja akan semakin bertambah di kota, tetapi akibat semakin terpolarisasinya sektor fomal dan informal dapat menimbulkan berbagai kecemburuan sosial yang menjurus pada munculnya disorganisasi sosial. Bukan tidak mungkin akibat banyaknya kaum migran yang tidak beroleh pekerjaan, maka angka kejahatan semakin meningkat, pemukiman kumuh slum semakin menjamur, dampak negatif lain juga bermunculan, sehingga membuat suasana kota menjadi kacau. Barangkali akibat-akibat negatif seperti ini, sejak dini perlu segera diantisipasi. Jangan sampai demi sekedar mengejar keindahan kota, sektor informal Universitas Sumatera Utara 33 yang sesungguhnya besar jasanya, lalu dijadikan kambing hitam dan terpaksa menjadi korban obsesi kemajuan yang belum jelas kemana arahnya.

2.4. Pengembangan Wilayah