Strategi Pasif Strategi Mempertahankan Hidup Oleh Buruh Harian Kemenyan Di Desa Lumban

87

5.2.2 Strategi Pasif

Dalam hal ini data yang akan disajikan merupakan strategi buruh harian kemenyan memanfaatkan sumber-sumber yang ada dan menmanfaatkannya seoptimal mungkin. 8. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Makan Nasi Satu Hari Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti tentang rata-rata frekuensi buruh harian kemenyan dan keluarga makan nasi dalam satu haridiketahuibahwa seluruh responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini menjawab 3 kali makan dalam sehari yaitu 36 orang atau 100 responden. Berhubungan dengan rata-rata frekuensi makan nasi dalam satu hari, keluarga buruh harian kemenyan sama sekali tidak bermasalah, karena menurut mereka kalau tidak makan, tidak akan bisa melakukan aktivitas, terlepas dari jenis lauk yang akan dikomsumsi. Karena nasi merupakan sumber utama energi. Berhubungan dengan kebiasaan masyarakat indonesia, khususnya masyarakat batak toba yang memprioritaskan makan nasi daripada makan yang lain, yang bisa kita kaitkan dengan filosopi suku batak, “Indahan do Raja Ni Saluhut Sipanganon” yang berarti nasimerupakan raja dari segala jenis makanan. 9. Distribusi Responden Berdasarkan Menu Manakan Lauk Yang Paling Sering Disajikan Dalam Keluarga Universitas Sumatera Utara 88 Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Menu Manakan Lauk Yang Paling Sering Disajikan Dalam Keluarga No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 Ikan Asin Ikan Sungai Tahu dan Tempe 10 2 24 27,8 5,6 66,6 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.14 diketahui bahwa sebanyak 24 orang atau 66,6 responden dengan menu makanan lauk yang paling sering disajikan yaitu tahu dan tempe, sebanyak 10 orang atau 27,8 responden dengan menu yang paling sering ikan asin, dan sebanyak 2 orang atau 5,6 responden dengan menu lauk ikan sungai. Dilihat dari data tersebut, mayoritas responden dalam penelitian ini menu makanannya lauk yang paling sering disajikan dalam keluarganya adalah ikan asin, ditambah dengan nasi dan sayur. Keseimbangan gizi yang terdapat dalam menu tersebut belum seutuhnya tercukupi. Makanan seimbang seharusnya mengandung karbohidrat, protein, vitamin, mineral, lemak dan serat. Karbohidrat telah didapat dari nasi, protein didapat dari tahu dan tempe, vitamin, mineral, dan serat di dapat dari sayur-sayuran. Letak permasalahannya ada pada pemenuhan vitamin, mineral dan serat, Jika dilihat dari data di atas pemenuhan ketiganya hanya diperoleh dari sayur-sayuran, tidak terdapat buah- buahan. Hal ini dikarenakan minimnya pendapatan sehingga untuk bertahan dan Universitas Sumatera Utara 89 melangsungkan hidup buruh dan keluarganya mengurangi pengeluaran termasuk pengeluaran pangan. 10. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Keluarga Makan Telur Dalam Seminggu Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.15 diketahui bahwa sebanyak 22 orang atau 61,1 responden yang makan telur 2 kali dalam seminggu , dan sebnyak 11 orang atau 30,6 responden yang makan telur1 kali dalam seminggu, dan sebanyak 3 orang atau 8,3 responden yang tidak makan telur dalam seminggu. Dilihat dari data tersebut, mayoritas responden dalam penelitian ini makan telur 2 kali dalam seminggu. Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Keluarga Makan Telur Dalam Seminggu No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 Tidak Pernah 1 kali 2 kali 3 11 22 8,3 30,6 61,1 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Telur merupakan salah satu sumber protein, ditambah dengan tahu dan tempe sebagai lauk yang paling sering dikomsumsi oleh keluarga buruh harian kemenyan. Kebutuhan akan protein sepertinya sudah mencukupi dalam keluarga buruh harian ini. Alasan keluarga buruh harian kemenyan lebih memilih membeli telur, tahu dan tempe sebagai lauk yang paling sering dikomsumsi sehari-hari adalah karena Universitas Sumatera Utara 90 harga ian lebih mahal. Selain itu tempat membeli ikan tidak bisa dijangkau dengan berjalan kaki, untuk mengeluaran ongkos hanya membeli ikan mereka sudah merasa dirugikan. Jadi mereka memutuskan membeli dan mengomsumsi ikan hanya pada saat ada pekan. 11. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Keluarga Makan Daging Dalam Seminggu Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.16 diketahui bahwa sebanyak 21 orang atau 58,3 responden tidak makan daging dalam seminggu, sebanyak 15 orang atau 41,7 responden 1 kali makan daging dalam seminggu. Dilihat dari data tersebut, mayoritas responden dalam penelitian ini tidak pernah makan daging dalam seminggu. Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Keluarga Makan Daging Dalam Seminggu No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 Tidak Pernah 1 Kali 21 15 58,3 41,7 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Daging juga merupakan sumber protein yang sangat tinggi, sumber nutrisi seperti selenium, zat besi, seng, vitamin A, B, D, asam amino esensial yang dapat membantu untuk meningkatkan kesehatan secara keseluruhan, bermanaat juga mendukung sistem kerja saraf pusat yang juga mempengaruhi kesehatan mental. Universitas Sumatera Utara 91 Dari sekian banyak manfaat daging tersebut, maka penting untuk dikomsumsi oleh manusia dengan porsi yang seimbang sehingga tidak berdampak buruk bagi kesehatan. Untuk mendapatkan daging tersebut, mereka harus membayar lebih mahal, dengan pendapatan yang minim buruh harian kemenyan harus mengurung niat untuk mengomsumsi jenis makanan tersebut. Keluarga buruh harian kemenyan sering mengomsumsi daging pada saat pesta-pesta tertentu, mereka akan menyisihkan sebagian dari jatah mereka untuk bisa dibawa pulang dan dimakan bersama-sama dengan keluarganya. Itulah cara mereka untuk bisa menikmati daging sehari-harinya. 12. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Minum Susu Dalam Seminggu Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Minum Susu Dalam Seminggu No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 Tidak Pernah 1 Kali 30 6 83,3 16,7 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.17 diketahui bahwa sebanyak 30 orang atau 83,3 responden yang tidak minum susu dalam seminggu dan sebayak 6 orang atau 16,7 responden yang minum susu 1 kali dalam seminggu. Dilihat dari data tersebut, mayoritas responden dalam penelitian ini tidak pernah minum susu dalam seminggu. Universitas Sumatera Utara 92 Susu merupakan sumber kalsium, yang penting untuk kesehatan tulang dan gigi, mengurang stres dan menyehatkan tubuh karena memiliki sifat menurunkan tekanan darah tinggi dan resiko stroke. Pendapatan yang minim tidak memungkinkan keluarga buruh harian kemenyan untuk mengomsumsi susu, mengingat masih banyak keperluan yang lain yang harus diprioritaskan, seperti biaya sekolah anak. Bagi mereka susu bukanlah hal penting, yang penting adalah makan nasi yang cukup untuk tetap sehat. 13. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Makan Buah Dalam Seminggu Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Makan Buah Dalam Seminggu No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 1 Kali 2 Kali 7 29 19,4 80,6 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.18 diketahui bahwa sebanyak 29 orang atau 80,6 responden makan buah 2 kali dalam seminggu dan sebanyak 7 orang atau 19,4responden yang makan buah 1 kali dalam seminggu. Dilihat dari data tersebut, mayoritas responden dalam penelitian makan buah 2 kali dalam seminggu. Mengomsumsi buah akan memelihara kesehatan karena banyak menandung gizi, dan dapat meningkatkan energi dan kebutuhan vitamin pada Universitas Sumatera Utara 93 tubuh manusia, memenuhi kebutuhan air, sumber antioxidan, mencegah penyakit tertentu, sebagai salah satu sumber serat yang baik bagi kesehatan tubuh kita. Mayoritas masyarakat Desa Lumban Tobing khususnya buruh harian kemenyan tidak memiliki sumber buah dari hasil tanaman sendiri, mereka mendapatkan buah hanya ketika membeli di pasar tradisional, tidak jarang juga mereka memita kepada tetangga atau kerabat terdekat mereka. 14. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Buah Yang Dikomsumsi Keluarga Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.19 diketahui bahwa sebanyak 23 orang atau 63,9 yang membeli buah untuk dikomsumsi, sebanyak 8 orang atau 22,2 responden yang menanam sendiri buah untuk dikomsumsi, dan sebanyak 5 orang atau 13,9 responden yang meminta dari tetangga atau keluarga buah untuk dikomsumsi. Dilihat dari data tersebut, mayoritas responden dalam penelitian ini mendapatkan buah untuk dikomsumsi dari hasil membeli. Tabel 5.19 Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Buah Yang Dikomsumsi Keluarga No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 Dibeli Ditanam Sendiri Diminta dari Tetangga atau Keluarga 23 8 5 63,9 22,2 13,9 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Universitas Sumatera Utara 94 Menggunakan pekarangan rumah untuk menanam tanaman yang bisa dikomsumsi sehari-harinya merupakan alternatif penggunaan lahan kosong di selain bisa membantu kita mengurangi pengeluaran dan mempersingkat waktu dalam melengkapi kebutuhan di rumah. Masyarakat desa mempunyai hubungan yang lebih erat dibandingkan dengan masyarakat kota. Menurut Soekanto 1994 sistem kehidupannya biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan, semsntara menurut Pudjiwati 1985 menjelaskan ciri utama relasi sosial yang ada di desa adalah hubungan kekerabatan. Begitu juga dengan perilaku masyarakat desa yang berorientasi pada tradisi dan status yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan. Hal ini berlaku juga pada masyarakat Desa Lumban Tobing, dalam hal relasi sosial, mereka saling berbagi, saling memberi nasehat. Saling berbagi dalam hal kepemilikan yaitu apa yang menjadi milik tetangga dekat kita bisa kita miliki tanpa harus meminta setiap kali kita membutuhkannya, begitu juga sebaliknya. Misalnya tetangga kita memiliki beberapa pohon buah, atau beberapa jenis tanaman lainnya disekitar pekarangan rumahnya, ketika kita membutuhkannya akan tetapi mereka tidak ada di rumah, kita bisa saja mengambilnya tanpa harus meminta ijin terlebih dahulu, itulah yang membuktikan bahwa ikatan antara masyarakat dalam desa tersebut masih memiliki konsep kekerabatan. 15. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Baru Untuk Anak Perempuan Dalam Setahun Tabel 2.20 Universitas Sumatera Utara 95 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Baru Untuk Anak Perempuan Dalam Setahun No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 Tidak Pernah 1 Kali 2 Kali 2 30 4 5,6 83,3 11,1 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.20 diketahui bahwa sebanyak 30 orang atau 83,3 responden yang membeli pakaian baru untuk anak perempuan mereka 1 kali dalam setahun, sebanyak 4 orang atau 11,1 responden yang membeli pakaian baru 2 kali dalam setahun untuk anak perempuannya dan sebanyak 2 orang atau 5,6 responden yang tidak pernah membeli pakaian baru untuk anak perempuannya. Dilihat dari data tersebut, mayoritas responden dalam penelitian ini membeli pakaian baru 1 kali dalam setahun untuk anak perempuannya. Menurut BPS keluarga miskin jika dipandang dari kemampuan membeli pakaian baru dalam setahun yaitu hanya satu kali dalam setahun untuk seluruh anggota keluarga. Kebutuhan pakaian yang bukan seragam untuk anak perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki namun nyatanya dalam keluarga buruh harian kemenyan karena keadaan ekonomi anak laki-laki dan perempuan mempunyai frekuensi sama dalam membeli pakaian baru yaitu satu kali dalam satu tahun pada saat natal atau tahun baru. Ada juga responden yang menjawab Universitas Sumatera Utara 96 dua kali dalam satu tahun, akan tetapi setelah dianalisi persentase tersebut tidaklah benar, hanya 4 responden yang memilih jawaban tersebut. Mengurangi pengeluaran untuk membeli pakaian baru yang bukan seragam untuk anak perempuan juga merupakan strategi mempertahankan hidup oleh buruh harin kemenyan di Desa Lmban Tobing. 16. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Baru Untuk Anak Laki-Laki Dalam Setahun Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.21 diketahui bahwa sebanyak 30 orang atau 83,3 responden membeli pakaian baru untuk anak laki-lakinya 1 kali dalam setahun, sebanyak 2 orang atau 5,6 responden yang membeli pakaian baru untuk anak laki-lakinya 2 kali dalam setahun, dan sebanyak 4 orang atau 11,1 responden yang tidak membeli pakaian baru untuk anak laki-lakinya dalam setahun. Tabel 5.21 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Baru Untuk Anak Laki-Laki Dalam Setahun No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 Tidak Pernah 1 Kali 2 Kali 4 30 2 11,1 83,3 5,6 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Kebutuhan pakaian yang bukan seragam untuk anak laki-laki umumnya lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan dalam masyarakat, akan tetapi dalam hal ini mayoritas responden dalam penelitian ini hanya mampu Universitas Sumatera Utara 97 membeli pakaian baru satu kali untuk anak laki-lakinya dalam setahun. Adapun responden yang menjawab membeli pakaian sebanyak 2 kali akan tetapi persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan membeli pakaian baru untuk anak perempuan yaitu sebanyak 2 responden. Sama halnya dengan rata-rata frekuensi membeli pakaian baru yang bukan seragam untuk anak laki-laki, inilah yang dilakukan keluarga buruh harian kemenyan di Desa Lumban Tobing. 17. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Baru Untuk IbuIstri Dalam Keluarga Dalam Setahun Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.22 diketahui bahwa sebanyak 31 orang atau 86,1 responden yang membeli pakaian baru 1 kali dalam setahun untuk istriibu dalam keluarga, sebanyak 3 orang atau 8,3 responden yang membeli pakaian baru 2 kali dalam setahun dan sebanyak 2 orang atau 5,6 responden yang tidak pernah membeli pakaian baru. Tabel 2.22 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Baru Untuk IbuIstri Dalam Keluarga Dalam Setahun No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 Tidak Pernah 1 Kali 2 Kali 2 31 3 5,6 86,1 8,3 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Universitas Sumatera Utara 98 Kebutuhan membeli pakaian untuk orangtua lebih rendah dibandingkan dengan anak. Kebutuhan membeli pakaian untuk istri juga lebh tinggi dibandingkan suami. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa rata-rata frekuensi membeli pakaian baru untuk ibuistri dalam rumah tangga yaitu satu kali dalam satu tahun atau satu stel dalam satu tahun. 18. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Baru Untuk AyahSuami Dalam Keluarga dalam Setahun Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.23 diketahui bahwa sebanyak 25 orang atau 86,2 responden yang membeli pakaian baru 1 kali dalam setahun untuk suamiayah dalam keluarga, sebanyak 3 orang atau 10,3 responden yang membeli pakaian baru 2 kali dalam setahun untuk suamiayah dalam keluarga, sebanyak 3 orang atau 8,3 responden dan yang tidak pernah membeli pakaian baru untuk suamiayah dalam keluarga. Dilihat dari data tersebut, mayoritas responden dalam penelitian ini membeli pakaian baru untuk suamiayah dalam keluarga sebanyak 1 kali atau satu stel dalam satu tahun. Tabel 5.23 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Baru Untuk AyahSuami Dalam Keluarga dalam Setahun No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 Tidak Pernah 1 Kali 2 Kali 1 25 3 3,5 86,2 10,3 Jumlah 29 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Universitas Sumatera Utara 99 Kebutuhan membeli pakaian baru untuk ayahsuami tidaklah terlalu diutamakan, hanya saja melihat keadaan ekonomi. Jika memungkinkan untuk dibeli dan pakaian baru yang dibelipun merupakan pakaian yag bisa dipakai untuk menghadiri acara pesta dan kebaktian. 19. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Bekas Untuk Anak Perempuan Dalam Setahun Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.24 diketahui bahwa sebanyak 14 orang atau 38,9 responden membeli pakaian bekas 2 kali dalam setahun untuk anak perempuannya, sebanyak 12 orang atau 33,3 responden yang membeli pakaian bekas untuk anak perempuannya 1 kali dalam setahun, dan sebanyak 8 orang atau 22,2 responden yang membeli pakaian bekas 3 kali dalam setahun, dan sebanyak 2 orang atau 5,6 responden yang tidak pernah membeli pakaian bekas dalam setahun untuk anak perempuannya. Tabel 5.24 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Bekas Untuk Anak Perempuan Dalam Setahun No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 4 Tidak Pernah 1 Kali 2 Kali 3 Kali 2 12 14 8 5,6 33,3 38,9 22,2 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Universitas Sumatera Utara 100 Harga yang sangat terjangkau, ketersediaan dan kelayakan untuk dipakai membuat masyarakat banyak beralih membeli pakaian bekas untuk dipakai sehari-hari bahkan untuk acara-acara tertentu. Selain ketersediaan pakaian bekas untuk wanita yang sangat banyak adanya persepsi masyarakat akan kualitas yang lebih baik dari pakaian bekas tersebut karena dominan pakaian bekas berasal dari negara-negara maju dengan ragam model yang tidak kalah menarik membuat masyarakat memilih untuk beralihdari pakaian baru produksi dalam negri sendiri. Perbandingan rata-rata frekuensi keluarga buruh harian kemenyan membeli pakaian baru dan akaian bekas untuk anak perempuan mereka jelas terlihat, untuk paaian bekas mayoritas mereka dua kali membelli pakaian bekas dalam setahunnya terlepas dari jumlah yang akan dibeli tergantung kecukupan materi pada saat itu. 20. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Bekas Untuk Anak Laki-laki Dalam Setahun Tabel 5.25 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Bekas Untuk Anak Laki-laki Dalam Setahun No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 4 Tidak Pernah 1 Kali 2 Kali 3 Kali 2 16 12 6 5,6 44,4 33,3 16,7 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Universitas Sumatera Utara 101 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.25 diketahui bahwa sebanyak 16 orang atau 44,4 responden yang membeli pakaian bekas 1 kali dalam setahun untuk anak laki-lakinya, sebanyak 12 orang atau 33,3 responden yang membeli pakaian bekas 2 kali dalam setahun , dan sebanyak 6 orang atau 16,7 responden yang 3 kali membeli pakaian bekas dalam setahun dan sebanyak 2 orang atau 5,6 responden yang tidak pernah membeli pakaian dalam setahun. Persamaan rata-rata frekuensi membeli pakaian baru dan bekas untuk anak laki-laki dalam keluarga buruh harian kemenyan tetap satu kal dalam satu tahun, akan tetapi pakaian baru hanya satu stel ketika membeli dan untuk pakaian bekas tidak ditentukan kuantitasnya tergantung kebutuhan dan kemampuan secara materi. Itulah yang menyebabkan frekuensi membeli pakaian bekas untuk anak laki-laki lebih banyak jika dibandingkan dengan frekuensi membeli pakaian baru yang bukan seragam dalam satu tahun. 21. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Bekas Untuk IstriIbu Dalam Keluarga Dalam Setahun Universitas Sumatera Utara 102 Tabel 5.26 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Bekas Untuk IstriIbu Dalam Keluarga Dalam Setahun No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 4 Tidak Pernah 1 Kali 2 Kali 3 Kali 2 16 10 8 5,6 44,4 27,8 22,2 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.26 diketahui bahwa mayoritas responden 1 kali membeli pakaian bekas untuk istriibu dalam keluarga dalam setahun yaitu sebanyak 16orang atau 44,4 selanjutnya diikuti dengan responden yang 2 kali membeli pakaian bekas dalam setahun sebanyak 10orang atau 27,8 dan yang 3 kali membeli pakaian bekas sebanyak 8 orang atau 22,2 dan yang tidak pernah sebanyak 2 orang atau 5,6. Tidak berbeda jauh dengan frekuensi membeli pakaian bekas untuk anak perempuan dan anak laki-laki, ketersediaan, harga yang mudah dijangkau, dan kelayakan untuk digunakan merupakan hal yang mendorong frekuensi membeli pakaian bekas lebih tiggi untuk semua kalangan usia dan jenis kelamin. 22. Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Bekas Untuk AyahSuami Dalam Keluarga Dalam Setahun Universitas Sumatera Utara 103 Tabel 5.27 Distribusi Responden Berdasarkan Rata-Rata Frekuensi Membeli Pakaian Bekas Untuk AyahSuami Dalam Keluarga Dalam Setahun No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 4 Tidak Pernah 1 Kali 2 Kali 3 Kali 4 15 12 5 11,1 41,7 33,3 13,9 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.27 menunjukkan bahwa mayoritas responden 1 kali membeli pakaian bekas untuk ayahsuami dalam keluarga dalam setahun yaitu sebanyak 15 orang atau 41,7 selanjutnya diikuti dengan responden yang 2 kali membeli pakaian bekas dalam setahun sebanyak 12 orang atau 33,3 dan yang 3 kali membeli pakaian bekas sebanyak 5 orang atau 13,9 dan yang tidak pernah sebanyak 4 orang atau 11,1. Pilihan untuk membeli pakaian bekas untuk ayahsuami dalam keluarga dikarenakan kualitas bahan pakaian, misalnya jaket. Laki-laki lebih sulit untuk merawat pakaian jika dibandingkan dengan perempuan apalagi mereka yang memiliki aktivitas fisik seeti petani. Jadi keputusan membeli pakaian bekas untuk ayahsuami dalam keluarga selain karena harga yang terjangkau. 23. Distribusi Responden Berdasarkan Ada Tidaknya Anak Yang Putus Sekolah Universitas Sumatera Utara 104 Tabel 5.28 Distribusi Responden Berdasarkan Ada Tidaknya Anak Yang Putus Sekolah No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 Ada Tidak Ada 9 27 25 75 Jumlah 36 100 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan Data yang disajikan pada tabel 5.28 menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak mempunyai anak yang putus sekolah sebanyak 27 orang atau 75 dan yang mempunyai anak yang putus sekolah sebanyak 9 orang atau 25. Antara keluarga yang memiliki anak yang putus sekolah dan yang tidak memiliki anak yang putus sekolah memiliki perbandingan 1:3, angka tersebut termasuk angka yang tinggi untuk ukuran sampel dalam penelitian ini, untuk itu apa sebenarnya faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Berdasarkanpenelitian yang telah dilakukan faktor ekonom menjadi salah satu penebab terjadinya hal tersebut, tetapi disamping itu ada faktor lain yang harus diketahui penyebab terjadinya anak putus sekolah di keluarga buruh harian kemenyan di Desa Lumban Tobing. Apakah itu karena faktor lingkungan atau ada faktor yang lain. Universitas Sumatera Utara 105 24. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anak Yang Putus Sekolah Tabel 5.29 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anak Yang Putus Sekolah No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 4 1 Orang 2 Orang 3 Orang 4 Orang 5 2 1 1 55,6 22,2 11,1 11,1 Jumlah 9 100,0 Sumber : Data Primer Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.29 menunjukkan bahwa mayoritas responden yang mempunyai anak yang putus sekolah dengan jumlah 1 orang sebanyak 5 orang atau 55,6 yang mempunyai 2 orang anak yang putus sekolah sebanyak 2 orang atau 22,2 yang mempunyai 3 orang anak yang putus sekolah sebanyak 1 orang atau 11,1 dan yang mempunyai 4 orang anak yang putus sekolah sebanyak 1 orang atau 11,1. Dari jumlah yang telah didapat, ada 9 orang anak yang putus sekolah dalam keluarga buruh harian kemenyan di Desa Lumban Tobing, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adapun alasan yang menyebabkan anak putus sekolah adalah karena faktor ekonomi adalah kurangnya minat anak untuk bersekolah, mayoritas anak yang putus sekolah adalah laki-laki.Secara umun, laki-laki lebih cenderung gagal secara akademis atau anak laki-laki 30 lebih mungkin putus sekolah dibandingkan anak perempuan, Adapun usia anak ketika memutuskan untuk tida mau bersekolah lagi adalah pada usia 12 – 16 tahun. Universitas Sumatera Utara 106 Secara psikologis anak pada usia tersebutberada pada usia remaja yang merupakan periode transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa. Masa ini juga sering disebut sebagai masa pemberontakan. Anak yang baru mengalami pubertas seringkali menampilkan beragam gejolak emosi, menarik diri dari keluarga, serta mengalami banyak masalah baik di rumah, di sekolah, atau dilingkungan pertemanannya. Mereka mulai berpikir abstrak, ingatan logis makin lama makin lemah. Kehidupan sosial anak remaja juga berkembang sangat luas, akibatnya anak berusaha melepasan diri dari kekangan orang tua untuk mendapatkan kebebasan, meskipun disisi lai masih tergantung kepada orang tua. Usia Remaja juga merupakan usia wajib belajar, semestinya pada usia tersebut anak menggubu-gebu ingin menuntut ilmu pengetahuan, namun karena sudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang baik terhadap perkembangan pendidikan anak, sehingga minat anak untuk bersekolah kurang mendapat perhatian sebagai mana mestinya. Secara psikologis, anak yang kurang berminat untuk bersekolah adalah anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tua, terutama tentang pendidikannya, juga karena kurangnya orang-orang terpelajar disekitarnya sehingga yang mempengaruhi anak kebanyakan adalah orang yang tidak bersekolah sehingga minat anak untuk bersekolah sangat kurang. Kurangnya pendapatan keluarga menyebabkan orang tua terpaksa bekerja keras mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari, sehingga pendidikan anak kurang terperhatikan dan bahkan anak terlibat dalam membantu orang tua dalam mencukupi keperluan pokok sehari-hari, misalnya anak ikut mengerjakan kemenyan, ikut membantu mengolah lahan pertanian, dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 107 25. Distribusi Responden Berdasarkan Pilihan Penanganan Pada Saat Sakit Tabel 5.30 Distribusi Responden Berdasarkan Pilihan Penanganan Pada Saat Sakit No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 Gejala Sakit Mulai Sakit Tapi Masih Ringan Setelah Parah 7 10 19 19,4 27,8 52,8 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.30 menunjukkan bahwa 19 orang atau 52,8 responden memilih berobat setelah sakit parah, 10 orang atau 27,8 responden memilih berobat ketika mulai sakit tetapi masih ringan dan sebanyak 7 orang atau 19,4 responden memilih berobat setelah muncul gejala sakit. Dilihat dari data tersebut, mayoritas responden memilih berobat setelah sakit parah karena alasan faktor ekonomi, dan juga tersedianya obat-obat yang mudah dibeli di warung maupun toko obat terdekat. Pada dasarnya, penanganan masalah kesehatan dibutuhkan ketika munculnya gejala penyakit dalam tubuh manusia, akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Masalah ekonomi lagi-lagi adalah penyebabnya, terutama bagi keluarga buruh harian kemenyan memilih berobat setelah sakit tak kunjung sembuh dalam beberapa hari, padahal sudah minum obat dari warung atau apotik. Solusi lain adalah membawa ke pengobatan rumahan sepeti tukang Universitas Sumatera Utara 108 kusut, atau pengobatan alternatif lainnya jika tidak kunjung sembuh barulah mereka beralih untuk berobat ke layanan medis. 26. Distribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Fasilitas Kesehatan Tabel 5.31 Distribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Fasilitas Kesehatan No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 Memiliki Tidak Memiliki 3 33 8,3 91,7 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 5.31 diketahui bahwa sebanyak 3 orang 8,3 responden yang sudah memiliki fasilitas kesehatan, dan sebanyak 33 orang 91,7 responden yang belum memiliki fasilitas kesehatan. Dilihat dari data tersebut, responden yang belum memiliki fasilitas kesehatan lebih banyak dari pada yang sudah memiliki fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya pengetahuan akan pentingnya fasilitas kesehatan dikalangan buruh. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa ketidakpedulian masyarakat khususnya keluarga buruh harian kemenyan akan pentingnya fasilitas kesehatan yang akan membantu mengurangi resiko, dan dapat membantu menjamin biaya saat jatuh sakit. Alasan terbesar ketidakpedulian tersebut dikarenakan tidak mau berurusan dengan administrasi yang membutuhkan banyak data dan berkas-berkas. Perspektif yang salah juga ditemui peneliti di lapangan, dimana beberapa responden mengatakan bahwa keluarga mereka akan mengurus jaminan kesehatan dari pemerintah yaitu BPJS pada saat dibutuhkan saja, atau ketika Universitas Sumatera Utara 109 salah satu diantara mereka jatuh sakit. Untuk menghindari premi yang akan dibayarkan setiap bulannya. 27. Distribusi Responden Berdasarkan Pelayanan Kesehatan Yang Paling Sering Dikunjungi Saat Sakit Tabel 5.32 Distribusi Responden Berdasarkan Pelayanan Kesehatan Yang Paling Sering Dikunjungi Saat Sakit No. Kategori Frekuensi Persentase 1 2 3 4 5 Rumah Sakit Puskesmas BidanMantri Praktek Dokter DukunPengobatanAlternatif 12 14 1 9 33,3 38,9 2,8 25,0 Jumlah 36 100,0 Sumber : Data Primer 2015 Mayoritas keluarga buruh harian kemenyan memilih berobat ke bidanmantri sebanyak 14 orang 38,9 responden dengan alasan sudah percaya dengan bidan tersebut, persepsi bahwa bidan tersebut mahir sehingga cukup sekali berobat saja suda cukup dibandingkan dengan bidanmantri yang lain. Tidak sedikit juga diantara mereka yang memilih berobat ke puskesmas yaitu sebanyak 12 orang 33,3 responden, responden ini memiliki beberapa alasan yang bervariasi seperti karena dekat dengan tempat tinggal, biaya pengobatan yang lebih murah dan merasa sudah dekat dengan petugas puskesmas di desa tersebut. Universitas Sumatera Utara 110 Sementara sampel dengan pilihan dukun atau pengobatan tradisional sebanyak 9 orang 25 responden memiliki alasan yang berbeda, yaitu pengobatan tradisional atau tukang kusut lebih mahir dari pada bidandokter yang ada di rumah sakit. Dari keterangan di atas keseluruhan responden lebih memili berobat ke bidanmatri dan juga puskesmas dengan alasan kepercayaan dan harga yang masih bisa dijangkau.

5.2.3 Strategi Jaringan