perubahan kebutuhan manusia dan berlandaskan pada alat yang telah tersedia dulunya, perbaikan rancangan dilakukan bahkan juga diciptakan rancangan baru.
3
1. Menentukan tinggi permukaan pekerjaan sesuai dengan tinggi siku.
Redesain peralatan kerja secara ergonomi adalah upaya pemecahan masalah desain peralatan kerja dengan mengimplementasikan aspek-aspek
ergonomi. Redesain peralatan kerja secara ergonomis mutlak dilakukan, mengingat pemanfaatan suatu alat kerja pada hakekatnya bertujuan untuk
membantu kemampuan, keterbatasan dan kebolehan manusia, sehingga dapat tercapai kinerja yang lebih optimal dalam artian tidak hanya berorientasi pada
peningkatan produktivitas semata, tetapi tercipta peralatan kerja yang manusiawi karena tidak menimbulkan keluhan kerja. Oleh karena itu, kekeliruan desain
peralatan kerja yang terlanjur digunakan masyarakat perlu didesain ulang atau redesain secara ergonomi Arimbawa, 2010.
3.3 Prinsip Perancangan Tempat Kerja
Tujuan perancangan tempat kerja, perkakas kerja, dan lingkungan kerja yang sesuai dengan manusia adalah agar meningkatkan produksi dan efisiensi
proses operasi serta mengurangi tingkat kecelakaan kerja pada operator manusia. Prinsip perancangan tempat kerja yang dikemukakan Niebel 2003 antara lain:
2. Menyesuaikan tinggi permukaan pekerjaan berdasarkan tugas yang
dikerjakan.
3
Rosnani Ginting, Perancangan Produk Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, p. 231-234.
3. Menyediakan kursi yang nyaman untuk operator yang bekerja dalam posisi
duduk. 4.
Melengkapi fungsi penyesuaian pada kursi. 5.
Meningkatkan fleksibilitas postur tubuh. 6.
Menyediakan alas anti lelah bagi operator yang bekerja dalam posisi berdiri. 7.
Memposisikan semua peralatan dan material yang diperlukan dalam urutan yang terbaik.
8. Menggunakan gravitasi untuk proses transportasi sehingga dapat mengurangi
waktu menjangkau dan membawa. 9.
Menyusun perkakas, alat control dan komponen lainnya secara optimal untuk meminimisasi gerakan.
4
3.4 Work Muskuloskeletal Disorders WMSDs
Pekerjaan yang berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal bisa dilihat dari berbagai bentuk yang berbeda. Adapun karakteristik WMSDs yaitu:
1. WMSDs dihasilkan dari aktivitas yang berlebihan
Meskipun mekanisme terjadinya tidak bisa dijelaskan secara detail, umumnya cedera ini diakibatkan jika bekerja secara berlebihan, sehingga bagian tubuh
tidak mampu untuk memulihkannya. WMSDs terjadi karena tubuh melakukan aktivitas berulang-ulang dan dipaksa untuk menanggung beban
kerja yang tidak bisa ditolerir.
4
Benjamin W. Niebel dan Andris Freivalds, Methods, Standards, and Work Design New York: McGraw-Hill, 2003, h. 187-196.
2. Perkembangan WMSDs secara bertahap
WMSDs berkembang secara bertahap dan terkadang tidak memiliki gejala yang jelas, hanya saat itu tiba-tiba muncul dan berkembang dengan cepat.
Misalnya, mula-mula pekerja merasakan ketidaknyamanan ketika bekerja, lama-lama memburuk dan mengakibatkan pekerja berhenti bekerja.
3. WMSDs harus selalu dicegah
Fakta bahwa WMSDs berkembang secara bertahap memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya dapat diantisipasi sejak berkembang karena cedera
ini tidak seperti kecelakaan, yang terjadi secara tak terduga dan tiba-tiba. Tindakan dapat diambil karena proses berkembangnya sangat lama. Jika
bekerja dengan beban yang berlebihan dihentikan dalam suatu waktu, tubuh akan pulih dan penyakit dapat hilang tanpa meninggalkan jejak. Pemulihan
secara lengkap bisa terjadi, dan pencegahan dapat dianggap lebih efektif jika terjadi diawal kegiatan. Sedangkan kerugiannya karena jika tidak disadari,
tubuh terbiasa dengan rasa sakit, yang bisa menyalahkan usia atau penyebab lain. Ini menjadi suatu kondisi normal dan perasaan tentang ketidaknyamanan
akan hilang. Hal ini memungkinkan resiko semakin memburuk, dan pemulihan lengkap menjadi hal mustahil.
4. Penyebab-penyebab WMSDs
Penyebab utama WMSDs adalah bekerja secara berlebihan. Tetapi berlebihan ini umumnya berasal dari kombinasi faktor dan bukan dari satu penyebab
tunggal. Baik itu pengulangan, postur atau usaha. Usaha yang tidak sesuai akan mengakibatkan postur kerja yang sangat buruk sehingga menciptakan
cedera muskuloskeletal, bahkan pada tingkat pengulangan yang sangat rendah. Sebaliknya, jika bekerja dilakukan dengan postur yang tidak sesuai
dapat menyebabkan kerusakan jika diulang ribuan kali setiap hari.
3.4.1 Faktor dan Risiko WMSDs
Faktor dan risiko WMSDs selalu berhubungan dengan usaha gaya dan postur. Kedua faktor ini berkontribusi sama dengan terjadinya WMSDs dan juga
berpengaruh satu sama lain. Misalnya, postur yang dibentuk tubuh tergantung dari berapa besar usaha yang dilakukan tubuh. Sebaliknya, usaha yang besar dan kecil
secara signifikan dapat mengubah postur seorang pekerja. Resiko WMSDs secara langsung adalah munculnya masalah kesehatan, yang dapat bertindak sebagai
pemicu munculnya masalah. Efek yang disebabkan oleh faktor WMSDs tergantung pada beberapa kondisi, termasuk pekerja itu sendiri, sifat individu dan
sejarah kerja. Hal ini tidak selalu mudah untuk mengenali sebuah faktor WMSDs. Beberapa Kategori dari faktor dan resiko WMSDs, yaitu :
1. Postur yang kaku
Sering terjadi di tempat kerja bahwa pekerja dituntut untuk bekerja dengan postur yang kaku. Bekerja dengan postur yang tidak alami merupakan faktor
WMSDs. Hal ini dikarenakan bahwa setiap sendi memiliki sikap dasar. Sikap ini yang biasanya berada pada batas rentang gerak manusia, memerlukan
sedikit usaha untuk mempertahankan posisi tubuh dan tidak menempatkan struktur anatomi di posisi yang merugikan. Jika tubuh bergerak dibatas
jangkauan gerak tubuh, maka pekerja akan mengalami ketidaknyamanan
misal jika tangan ditekuk atau diperpanjang. Rasa sakit yang disebabkan oleh WMSDs tergantung pada seberapa jauh usaha tubuh melakukan
pekerjaannya, lama durasi, dan frekuensinya. 2.
Usaha dan kekuatan otot Bahasa sehari-hari menyebutkan bahwa kekuatan diperlukan untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal ini berguna untuk menjelaskan perbedaan antara kekuatan dan usaha. Ketika berbicara mengenai kekuatan,
maksudnya adalah kekuatan yang dihasilkan oleh sebuah sistem pada lingkungan eksternal yang dapat diukur. Misalnya dibutuhkan kekuatan untuk
memindahkan kotak 20 kg, kekuatan yang dibutuhkan ini tergantung pada individu, posturnya, dan banyak faktor lainnya. Penerapan kekuatan
memerlukan usaha yang harus sesuai dengan keadaan. Usaha ini lebih seperti biaya yang harus dibayar tubuh untuk mengerahkan kekuatan.
3. Bekerja statis
Resiko ekstrim terjadi jika posisi lengan bekerja melawan gravitasi. Misalnya, ketika lengan bekerja dengan tangan di atas bahu. Situasi ini digambarkan
sebagai kerja otot statis. Resiko kerja ini tergantung pada durasi dan postur yang semakin lama akan semakin tinggi resikonya. Kerja otot statis
mengharuskan otot berkontraksi tanpa gangguan. Itu merupakan kebalikan dari kerja otot dinamis, yang mengacu pada sebuah pergiliran antara kontraksi
dan relaksasi.
4. Pengulangan
Pekerjaan dianggap berulang jika siklus terjadinya kurang dari 30 detik atau disebut tindakan pengulangan jika melakukan hal yang sama selama setengah
waktu dari waktu kerja. Anggapan pengulangan diatas bukanlah referensi mutlak dikarenakan fakta menyatakan bahwa siklus terjadinya kurang dari 30
detik tidaklah berbahaya. Akan tetapi, pengulangan itu sendiri merupakan faktor WMSDs yang menciptakan efek ganda. Bekerja dengan posisi tetap
yang tidak berubah dari waktu ke waktu, erat kaitannya dengan pengulangan. Fitur lingkungan tertentu dapat berkontribusi untuk resiko WMSDs seperti
paparan dingin, getaran, dampak dan tekanan mekanis. 5.
Faktor organisasi Faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi memiliki efek yang
kompleks pada resiko WMSDs. Organisasi kerja sebagian besar menentukan intensitas resiko kerja seperti postur, usaha dan pengulangan. Akibatnya,
jadwal kerja, bekerja sendiri atau dalam sebuah tim, pengawasan dan keadaan pekerja adalah parameter yang dapat mempengaruhi resiko WMSDs. Efek
organisasi pada resiko WMSDs merupakan fakta bahwa organisasi menentukan kondisi kerja untuk melaksanakan tugas tertentu. Kecepatan
kerja, iklim kerja dan kualitas hubungan interpersonal juga dapat mempengaruhi resiko WMSDs atau stress kerja.
6. Beban kerja dan kecepatan kerja
Beban kerja adalah faktor resiko ketika jumlah pekerjaan yang diminta terlalu berat. Kecepatan kerja, intensitas usaha dan kurangnya waktu pemulihan
umumnya dikaitkan dengan beban kerja yang sangat berat. Selain itu, ketika pekerja berhubungan dengan mesin, pekerja biasanya tidak dapat
menyesuaikan kecepatan kerja ketika bekerja setiap hari. Hal ini diakui bahwa kecepatan pekerja dikendalikan oleh faktor eksternal yang tidak hanya
satu. Selain faktor resiko yang sering hadir ketika kecepatan kerja dipaksakan, seperti beban kerja berat, tingkat pengulangan tinggi dan tekanan
psikologis yang kuat, pekerja harus memiliki sedikit kelonggaran. Namun, kurangnya kontrol yang dimiliki pekerja atas pekerjaan memiliki dampak
signifikan pada ketegangan yang dirasakan dan dianggap sebagai faktor utama terjadinya WMSDs.
7. Jadwal kerja
Jadwal kerja dapat mempengaruhi tingkat resiko WMSDs karena dapat memperpanjang durasi kerja, yang merupakan peningkatan beban kerja.
Jadwal ini juga mewakili faktor stres, shift malam misalnya dapat mempersingkat masa istirahat yang diperlukan untuk pemulihan. Ketika
jumlah pekerjaan signifikan, beban muskuloskeletal berasal bukan hanya dari proses kerja yang berkelanjutan, tetapi juga dari ketiadaan atau pengurangan
waktu pemulihan. Istirahat selama shift kerja sangat penting untuk memungkinkan otot beristirahat antara periode kerja. Sebagai contoh, tiga
menit istirahat mungkin lebih efektif, dalam hal pemulihan, daripada waktu kerja yang dipersingkat selama 30 menit.
8. Perubahan teknologi
Sangat sulit untuk memprediksi semua konsekuensi dari pilihan teknologi yang ada pada saat ini. Teknologi baru kadang-kadang membuat masalah
baru mengenai beban muskuloskeletal. Beberapa orang telah mengantisipasi bahwa tugas akan berubah dan masalah-masalah baru akan muncul jika
adanya perubahan teknologi. Oleh karena itu, sangat penting untuk tetap waspada berkaitan dengan dampak dari teknologi baru. Setiap kali ada
perubahan besar dalam metode produksi, dampak yang mungkin terjadi pada proses kerja harus dianalisis.
9. Lingkungan sosial
Lingkungan sosial dapat menjadi sumber utama motivasi, tetapi juga sumber keprihatinan dan stres. Dalam lingkungan sosial, pekerja bisa merasakan
ketidaknyamanan atau sakit dan mengeluh, walaupun mereka mungkin cenderung untuk menunggu sampai menit terakhir untuk melaporkan masalah
muskuloskeletal sehingga konsekuensi semakin lebih serius. Lingkungan yang menumbuhkan ekspresi dan komunikasi akan menguntungkan karena
bisa bertukar informasi tentang keahlian pekerja dalam pelaksanaan proses perbaikan terus-menerus.
3.4.2 Penanganan WMSDs
Penanganan WMSDs penting untuk mengurangi resiko WMSDs sehingga dapat meningkatkan efektivitas kerja. Penanganan WMSDs secara tepat harus
sesuai berdasarkan tempat kerja. Tempat kerja sistem dapat dilihat dari lima
komponen utama meliputi aspek-aspek kerja individu, teknis, organisasi kerja, karakteristik pekerjaan dan lingkungan fisik dan sosial. Jantung dari sistem ini
adalah individu atau pekerja, dengan fiturnya berupa fisik atau psikologis berupa interaksi antara pekerja dengan sifat-sifat tertentu, dan komponen-komponen
berupa proses kerja. Teknologi dan metode kerja yang digunakan harus sesuai dengan pengetahuan pekerja. Pengaruh organisasi juga memiliki dampak langsung
pada individu, stasiun kerja dan kondisi kerja. Organisasi menentukan tingkat partisipasi pekerja, sifat interaksi dengan rekan kerja, jenis pengawasan dan
pengendalian di stasiun keja. Karakteristik pekerjaan berpengaruh terhadap individu dan proses kerja, seperti tingkat presisi yang diperlukan, fisik dan mental
sebagai persyaratan kerja. Misalnya saja individu bekerja dengan menggunakan tinggi meja kerja yang sama. Penanganan WMSDs yang disetujui para ahli yaitu
dengan melakukan pendekatan yang komprehensif tergantung kepada tempat kerja. Dengan cara itu penanganan bisa difokuskan pada masalah utama sehingga
resiko bisa ditangani secara keseluruhan.
5
Suatu cara dalam ergonomi untuk mengetahui adanya keluhan muskuloskeletal adalah dengan mengukur lokasi dan intensitas keluhan WMSDs
yang didata dengan menggunakan Standard Nordic Questionnaire yang dimodifikasi dengan empat skala Likert. Selain menggunakan Standard Nordic
Questionnaire, keluhan muskuloskeletal juga dapat diketahui dengan RULA
3.4.3 Metode Pengukuran Keluhan Muskuloskeletal
5
Tarwaka et.al.. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: Uniba Press. h. 50-55.
Rapid Upper Limb Assessment. RULA adalah suatu alat ukur untuk mengetahui biomekanik dan beban yang diterima oleh keseluruhan tubuh. RULA dikhususkan
untuk mengetahui keluhan muskuloskeletal daerah leher, badan, anggota gerak atas, dan sangat sesuai untuk pekerjaan-pekerjaan yang statis atau menetap. Nilai
yang dihasilkan dalam perhitungan RULA mengindikasikan tingkat intervensi yang diperlukan untuk mengurangi adanya resiko keluhan muskuloskeletal.
Metode pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan RULA Rapid Upper Limb Assessment dilakukan dengan mengadakan pengamatan mengenai gerakan badan
pekerja saat beraktivitas, mulai dari gerak anggota badan atas, lengan atas sampai kaki pekerja Arimbawa, 2011.
3.5 Standard Nordic Questionnaire SNQ
Standard Nordic Questionnaire SNQ merupakan salah satu alat ukur yang biasa digunakan untuk mengenali sumber penyebab keluhan kelelahan otot.
Melalui Standard Nordic Questionnaire dapat diketahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak sakit sampai
sangat sakit. Dengan melihat dan menganalisis peta tubuh seperti Gambar 3.8 maka diestimasi jenis dan tingkat keluhan otot skeletal yang dirasakan oleh
pekerja. Dimensi-dimensi tubuh tersebut dapat dibuat dalam format Standard
Nordic Questionnaire. Standard Nordic Questionanire dibuat atau disebarkan untuk mengetahui keluhan-keluhan yang dirasakan pekerja akibat pekerjaanya.
Standard Nordic Questionnaire bersifat subjektif, karena rasa sakit yang
dirasakan tergantung pada kondisi fisik masing-masing individu. Keluhan rasa sakit pada bagian tubuh akibat aktivitas kerja tidaklah sama antara satu orang
dengan orang lain.
6
3.6 REBA