dibandingkan dengan mie yang terbuat dari tepung terigu. Bila dilihat secara sekilas, penampakan mie ini tidak berbeda jauh dengan mie terigu, namun bila
dilihat lebih seksama mie ini memiliki warna yang lebih mengkilap dan keras. Hasil pengolahan dari mie sagu memiliki tekstur yang lebih kenyal tetapi tidak
elastis dan licin ketika dimakan. Oleh karena itu masyarakat menyebutnya mie glosor Hendrasari 2000.
Mie berbasis pati sangat berbeda dengan mie dari bahan terigu. Kekhasan mie berbasis pati adalah adonan terbuat dari campuran binder pati
tergelatinisasi dengan pati mentah native. Binder berfungsi sebagai pengikat seperti halnya gluten pada terigu sehingga dapat dibentuk adonan yang mudah
ditangani Purwani et al. 2004. Menurut Hendrasari 2000, mie sagu memiliki sifat yang berbeda bila dibandingkan dengan mie yang terbuat dari terigu, yaitu
memiliki tekstur yang lebih kenyal namun tidak elastis dan licin waktu di makan. Kandungan karbohidrat mie sagu sangat tinggi, tetapi sangat rendah kadar protein,
lemak, dan zat gizi lainnya.
Munarso 2004 mengemukakan bahwa pati resisten memiliki peran penting bagi kesehatan saluran pencernaan. Pati resisten dapat memperbaiki
kesehatan kolon dengan cara mendorong perkembangan sel-sel sehat yang kuat. Pati resisten memiliki manfaat prebiotik, yaitu menstimulasi pertumbuhan dan
aktivitas bakteri menguntungkan bifidobacteria, serta menurunkan konsentrasi bakteri patogen Escherichia coli dan Clostridia. Penambahan pati resisten dapat
menurunkan ketersediaan karbohidrat tercerna, yang hasilnya adalah tingkat respon glikemik yang rendah. Pemanfaatan pati resisten dapat diarahkan pada
pengembangan pangan untuk penderita diabetes maupun untuk mereka yang melakukan diet.
Mie sagu biasanya berwarna kuning, kuning kemerahan, coklat kemerahan, atau putih. Ketika dimakan terasa kenyal dan licin. Mie yang baik ketika dimasak,
yaitu tampak transparan, tidak mudah putus, dan tidak mengakibatkan air perebusannya keruh. Hal ini menandakan bahwa tidak banyak padatan mie yang
terlepas atau padatan yang hilang relatif kecil Purwani et al. 2006c.
Mie sagu dapat diolah sesuai selera. Mie sagu merupakan sumber karbohidrat yang tidak dapat dikonsumsi sebagai produk tunggal, melainkan harus
dikonsumsi dengan bahan pangan lain untuk mendapatkan tambahan zat gizi yang memadai Purwani et al. 2006b. Mie sagu memiliki komposisi kimia dengan
karakteristik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik mie sagu dari Palopo dan BBPP Pertanian Bogor Karakteristik
Mie Sagu Palopo Sulawesi Selatan
Mie Sagu BBPP Pertanian Bogor
Rendemen 347,7
315,5 Kekerasan gf
35,5 49,8
Kehilangan akibat pemanasan
4,00 2,3
Air 75,89
71,95 Protein
0,80 0,70
Lemak 5,84
6,63 Abu
1,73 1,76
Sumber : Purwani et al. 2006b
2.6 Interaksi Karbohidrat dan Protein
Sistem makanan selalu mengandung campuran heterogen protein dan polisakarida yang berbeda sifat alami kimia, modifikasi, rantai dasar, ukuran,
bentuk molekul, tingkatan hidrolisis, denaturasi, disosiasi dan agregasi. Interaksi protein dengan polisakarida, beragam protein satu sama lain, dan dengan air akan
mengatur kelarutan dan co-solubility biopolimer, kemampuan untuk membentuk larutan dan gel kental, viskoelastis dan sifatnya di permukaan Damodaran
dan Paraf 1997.
Menurut Oakenfull et al. 1997 jika protein dan polisakarida berinteraksi dapat menghasilkan tiga kemungkinan, yaitu:
1 Co-solubility, bila terjadi interaksi yang bersifat tidak nyata karena kedua
molekul primer memiliki eksistensi sendiri-sendiri. 2 Incompatibility, bila kedua tipe polimer saling menolak sehingga
menyebabkan keduanya berada pada fase terpisah. 3 Complexing, yaitu kedua polimer saling berikatan yang menyebabkan
membentuk fase tunggal atau endapan. Sifat sistem polimer yang bercampur telah dipelajari secara luas, bila satu
atau kedua polimer memiliki kekuatan membentuk gel akan memiliki potensi untuk menciptakan produk dengan beragam tekstur. Ziegler dan Foegeding 1990
menyatakan bahwa tipe jaringan gel dapat terbentuk dengan dua bahan pembentuk
gel yang berbeda. Bila proses pencampuran adalah eksotermik, dan interaksi tarik menarik maka dapat mengarah pada susunan komplek larut atau tidak larut.
Menurut Hurrel 1980, protein merupakan komponen yang paling aktif dari kebanyakan bahan pangan. Protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi,
lemak, dan zat-zat hasil oksidasi. Hal ini dapat menyebabkan turunnya nilai gizi, munculnya flavor yang tidak diinginkan, reaksi browning, dan timbulnya zat
toksik. Kemampuan protein untuk mengikat komponen pangan lain penting untuk formulasi makanan. Ikatan ini menyebabkan gaya adhesi, pembentukan serat dan
film, serta peningkatan viskositas. Sifat fungsional protein dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat fisiko-kimia di luar sifat nutrisi yang memungkinkan protein
menyumbang karakteristik tertentu pada suatu makanan Cheftel et al. 1985. Menurut Philips dan Beuchat 1981 protein dapat berinteraksi dengan komponen
lain di dalam sistem pangan yang kompleks selama persiapan, pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi.
Karbohidrat secara alami dapat berinteraksi dengan protein. Menurut Farnum et al. 1976, interaksi antara protein dan karbohidrat dapat terjadi karena
adanya pembentukkan ikatan ionik dan hidrogen di dalam struktur film, sedangkan Samanth et al. 1993 menjelaskan bahwa interaksi polisakarida
dengan protein dapat terjadi karena pembentukan kompleks elektrostatik, antara lain polisakarida anionik, CMC, pH 6 dengan mioglobin, dan Bovine Serum
Albumin BSA. pH mioglobin biasanya bermuatan positif sedangkan BSA bermuatan negatif. Ketergantungan muatan ini memerlukan adanya keterlibatan
grup karboksilat dari polisakarida dan residu asam amino yang bermuatan positif seperti -amino, -amino, guanidium, dan imidizol. Kekuatan interaksi
yang sebenarnya sangat tergantung pada jumlah dan distribusi sisi-sisi tersebut. Proses denaturasi akibat pemanasan atau penambahan alkali dapat
menyebabkan jumlah sisi-sisi meningkat, karena terbebaskan dari strukturnya yang dapat memaksimalkan interaksi dan menghasilkan kompleks yang stabil
Imeson et al. 1977.
Protein bisa membentuk ikatan silang dengan molekul lain, misalnya melalui ikatan kovalen dengan karbohidrat membentuk glikoprotein. Protein dapat
meningkatkan kemampuan gelasi karena memiliki molekul yang besar sehingga