APLIKASI BAKTERI TERENKAPSULASI HASIL DAN PEMBAHASAN

36 al. 1995 hilangnya viabilitas sel selama spray drying juga berhubungan dengan kerusakan komponen sel, membrane sel, dinding sel dan DNA. Sedangkan pengeringan dengan menggunakan freeze drying dilaporkan menyebabkan penurunan bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus secara berturut turut sebesar 10 10 cfug dan 2.2x10 11 cfug. Penurunan viabilitas bakteri diakibatkan pada tahap pendinginan sel dan medium untuk mencapai titik pembekuan, pembentukan es intra dan ekstra seluler, meningkatnya konsentrasi solute, lama penyimpanan dan thawing, selain itu disebabkan oleh pengurangan air dalam proses pengeringan Johnson dan Etzel, 1995. Secara keseluruhan, enkapsulasi bakteri asam laktat memberikan perlindungan yang lebih baik dibandingkan dengan sel bebas yang mengalami pengeringan dengan spray drying dan freeze drying. Hasil ini dikarenakan enkapsulasi mencegah kematian sel dari toksisitas bakteri, bead gel alginat menghambat difusi oksigen melalui gel, menciptakan lingkungan anoxic di dalam bead Talwalkar dan Kailasapathy, 2003.

4.3. APLIKASI BAKTERI TERENKAPSULASI

4.3.1. Pembuatan Kultur Kerja Yoghurt Aplikasi bakteri terenkapsulasi beads kering untuk produksi yoghurt diawali dengan pembuatan kultur kerja. Hal ini dimaksudkan agar bakteri terenkapsulasi dapat beradaptasi terlebih dahulu pada media produksi yoghurt. Menurut Rahman 1988 fase adaptasi dapat dikurangi sampai serendah-rendahnya jika komposisi media inokulum yang digunakan sama dengan komposisi media fermentasi, sehingga media cair dengan kultur yang telah aktif kemungkinan dapat mempercepat waktu pembentukan yoghurt. Jumlah inokulum yang ditambahkan pada pembuatan kutur kerja sebesar 0.5 beads kering disesuaikan dengan aplikasi starter komersil yogourmet untuk produksi yoghurt. Parameter yang diamati pada pembuatan kultur kerja adalah waktu koagulasi, pH, total asam dan total bakteri. Hasil pengujian karakteristik kultur kerja disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil pengujian kultur kerja Perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan Waktu koagulasi jam pH Total asam Total bakteri cfuml alginat 2 : high amylose corn starch 2 13.00±0.71 b 5.86±0.02 a 0.33±0.05 a 3.58±0.3 x10 8 alginat 3: maltodekstrin 1 9.74±0.37 a 5.71±0.07 b 0.38±0.04 b 1.13±0.35 x10 8 alginat 4 10.75±0.35 a 5.95±0.01 a 0.33±0.01 a 3.4±2.1 x10 8 Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata P 0.05 Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata P0.05 Hasil statistik menunjukkan bahwa perlakuan komposisi bahan pengisi enkapsulan berpengaruh nyata terhadap waktu koagulasi Lampiran 10, pH Lampiran 11, dan total asam Lampiran 12, namun berpengaruh tidak nyata terhadap total bakteri Lampiran 13. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang 37 diberikan mempengaruhi karakteristik sensorik pH dan total asam dan kualitas waktu koagulasi kultur kerja, serta tidak mempengaruhi kualitas secara mikrobiologis pada kultur kerja yang dihasilkan. Waktu koagulasi merupakan waktu yang dibutuhkan bagi bakteri starter mengubah laktosa menjadi koagulan. Tamime dan Robinson 1999 menyatakan bahwa koagulasi terjadi akibat bakteri Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus memfermentasi laktosa menjadi asam laktat, sehingga kasein berubah menjadi gel, terkoagulasi. Beradasarkan uji Duncan Tabel 8 diketahui bahwa waktu koagulasi alginat 3 : maltodekstrin 1 berbeda nyata dibandingkan dengan alginat 2 : high amylose corn starch 2 dan tidak berbeda nyata dengan alginat 4. Waktu koagulasi dipengaruhi oleh kandungan bakteri dalam starter yang digunakan. Tamime dan Robinson 1999 menyatakan semakin besar jumlah bakteri dalam starter yang diinokulasikan dalam yoghurt maka semakin cepat pula waktu fermentasi yang dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Tabel 8 bahwa bakteri terenkapsulasi alginat 3 : maltodekstrin 1 memiliki jumlah bakteri terbesar pada beads kering dan menghasilkan kultur kerja dengan waktu koagulasi tercepat. Secara keseluruhan waktu koagulasi yang dibutuhkan untuk membentuk kultur kerja lebih lama dibandingkan dengan sel bebas. Sel bebas memerlukan waktu 8 jam untuk membentuk kultur kerja. Sultana et al. 2000 menyatakan bahwa sel terenkapsulasi memerlukan waktu yang lebih lama dibanding dengan sel bebas untuk mencapai pH yang sama. Larisch et al. 1994 menyatakan bahwa bakteri terenkapsulasi alginat poli- L -lisin memerlukan waktu 17 lebih lama dibandingkan dengan sel bebas untuk mencapai pH 4.5. Hal ini disebabkan matriks enkapsulan merupakan dinding pelindung yang semipermiabel, berbentuk bola, tipis dan merupakan membran yang kuat, sehingga bakteri tertahan dalam matriks enkapsulan Jankownski et al., 1997. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang lebih lama oleh bakteri untuk release ke media fermentasi dan melakukan aktifitas fermentasi. Chan et al.2010 menambahkan bahwa matriks alginat-starch memiliki karakteristik yang rendah daya serapnya, sehingga alginat 2 : high amylose corn starch 2 membutuhkan waktu koagulasi yang lebih lamadibandingkan dua perlakuan lain. Semakin lama waktu koagulasi yang dibutuhkan maka semakin banyak pula jumlah mikroba yang terdapat pada kultur kerja. Astawan 2008 dalam Kunaepah 2008 menyatakan bahwa semakin lama fermentasi maka mikroorganisme berkembangbiak semakin banyak. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Tabel 8 bahwa bakteri terenkapsulasi alginat 3 : maltodekstrin 1 yang menghasilkan kultur kerja dengan waktu koagulasi tercepat memiliki jumlah bakteri terkecil pada kultur kerjanya dan bakteri terenkapsulasi alginat 2 : high amylose corn starch 2 yang menghasilkan kultur kerja dengan waktu koagulasi terlambat memiliki jumlah bakteri terbesar pada kultur kerjanya. Lama waktu koagulasi berpengaruh pula terhadap asam laktat yang dihasilkan. Astawan 2008 dalam Kunaepah 2008 menyatakan bahwa semakin lama fermentasi maka kemampuan mikroba memecah glukosa menghasilkan metabolit primer asam laktat dan alkohol dan metabolit sekunder aktivitas antibakteri dan polifenol semakin banyak. pH kultur kerja yang dihasilkan Tabel 8 minimum mencapai pH 5.7 dan tertinggi 5.9 serta nilai total asam yang tidak sesuai dengan SNI 2981:2009 sebesar 0.5-2, sehingga menyebabkan rasa kultur kerja kurang asam. Flavour dan mutu yoghurt banyak berhubungan dengan proses fermentasi dari starter yang digunakan. Starter yang digunakan dalam pembuatan kutur kerja berupa beads kering yang merupakan enkapsulasi bakteri Streptocosccus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus yang telah mengalami proses pengeringan. Franjone dan Vasishtha 1995 dalam Kaliaspathy 2002 menyatakan bahwa material penyelubung dalam proses 38 enkapsulasi berfungsi sebagai pelindung dan barier bakteri di dalamnya untuk tidak release keluar. Sehingga kemungkinan bakteri tidak bekerja optimal memfermentasi laktosa menjadi asam laktat. Suhu saat fermentasi juga mempengaruhi asam laktat yang dihasilkan oleh kultur kerja. Menurut Tamime dan Robinson 1999 Lactobacillus bulgaricus merupakan bakteri asam laktat yang memiliki andil dalam pembentukan rasa yoghurt. Rahman et al. 1991 menambahkan bahwa aktivitas proteolitik Lactobacili bekerja secara optimum untuk memecah protein menjadi peptida pada pH 5.2-5.8 dan pada suhu 45-50 o C. Sedangkan pada pembuatan kultur kerja, suhu inkubasi hanya berkisar antara suhu 43-45 o C, maka kemungkinkan Lactobacillus bulgaricus belum bekerja optimal sehingga pH kultur kerja yang dihasilkan besar dan rasa yang dihasilkan kurang asam. Berikut disajikan penampakan kultur keja yang dihasilkan dari perlakuan yang diberikan pada Gambar 20. a b c Gambar 20. Penampakan fisik kultur kerja dari perlakuan: a alginat 2: high amylose corn starch 2 b alginat 3: maltodekstrin 1 c alginat 4. Bahan enkapsulan dan bahan pengisi sangat mempengaruhi bentuk fisik kultur kerja yang dihasilkan Gambar 20. Kultur kerja yang dihasilkan oleh alginat 2 : high amylose corn starch 2 dan alginat 3 : maltodekstrin 1 menunjukkan penampakan sempurna, berbeda dengan kultur kerja yang dihasilkan oleh alginat 4 yang tampak mengapung beads kering pada permukaannya. Hasil serupa didapatkan Widodo et al. 2003 yang menunjukkan bahwa biokapsul yang dihasilkan tidak larut, sehingga dapat menurunkan kualitas fisik yogurt karena adanya butiran yang tidak larut. Hal ini terjadi karena gel kalsium alginat yang tidak larut dalam air, ikatan antara kalsium dengan alginat adalah ikatan khelat antara kalsium dengan rantai L-guluronat dari alginat Morris, et al., 1978 dalam Natalita, 2010. Berdasarkan penampakan fisik kultur kerja serta keempat parameter penilaian dapat disimpulkan bahwa perlakuan alginat 3 : maltodekstrin 1 adalah terbaik. Maka, hasil perlakuan ini selanjutnya diuji pada pembuatan yoghurt. 4.3.2. Pembuatan Yoghurt Kultur kerja terpilih selanjutnya diaplikasikan untuk pembuatan yoghurt. Pengujian pembuatan yoghurt dilakukan secara kulitatif dan kuantitatif. Pengujian secara kuantitatif dilakukan dengan membandingkan yoghurt dari perlakuan pengkapsulan terbaik dengan yoghurt yang dihasilkan dari kultur sel bebas tanpa enkapsulasi dan starter komersil yogourmet, sedangkan pengujian kualitatif dilakukan dengan uji organoleptik untuk mengetahui kesukaan panelis terhadap perlakuan terpilih. Hasil pengujian secara kuantitatif disajikan pada Tabel 9. alginat 2: pati resisten jagung 2 alginat 3: maltodekstrin 1 alginat 4 39 Tabel 9. Hasil pengujian yoghurt secara kuantatif dari starter terpilih Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata P 0.05 Superskrip sama menunjukkan berbeda tidak nyata P0.05 Hasil statistik menunjukkan bahwa perlakuan starter berpengaruh nyata terhadap waktu koagulasi sempurna Lampiran 14, pH Lampiran 15, total asam Lampiran 16, viskositas Lampiran 17, dan total bakteri Lampiran 18. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan mempengaruhi karakteristik yoghurt yang dihasilkan. Pada hasil uji Duncan Tabel 9 diketahui bahwa perlakuan pemberian jenis starter alginat 3: maltodekstrin 1 pada waktu koagulasi sempurna berbeda nyata P 0.05 terhadap sel bebas dan starter komersil. Waktu koagulasi sempurna tercepat terjadi pada yoghurt yang dibuat dari starter komersil diikuti oleh sel bebas dan perlakuan terpilih. Rendahnya waktu koagulasi sempurna perlakuan terpilih kemungkinan masih adanya bakteri yang terjerap dalam matrik enkapsulasi alginat dan maltodekstrin, sehingga membutuhkan waktu untuk release ke media fermentasi. Dembczynski dan Jankowski 2002 menyatakan bahwa penghambatan asam laktat pada pertumbuhan mikroba terenkapsulasi disebabkan oleh rendahnya transfer massa pertumbuhan mikroba dibanding sel bebas. Keasaman yoghurt diukur dengan besar nilai pH dan total asam. Frobisher et al. 1974 menyatakan bahwa pengukuran total asam yang terukur adalah jumlah hidrogen total dalam bentuk terdisosiasi, sedangakan dalam pengukuran nilai pH yang terukur adalah kosentrasi ion hidrogen yang ada pada saat itu dalam bentuk terdisosiasi. Nilai pH yang dihasilkan starter alginat 3: maltodekstrin 1 berbeda tidak nyata P0.05 terhadap starter komersil dan sel bebas, namun nilai total asam yang dihasilkannya berbeda nyata P0.05 terhadap starter komersil dan sel bebas. Nilai rataan total asam selalu berbanding terbalik dengan nilai rataan pH. Pada hasil Tabel 9 diketahui bahwa korelasi pH dan total asam tidak berjalan ideal pada perlakuan alginat 3 : maltodekstrin 1 dan sel bebas. Hal ini diakibatkan adanya sisitem buffer pada produk-produk terfermentasi Tamime dan Robinson, 1999. Nilai pH dan total asam pada yoghurt starter komersil memenuhi persyaratan yoghurt sesuai SNI 2981:2009, sedangkan yoghurt yang dihasilkan oleh sel bebas dan bahan enkapsulan terpilih belum memenuhi persyaratan. Rendahnya nilai pH dan total asam yang dihasilkan dari starter komersil dibandingkan dari starter dari bahan enkapsulan dan pengisi terpilih karena perbedaan proses pengkapsulan yang dialami kedua starter ini. Starter komersil dikapsul dengan menggunakan metode freeze drying, sehingga mempengaruhi viabilitas bakteri pada starter. Rybka dan Kailasapathy 1997 menyatakan bahwa viabilitas Lactobacillus bulagricus lebih rendah dibanding Streptococcus thermophilus selama freeze drying, hal ini dikarenakan pengaruh rantai hidrogen pada ikatan protein di dinding sel Perlakuan starter Yoghurt Waktu koagulasi sempurna jam pH Total asam Viskositas cp Total bakteri cfuml alginat 3: maltodekstrin 1 4.12±0.231 a 5.72±0.35 ab 0.29±0.017 c 529±63.789 b 1.46±0.683x10 9a sel bebas tanpa enkapsulasi 3.41±0.202 b 5.90±0.006 b 0.33±0.025 b 665±20.429 a 7.57±2.39 x10 8 a starter komersil 2.65±0.173 c 5.36±0.005 a 0.56±0.002 a 638±8.622 a 2.2±3.4 x10 5b 40 bakteri dan Streptococcus thermophilus merupakan bakteri gram positif yang tahan terhadap seluruh kondisi proses pembekuan dan pendinginan thawing Marth, 1973. Bottazi 1983 dalam Syahrir 2002 menerangkan bahwa S. thermophilus mampu meningkatkan keasamaan atau menurunkan pH secara cepat, oleh karena itu pH yoghurt dari starter komersil lebih rendah dan total asamnya lebih tinggi. Nilai viskositas yoghurt diukur untuk mengetahui tekstur yoghurt yang menyangkut konsistensi atau kekentalan yoghurt. Tekstur yoghurt antara kental dan semi padat karena terkoagulasinya protein susu membentuk struktur gel yang ditandai dengan terbentuknya konsistensi atau tekstur menyerupai “pudding” Rukmana, 2001. Berdasarkan uji Duncan diketahui bahwa viskositas yang dihasilkan oleh perlakuan alginat 3 : maltodekstrin 1 berbeda nyata P0.05 terhadap starter komersil dan sel bebas. Menurut Triyono 2010 semakin tinggi kadar protein dalam yoghurt maka kekentalan semakin tinggi. Terkoagulasinya protein susu merupakan respon terhadap kondisi asam yang dihasilkan oleh aktivitas starter BAL. Tingkat keasaman rendah mengindikasikan jumlah asam laktat yang dihasilkan lebih sedikit sebagai hasil dari metabolisme karbohidrat bakteri kultur starter yogurt Zain, 2010. Maka semakin besar jumlah bakteri, semakin besar protein yang terkoagulasi dan semakin besar pula nilai viskositasnya. Nilai viskositas sel bebas lebih besar dibanding starter komersil dan starter perlakuan terpilih. Hal ini dimungkinkan akibat tidak adanya matriks penjerap pada bakteri, sehingga bakteri pada starter sel bebas dapat mengkoagulasi protein dengan sempurna. Hasil penampakan fisik yoghurt yang terbentuk disajikan pada Gambar 21. a b c Gambar 21. Penampakan fisik yoghurt dari perlakuan: a alginat 3 : maltodekstrin 1 b sel bebas c starter komersil Penggunaan maltodekstrin sebagai bahan pengisi enkapsulan yang berfungsi sebagai substrat anabolisme bakteri dapat bersifat sebagai penstabil agar produk yoghurt mempunyai konsistensi dan stabilitas yang baik, semakin tinggi konsistensinya semakin tinggi protein yang terdapat pada produk. Menurut Triyono 2010 penambahan maltodekstrin yang semakin tinggi sampai 10 akan mengikat protein semakin tinggi. Hal ini tampak pada penampakan fisik yoghurt Gambar 21 yang menunjukkan bahwa perlakuan terpilih tidak memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan pembanding starter komersil dan starter sel bebas. Hasil uji Duncan Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan jenis starter alginat 3: maltodekstrin 1 pada total bakteri yang terkandung pada yoghurt berbeda nyata P0.05 terhadap sel bebas dan starter komersil. Jumlah bakteri tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan alginat 3 : maltodekstrin 1. Peningkatan jumlah bakteri pada perlakuan alginat 3 : maltodekstrin 1 sebesar 1.35x10 9 cfuml, berbeda dengan peningkatan yang terjadi pada kultur kerja yang mencapai kenaikan hingga alginat 3: maltodekstrin 1 Sel bebas Starter komersil 41 3.57x10 8 cfuml. Hal ini dimungkinkan karena bakteri sudah mulai memasuki fase stasioner, sehingga pertumbuhan bakteri tak lagi optimum. Buckle et al. 1987 menyatakan bahwa produk yoghurt umumnya mengandung 10 7 cfuml dari masing-masing jenis bakteri. Hasil Tabel 9 menunjukkan bahwa alginat 3 : maltodekstrin 1 memiliki dan sel bebas memiliki jumlah bakteri lebih besar dibanding kandungan bakteri pada umumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan menghasilkan produk yang tidak berbeda dari yoghurt pada umumnya berdasarkan aspek mirobiologi. Jumlah bakteri pada yoghurt yang dihasilkan starter komersil sejumlah 2.2x10 5 cfuml. Jumlah total bakteri pada starter komersil ini lebih kecil dari hasil penelitian Rajiv dan Nagendra 1996 yang meneliti viabilitas bakteri asam laktat pada berbagai starter komersil, pada penelitiannya jumlah bakteri S.thermophilus berkisar 5.3-2.3x10 8 dan L.bulgaricus berkisar 2.87-3.9x10 8 pada empat perlakuannya. Hal ini kemungkinan akibat umur simpan starter komersil yang digunakan sudah lama mengalami penyimpanan. Miwanda et al. 2006 menerangkan bahwa umur starter mempengaruhi kemampuan bakteri memecah laktosa menjadi asam laktat. Sedangkan jumlah bakteri yang dihasilkan dari bahan enkapsulan terpilih lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Rajiv dan Nagendra 1996. Hal ini menunjukkan bahwa bahan enkapsulan terpilih mampu melindungi bakteri S.thermophilus dan L.bulgaricus pada yoghurt. Hasil pengujian secara kualitatif Lampiran 19 terhadap perlakuan terpilih alginat 3 : maltodekstrin 1 menunjukkan bahwa secara visual, warna yoghurt menunjukkan nilai hedonik rata-rata sejumlah 3.88. Sayuti 1992 menerangkan bahwa yoghurt pada umumnya berwarna putih. Hal ini sesuai dengan yoghurt yang dihasilkan Gambar 21, sehingga perlakuan terpilih tidak berbeda nyata dengan yoghurt pada umumnya. Perlakuan terpilih juga tidak mempengaruhi penilaian aroma yoghurt yang dihasilkan. Ukuran beads yang dihasilkan sangat mempengaruhi karakteristik sensori produk Rokka dan Pirjo, 2010, namun pada penilaian tekstur yang menunjukkan hasil rata-rata sebesar 3.16. Maka dapat diketahui bahwa penambahan bakteri terenkapsulasi pada kultur kerja untuk produksi yoghurt tidak mempengaruhi kesukaan panelis. Nilai pH yoghurt yang tinggi tidak berpengaruh nyata pada penilaian panelis, hal ini dapat dilihat pada hasil nilai rata-rata yang diberikan sebesar 3.40. Penerimaan umum panelis terhadap produk perlakuan terpilih yang dihasilkan menunjukkan bahwa yoghurt yang dihasilkan dari perlakuan terpilih tidak berbeda nyata dengan yoghurt pada umumnya yang dikonsumsi, hal ini ditunjukkan pada hasil rata-ratanya sebesar 3.44. 42

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Enkapsulasi merupakan upaya untuk menjaga viabilitas bakteri asam laktat selama produksi dan penyimpanan. Enkapsulasi bakteri asam Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus dengan metode emulsi menghasilkan yoghurt dengan karakteristik relatif sama dengan yoghurt pada umumnya. Perlakuan komposisi bahan enkapsulan terbaik adalah alginat 3 : maltodekstrin 1. Perlakuan ini mampu meningkatkan viabilitas bakteri dalam kultur campuran Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus sebesar 6.09x10 5 cfug pada beads basah dan 2.56x10 5 cfug pada beads kering dibandingkan dengan sel bebas. Kultur campuran Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus yang dikapsul dengan alginat 3: maltodekstrin1 menghasilkan yoghurt dengan pH dan total bakteri lebih tinggi dibandingkan yoghurt dari sel bebas dan starter komersil yogourmet sebesar 5.73 dan 1.46x10 5 cfuml, nilai total asam dan viskositas sebesar 0.28 dan 529 cP, serta waktu koagulasi sempurna yang lebih lambat 4.12 jam. Secara hedonik yoghurt yang dibuat dari perlakuan terpilih disukai dengan taraf yang sama dengan yoghurt yang pada umumnya dikonsumsi.

5.2. SARAN

Jumlah bakteri pada starter yoghurt dari perlakuan terpilih masih kecil oleh karena itu diperlukan penelitian untuk meningkatkan jumlah populasi bakteri pada starter kering yang dihasilkan. Menurunnya jumlah viabilitas bakteri selama pengeringan dapat diminimalisir dengan penambahan oksigen scavenger. Selain itu, perlu penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan bahan enkapsulan lain untuk mengkapsul starter yoghurt menggunakan metode emulsi.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Temperatur Dalam Pembuatan Yoghurt dari Berbagai Jenis Susu Dengan Menggunakan Lactobacillus Bulgaricus dan Streptococcus Thermophilus The effect of Temperature in Making Yoghurt from Various Kind of Milk, Using Lactobacillus Bulgaricus and Strep

0 25 5

POTENSI YOGHURT BERBASIS BAKTERI STREPTOCOCCUS THERMOPHILUS DAN LACTOBACILLUS BULGARICUS SEBAGAI FEED ADDITIVE TERHADAP PERBAIKKAN KADAR PROTEIN DAN LEMAK TELUR AYAM LURIK

0 6 16

Persamaan Lokta-Volterra untuk Menduga Pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dalam Biakan Murni dan Campuran pada Proses Pembuatan Yoghurt

1 10 53

Karakteristik Fisik, Kimia Dan Mikrobiologi Dadih Susu Sapi Dengan Kombinasi Starter Lactobacillus plantarum, Lactobacillus bulgaricus dan Stertococus thermophilus

0 6 97

Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Dengan Menggunakan Kultur Campuran : Streptococcus thermophilus, Bifidobacterium bifidum, dan Lactobacillus casei galur Shirota

0 9 151

Karakteristik mikrobiologi dendeng ayam fermentasi denagn penambahan starter Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus dan Streptococcus thermophilus

0 12 47

Kajian Pembuatan Yoghurt Susu Jagung Sebagai Minuman Probiotik dengan Menggunakan Campuran Kultur Lactobacillus delbruekii subsp bulgaricus, Streptococcus salivarus subsp. thermophilus dan Lactobacillus casei subsp rhamnosus

0 12 86

PENGARUH BUBUK COKELAT FERMENTASI PADA YOGHURT SUSU KAMBING MENGGUNAKAN STARTER Lactobacillus fermentum DAN Streptococcus thermophilus TERHADAP KADAR AIR, KEASAMAN DAN MIKROBIOLOGI.

0 0 12

Pengaruh Penambahan Probiotik Lactobacillus Bulgaricus Dan Streptococcus Thermophilus Terhadap Keadaan Hematologik Kelinci ((The Efects Of Suplementation Of Probiotic (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) On Rabbit Hematologic Conditio

0 0 20

Pembuatan Yoghurt menggunakan Starter Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermphilus

0 0 4