ANTARA BERHARAP DAN CEMAS

ANTARA BERHARAP DAN CEMAS

Dari Anas ra bahwa suatu ketika Rasulullah saw menjenguk seorang pemuda yang tengah menunggu ajal. Rasulullah saw

be rkata, ―Apa yang kamu rasakan?‖ Pemuda itu menjawab, ―Aku selalu berharap kepada Allah

dan cemas akan dosa- dosaku.‖ Rasulullah saw berkata, ―Tidaklah bertemu (harapan dan

ketakutan) dalam hati seorang hamba pada keadaan seperti ini kecuali Allah akan mengabulkan harapannya, dan Allah

akan menenangkan hatinya dari rasa takut.‖ 76

74 Ditakhrij oleh Ahmad (3/230), Al- Baihaqi dalam Sya‘bul Iman (320, 347),Abu Ya‘la (4210), Ibnu Abi ad-Dunya dalam

Husnu az-Zhan billahi (110) sanadnya dhaif.

75 Ihya Ulum ad-Din (4/26)

76 HR. Ahmad dalam az-Zuhd (h 25), at-Tirmidzi (983), an- Nasai dalam al-Kubra (10901), Ibnu Majah (4261), al-Baihaqi

dalam Sya‘bul Iman (1001), Ibnu Abi ad-Dunya dalam Husnu az-Zhan bil lahi (31), Abu Ya‘la (3303), sanadnya baik

sebagaimana yang disebut dalam at-Targhib, karya al- Mundziri (5125)

Dari Said al-Musayyab bahwa Umar bin Khattab suatu ketika

Rasulullah saw menjenguknya lalu berkata, ―Apa yang kamu rasakan Ya Umar?‖

Umar menjawab, ―Aku berharap akan tetapi aku juga merasa takut.‖ Lalu Rasulullah saw berkata, ―Sekali-kali tidaklah

antara harapan dan rasa takut itu bertemu dalam hati seorang hamba kecuali Allah akan mengabulkan harapannya dan

menenangkannya dari rasa takut.‖ 77 Dari Aisyah Ummul mukminin ra, ia berkata, ―Jubaib bin

Haritrs ata ng kepada Nabi lalu berkata, ―Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ini seorang lelaki yang banyak dosa.‖

Rasulullah saw menjawab, ―Bertaubatlah kepad Allah, wahai Jubaib!‖ Jubaib menjawab, ―Ya Rasulullah, Aku telah bertaubat, namun aku mengulanginya lagi.‖ Rasulullah saw berkata lagi, ―Setiap kali engkau berbuat dosa, maka bertaubatlah!‖ Jubaib berkata lagi, ―Ya Rasul, jadi dosaku akan semakin bertambah.‖ Rasulullah menjawab, ―Ampunan

Allah swt jauh lebih banyak daripada dosa-dosa kamu, wahai Jubaib!‖ 78

Berkaitan dengan tema ini, sebelumnya telah kami uraikan sebuah hadits yang mengisahkan Watsilah bin Asyqa‘,

sebagaimana pula telah kami jelaskan dalam hadits Jabir bin Abdullah mengenai seseorang yang mengadukan dosa-dosanya kepada Rasulullah saw. Ketika itu Rasulullah saw berkata,

―Katakan: Ya Allah sungguh ampunan-Mu amatlah luas daripada dosa-dosaku. Dan rahmat-Mu lebih aku harapkan daripada amalanku se ndiri.‖

77 Sya‘bul Iman (1003)

78 Al-Is habah (1086), Sya‘bul Iman (7091), at-Tawbah, karya

Ibnu Asakir (8), Jamial-Ulum wa al-Hikam (h 164)

Orang yang beriman selalu berada dalam kondisi cemas dan berharap. Dan setiap orang selalu berada antara derita dan keleluasaan. Rasa takut melahirkan sikap bagi pelakunya apa yang tidak muncul dari rasa berharap. Rasa takut itu akan memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas antara orang yang gagal (binasa) dan yang berhasil (selamat). Islam sendiri datang dengan membawa pesan-pesan kebinasaan serta keselamatan. Nabi Muhammad adalah seorang yang penuh harap lagi cemas, gembira dan waspada. Sesungguhnya Nabi telah menjelaskan dua perkara tersebut dengan sangat jelas. Akan tetapi syetan selalu mengelabuhi pandangan manusia dengan dalih ampunan serta ihsan. Padahal nafsu jahat mereka selalu mengajak kepada keburukan dengan janji-janji surga. Iblis mera suki manusia melalui pengertian ‗harapan‘ (raja‟) dengan maksud mencelakakan mereka. Orang-orang yang telah

dirasuki bisikan iblis akan dengan mudah berdalih, ―Tuhan akan mengampuni kami sebagaimana dikatakan kepada umat sebelum kami.‖ Apakah mereka tidak menyadari betapa murka Tuhan amatlah pedih siksa-Nya. Apakah mereka lupa bahwa

kehidupan akhirat terbagi menjadi dua; taman surga dan lembah neraka? Dan apakah mereka tidak ingat bahwa manusia ini selalu berada antara dua rasa takut dan harap? Entah akan kembali menuju surga karena pertolongan Allah swt, atau terjerumus ke neraka karena menerima keadilan Tuhan?

Siapa saja yang merasa cukup hanya dengan berharap tanpa mengenyam rasa takut kepada Allah, maka ia tidak akan mengetahui akibat dari perbuatannya. Sesungguhnya orang mukmin yang selamat dan berhasil adalah mereka yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, hari kiamat, berbuat kebajikan Siapa saja yang merasa cukup hanya dengan berharap tanpa mengenyam rasa takut kepada Allah, maka ia tidak akan mengetahui akibat dari perbuatannya. Sesungguhnya orang mukmin yang selamat dan berhasil adalah mereka yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, hari kiamat, berbuat kebajikan

Abdul Wahid bin Zaid berkata, ―Aku berkata kepada Zaid An- Numairi, ―Sampai dimanakah puncak rasa takut?‖ Dia

menjawab, ―Memuliakan Allah dari tempat keburukan.‖ Aku berkata lagi, ―Lalu apa puncak harapan?‖ Dia menjawab, ―Selalu merenungi Allah dalam keadaan apapun.‖ 80

Sedangkan Dzu an-Nun al-Mashri pernah mengatakan, ―Seyogiyanya rasa takut—dalam hati orang beriman—itu lebih

terlihat jelas daripada harapannya. Apabila harapan itu

lebih besar maka hati akan menjadi kacau. 81

Adapun Abdullah Bin Taheer, ia pernah berkata, ―Ada segolongan umat memohon kepada Allah melalui perbuatan,

adapula yang memohon kepada-Nya melalui rahmat, maka bagaimanakah antara orang yang memohon kepada Tuhan melalui Tuhannya dan antara orangyang memohon kepada Allah melalui amalannya. Padahal tidaklah antara orang yang berharap kepada Tuhannya melalui amalannya sama seperti orang yang berharap kepada Tuhannya melalui diri-Nya.

Masih menurut Abdullah bin Taheer, ia berkata, ―Seberapa besar ketaatan kita hingga dapat menerima nikmat-Nya? Dan

seberapa kecil dosa-dosa kita hingga dapat memperoleh pengampunan-Nya? Sungguh aku berharap agar dosa-dosa kita dalam ampunan-Nya lebih sedikit daripada ketaatan kita dalam nikmat-Nya. Dengan demikian, tidak ada seorang hamba

yang dosanya dapat mencemari ampunan Tuhan-Nya. 82

79 Yaqdhah Awla al- I‘tibar, karya al-Qanuji (h 19-20)

80 Husnu az-Zhan billahi (120)

81 Al- Ihya‘ (4/162)

82 Hilyatul Awliya (10/352)

TIDAK ADA YANG AMAN DARI MURKA ALLAH Penegasan-penegasan yang menjelaskan bahwa tidak ada yang aman dari murka serta adzab Allah tidaklah terbatas. Dan semua itu memiliki arti bahwa ketakutan (rasa takut) merupakan sikap terpuji. Karena penghormatan sesuatu dapat ditunjukkan dengan cara memandang penting akan lawannya yang menafikannya. Lawan daripada ketakutan adalah rasa aman, sebagaimana lawan dari harapan adalah putus asa. Sebagaimana

rendah diri menunjukkan betapa besarnya keutamaan berharap. Demikian pula penghormatan akan rasa aman menunjukkan betapa penting dan besar keutamaan bersikap takut, yang berlawanan dengan rasa aman tersebut. Karena keduanya merupakan dua hal yang saling menetapi. Sehingga dengan demikian, setiap orang yang mengharapkan kasih sayang, maka dengan sendirinya ia merasa takut akan akan ketiadaannya. Jadi jika ia tidak merasa khawatir atau takut tidak memperoleh kasih sayang tersebut, itu artinya ia tidak mengharapkannya. Jelaslah bahwa cemas (takut, khawatir) dan berharap merupakan dua hal yang saling menetapi. Dan mustahil menafikan yang satu dari yang lain. Allah berfirman:

―Dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yan 83 g khusu‟ kepada Kami.”

“sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan berharap.” 84

Karena itulah orang arab mengibaratkan cemas dengan istilah harap. Allah berfirman, ―mengapa kamu tidak percaya

83 Al-Anbiya : 90

84 As-Sajadah: 16 84 As-Sajadah: 16

disebabkan keduanya merupakan dua hal yang saling menetapi. Jadi orang Arab terbiasa menyebut sesuatu dengan sesuatu yang menetapinya. Bahkan semua keterangan yang menyebutkan keutamaan menangis karena takut kepada Allah, pada dasarnya menunjukkan keutamaan rasa takut itu sendiri. Karena menangis merupakan buah dari rasa takut. Allah berfirman,

―Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak.” 86

“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusu‟.” 87

“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu

melengahkan (nya)?” 88 Seperti itulah gambaran mereka. Orang-orang saleh di

masa lampau selalu membiasakan diri dengan ibadah. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan

mereka.” 89 Mereka cemas akan diri mereka, hingga menghabiskan siang dan malamnya untuk selalu taat kepada

Allah. Mereka telah mencapai puncak takwa, menjaga diri dari syubhat dan syahwat. Namun demikian mereka tetap saja

88 An-Najm: 59-61

89 Al-Mukminun: 60 89 Al-Mukminun: 60

Berbeda dengan generasi sekarang. Orang-orang di zaman sekarang merasa aman, bahagia tanpa rasa cemas sedikitpun. Bersama itu pula mereka gemar melakukan perbuatan maksiat bahkan asyik dengan kehidupan dunia. Mereka berani berpaling dari Allah swt dengan dalih bahwa mereka percaya sepenuhnya akan kemurahan serta rahmat Allah kepada hamba- Nya. Aneh apabila mereka masih saja mengharapkan ampunan dari Allah sementara dalam hati mereka tidak merasa cemas menjalankan perbuatan maksiat, yang berarti menantang Allah swt. Seolah-olah mereka mengklaim bahwa mereka lebih mengetahui kemurahan serta fadhilah Allah yang tidak diketahui oleh para nabi sekalipun, atau para sahabat dan generasi muslim terdahulu. Apabila hal ini dapat mereka peroleh cukup dengan angan-angan, lantas apa yang dapat membuat mereka untuk merasa cemas dan menangis?

Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits marfu‘: Akan datang suatu zaman di mana al-quran dikenakan oleh orang-

orang ibarat pakaian yang menempel di badan. Keadaan mereka selalu merasa senang dan penuh harap tanpa rasa cemas dan takut sedikitpun. Jika ada yang baik dari mereka, maka

mereka mengatakan, ―semoga diterima oleh Allah.‖ Sebaliknya jika ada keburukan dari mereka, maka mereka mengatakan, ―semoga kami diampuni.‖ 90 Riwayat tersebut menggambarkan

betapa orang-orang di zaman sekarang menempatkan sesuatu yang berarti ‗harap‘ pada sesuatu yang seharusnya berarti

cemas. Hal itu tidak lain karena kebodohan mereka akan

90 Menurut al-Iraqi hadits ini ditakhrij oleh Abu Mansur ad- Dailami dalam ‗Musnad al-Firdaus‘ dari Ibnu Abbas melalui

sanad dhaif.

ancaman-ancaman yang ada dalam al-quran. 91 Bagaimana bisa orang mukmin tidak merasa takut sementara Rasulullah saw

pernah menegaskan; ―Surat Hud dan surat al-Waqi‘ah membuat

merinding seluruh rambutku. 92

Allah berfirman, “Apabila matahari digulung,” 93 “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?” 94

Menurut salah seorang ulama bahwa itu adalah karena banyaknya ucapan-ucapan binasa dalam surat Hud, misalnya,

―Ingatlah kebinasaanlah bagi kaum 'Ad (yaitu) kaum Huud

itu. 96 ‖ ―Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” ―Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Madyan sebagaimana

kaum Tsamud telah binasa.” 97 Padahal Nabi mengetahui bahwa sekiranya Allah menghendaki, sekali-kali mereka tidak akan

menyekutukan-Nya. Yang berarti apabila Allah menhendaki niscaya Dia akan memberi petunjuk pada setiap orang.

Dalam surat al- Waqi‘ah dijelaskan, “Tidak seorangpun dapat berdusta tentang kejadiannya. (Kejadian itu)

91 Ihya Ulum ad-Din (3/386 - 387)

92 Diriwayatkan at-Tirmidzi dalam sunan-nya (3297), al-Hakim (2/343) dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi

dalam kitab as-Syamail an- Nabawiyyah (42), Abu Ya‘la (880), at-Thabrani dalam al-kabir (22/123) dari Abi Juhaifah

93 At-Takwiir: 1, yang dimaksud adalah makna keseluruhan surat.

94 An- Naba‘: 1, yang dimaksud adalah makna keseluruhan surat.

95 Hud: 60

96 Hud: 68

97 Hud: 95 97 Hud: 95

Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa segala yang ada telah tercatat, tidak dapat dirubah serta semua peristiw ayang berlalu telah usai. Hingga tiba waktunya hari kiamat. Di mana hari itu adalah hari yang menentukan. Entah Allah akan merendahkan orang-orang yang dahulu berjaya di dunia, atau sebaliknya akan meninggikan orang- orang yang dahulu direndahkan selama di dunia.

Dalam surat at-Takwiir, dijelaskan kejadian hari kiamat yang menakutkan serta pertanda hari telah berakhir.

―Dan apabila neraka Jahim dinyalakan. Dan apabila surga didekatkan. Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang

telah dikerjakannya.‖ 99 Dalam surat an- Naba‘ dijelaskan: “Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat,

pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya

sekiranya dahulu adalah tanah". 100 ―Pada hari, ketika ruh(1550) dan para malaikat berdiri

bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah;

dan ia mengucapkan kata yang benar.” 101

Al-quran sendiri, dari awal hingga akhir, berisi pesan-pesan agar manusia takut kepada Allah swt. Namun hal itu tentu hanya bisa ditangkap oleh orang-orang yang punya

98 Al- Waqi‘ah: 2-3

99 At-Takwiir: 12-14 100 An- Naba‘: 40 101 An- naba‘: 38 99 At-Takwiir: 12-14 100 An- Naba‘: 40 101 An- naba‘: 38

saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” 102 niscaya segala sesuatu lengkap adanya. Jadi ampunan itu dikaitkan

dengan empat syarat yang tiada seorang hambapun sanggup memenuhinya.

Akan halnya dengan para Nabi, terlepas akan nikmat- nikmat yang mereka terima, sesungguhnya ketakutan itu karena mereka tidak merasa aman dari azab Allah. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah

kecuali orang- 103 orang yang merugi.” Pernah diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad bersama Jibril

as menangis karena takut kepada Allah. Lalu Allah berkata kepada mereka, ―Apa yang membuat kalian menangis, padahal

Aku telah menjamin keselamatan kalian?‖ Mereka menjawab, ―Siapa yang bisa aman terhindar dari azab-Mu?‖ 104 Seolah-

olah tatakala keduanya mengetahui bahwa Allah swt Maha Mengetahui yang ghaib, dan bahwa keduanya tidak mengetahui kapan akhir dari semua persoalan, maka mereka belum merasa

aman untuk mengartikan firman Allah ―Aku telah menjamin keselamatan kalian berdua‖, bahwa itu merupakan cobaan,

ujian serta azab terhadap mereka berdua. Tatkala Sufyan ats-Tsaury mendekati mas aakhirnya, ia menangis. Lal u dikatakan kepadanya, ―Wahai Abu Abdullah!

102 Thaha: 82 103 Al- A‘raf: 99 104 Menurut al-Iraqi, hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Syahin

dalam ‗Syarh as-Sunnah‘ dari Umar. Juga diriwayatkan dari Amali Abi Said an-Nuqasy melalui sanad dhaif.

Hendaklah engkau tetap berharap kepada Allah, sesungguhnya ampunan Allah lebih besar daripada dosa- dosamu!‖ Dia balik bertanya, ―Ataukah aku menangis atas dosa-dosaku? Sekiranya

aku tahu bahwa aku mati dengan membawa tauhid, niscaya aku tidak pedulikan Allah menimpakan kepadaku dosa-dosa sebesar

gunung.‖ Diriwayatkan

al- masih, ―Wahai orang-orang hawariyyun! Kalian takut terhadap maksiat, adapun kami para

dari

nabi takut akan kekufuran.‖ Demikianlah bentuk ketakutan orang-orang yang mengerti

serta mendalam pengetahuannya. Mereka adalah orang-orang yang kuat imannya kepada Allah. Lantas bagaimana dengan kita,

serta dangkal pengetahuan? Ada satu hadits diriwayatkan dari Rasulullah, bahwa

orang-orang

yang lemah

iman

be liau pernah berkata, ―Orang mukmin berada di antara dua rasa takut; antara masa yang telah lewat tanpa ia ketahui apa yang akan diperbuat Allah, dan masa yang masih tersisa tanpa ia ketahui apa yang akan ditetapkan Allah. Demi dzat yang aku berada dalam genggaman- Nya! Tiada ‗musta‟tab‟ (tempat yang seseorang rela atau tidak akan tempat itu) setelah kematian, dan tiada pula rumah setelah masa dunia

ini selain surga atau neraka.‖ 105 Hadits tersebut diriwayatkan dari perkataan Hasan al-

Bashri, tatkala beliau mengatakan, ―Orang mukmin tidak melewati pagi harinya melainkan ia merasa takut, tidak

layak baginya selain merasa takut. Tidak pula melewati masa sorenya melainkan ia merasa takut. Orang beriman berada di

105 HR. al- Baihaqi dala Sya‘bul Iman (10581) dari riwayat al-hasan dari seorang sahabat Nabi. Disebutkan pula oleh Ibnu Mubarak dalam ‗az-Zuhd‘ (304) 105 HR. al- Baihaqi dala Sya‘bul Iman (10581) dari riwayat al-hasan dari seorang sahabat Nabi. Disebutkan pula oleh Ibnu Mubarak dalam ‗az-Zuhd‘ (304)

WASPADALAH DARI KELALAIAN Berwaspadalah anda dari kelalaian. Berhati-hatilah dari

kemungkinan adanya dosa di segala hal yang anda perbuat. Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang telah ditetapkan sebagai penghuni surga, seperti para pahlawan perang badar, atau juga setiap orang kabari Rasulullah saw sebagai penghuni surga atau sebagai orang yang diampuni Allah, mereka sama sekali tidak memahaminya sebagai kebebasan melakukan dosa atau maksiat. Demikian pula mereka tidak lantas merasa aman meninggalkan kewajiban. Justru mereka semakin gigih dan selalu waspada dari kelalaian daripada sebelum mereka memperoleh berita dari Rasulullah. Abu Bakar As-Siddik adalah sosok mukmin yang sangat waspada serta berhati-hati dalam menjaga kebersihan jiwanya, demikian halnya dengan Umar bin Khattab. Para sahabat Rasulullah yang mulia itu, sama sekali tidak memahami pemberitaan yang menjamin mereka masuk surga untuk bebas berbuat maksiat sesuka hati. Justru mereka memandangnya sebagai berita yang membawa konsekunsi tertentu, yang harus dijalani sepanjang hidup. Mereka juga memahami berita tersebut sebagai jaminan yang harus disertai dengan pantangan-pantangan tertentu. Sedikitpun tidak tersirat dalam benak mereka bahwa berita

106 Hilyah al-Awliya (2/157,158) 106 Hilyah al-Awliya (2/157,158)

Apabila kelalaian seorang mukmin tercabut dari hatinya, entah dengan mengamalkan suatu kebaikan yang dapat menghalaunya, sehingga hatinya dapat menerima peringatan Allah, atau dengan cara membangkitkan semangat yang kuat melalui daya berfikir yang dapat dijadikan argumen terhadap hal-hal yang menerima kaidah nalar, maka ia dapat menghalau kelalaian itu dengan argumentasinya, dan selanjutnya ia dapat melafalkan takbir yang menyinarkan istana surga.

Tidakkah wahai jiwa sekiranya engkau bahagiakan aku Dengan berlari darimu di kegelapan malam-malamku Agar engkau gapai selamat di hari kiamat nanti Dengan kehidupan yang harum di taman surga itu

Pada tahap berikutnya, pemikiran itu meninggalkan cahaya. Dengan cahaya tersebut, ia dapat melihat apa-apa yang telah disediakan untuknya, serta apa-apa yang akan ditemuinya sejak kematiannya sampai memasuki akhirat. Dengan itu pula ia dapat melihat betapa cepat dunia ini berakhir, betapa dunia ini tidak sanggup memenuhi hasrat penghuninya, betapa pula dunia ini telah membunuh harapan orang-orang yang merindunya. Lebih dari semua itu, ia dapat melihat betapa dunia ini telah menimpakan berbagai macam petaka kepada mereka. Dengan semua kesadaran ini, tekad

orang mukmin tadi segera bangkit dengan mengucap, ―Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku

atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap

107 Lihat al-Fawaid, karya Ibnu al-Qayyim al-jawziyyah (h 17)

Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok- 108 olokkan (agama Allah).”

Selanjutnya, ia menyambut sisa umurnya tida seberapa itu untuk menemukan kembali apa yang telah hilang darinya. Dia berharap

umurnya untuk menghidupkan kembali apa yang telah mati. Dengan itu pula ia ingin segera mengambil kesempatan yang apabila terlewatkan, maka hilanglah seluruh kebaikannya. Pada cahaya kesadarannya itu, ia melihat tumpukan nikmat yang teramat banyak dari Tuhan, sejak ia masih berada dalam rahim hingga mencapai masanya ini. Selama itu pula ia melihat dirinya tidak pernah lepas dari nikmat-nikmat itu, baik lahir maupun batin, siang maupun malam, saat tertidur maupun terjaga, baik yang tampak mata maupun yang tersembunyi.

bersungguh-sungguh untuk menghitung semua nikmat itu, niscaya ia tidak akan sanggup melakukannya. Cukuplah baginya yang paling sederhana dihitung adalah berupa nikmat bernafas. Nikmat Allah yang diberikan kepadanya dalam sehari saja mencapai duapuluh empat ribu nikmat. Tanpa semua itu, apa yang dapat anda pikirkan? Dan masih dengan cahaya tadi, ia melihat betapa dirinya teramat lemah untuk sekedar menghitung berapa banyak nikmat-nikmat itu. Lebih dari itu, ia tidak kuasa untuk melaksanakan hak-hak dari semua nikmat yang telah diterimanya. Andaikata Sang Pemberi nikmat itu (Tuhan) memintanya untuk memberi hak-hak atas nikmat-nikmat tadi, niscaya seluruh amalannya habis untuk memenuhi hak dari satu nikmat saja.

Andaikata

ia

108 Az-Zumar: 56

Berangkat dari kenyataan seperti ini, tiada lagi harapan darinya untuk meraih sukses kecuali hanya berkat ampunan dan kemurahan Allah swt. Dia juga melihat, sekiranya ia menjalani amalan-amalan yang baik dari jin dan manusia, niscaya ia akan memandang remeh dibanding keagungan daripada Allah swt. Karena itu ia tidak berhak menatap kebesaran wajah Allah swt serta kemegahan kekuasaan-Nya. Itu andaikata amalan-amalan tadi berasal dari dirinya. Lantas bagaimana, sedangkan semua amalan baik tadi tiada lain hanyalah berkat karunia serta kemurahan Allah swt. Di mana dengan kemurahan itu, Allah memudahkan, membantu, menyiapkan, menumbuhkan keinginan untuk berbuat, juga Allah lah yang pada hakekatnya menjadikan amalan itu terwujud. Jika saja Allah tidak melakukan semua itu, tidak akan pernah sanggup hamba tadi menjalankan amalan-amalan yang dimaksud. Atas dasar itu, maka ia tidak melihat amalan- amalannya sebagai hasil upayanya sendiri. Ia menyadari bahwa Allah tidak akan menerima amalan yang yang dilihat hamba-Nya berasal dari dirinya sendiri, sampai ia meyakini adanya taufik dari Allah terhadapnya. Ia yakin bahwa dirinya hanyalah penyandang keburukan, di mana semua nikmat semata-mata berasal dari Allah swt, sebagai pemberian dan kemurahan untuknya. Ia memandang Allah sebagai Tuhannya dan satu-satunya sesembahan yang menyandang semua kebaikan. Sementara kepada dirinya sendiri, ia pandang sebagai penyandang keburukan. Dan ini merupakan dasar dari semua amalan saleh, baik lahir maupun batin, yang pada akhirnya akan terangkat dalam catatan golongan orang-orang yang selamat. Kemudian dalam sinar kesadaran itu, ia melihat lagi kilatan cahaya

amalan yang diperbuatnya. Jika semua keburukan itu kemudian dileburkan

yang

menyingkap

cacat-cacat

pada apa yang ia saksikan sebelumnya, berupa karunia, kemurahan serta nikmat Allah swt kepadanya, maka tidak ada kebaikan sedikitpun yang tersisa darinya untuk memenuhi hak akan nikmat yang telah diterima dari sang Maha Kuasa lagi Maha Pemurah. Tidak ada lagi kekuatannya yang tersisa untuk sekedar menegadahkan kepala dan menenteramkan hatinya. Pada kondisi seperti ini, jiwanya menjadi runtuh luluh lantah, sementara seluruh anggota badannya tiada daya. Ia merangkak menuju Tuhannya dengan kepala tertunduk, tak kuasa menahan bebannya yang teramat berat. Bagaimana ia menyaksikan nikmat Allah yang tak terhingga. Sementara di sisi lain ia menyaksikan keburukannya teramat panjang, amalannya teramat buruk dan dosanya teramat banyak. Satu-satunya harapan yang tersis a hanyalah berucap, ―Aku kembali ke hadapan-Mu Ya Allah, bersama semua nikmat yang Kau berikan kepadaku. Aku kembali kepada-Mu Ya Allah bersama semua dosa yang kuperbuat. Ampunilah aku, wahai Tuhan! Sesungguhnya tiada

yang mengampuni dosa-dosa melainkan En 109 gkau.‖

JANGAN MENJERUMUSKAN DIRI SENDIRI Seseorang

dari perbuatan menjerumuskan diri sendiri. Seorang hamba seharusnya mengetahui bahwa maksiat dan dosa adalah bagian dari sebab buruk untuk kehidupan dunia dan diakhiratnya kelak. Sebaliknya seorang hamba haruslah membebani dirinya dengan tawakkal, memohon ampun kepada Allah, bertaubat serta mengamalkan

mesti

berhati-hati

memperdalam pengetahuan, serta tidak lupa selalu berpegang teguh pada ketentuan Allah.

109 Ar-Ruh, karya Ibnu al-Qayyim (h 224)

Kebanyakan orang mengira jika mereka berbuat sesuatu apapun, lalu mengucapkan istighfar, mereka menyangka dosa- dosanya terhapus. Yang demikian itu mereka dasarkan dari

ucapan Rasulullah saw berikut, ―Barangsiapa mengucapkan subhanallah wa bihamdihi seratus kali dalam sehari, niscaya

hilanglah dosa- dosanya meskipun seluas samudera.‖ 110 Selain itu, mereka juga mendasarkan pandangannya pada hadits berikut, ―Seorang hamba telah berbuat dosa, lalu ia

berkata, ―Tuhan aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.‖ Maka Allah mengampuni dosanya. Kemudian Tuhan

membiarkannya. Lalu ia melakukan dosa lagi, lalu berkata, ―Tuhan aku telah berbuat dosa, maka ampunilah aku.‖ Lalu

Allah berkata, ―Hamba-Ku mengerti bahwa mereka memiliki Tuhan yang mengampuni dosa-dosa serta menimpakan azab

karenanya. Telah Aku ampuni hamba-Ku maka berbuatlah apa yang dikehendakinya.‖ 111

Pandangan sekelompok orang ini memang disandarkan pada pemahaman tekstual terhadap hadits Rasulullah saw. Apabila mereka dicela atas kesalahan dan dosa-dosanya, segera mereka membacakan kepadamu ayat-ayat beserta hadits yang menggambarkan keluasan rahmat serta ampunan Allah swt. Kebodohan orang-orang semacam ini tidak lain merupakan

perbuatan aneh dan mengada-ada. 112

***