Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Komunikasi dalam Program Penanaman Pohon

4.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Komunikasi dalam Program Penanaman Pohon

A. Credibility

Menurut Cutlip, Center, dan Broom (2006), agar komunikasi dapat terlaksana dengan baik, komunikasi harus dimulai dengan iklim rasa saling percaya. Iklim ini dibangun melalui kinerja di pihak institusi, yang merefleksikan keinginan untuk melayani stakeholder dan publik. Komunikasi antara ATB dengan stakeholders/beneficiaries nya pun dimulai dengan iklim rasa saling percaya. Menurut ATB, usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk menjadi kredibel di mata masyarakat adalah dengan menjaga profesionalitas dan integritas. Dalam menjaga profesionalitas dan integritas ini, segala hal-hal operasional yang ada dalam perusahaan diusahakan memenuhi standar yang telah ditetapkan. EM memperkuat statement ini dengan mengatakan bahwa:

“ATB dalam bisnisnya tidak akan menjala nkan sesuatu yang melanggar etika, terlebih apabila itu berdampak pada masyarakat. Contoh,

bagaimana ATB harus paham bahwa ada sebagian masyarakat itu yang misalnya akan berdampak apabila ATB tidak mengelola materialnya dengan baik. Misalnya apabila air nya tidak memenuhi standar, itu bisa mengakibatkan adanya masyarakat yang sakit. Atau misalnya dalam pengelolaannya chemicals-nya tidak di-manage dengan baik, itu bisa mencemari lingkungan . . . . . . Usaha -usaha seperti ini lah yang kita harapkan dengan ini masyarakat percaya bahwa kita memang berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat.” (EM, 40 tahun,

didokumentasikan Desember 2016) Kredibilitas perusahaan tidak hanya dilihat dari bagaimana perusahaan

mengupayakannya saja, namun pandangan pihak luar perusahaan juga penting diperhatikan. Kredibilitas ATB diakui oleh SY, seorang masyarakat yang menjadi beneficiaries program penanaman pohon. SY mengatakan:

“Yaa kalo menurut saya sih yang namanya ATB, kan yang ngelola air satu-satunya di Batam cuma ATB. Gak mungkin kan, perusahaan itu bertahan dari tahun berapa ya saya di sini, awal tahun 2000-an lah, udah lama juga itu, sampe sekarang aja udah mau dua puluh tahun. Kalau

perusahaan nya gak bagus kan gak mungkin bertahan lama ya.” (SY, 39 tahun, didokumentasikan Desember 2016)

Selain kredibilitas dalam menjalankan bisnisnya, kredibilitas ATB menjalankan program itu sendiri perlu diperhatikan. Menurut ATB usaha mereka untuk menjadi kredibel dan meraih kepercayaan masyarakat dalam melaksanakan program ini hampir sama dengan yang sebelumnya. Program/event dijalankan sesuai mekanisme atau aturan mainnya. BP menjelaskan:

“Semua mekanisme yang kita buat itu ada at uran mainnya. Jadi kalau kita bikin event, itu gak sekedar bikin event, tapi semua aturannya saat pre-

event itu sudah disiapkan dan disepakati. Karena ini event ini kan CSR, yang menyangkut masyarakat kan, pihak luar. Nah ketika pihak luar itu berhubungan dengan kita, dia akan bertanya kan, syaratnya gimana ini aturan mainnya gimana. Nah mekanisme atau aturan mainnya itulah yang harus kita sampaikan, harus kita tegaskan, sekali kita gak tegas, orang

akan merasa “oh, gampang kok gak ditegasin”. Nah itu lah n anti yang akan meruntuhkan kepercayaan. Kita pastikan dulu mereka paham aturan,

kita dokumentasikan, kita sosialisasikan, kita susun semua, nah itu lah yang menjadi dasar kita.” (BP, 45 tahun, didokumentasikan Desember

2016) Kepercayaan masyarakat mengenai kredibilitas ATB melaksanakan program ini

juga didukung oleh statement dari salah satu narasumber. HL, perwakilan dari komunitas sepeda yang ikut dalam program penanaman pohon dalam wawancara bersama peneliti menyiratkan bahwa kredibilitas ATB mendukung terlaksananya program dengan baik. HL menuturkan:

“Kita sih udah dapat chemistrynya dalam berkomunikasi karena mereka juga basic-nya orang-orang kayak Bagus (CSR & Branding Supervisor),

orang kayak Enriqo (Manajer Departemen) itu emang orang-orang event, jadi gak sulit. Kita udah tau ini harus bagaimana itu bagaimana, dah tau lah tugas masing-masing jadi gak ada masalah sih, miskomunikasi sih gak

ada ya. “(HL, 30 tahun, didokumentasikan Januari 2017)

Melalui pernyataan-pernyataan dari pihak ATB, terlihat keseriusan perusahaan dalam membangun citra kredibel dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Usaha ini tidak sia-sia dan mendapatkan feedback yang baik dari berbagai stakeholdersnya. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kredibilitas ATB dan kepercayaan masyarakat kepada ATB sangat mempengaruhi keberhasilan komunikasi pada program penanaman pohon.

B. Context

Konteks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Program yang mengkomunikasikan CSR perusahaan harus sesuai dengan kenyataan lingkungan. Jelaslah bahwa program penanaman pohon yang ingin dikomunikasikan oleh ATB sudah sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Kota Batam. Menurut Bapedal Kota Batam, memang sejak tahun 2013 lalu Batam mengalami kekurangan 11% area penutupan vegetasi, terutama di catchment area. Kurangnya pepohonan yang dapat menyerap air pada catchment area akan berdampak pada krisis air di Batam, yang hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber ketersediaan air untuk kehidupan. Program penanaman pohon ini dirasa sudah sesuai konteksnya dengan situasi di mana ATB beroperasi.

TW, staff divisi air BP Batam memberikan tanggapan bahwa program CSR dalam bidang lingkungan hidup yang dilakukan ATB memang sudah tepat. Menurut TW, tujuan penanaman pohon pun memang sudah sangat bagus, di mana

ATB ingin mengedukasi masyarakat agar sadar akan pentingnya pohon dan lingkungan. TW menjelaskan alasannya:

“Jadi gini lho, Batam itu pulaunya kecil. Untuk menjadikan itu menjadi sebuah kota ada infrastruktur yang dibutuhkan ya itu air. Kenapa air? Karena nggak ada air kita nggak bisa hidup. Jadi infrastruktur ya ng paling esensial dalam sebuah kota itu ya air. Sementara darimana kita akan mendapatkan air? Kalau di batam ini kan satu-satunya kan dari hujan, hujan jatuh kemudian kita tampung. Kalau hujannya jatuh di lingkungan yang kualitasnya baik, maka kualitas air yang diserapnya juga akan baik, dan sebaliknya. Makanya itu masyarakat itu perlu sadar bahwa jangan main- main dengan lingkungan Kota Batam.” (TW, 56 tahun, didokumentasikan Januari 2017)

Program penanaman pohon dari ATB ini pun dirasa sudah sesuai dengan konteksnya oleh SB, Kepala Sekolah SMK Ibnu Sina Batam. SB menuturkan:

“Ya tentu baik sekali, karena itu (program penanaman pohon) kan ngaruhnya ke lingkungan hidup, sebagai sumber alam yang bisa kita

kembangkan. Terutama unsur edukasinya kepada anak-anak, bahwa penghijauan itu sangat penting.”

“Setahu saya ATB itu kan program utamanya adalah penyedia kebutuhan masyarakat dalam bentuk air bersih, air minum. Saya rasa programnya ya

fleksibel bisa berbentuk apa saja, ya salah satunya mungkin dengan penghijau an pohon ini.” (SB, 52 tahun, didokumentasikan Januari 2017)

Selain program penanaman pohon yang sesuai dengan konteks lingkungan Kota Batam, strategi atau cara melaksanakan program itu sendiri juga harus sesuai dengan konteks. Jika tujuan dari program adalah untuk mengedukasi masyarakat, maka dalam pelaksanaannya juga harus melibatkan masyarakat. Karena menurut KBBI, konteks juga merupakan bagian dari sesuatu yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna. Namun hal ini tidak didukung oleh penjelasan dari salah satu beneficiaries program penanaman. SY, warga perumahan Delta Villa yang menerima pohon pada 2012 menjelaskan:

“Waktu itu kan cuma dikasih aja seingat saya, gak ada nanam bareng atau acara apa gitu. Developer yang ngantar (pohonnya) ke rumah. Soalnya saya kan tinggalnya di sini (menunjuk ke arah rumahnya), di bawah kolam renang ini. Jauh kan, kantor developer adanya di gerbang masuk. Gak tau juga apa mungkin mereka (ATB) serah terima sama developer, atau mungkin ada gotong royong sama orang (war ga lain) yang di depan tapi biasanya ada pengumuman. Kemarin gak nanya juga

sih. “ “Ya kalau kita sih makasih sekali sama ATB udah dikasih, kalau beli

sendiri juga kan udah berapa (harganya). Lumayan buat ditanam di depan rumah agak teduh kan sinar matahari gak langsung nerawang ke rumah. Tapi karena gak sempat ketemu itu ya, jadinya kita kan gak tau dalam rangka apa ATB ngasih gini. Tetangga -tetangga juga gak ada yang

“ngeh” maksudnya apa, emang sudah programnya apa ada udang dibalik bakwan gitu lho.” (SY, 39 tahun, didokumentasikan Desember 2016)

Penjelasan SY menyiratkan bahwa ATB dalam pelaksanaan program penanaman pohon, hanya memberikan pohon saja. Hal senada juga dikatakan oleh HL, anggota komunitas Real Mountain Bikers (RMB). HL menjelaskan bahwa ada salah seorang temannya yang juga anggota komunitas RMB berinisial DD, di mana daerah tempat tinggal DD pernah menerima pohon dari ATB. DD menceritakan bahwa ada lebih dari seratus pohon diberikan oleh ATB, namun hanya tiga atau empat pohon saja yang ditanam bersama oleh ATB dan masyarakat sekitar untuk simbolis atau formalitas. Sisanya langsung diberikan pada masyarakat tanpa diketahui apakah memang ditanam atau tidak. HN, pegawai tata usaha SMPN 6 mengatakan hal serupa tentang program penanaman pohon. HN menuturkan bahwa memang banyak pohon yang ditanam bersamaan dengan warga sekolah, namun banyak juga sisanya yang tidak tahu harus diapakan oleh pihak sekolah. Pohon-pohon yang sudah ditanam pun akhirnya ditebang untuk kepentingan pembangunan sekolah.

Dari penjelasan HL dan HN, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ATB lebih banyak memberi pohon ketimbang menanam pohon. Tingkat keterlibatan masyarakat pun tidak mencakup keseluruhan yang ditargetkan, padahal tujuan dari program menyangkut masyarakat. Hal ini berarti bentuk program belum sesuai dengan konteksnya. Kurang sesuainya bentuk pelaksanaan program ini membuat ATB beralih pada bentuk lainnya.

Sejak tahun 2016 ATB mengadakan program penanaman dalam bentuk festival yang digelar untuk berbagai lapisan masyarakat. Digelarnya event festival ini menarik minat banyak warga Batam untuk mengikuti, bahkan ATB sampai harus membatasi peserta. Dalam festival ini peserta diajak bersepeda atau berjalan kaki ke kawasan hutan Duriangkang ( catchment area), selain untuk menyehatkan fisik juga ikut menanam pohon yang sudah disiapkan ATB. ATB berharap dengan diajaknya masyarakat ke catchment area, masyarakat dapat melihat langsung kondisi daerah resapan air yang merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air Kota Batam, saat ini masih kekurangan vegetasi. Masyarakat yang ikut menanam pohon diharapkan dapat tersadar bahwa penanaman pohon, penghijauan, dan menjaga lingkungan adalah penting terutama untuk kepentingan mereka sendiri.

Festival ini dirasa sesuai oleh stakeholders maupun ATB sendiri, di mana ATB dapat menjalankan CSRnya, dan masyarakat juga dapat teredukasi. Menurut HL, keinginan ATB memberi kepada masyarakat Batam sudah tepat dengan festival ini, karena ada hiburan (festival) sebagai pemberian jangka pendek, dan penanaman pohon sebagai pemberian jangka panjang. Selain itu HL memberikan tanggapan positif atas festival ini sebagai berikut:

“Bentuk kegiatan penanaman pohon bagusnya kayak yang kemarin itu (festival). Di situ kan kita gak bisa memastikan suatu generasi atau usia kan, tetapi banyak kan. Salah satunya edukasi kepada anak-anak ya, ada juga anak-anak karena kan ada funbike pemula kan, ada pejalan kaki juga saat itu. Di situ kan memberi edukasi kepada anak-anak dan orang tua juga, bahwasannya kita harus peduli sama hutan. Terutama Batam ini kan kota industri ya, kita jarang masuk ke hutan, di situlah kesempatan kita

melihat”. (HL, 30 tahun, didokumentasikan Januari 2017) Sedangkan RF, penanggung jawab media massa yang menjadi salah satu

stakeholders ATB (juga menjadi media partner dan co-organizer ATB Festival Hijau) memiliki pendapat lain. RF memiliki saran alternatif lain untuk CSR yang dilakukan oleh ATB dalam melaksanakan program penanaman pohon agar sesuai dengan konteksnya. RF menuturkan:

“Ya jadi begini, kalau men urut saya sih ya, acara itu kan apa sih fungsinya, kan hanya untuk halo-halo aja, buzzer ya. Bisa jadi hanya

untuk memberitahukan masyarakat dan menggugah masyarakat. Tapi menurut saya ya sudah tanamin aja sendiri, gak usah pake ini (event). Supaya, dananya juga, coba kemarin itu habis berapa? Misalnya mengundang sepeda-sepeda itu kan gak murah, belum lagi makannya. Membikin acara itu besar (biayanya), bisa sampai ratusan juta juga. Coba dananya ya udah dibuat (seperti saran tadi). Tapi mungkin ya itu, gak rame, mungkin masyarakat tidak ini ya. Tapi menurut saya juga, masyarakat ini kan masyarakat apa ya, yang dikatakan masyarakat cerdas itu kan tidak ada. Masyarakat itu kan hanya ikut-ikutan aja, ada begini dia ikut ada apa dia ikut, wagon effect ya namanya . Tapi kalau memang ya untuk meriah, supaya masyarakat terlibat, supaya publikasinya juga dapat, ya it’s ok. Tapi kalau cuma publikasinya dapat menurut saya tidak

harus besar-besaran seperti itu. Gandeng aja kita misalnya, BatamPos untuk memberitakan. Menurut saya peran media ini sih, sayang sekali

acara seperti kemarin itu.” (RF, 34 tahun, didokumentasikan Januari 2017)

Pendapat RF tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Cutlip, Center, dan Broom (2006), di mana dikatakan bahwa untuk mencapai efektivitas komunikasi program, media massa hanyalah suplemen untuk ucapan dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Harus disediakan konteks untuk partisipasi dan

umpan balik. Namun komunikasi yang efektif juga membutuhkan lingkungan sosial yang mendukung, yang sebagian besar dipengaruhi media massa. Media massa sudah berperan baik pra dan pasca festival ATB. Sebelum diadakannya festival berbagai media massa baik dari ATB sendiri maupun eksternal, sudah sering menggalakkan bahwa Batam membutuhkan lebih banyak penanaman pohon untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Masyarakat sudah paham akan hal itu. Pasca festival pun, pemberitaan pun tersebar di mana-mana, sehingga media massa sudah mendukung konteks program ini. Keterlibatan dan umpan balik dari masyarakat yang sesuai dengan tujuan dan adanya peran media membuat festival dirasa sebagai bentuk yang tepat dalam pelaksanaan CSR ATB. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh ATB tidak banyak mempengaruhi keberhasilan komunikasi dalam program penanaman pohon.

C. Content

Pesan harus mengandung makna bagi penerimanya dan harus sesuai dengan sistem nilai penerima. Pesan harus relevan dengan situasi penerima. Pada umumnya orang memilih item informasi yang menjanjikan manfaat besar bagi mereka. Pendapat Cutlip, Center, dan Broom (2006) tersebut sejalan dengan apa yang dilaksanakan oleh ATB. Pesan mengenai kepedulian terhadap pohon dan lingkungan mengandung makna yang penting bagi masyarakat kota Batam. Kepedulian terhadap lingkungan dengan menanam pohon menjamin ketersediaan air bagi masyarakat sendiri sebagai penerima program.

Pesan tentang kepedulian lingkungan ini pun relevan dengan situasi masyarakat Batam. Keadaan Batam yang kekurangan pohon baik di fasilitas umum maupun daerah resapan air membuat cuaca Batam begitu panas terik dan ketersediaan air sering kali menipis. Jika Batam sudah hijau secara keseluruhan maka tentu pesan dari ATB ini tidak relevan lagi. Masyarakat kota Batam tentu akan “mengindahkan” pesan ini karena semua penerima program tahu bahwa program ini mendatangkan manfaat bagi mereka. Maka dapat disimpulkan bahwa content/ konten (isi pesan) sangat mempengaruhi keberhasilan komunikasi pada program penanaman pohon.

D. Clarity

Dalam memperhatikan faktor kejelasan (clarity) , pesan harus diberikan dalam istilah sederhana. Kata harus bermakna sama menurut si pengirim dan penerima. ATB mengatakan bahwa program penanaman pohon adalah salah satu bentuk dari CSR perusahaan, dan hal ini bermakna sama hampir bagi seluruh stakeholders ATB. Pemerintah, media, komunitas, dan warga sekolah memahami bahwa pemberian dan penanaman pohon adalah CSR dari ATB. Sedangkan masyarakat lain memiliki interpretasi masing-masing mengenai program ini. Ada yang menganggap bahwa ini memang program ATB sebagai bisnisnya, ada yang menganggap bahwa program ini adalah kedermawanan perusahaan, dan ada pula yang menganggap program ini memiliki maksud lain tertentu. Masyarakat yang tidak bertemu langsung dengan pihak ATB masih ada yang tidak tau bahwa Dalam memperhatikan faktor kejelasan (clarity) , pesan harus diberikan dalam istilah sederhana. Kata harus bermakna sama menurut si pengirim dan penerima. ATB mengatakan bahwa program penanaman pohon adalah salah satu bentuk dari CSR perusahaan, dan hal ini bermakna sama hampir bagi seluruh stakeholders ATB. Pemerintah, media, komunitas, dan warga sekolah memahami bahwa pemberian dan penanaman pohon adalah CSR dari ATB. Sedangkan masyarakat lain memiliki interpretasi masing-masing mengenai program ini. Ada yang menganggap bahwa ini memang program ATB sebagai bisnisnya, ada yang menganggap bahwa program ini adalah kedermawanan perusahaan, dan ada pula yang menganggap program ini memiliki maksud lain tertentu. Masyarakat yang tidak bertemu langsung dengan pihak ATB masih ada yang tidak tau bahwa

“Ya kalau kita sih makasih sekali sama ATB udah dikasih, kalau beli sendiri juga kan udah berapa (harganya). Lumayan buat ditanam di

depan rumah agak teduh kan sinar matahari gak langsung nerawang ke rumah. Tapi karena gak sempat ketemu itu ya, jadinya kita kan gak tau dalam rangka apa ATB ngasih gini. Tetangga -tetangga juga gak ada yang

“ngeh” maksudnya apa, emang sudah programnya apa ada udang dibalik bakwan gitu lho .” (SY, 39 tahun, didokumentasikan Desember 2016)

Selain kejelasan mengenai program apa yang dilakukan, clarity (kejelasan) tujuan program juga perlu diperhatikan. Tujuan yang disampaikan oleh ATB harus bermakna sama dengan yang dipahami oleh masyarakat, terutama penerima program (beneficiaries) . Apabila ATB memiliki tujuan utama ingin mengedukasi masyarakat, maka seharusnya itu pula yang dipahami oleh masyarakat. Meskipun sebagian besar stakeholders memiliki pemahaman yang sama denga perusahaan, namun kenyataannya pada beberapa beneficiaries tidak demikian. Ada yang memahami tujuan CSR ATB adalah untuk menghijaukan dan memelihara lingkungan, bukan untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya hal tersebut. HN mengutarakan pemahamannya mengenai tujuan penanaman tersebut, adalah untuk menghijaukan lingkungan sekolah, bukan mengedukasi warga sekolah. SB pun mengutarakan hal yang sama, bahwa staff ATB mengatakan ini adalah program penghijauan, unsur edukasi dimasukkan sendiri oleh pihak sekolah. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kejelasan mengenai pelaksanaan CSR dan tujuan program tidak mempengaruhi keberhasilan komunikasi pada program penanaman pohon.

E. Continuity & Consistency

Komunikasi adalah proses tanpa akhir, ia membutuhkan repetisi agar bisa masuk. Repetisi dilakukan dengan variasi berperan untuk pembelajaran dan persuasi. ATB terbilang konsisten dalam melaksanakan program penanaman pohon setiap tahunnya, karena sejak tahun 2011 hingga 2016 tidak pernah absen melaksanakan program ini. Komunikasi yang dilakukan berulang-ulang oleh ATB membuat hampir sebagian besar masyarakat Kota Batam tahu bahwa ATB mengadakan program penanaman pohon. Sejak awal dilaksanakannya program hingga saat ini, ATB selalu mengkomunikasikannya dengan berbagai cara. Cara- cara ATB dalam mengkomunikasikan program ini akan dibahas pada bagian Channels (saluran) beriktunya.

Selain kontinuitas dan konsistensi mengenai program yang dijalankan, hal yang perlu diperhatikan adalah kontinuitas/keberlanjutan komunikasi dengan penerima program itu sendiri. Komunikasi antara penyelenggara CSR dan penerima seharusnya terjalin baik pada pra maupun pasca pelaksanaan. Komunikasi sesudah penanaman berguna selain untuk memelihara hubungan, juga penting untuk evaluasi. Evaluasi dapat memantau sejauh mana ketercapaian tujuan dari program tersebut dan mengetahui apakah terdapat penyimpangan atau kekurangan yang perlu diperbaiki.

Namun pada kenyataannya, komunikasi yang dilaksanakan oleh ATB hanya terjadi sebelum (pra) dan saat pelaksanaan penanaman pohon. HN dan SB yang sekolahnya menjadi beneficiaries penanaman mengatakan setelah

penanaman, belum pernah terjadi komunikasi lagi menyangkut program tersebut. Komunikasi antara ATB dan beneficiaries memang tetap terjalin, namun bukan mengenai program penanaman pohon. Padahal, melalui komunikasi yang berlanjut ATB dapat menunjukkan konsistensinya dalam mengedukasi masyarakat dan memelihara lingkungan. Namun, jika pada kenyataannya komunikasi hanya dilaksanakan sebelum dan saat penanaman, hal ini menunjukkan tidak adanya keberlanjutan/kontinuitas komunikasi dari penyelenggara dan dapat mengurangi konsistensi di mata penerima. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kontinuitas dan konsistensi CSR yang dilaksanakan oleh ATB tidak mempengaruhi keberhasilan komunikasi pada program penanaman pohon.

F. Channels

Dalam menyalurkan komunikasi terkait program penanaman pohon, saluran utama yang paling sering dipakai adalah tatap muka dan telepon/pesan singkat. ATB juga mempublikasikan dan menulisa artikel di website dan semua page media sosialnya (facebook, twitter, instagram). Pemberitaan di media cetak, media radio, serta media televisi lokal pun dilakukan. ATB bahkan meluncurkan aplikasi smartphone yang dapat diunduh secara gratis oleh pelanggan untuk mengetahui berita dan berbagai perkembangan tak hanya soal penanaman pohon melainkan juga berita seputar ATB lainnya.

Saluran komunikasi memiliki peran yang penting dalam komunikasi, karena masing-masing saluran memiliki efek yang berbeda kepada setiap pelaku Saluran komunikasi memiliki peran yang penting dalam komunikasi, karena masing-masing saluran memiliki efek yang berbeda kepada setiap pelaku

“Biasa lah lewat email gitu, mereka kalau kirim email sih telfon dulu biar kita notice mungkin ya. Kalau publikasinya ya di koran kita, koran lain

juga ada sih. Karena kan kayak orang-orang penting itu gak semuanya mentah-mentah ngambil dari internet, kadang orang kayak gitu malas dia kan banyak hoax lah iklan lah jadi baca koran. Saya rasa pejabat-pejabat perusahaan yang tinggi-tinggi tuh masih banyak lah yang baca koran, buktinya hampir seluruh perusahaan langganan koran walaupun ada internet. Tapi ya itu di internet pun ada publikasinya lebih murah kan

siapa aja bisa buat.” (RF, 34 tahun, didokumentasikan Januari 2017) “Oh kita kemaren ketemuan, ada briefing gitu. Pas udah selesai acaranya

sih ya di facebook di sosmed ATB kan ada beritanya. Ada kok saya lihat, tapi kalo saya ya pertama kali tau dari aplikasi ATB, tiap hari buka

smartphone kan soalnya.” (HL. 30 tahun, didokumentasikan Januari 2017)

“Ya kalau komunikasi sih biasa, seperti yang saya bilang itu tadi, by phone aja kebanyakan. Kalau mereka ada kegiatan-kegiatan apa dikirim

undangan terus di telfon. Tapi paling bagusnya tu ya ketemu sebulan sekali itu lah, karena ketemu langsung kan lebih enak juga ngomongnya.”

(TW, 56 tahun, didokumentasikan Januari, 2017) “Lewat telfon sih kemaren, emang lebih bagusnya gitu daripada sms kan

kadang kalau sms bisa jadi gak kebaca. Habis itu ya ketemu lah mereka ke sini. Publikasinya sih gak tau sih kalau di koran ya saya rasa ada lah ya dek, tapi kan gak selalu sempat baca koran juga, paling lihat di facebook

aja sih ibu.” (HN, 35 tahun, didokumentasikan Januari 2017) “Mereka langsung datang ke sini, ya ketemu tatap muka gitu lah. Besok

nya pun datang langsung juga ndak ada kita lewat apa yang lain itu.” (SB, 52 tahun, didokumentasikan Januari 2017)

Dari beberapa pernyataan di atas, tidak ada narasumber yang menyebutkan peran saluran komunikasi media radio dan televisi. Hampir semua narasumber meyatakan bahwa saluran komunikasi utama adalah tatap muka diikuti dengan telepon, media sosial, dan koran. Dipakainya beberapa saluran ini menunjukkan bahwa saluran komunikasi yang dipilih oleh ATB sudah tepat sesuai dengan Dari beberapa pernyataan di atas, tidak ada narasumber yang menyebutkan peran saluran komunikasi media radio dan televisi. Hampir semua narasumber meyatakan bahwa saluran komunikasi utama adalah tatap muka diikuti dengan telepon, media sosial, dan koran. Dipakainya beberapa saluran ini menunjukkan bahwa saluran komunikasi yang dipilih oleh ATB sudah tepat sesuai dengan

G. Capability of the Audience

Komunikasi harus mempertimbangkan kemampuan audien. Komunikasi akan efektif apabila tidak banyak membebani penerima untuk memahaminya. Kemampuan audiens untuk memahami komunikasi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti waktu yang mereka miliki, kebiasaan, kemampuan membaca, dan pengetahuan yang telah mereka punyai. Masyarakat yang tidak pernah terpapar dengan dunia bisnis perusahaan kemungkinan akan merasa berat untuk memahami apa itu CSR. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah juga kemungkinan akan merasa berat untuk memahami bagaimana harus menjaga hutan dan lingkungan demi ketersediaan air di Kota Batam. Kebiasaan masyarakat yang beternak hewan liar dan berkebun di sekitar catchment area akan sulit menerima pengkomunikasian program ini. Latar belakang kemampuan masyarakat yang seperti inilah yang akan menghambat keberhasilan komunikasi dalam pelaksanaan CSR.

Namun kebiasaan masyarakat yang memang menyukai alam akan mendukung komunikasi pelaksanaan CSR. Masyarakat yang senang bersepeda atau berjalan kaki kemungkinan akan dengan senang hati memelihara lingkungan, karena kedekatannya dengan alam. Masyarakat dengan kemampuan membaca dan literasi tinggi kemungkinan memahami berbagai isu lingkungan dan ikut menjaga Namun kebiasaan masyarakat yang memang menyukai alam akan mendukung komunikasi pelaksanaan CSR. Masyarakat yang senang bersepeda atau berjalan kaki kemungkinan akan dengan senang hati memelihara lingkungan, karena kedekatannya dengan alam. Masyarakat dengan kemampuan membaca dan literasi tinggi kemungkinan memahami berbagai isu lingkungan dan ikut menjaga

Audiens program penanaman pohon adalah penerima (beneficiaries) yang terdiri dari warga sekolah, warga sekitar perumahan dan fasilitas umum, dan komunitas. Warga sekolah yang terdidik cenderung akan menerima program ini dengan baik, begitu pula dengan komunitas yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sedangkan warga sekitar perumahan dan fasilitas umum yang sulit digeneralisasi kebiasaan, pengetahuan, atau latar belakang lainnya, sulit diprediksi apakah menerima program ini dengan baik atau malah mengabaikan. Berdasarkan penuturan dari pihak ATB, penanaman pohon yang dilakukan di fasilitas umum kebanyakan tidak bertahan lama karena ditimpangi dengan kepentingan orang lain yang tidak sejalan dengan maksud ATB. Misalnya suatu daerah di Kelurahan Melcem, Kecamatan Batu Ampar, pohon yang ditanam di lingkungan tersebut habis dimakan oleh kambing-kambing yang diternak oleh warga sekitar.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan warga sekolah dan komunitas dalam menerima atau memahami program penanaman pohon dapat mendukung keberhasilan komunikasi. Sedangkan kemampuan warga di sekitar fasilitas umum yang sulit diprediksi dalam menerima atau memahami program ini, dapat menghambat keberhasilan komunikasi. Maka secara keseluruhan faktor capability of the audience tidak terlalu mempengaruhi keberhasilan komunikasi dalam program penanaman pohon.