BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
al-Sunnah dalam Islam merupakan penafsir atas al-Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa
pribadi Nabi SAW merupakan perwujudan dari al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
1
Hadis merupakan pedoman yang utama setelah al-Qur’an. Orang yang menolak hadis sebagai sumber kedua dalam ajaran Islam berarti ia menolak
petunjuk al-Qur’an.
2
Ia pun merupakan salah satu peninggalan Rasulullah kepada umatnya untuk dipatuhi serta diamalkan. bila berpegang teguh kepada petunjuk-
petunjuk tersebut seorang tidak akan tersesat selama-lamanya. Pernyataan ini semakin tidak meragukan setelah cukup banyak ayat al-Qur’an yang
memerintahkan orang-orang beriman untuk patuh dan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad, sebagian dari ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut, surat al-
asyr, 59: 7
َﷲا
َﷲا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”. Menurut Quraisy Shihab dalam tafsirnya tentang kalimat “Apa yang
1
Yusuf Qardhawi. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Penerjemah Muhammad Al-Baqir. Bandung : Karisma, 1993. Cet. I. h. 17
2
M.Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Cet. I. h. 9
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” memberi petunjuk secara umum. Yakni semua perkara yang
diperintah dan yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.
3
Dengan demikian mentaati petunjuk Nabi Muhammad merupakan suatu keniscayaan bagi orang
yang beriman. Mentaatinya berarti mentaati Allah SWT, sebagaimana yang diutarakan dalam al-Qur’an surat al-Nis
’, 4: 80 berikut:
َﷲا
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati
Allah. dan barangsiapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
Disamping itu, hadis memiliki fungsi yang sangat penting dalam ruang lingkup kajian al-Qur’an yaitu untuk membuka maksud-maksud al-Qur’an adalah
dengan Hadis Rasulullah SAW. Fungsi hadis secara spesifik terhadap al-Qur’an tidak lepas dari salah satu tiga hal : pertama, menetapkan dan memperkuat
hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur’an. Kedua, memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal,
memberikan taqyid pensyaratan ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlaq dan mentakhsis ayat al-Qur’an yang masih ‘Aam. Ketiga, menetapkan hukum yang
tidak terdapat dalam al-Qur’an.
4
Fungsi hadis inipun diungkapkan dalam firman Allah SWT. Surat al-Na
l, 16: 44
3
M.Quraisy Shihab. Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati, 2002. Cet. I. h. 113
4
Fatehur Rahman. Ikhtishar Mushthalahul Hadis. Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1981. Cet. III. h. 47-49
“keterangan-keterangan mukjizat dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Fungsi hadis selainnya adalah sebagai sentral figur umat manusia dalam menjaga keharmonisan seluruh alam. Sebagaimana tertera dalam al-Qur’an surat
Al-Anbiya : 107
Artinya : “dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”
Upaya menjaga keharmonisan masyarakat ini terlihat jelas ketika Rasulullah memberikan wasiat kepada salah seorang sahabat untuk menjauhi hal-
hal yang dapat memicu kemarahan,
5
dan bahkan ia memberi solusi dalam mengatasinya ketika kemarahan terjadi. Hal ini sangat penting disampaikan
karena hampir setiap kerusakan, permusuhan dan bahkan pembunuhan disebabkan seseorang tidak bisa mengendalikan diri ketika marah. Salah satu solusi tersebut
beliau sampaikan kepada Abu Dzar al-Ghifari
ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ُﺪَﻤْﺣَأ
ُﻦْﺑ ٍﻞَﺒْﻨَﺣ
ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ ﻮُﺑَأ
َﺔَﯾِوﺎَﻌُﻣ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ
ُدُواَد ُﻦْﺑ
ﻰِﺑَأ ٍﺪْﻨِھ
ْﻦَﻋ ﻰِﺑَأ
ِبْﺮَﺣ ِﻦْﺑ
ِدَﻮْﺳَﻷا ْﻦَﻋ
ﻰِﺑَأ ﱟرَذ
َلﺎَﻗ ﱠنِإ
َلﻮُﺳَر ِﮫﱠﻠﻟا
ﻰﻠﺻ ﷲا
ﮫﯿﻠﻋ ﻢﻠﺳو
َلﺎَﻗ ﺎَﻨَﻟ
اَذِإ َﺐِﻀَﻏ
ْﻢُﻛُﺪَﺣَأ َﻮُھَو
ٌﻢِﺋﺎَﻗ ْﺲِﻠْﺠَﯿْﻠَﻓ
ْنِﺈَﻓ َﺐَھَذ
ُﮫْﻨَﻋ ُﺐَﻀَﻐْﻟا
ﱠﻻِإَو ْﻊِﺠَﻄْﻀَﯿْﻠَﻓ
“Menceritakan pada kami Ahmad bin Hanbal, menceritakan pada kami Abu Muawiyah, menceritakan pada kami Daud bin Abi Hind, dari Abi Harb bin Abi
Al-Aswad, dari Abi Dzar. Ia berkata sesungguhnya Rasulullah bersabda pada kami, “Apabila salah satu dari kalian marah dan dalam keadaan berdiri maka
duduklah jika itu dapat menghilangkan marah, jika tidak maka berbaringlah.”
6
5
Al-H fi Ibnu Hajar al-Asqaln. Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari.
Penerjemah Amiruddin Jakarta : Pustaka Azzam, 2008, Jilid 29. h. 397
6
Ab Dud Sulaimn ibn Asy’asy al-Sijistani. Sunan Ab Dud. T.tp.: Dar Al-Fikr,
t.t. Juz IV, hadis ke-1874. h. 250
Marah merupakan tabi’at manusia. Jadi memiliki rasa marah bukan suatu yang dilarang tetapi hendaknya seorang dapat mengendalikannya. Salah satu
solusi pengendalian marah ini adalah dengan cara duduk atau berbaring. Bicara tentang pengendalian marah, al-Qur’an juga memerintahkan agar
seorang dapat menguasai emosi marah. Sebab pada saat seorang sedang marah, maka pemikirannya tidak berfungsi dan ia kehilangan kemampuan untuk
mengambil keputusan yang benar.
7
Ketika seorang marah cendrung mengarah kepada berlaku agresif dan emosi yang tak terkontrol. Akal pikiran dan hatinya
terkalahkan oleh motivasi marah yang memuncak. Akibatnya dapat merugikan dirinya seperti lelah fisik dan mental, maupun orang lain seperti tindakan agresif
yang bisa mencederai atau mengancam nyawa orang lain.
8
Kendati hadis sebagai penjelas al-Qur’an dan sebagai sentral figur manusia dalam mengatasi marah, hadis tersebut perlu diteliti kembali kemurniannya agar
ajaran yang disandarkan kepada Nabi SAW dapat dipertanggung jawabkan.
9
Sebab di dalam tubuh hadis tak terlepas dari permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan kualitas hadis menjadi shahih, hasan, dhaif, dan bahkan maudu’.
Pokok permasalahan hadis secara umum adalah menyangkut kualitas hadis, pemahaman hadis sampai pada aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Sentralnya adalah sanad dan matan hadis, keduanya merupakan unsur penting yang saling berkaitan erat menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadis.
7
Muhammad Usman Najati. Al-Qur’an dan Psikologi. Penerjemah M.Zaka Al-Farisi Jakarta: Aras Pustaka, 2003. Cet. III. h. 83
8
M. Darwis Hude. Emosi Penjelajahan Religio Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Alquran. T.tp.: Erlangga. 2006. H. 162
9
Maksudnya agar terhindar dari pernyataan Nabi SAW. “Barang siapa yang secara sengaja berbohong atas namaku maka hendaknya ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di
neraka”. Lihat. Shahih Bukhari Kitab ‘Ilm Bab dosa seorang yang berbohong atas Nabi SAW. Juz I. h. 31
Sehingga kekosongan salah satunya akan berpegaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadis.
Pergeseran keotentikan hadis tersebut secara umum diakibatkan oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. faktor eksternal di antara yakni
adanya perbedaan pencatatan dan penghimpunan hadis Nabi SAW dengan sejarah pencatatan
dan penghimpunan
al-Qur’an.
10
Untuk al-Quran,
semua periwayatanya berlangsung secara mutawatir. Sedang untuk hadits, sebagian
periwatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung ahad. Dengan demikian ada kemungkinan-kemungkinan terjadi pemalsuan hadis di
dalamnya. Selain itu, dalam perjalanan sejarah telah terjadi pemalsuan hadis pada
peristiwa pergolakan politik antara kubu Muawiyah bin Abi Sufyan w. 60 H680 M dan kubu Ali bin Abi Thalib memerintah 35-40 H656-661 M. Masing-
masing ingin meligitimasi pendapatnya dengan al-Qur’an dan As-Sunnah sampai melakukan pemalsuan hadis.
11
Sesunggguhnya Pemalsuan ini bukan saja dilakukan oleh umat muslim tetapi juga oleh non muslim. Motivasi orang-orang
melakukan pemalsuan hadis ialah untuk : Pertama, membela kepentingan politik ; Kedua, menyesatkan umat Islam ; ketiga, membela ras, suku, negara dan imam ;
keempat, memikat hati orang yang mendengarkan kisah yang dikemukakannya ; kelima, menjadikan orang lain lebih zahid ; keenam, perbedaan Mazhab dan
Teologi ; ketujuh, memperoleh perhatian dari penguasa.
12
Dalam pemalsuan hadis
10
M.Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta : Bulan Bintang, 2005. Cet. 3. h. xiii
11
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib. Ushul Al-Hadis. Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007. Cet. IV. h. 353
12
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib. Ushul Al-Hadis. Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007. Cet. IV. h. 354-362
tersebut ada yang bersifat sengaja dan ada yang bersifat tidak sengaja, meski demikian, pemalsuan tetap merupakan perbuatan tercela.
13
Berdasarkan fenomena di atas, dalam rangka menetapkan hujjah yang benar-benar murni bersumber dari
Nabi Muhammad SAW. maka melakukan penelitian kemurnian hadis adalah suatu keniscayaan.
Adapun faktor yang mengemukakan dari sisi internal, adalah faktor yang bersangkutan dari figur Nabi SAW sebagai figur sentral. Keberadaan Nabi dalam
berbagai posisi dan fungsinya menjadi acuan untuk memahami hadis. Karena masyarakat manusia pada setiap generasi dan tempat, selain memiliki berbagai
kesamaan, juga memiliki berbagai perbedaan.
14
Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad selain dinyatakan sebagai Rasulullah juga dinyatakan sebagai
manusia biasa.
15
Dengan kata lain, Nabi SAW hidup tidak di ruang yang hampa. Oleh karena itu, dalam memahami hadis tidak boleh mengabaikan kondisi Nabi
Muhammad SAW dan kondisi suatu masyarakat tertentu ketika kontak komunikasi itu berlangsung. Patut diingat bahwa pengaruh sosial merupakan hal
yang sentral dalam interaksi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami hadis Nabi perlu mempertimbangkan beberapa hal :
pertama, bentuk matan dan cakupan petunjuknya ; kedua, fungsi Nabi Muhammad saw ; dan ketiga, latar belakang terjadinya hadis.
16
13
M.Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Cet. 3. h. 111
14
M.Syuhudi Ismail. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Jakarta: Intimedia dan Insan Cemerlang, Tanpa tahun. Cet. I. h. 189
15
M.Syuhudi Ismail. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual .Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Cet. I. h. 4
16
M.Syuhudi Ismail. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Jakarta: Intimedia dan Insan Cemerlang, Tanpa tahun. Cet. I. h. 190
Berdasarkan paradigma di atas, melakukan penelitian ulang hadis merupakan suatu keniscayaan sebagai usaha menemukan kekeliruan dalam rangka
menemukan kebenaran. Penelitian ini bukan meragukan keseluruhan hadis Nabi SAW tetapi lebih kepada kehati-hatian dalam pengambilan dasar hukum dalam
agama. Berdasarkan uraian di atas menunjukan betapa pentingnya melakukan
penelitian hadis baik sanad maupun matan. Dari sini akan nampak mana yang benar-benar hadis dan mana yang bukan hadis, atau mana hadis yang kuat sebagai
hujjah dan mana hadis yang lemah. Setelah itu, bagaimana memahami pesannya untuk diaplikasikan. Oleh karena itu, penulis termotivasi untuk membahas
kualitas hadis melalui kritik sanad dan matan juga bagiaman memahami
kandungannya. Maka penulis menetapkan judul KUALITAS HADIS NABI TENTANG PENANGGULANAGAN MARAH DENGAN CARA DUDUK
ATAU BERBARING ; Kajian Sanad dan Matan Hadis.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah