BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki hutan alam dengan keanekaragaman tinggi yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Selain menghasilkan kayu, famili
Dipterocarpaceae juga menghasilkan hasil hutan bukan kayu HHBK berupa resin damar dan minyak tengkawang. Damar yang dihasilkan kebanyakan berasal
dari genus Shorea, Hopea, serta Vatica, dan spesies terbanyak adalah Shorea javanica
K. et V. Larasati 2007. Pohon S. javanica menghasilkan resin damar dengan mutu yang sangat
tinggi dan dikenal sebagai damar mata kucing. Menurut Hadjib dan Abdurachman 2005, Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil resin damar
yang cukup besar, dengan luas hutan Shorea penghasil damar sekitar 17.500 ha. Dari luasan tersebut, 7500 ha diantaranya merupakan hutan rakyat yang dikelola
dengan berbagai sistem budidaya dan usaha tani. Strategi pengelolaan damar mata kucing di Lampung dilakukan dengan pola campuran agroforest yaitu dalam
bentuk Repong damar Wijayanto 2002, Sudarmalik 2006. Damar mata kucing asal Indonesia telah lama menjadi komoditi ekspor
dalam perdagangan dunia. Pada tahun 2006 produksi damar Indonesia mencapai 11.087 ton yang sebagian besar sekitar 75 diekspor ke berbagai negara,
sisanya sekitar 25 dikonsumsi dalam negeri Statistik Kehutanan Indonesia 2007, Sakinah 2006. Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan dalam Statistik
Kehutanan Indonesia 2007, mencatat untuk ekspor lak, getah dan damar pada tahun 2006 volumenya sebesar 6.813 ton dengan nilai mencapai 7.692.080 US.
Standardisasi mutu merupakan unsur penting, selain itu juga menjadi acuan bagi produsen dan konsumen dalam perdagangan damar mata kucing.
Penentuan mutu damar mata kucing di pasar domestik mulai dari petani, penghadang, pedagang pengumpul desa, pedagang besar krui, sampai ke industri
maupun eksportir, masih berdasarkan uji visual yaitu kebersihan, warna, dan ukuran bongkahan. Selain itu pengolahan awal damar mata kucing di Indonesia
yang meliputi sortasi, pemecahan bongkahan dan pembersihan dari kotoran,
belum dilakukan secara baik, sehingga dihasilkan damar mata kucing dengan ukuran bongkahan yang sangat kecil. Pada akhirnya mutu damar mata kucing
yang dihasilkan relatif rendah dan harganya murah Larasati 2010, Zulnely 2010. Menurut Wiyono dan Silitonga 2001, pengelompokan damar mata
kucing secara visual hanya berguna untuk konsumsi dalam negeri, sedangkan konsumen luar negeri dan industri lebih menekankan persyaratan mutu
berdasarkan sifat fisiko-kimianya bukan ukuran partikel. Namun demikian, penentuan harga di pasar domestik masih ditentukan berdasarkan mutu visual,
sehingga bersifat subjektif. Damar mata kucing dengan ukuran bongkahan yang besar dikelompokkan ke dalam mutu lebih tinggi dengan harga yang lebih tinggi
dibandingkan dengan damar yang ukurannya lebih kecil, walaupun bisa saja memiliki sifat fisiko-kimia yang sama. Harga damar mata kucing di PT. Winas
Guna Mustika untuk mutu A, B, C, D, E, dan Abu berturut-turut adalah Rp.45.000,00kg, Rp.40.000,00kg, Rp.35.000,00kg, Rp.30.000,00kg,
Rp25.000,00kg, dan Rp.17.000,00kg. Menurut Mentell 1941 dalam Namiroh 1998, sifat-sifat damar mata kucing tidak jauh berbeda. Sehingga kelompok
damar mata kucing yang berbeda berdasarkan mutu visual diduga memiliki sifat- sifat yang sama.
1.2 Tujuan Penelitian