Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi sangat pesat khususnya di bidang informasi dan komunikasi pada era globalisasi seperti sekarang ini. Teknologi informasi merupakan istilah umum yang menjelaskan teknologi apa pun yang dapat membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengkomunikasikan danatau menyebarkan informasi, sedangkan teknologi komunikasi terdiri dari sistem dan peralatan elektromagnetik untuk berkomunikasi jarak jauh Williams Sawyer, 2007. Perkembangan teknologi tersebut berperan sangat penting dalam memudahkan aktivitas kehidupan manusia, misalnya penggunaan internet. Internet merupakan sebuah “kota” yang luas dimana semua orang dapat berpartisipasi di dalamnya Weverka, 2005. Dengan adanya internet, aktivitas komunikasi dan pembagian informasi antar sesama manusia dapat dilakukan dengan cepat dan mudah tanpa khawatir akan dipisahkan oleh jarak. Internet merupakan jaringan komputer di seluruh dunia yang menghubungkan ratusan bahkan ribuan jaringan Williams Sawyer, 2007. Teknologi seperti ini tentu dapat dimanfaatkan dalam aktivitas pembelajaran. Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan, dan keterampilan berpikir, yang diperoleh melalui pengalaman. Santrock 2007 menyatakan bahwa teknologi merupakan tema penting dalam pendidikan. Sayangnya, pendidikan sering didominasi oleh pemikiran bahwa proses pembelajaran harus dilakukan secara tatap muka. Paradigma sistem pendidikan yang semula berbasis tradisional dengan mengandalkan tatap muka, kini mulai beralih menjadi sistem pendidikan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dengan sentuhan dunia teknologi informasi khususnya dunia cyber maya. Sistem pendidikan yang berbasis dunia cyber yang dimaksudkan tersebut dikenal dengan istilah e-learning Munir, 2008. Istilah e-learning sangat populer beberapa tahun belakangan ini meskipun konsepnya sudah cukup lama dimunculkan. Huruf e pada e-learning berarti elektronik yang kerap disepadankan dengan kata maya virtual atau jarak distance . Definisi e-lea rning memiliki penekanan yang berbeda-beda, beberapa teori berfokus pada isi, beberapa berfokus pada komunikasi, dan beberapa berfokus pada teknologi Mason Rennie, 2006. E-learning merupakan sebuah proses pembelajaran yang dilakukan melalui jaringan network . Melalui e- learning , ilmu dapat dibagikan kepada pengguna atau user yang berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa harus selalu melakukan tatap muka dengan pengajar Rosyadi, 2007. Menurut Munir 2008, e-learning merupakan proses pembelajaran dengan menggunakanmemanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai tools . Apabila proses pembelajaran dilakukan melalui internet dengan berbasis web , hal tersebut dapat dikatakan sebagai e-learning . Salah satu contoh perkuliahan berbasis web dapat dilakukan dengan menggunakan web log , atau lebih dikenal dengan sebutan blog . Blog merupakan situs internet dimana pemiliknya dapat menuliskan apapun yang menjadi opini atau pandangan pengguna terhadap sesuatu serta catatan harian atau diari Oetomo, dkk., 2007. Salah satu kelebihan yang dimiliki blog dibandingkan dengan situs biasa adalah interaksi dengan pembacanya tinggi. Pembaca akan memberikan komentar positif apabila tulisan yang ada di dalam blog dianggap menarik. Demikian pula sebaliknya, pembaca akan memberikan komentar negatif apabila tulisan yang dimuat dalam blog dianggap tidak menarik. Interaksi yang terbangun ini dapat mewakili dan merepresentasi dari segi media pembelajaran Rosyadi, 2007. Proses pembelajaran e-learning yang seperti ini telah diberlakukan di Indonesia, salah satunya adalah di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara USU. Perbedaan mendasar antara pembelajaran di dunia nyata dengan dunia maya seperti ini adalah dalam hal waktu Rosyadi, 2007. Hal ini dapat dilihat dari wawancara terhadap T, salah seorang mahasiswa Fakultas Psikologi USU: “Kalo kuliah lewat blog itu kak, enak sih. Paling enaknya itu enggak usah ke kampus lagi, gak terjebak macet. Tapi, aku paling gak suka kalo internetnya ngulah, lambat…bikin kesel…” Komunikasi Personal, 20 Oktober 2010 Terlihat dari hasil komunikasi personal tersebut bahwa pembelajaran di dunia nyata menuntut mahasiswa untuk mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan, misalnya berangkat ke kampus, dipersulit dengan adanya kemacetan jalan raya, dan mengejar jadwal kuliah yang harus berpindah-pindah ruangan kelas. Setiap mahasiswa dituntut untuk memiliki blog sendiri, dimana dosen dapat memberikan komentar di blog mahasiswa baik berupa tanggapan, diskusi materi pelajaran, maupun penilaian terhadap berbagai tugas yang diberikan oleh dosen. Sistem pendidikan e-learning berbasis blog yang seperti ini perlu diperkenalkan kepada mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari wawancara terhadap D, salah seorang mahasiswa Fakultas Psikologi USU: “ Blog itu … blog itu nggak cuma untuk diari kok, pengetahuan- pengetahuan gitu juga bisa tulis di blog . Aku pernah denger soal kuliah lewat blog itu. Cuma …aku nggak pernah buat blog . Hmmm…tapi…kalo diajari cara nge-buat blog sama dosen, aku bisa kuliah lewat blog tanpa masalah…” Komunikasi Personal, 20 Oktober 2010 Terlihat dari komunikasi personal tersebut bahwa sebelum mahasiswa diberi pelajaran melalui e-lea rning , sebaiknya dosen memperkenalkan atau mengajarkan pengoperasian teknologi yang berhubungan dengan e-learning terlebih dahulu. Yang dan Yang 2006 menyatakan bahwa pengalaman untuk melakukan e-lea rning dapat merupakan perubahan yang cukup drastis bagi pelajar. Saat belajar cara membuat blog , orang-orang mungkin akan menghadapi kesulitan dalam proses belajarnya, namun pada titik tertentu mereka akan terbiasa untuk membuat atau mengelola suatu blog . Kita tentu memerlukan adanya kesiapan saat memulai sesuatu, misalnya kesiapan secara fisik, kesiapan secara finansial atau kesiapan secara psikologis. Adapun kesiapan yang dimaksud dalam melakukan e-learning ini dikenal dengan istilah electronic readiness , e-learning readiness atau e-readiness . E-readiness merupakan kunci penting suksesnya suatu e-learning . Pada tahun 2009, Economist Intelligence Unit meneliti e-readiness dari 70 negara. Dari hasil penelitian tersebut, negara Indonesia berada di peringkat 65 Economist Intelligence Unit , 2009. Hal ini menunjukkan bahwa e-readiness di negara Indonesia bisa dikatakan cukup rendah. E-readiness merupakan kesiapan mental atau fisik untuk terlibat dalam e- learning . E-readiness dapat didefinisikan sebagai tingkat dimana masyarakat siap untuk mendapatkan keuntungan yang bisa didapatkan melalui teknologi informasi dan komunikasi Dada, 2006. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi USU, salah satu kendala yang dimiliki saat mengakses situs internet adalah kesulitan dalam menjangkau koneksi internet. Hal ini dapat dilihat dari wawancara terhadap J, salah seorang mahasiswa Fakultas Psikologi USU: “Wah… Saya sih udah suka nge- blog sejak SMA 1, kak. Saya juga suka mendesain …eh… blog saya. Tapi, kak…kalau diminta untuk kuliah lewat blog , say a rasa sih…saya belum siap deh. Soalnya, rumah saya enggak ada internet. Dari dulu juga enggak pernah pasang internet. Kalo mau sering-sering ngecek pengumuman lewat blog , berarti saya harus sering-sering ke warnet. Agak repot, kak. Lagipula, saya juga agak males…kalo harus sering-sering ke warnet…he…he…he… Kecuali, kalo emank rumah saya dipasang internet…saya rasa sih nggak ada masalah kalo emank harus kuliah lewat blog . Masalahnya, takut ntar koneksinya tiba- tiba lemot pula…he…he…he…” Komunikasi Personal, 19 Oktober 2010 Terlihat dari komunikasi personal tersebut bahwa meskipun seorang mahasiswa sudah terampil dalam mengelola suatu blog , beberapa hambatan dari luar tentu akan muncul sehingga mempengaruhi e-readiness seseorang, salah satunya adalah ketersediaan koneksi internet. Zinn 2009 menyatakan bahwa idealnya, partisipan e-learning memerlukan akses internet baik di rumah maupun di lingkungan pembelajaran. Menurut Guglielmino dan Guglielmino 2003, terdapat dua komponen utama e-readiness pada pelajar, yaitu technical readiness dan self-directed learning readiness . Masing-masing komponen tersebut terdiri dari knowledge , attitudes , skills , dan habits dimana keempat komponen ini dapat disingkat sebagai KASH. Knowledge merupakan pemahaman dasar yang diperlukan dalam e- learning ; attitude merupakan perasaan, kepercayaan dan kecenderungan berperilaku yang memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku seseorang; skill merupakan keterampilan yang diperlukan seseorang dalam menjalankan e- learning ; dan habits merupakan kebiasaan yang dapat mendukung suksesnya e- learning seseorang. Keempat komponen ini perlu ada dalam diri seseorang supaya dapat menjadi e-lea rner yang sukses Guglielmino Guglielmino, 2003. Tanpa adanya kesiapan untuk melakukan sesuatu yang baru, kemungkinan seseorang untuk sukses sangatlah kecil. Guglielmino dan Guglielmino 2003 menyatakan bahwa dalam sistem pembelajaran, penyedia pendidikan sering melupakan satu komponen penting, yaitu para pelajar. Apabila mahasiswa dipaksa untuk melakukan e-learning , padahal belum siap menjalankannya, mahasiswa tersebut akan memiliki pengalaman yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara terhadap V, salah seorang mahasiswa Fakultas Psikologi USU: “Kalo saya sih udah lewat mata kuliah pake blog itu, k ak… Kuliah Psikologi Pendidikan. Waktu itu, memang jarang ketemu di kelas…paling-paling…cuma ketemu lima kali aja kalo gak salah ya. Kalo gak ketemu, kadang ada tugas kadang enggak. Masalahnya, kalo uda disuruh ketemu di kelas, saya jadi males juga…he…he…he… Sebenarnya sih, saya kurang suka kuliah lewat blog ini. Soalnya, saya gak dapat ilmunya, gak ngerti pun Psikologi Pendidikan itu belajar apa. Selain itu, kalo denger mata kuliah yang berbau pendidikan, langsung deh…saya gak ada minat…gara-gara trauma ma Psikologi Pendidikan. Itu sih menurut saya ya, kak ya…he…he…he…” Komunikasi Personal, 15 Desember 2010 Terlihat dari komunikasi tersebut bahwa setelah mengikuti perkuliahan berbasis blog , V menjadi tidak berminat terhadap mata kuliah yang bersangkutan. Guglielmino dan Guglielmino 2003 menyatakan bahwa pelajar yang memiliki pengalaman yang negatif terhadap e-learning akan cenderung menolak kesempatan melakukan e-learning di kemudian hari. Hasil wawancara terhadap V bertentangan dengan kelebihan e-learning yang dikemukakan oleh Munir 2008 bahwa e-learning dapat memberikan pengalaman yang menarik bagi pelajar sehingga pemahaman terhadap materi pembelajaran akan lebih bermakna, mudah dipahami, serta mudah diingat. Berdasarkan hasil komunikasi personal dengan beberapa mahasiswa, diketahui terdapat fenomena di Fakultas Psikologi USU yang berhubungan dengan masalah e-readiness . Pelaksanaan pembelajaran di Fakultas Psikologi USU sebagian besar masih dilakukan secara tatap muka. Berdasarkan pemaparan di atas, dengan adanya sistem pembelajaran e-learning berbasis blog , peneliti ingin melihat gambaran e-readiness yang dimiliki oleh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

B. Perumusan Masalah