Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p=0.177 berarti secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok umur berdasarkan
stadium klinis.
BAB 5 PEMBAHASAN
Pada penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik didapatkan data penderita KNF selama 5 tahun terakhir 2006-2010 sebanyak 335 penderita yang akan
dijabarkan di bawah ini.
5.1. Statistik Deskriptif
5.1.1. Distribusi frekuensi jumlah penderita KNF berdasarkan tahun.
Gambar 5.1. Distribusi frekuensi penderita KNF berdasarkan tahun.
Dari gambar di atas tampak frekuensi penderita KNF dari tahun 2007-2010 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006. Frekuensi penderita KNF mengalami
peningkatan sebesar dua kali lipat pada tahun 2008 dan 2009 dibandingkan tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini hampir sama dengan Hutagalung et al 1996 yang melaporkan peningkatan jumlah pasien KNF tahun 1995 dibandingkan tahun 1991 sebesar 29 di
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Muyassaroh et al 1999 di RSUP dr. Kariadi Semarang terjadi peningkatan dari 40 penderita KNF tahun 1996 menjadi 54 penderita pada tahun
1998. Cao et al 2011 melaporkan terjadi peningkatan insidensi KNF di Propinsi Guangdong dengan angka insiden 14.02100.000 penduduk per tahun pada tahun 1970
menjadi 17.02100.000 penduduk per tahun pada tahun 1999, dimana terjadi peningkatan 21.40 pada 30 tahun terakhir.
Pada gambar di atas tampak frekuensi tertinggi pada tahun 2008. Menurut peneliti, salah satu yang mempengaruhinya adalah program simposium deteksi dini KNF di
Sumatera Utara yang membuka wacana tenaga medis, paramedis dan masyarakat sehingga lebih peduli bila dijumpai gejala-gejala KNF untuk diperiksakan ke Rumah
Sakit sentra.
5.1.2. Distribusi frekuensi kelompok umur pada KNF Distribusi frekuensi menurut umur penderita KNF di RSUP H. Adam Malik
Medan sejak Januari 2006-Desember 2010 dapat dilihat pada gambar 5.2.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.2. Distribusi frekuensi kelompok umur penderita per tahun Pada gambar 5.2 terlihat bahwa setiap tahunnya memiliki variasi untuk kelompok
umur terbanyak. Gambar di atas menunjukkan bahwa kelompok umur 41-50 tahun terus meningkat
dari tahun 2006 sampai 2010. Sedangkan kelompok umur 60 tahun mengalami penurunan tahun 2010 dibandingkan tahun 2006 sebesar 46.2. Hal ini sesuai dengan
data BPS, yang menunjukkan komposisi penduduk Indonesia pada kelompok umur 15-64 tahun pada tahun 2007 sebesar 65.05 dan pada tahun 2008 sebesar 67.67; sedangkan
kelompok umur ≥65 tahun pada tahun 2008 sebesar 5.10 menurun dibandingkan tahun
2007 Depkes, 2007. Dari kepustakaan dinyatakan bahwa umur penderita bervariasi mulai dari kurang 10 hingga 80 tahun, dengan puncak insiden pada umur 40-50 tahun
ataupun 40-60 tahun Lee, 2003; Thompson. 2005. Pada penelitian ini didapatkan umur termuda adalah 12 tahun dan tertua umur 88
tahun . Hal ini sesuai dengan penelitian case series Hsien et al 2009 pada Rumah Sakit Raja Isteri Pangiran Anak Saleha RIPAS Brunei Darusalam mayoritas dijumpai pada
usia termuda 12 tahun dan tertua 83 tahun. Berbeda dengan penelitian cross sectional Kartika 2010 di RSUP dr.Kariadi Semarang dilaporkan umur termuda 14 tahun dan
tertua pada umur 65 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.3. Distribusi kelompok umur penderita KNF selama tahun 2006-2010. Berdasarkan gambar 5.3. dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi penderita KNF
terdapat pada kelompok umur 51-60 tahun sebanyak 89 penderita 26.5, diikuti 41-50 tahun sebanyak 88 penderita 26.3 dan terendah pada kelompok umur 11-20 tahun.
Hal ini sesuai dengan penelitian lain di Indonesia, yaitu Hadi dan Kusuma 1999 di RSU dr.Soetomo Surabaya mendapatkan kelompok terbanyak pada umur 51-60 tahun
sebanyak 39 penderita pada 129 penderita KNF. Penelitian case series Yenita dan Asri 2008 di Sumatera Barat selama periode 2006-2008 melaporkan paling sering terdapat
pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu sebesar 17 penderita 37.8 dari 45 penderita . Sedangkan di luar negeri, dijumpai hal yang sama oleh Pua et al 2008 terhadap 225
kasus baru KNF pada beberapa sentra di Malaysia terbanyak pada kelompok usia 51-60 tahun sebesar 28.
Keganasan didapatkan pada usia tua lebih dari 40 tahun karena sistem imunitas dan mekanisme perbaikan DNA yang mengalami mutasi DNA repair sudah kurang
berfungsi dengan baik. Mekanisme perbaikan DNA dibutuhkan guna memperbaiki rangkaian asam amino pada kode genetik DNA yang mengalami mutasi. Jika mekanisme
Universitas Sumatera Utara
perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali
Soehartono et al, 2007. Berdasarkan penelitian para ahli disimpulkan bahwa suatu
karsinogenesis merupakan proses yang berlangsung sangat lama. Suatu proses transformasi sel sendiri dapat berlangsung lama, karena di dalam sel kanker telah
terakumulasi banyak mutasi. Selain itu, dibutuhkan sejumlah banyak pembelahan sel untuk menjadikan suatu tumor menjadi manifes dari satu sel yang mengalami
transformasi. Tergantung dari frekuensi pembelahannya hal ini dapat berlangsung 5-10 tahun. Dengan demikian tumor tersebut telah ada jauh sebelum kita dapat
mendiagnosisnya Bostman, 1996. Infeksi EBV sebagai salah satu faktor risiko KNF
memiliki masa laten untuk mempertahankan episom EBV dalam epitel nasofaring yang terinfeksi, sekitar 20-25 tahun tanpa gejala. Hal ini menyebabkan infeksi EBV
menyediakan kumpulan sel target pada nasofaring yang rentan terhadap paparan karsinogen lingkungan serta perubahan genetik selanjutnya pada onkogen dan gen
suppressor tumor yang berperan dalam transformasi keganasan menjadi KNF Richardson, 2005.
5.1.3 Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF Distribusi frekuensi jenis kelamin pada penderita KNF dapat dilihat pada gambar
5.4.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.4. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF per tahun
Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap tahunnya, jenis kelamin laki-laki lebih banyak dijumpai dibandingkan perempuan. Frekuensi jenis kelamin laki-laki tahun 2007
sampai 2010 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006, sedangkan jenis kelamin perempuan semakin menurun pada tahun 2010.
Gambar 5.5. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF selama tahun 2006-2010
Universitas Sumatera Utara
Pada gambar 5.5. menunjukkan bahwa selama periode lima tahun, jenis kelamin laki-laki lebih banyak dijumpai sebesar 73.1 dibandingkan perempuan dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan 2.7:1. Hasil ini sesuai dengan penelitian lain di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu oleh
Lutan 2003 mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 2.3:1, Henny 2006 2.4:1, Nasution 2007 2.69:1, Harahap 2009 2.5:1 dan Siregar 2010 2.7:1. Penelitian
di sentra lain di Indonesia mendapatkan hasil yang hampir sama yaitu Hutagalung et al 1996 di RSUP dr.Sardjito Yogyakarta 2.47:1, Hadi dan Kusuma 1997 di RSUD
dr.Soetomo Surabaya 2.1:1, Masrin 2005 di RSCM dengan 2.5:1, Yenita dan Asri 2008 di Sumatera Barat 2.5:1, Sofyan 2010 di RS dr.Hasan Sadikin Bandung 2:1.
Laki-laki lebih banyak menderita KNF dibandingkan perempuan dilaporkan pada hampir semua penelitian, hal ini diduga ada hubungannya dengan kebiasaan hidup serta
pekerjaan yang menyebabkan laki-laki sering kontak dengan karsinogen penyebab KNF. Paparan uap, asap debu dan gas kimia di tempat kerja meningkatkan risiko KNF 2-6 kali.
Sementara paparan formaldehid di tempat kerja meningkatkan risiko KNF 2-4 kali. Peningkatan risiko juga terjadi pada pekerja yang menghirup uap kayu, dan risiko
meningkat 2 kali pada pekerja yang terpapar panas industri dan produk pembakaran Chang dan Adami, 2006. Risiko juga meningkat pada peminum alkohol dengan OR 2.9;
95 CI, 1.2-6.9 Vaughan et al, 1996. Selain itu, hormon testosteron yang dominan pada laki-laki di curigai mengakibatkan penurunan respon imun dan survaillance tumor
sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi EBV dan kanker Munir,2009.
5.1.4. Distribusi frekuensi menurut suku bangsa pada KNF Distribusi frekuensi suku bangsa tahun 2006-2010 dapat dilihat pada gambar 5.6.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.6. Distribusi frekuensi suku bangsa penderita KNF tahun 2006-2010
Suku Batak merupakan kelompok yang terbanyak sebesar 57.1 dapat dilihat pada gambar di atas, diikuti suku Jawa sebesar 12.5 dan terendah dijumpai pada suku
Minang sebesar 3. Pada hampir semua penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan mendapatkan hasil
yang sama seperti seperti Lutan 2003 mendapatkan angka 43.1 pada suku Batak, Aliandri 2007 mendapatkan 51.9 penderita suku Batak, Zahara 2007 mendapatkan
penderita suku Batak sebesar 54.2. Harahap 2009 42.9 dan Astuty 2010 sebesar 44.4. Sama halnya dengan Nurhalisah 2009 di RSU dr.Pirngadi Medan melaporkan
54.5 penderita KNF suku Batak. Sebagai perbandingan dengan hasil penelitian di sentra lain di Indonesia seperti Hadi dan Kusuma 1997 di RSUD dr. Soetomo Surabaya
mendapatkan suku terbanyak adalah suku Jawa 73.6 dan Punagi 2007 di Makassar mendapatkan angka 46.7 pada suku Bugis, diikuti Makassar sebesar 26.7.
Indonesia termasuk kelompok Malaya Polinesia dari ras Mongoloid mempunyai kekerapan yang cukup tinggi Roezin, 1995; Chew, 1997. Perbedaan yang didapat pada
penelitian ini dibandingkan sentra lain mungkin dipengaruhi lokasi rumah sakit dan suku
Universitas Sumatera Utara
terbanyak di daerah tersebut. Pada suku Batak telah ditemukan alel gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF yaitu alel gen HLA-DRB08 Munir, 2007
5.1.5 Distribusi frekuensi menurut pekerjaan pada KNF
Gambar 5.7. Distribusi frekuensi menurut pekerjaan penderita KNF
Berdasarkan gambar 5.7. dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi pekerjaan penderita yang tercatat, tertinggi adalah petani 27.8 dan terendah pada yang tidak
bekerja sebesar 6.6. Hasil ini hampir sama dengan penelitian lain di RSUP H.Adam Malik Medan
yaitu Astuty 2010 dengan pekerjaan terbanyak sebagai petani sebesar 28.8, Siregar 2010 sebesar 29.4. Hal ini mungkin disebabkan petaniburuh lebih sering terpapar
dengan zat karsinogen, seperti insektisida, bezopyrenen, benzo-anthrancene, gas kimia, asap industri, serbuk kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan Ahmad, 2002.
5.1.6. Distribusi frekuensi menurut keluhan utama pada KNF
Universitas Sumatera Utara
Distribusi frekuensi menurut keluhan utama pada KNF setiap tahunnya selama tahun 2006-2010 dapat dilihat pada gambar 5.8.
Gambar 5.8. Distribusi frekuensi keluhan utama penderita KNF per tahun
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi keluhan utama tertinggi pada tiap tahun adalah benjolan di leher. Keluhan hidung tahun 2006 ke
tahun 2008 mengalami penurunan, sedangkan dari tahun 2008 ke 2010 mengalami peningkatan. Sebaliknya keluhan telinga dan gejala neurologis mengalami kenaikan pada
tahun 2008 dan menurun dari tahun 2008 ke 2010.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.9. Distribusi keluhan utama periode 2006-2010
Berdasarkan gambar 5.9 tampak bahwa selama lima tahun benjolan di leher merupakan keluhan yang tersering mendorong penderita berobat sebesar 71, diikuti
keluhan hidung sebesar 19.7 berupa hidung sumbat dan hidung berdarah, gejala neurologis 6, keluhan telinga 3 dan keluhan metastase jauh tidak dijumpai.
Hal ini sesuai dengan penelitian lain di Medan oleh Nurhalisah 2009 di RSU dr.Pirngadi masing-masing sebesar 88.9 dari 108 penderita. Penelitian di sentra lain
oleh Hadi dan Kusuma 1999 di Surabaya sebesar 51.16 dari 129 penderita dan Muyassaroh et al1999 di Semarang melaporkan benjolan di leher sebesar 68.1 dari
141 penderita.Penelitian lain oleh Lee et al 1997 di Hongkong benjolan di leher sebesar 75.8 dari 4768 penderita, Pua et al 2008 di Malaysia benjolan di leher sebesar 42
diikuti hidung sumbat 30 dari 225 penderita. Banyaknya pasien datang dengan keluhan utama benjolan di leher disebabkan
karena penderita lebih banyak mencari pengobatan setelah merasakan adanya benjolan di leher dan mengganggu aktivitas, sedangkan gejala lain seperti hidung sumbat ataupun
sakit kepala dianggap hal biasa dan merupakan gejala penyakit lain.
5.1.7. Distribusi frekuensi menurut tipe histopatologi penderita KNF
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.10. Distribusi frekuensi jenis histopatologi per tahun
Pada gambar di atas dilihat tipe II mengalami peningkatan frekuensi dari tahun 2006 sampai 2009 dan mengalami penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar
54.3. Tipe III mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2006 ke 2010 sebesar 37.5. Sebaliknya terjadi penurunan frekuensi tipe I dari tahun 2006 ke 2010 sebesar
26.9.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.11. Frekuensi jenis histopatologi penderita KNF periode 2006-2010
Frekuensi jenis histopatologi selama lima tahun pada gambar 5.11 tampak tipe II merupakan jenis yang tersering sebesar 46.6, diikuti tipe III sebesar 31 dan terendah
adalah tipe I sebesar 22.4. Hal ini sama dengan penelitian lain di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu
Harahap 2009 sebesar 50, Hidayat 2009 sebesar 63.6. Berbeda dengan Aliandri 2007 mendapatkan WHO tipe 3 yang terbanyak 54.4, diikuti WHO tipe 2 41.8
dan WHO tipe 1 3.8. Zahara 2007 mendapatkan jenis histopatologi terbanyak WHO tipe 3 58.3, diikuti WHO tipe 2 37.5 dan WHO tipe 1 4.2. Nasution 2007
mendapatkan WHO tipe 3 yang terbanyak 38.6, diikuti WHO tipe 2 33.3 dan WHO tipe 1 28.1. Delfitri M 2007 mendapatkan WHO tipe 3 sebesar 54.6, diikuti
WHO tipe 1 29.1 dan WHO tipe 2 16.4. Dalam kepustakaan distribusi jenis histopatologi adalah WHO tipe 1 10, WHO
tipe 2 20 dan WHO tipe 3 70 Lin, 2007. Di Amerika Utara didapati WHO tipe 1 25, WHO tipe 2 12 dan WHO tipe 3 63. Sementara itu distribusi histopatologi
di Cina Selatan WHO tipe 1 3, WHO tipe 2 2, dan WHO tipe 3 95 Wei dan Sham, 2005; Wei, 2006. Erkal et al. 2001 di Turki mendapatkan WHO tipe 1 35,
WHO tipe 2 20 dan WHO tipe 3 61 dari 155 penderita KNF. WHO tipe 2 dan 3 paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF, seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara
dan Afrika Utara. Sementara WHO tipe 1 lebih sering dijumpai di Eropa dengan prognosis yang lebih buruk Licitra et al. 2003; Guigay et al. 2006.
5.1.8 Distribusi frekuensi stadium pada KNF
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.12. Distribusi frekuensi menurut stadium pada KNF setiap tahunnya
Berdasarkan gambar 5.12. terlihat bahwa frekuensi setiap tahunnya stadium lanjut yaitu stadium III dan IV selalu lebih banyak dijumpai dibandingkan stadium dini
Stadium I dan II. Pada gambar di atas tampak bahwa frekuensi stadium IV mengalami penurunan
13.4 pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2007, sebaliknya stadium II mengalami peningkatan sebesar 13.2 pada tahun 2008 dibanding tahun 2007, hal ini mungkin
disebabkan pengaruh Simposium Upaya Deteksi Dini KNF di Sumatera Utara, sehingga bila dijumpai gejala dan tanda dini mendorong pasien, paramedis dan medis untuk
merujuk ke Rumah Sakit sentra.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.13. Distribusi stadium KNF selama lima tahun 2006-2010
Pada gambar 5.13. tampak bahwa stadium lanjut sebesar 82.7 merupakan frekuensi tersering selama periode lima tahun yaitu stadium IV sebesar 45.1 dan stadium III
sebesar 37.6. Sedangkan stadium dini hanya sebesar 17.3 yang terdiri dari stadium I dan II masing –masing sebesar 16.7 dan 0.7.
Penelitian lain di Medan, Nasution 2007 stadium lanjut sebesar 99, Zahara 2007 70.8, Harahap 2009 89.3 dan Nurhalisah 2009 82.4.
Diagnosis dini sulit dilakukan karena tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF
sering didiagnosa saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya Plant, 2009.
5.1.9. Distribusi frekuensi terapi pada KNF Distribusi frekuensi terapi pada KNF setiap tahunnya selama tahun 2006-2010
dapat dilihat pada gambar 5.14.
Universitas Sumatera Utara
Gambar. 5.14. Distribusi frekuensi terapi berdasarkan KNF setiap tahun
Pada gambar di atas tampak pemberian kemoterapi dominan pada tahun 2006 dibandingkan radioterapi maupun radio+kemoterapi dan terus mengalami penurunan pada
tahun 2009. Sebaliknya pemberian terapi kombinasi yaitu radio+kemoterapi semakin meningkat setiap tahunnya, terutama pada tahun 2009. Hal ini mungkin disebabkan
radioterapi mulai kembali efektif sejak tahun 2008. Sehingga pemberian radioterapi tunggal tampak mulai meningkat sejak tahun 2008.
Pada tahun 2007 tampak bahwa penderita tidak mendapatkan terapi, hal ini dikarenakan banyak pasien yang pulang atas permintaan sendiri PAPS setelah dilakukan
biopsi dan tidak kontrol kembali untuk mendapatkan terapi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5.15. Distribusi frekuensi terapi periode 2006-2010
Pada gambar 5.15 terlihat bahwa kemoterapi merupakan terapi yang sering diberikan selama periode 2006-2010 sebesar 35.8 diikuti pemberian kombinasi terapi
radio+kemoterapi sebesar 23, radioterapi sebesar 14 sedangkan penderita yang tidak mendapat terapi yang dikarenakan PAPS sebesar 1.2.
Berdasarkan kepustakaan, lokasi anatomi dan kecendrungan dijumpai pada stadium lanjut menyebabkan tindakan reseksi bedah jarang dilakukan pada KNF
Brennan, 2006; Plant, 2009. KNF memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi maupun kemoterapi dibandingkan kanker kepala dan leher lainnya Wei, 2006; Lin, 2006; Guigay
et al. 2006. Pada pasien KNF stadium dini stadium I dan II, terapi pilihan adalah radioterapi definitif. Pada KNF stadium lanjut stadium III dan IV pemberian kemoterapi
dikombinasikan dengan radioterapi merupakan pilihan, walau masih kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur Licitra et al. 2003;
Lin, 2006.
Universitas Sumatera Utara
5.2. Statistik Analitik