C. Penelitian Sanad Hadis Ahmad bin Hanbal
Meneliti Sanad berarti mempelajari rangkaian para perawi dalam sanad dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya
dengan gambaran umum, dan sebab-bebab kuat dan lemah perawi secara terinci.
20
Seperti yang akan dijelaskan berikut ini. Setelah memperhatikan skema seluruh sanad di atas, terdapat dua mukharij
yang mencantumkan hadis tersebut di dalam kitab karyanya, dua jalur sanad tersebut berakhir pada Abu Dzar Al-Ghifari. Dengan demikian, tampak jelas
mulai dari periwayatan pertama sampai terakhir dapat diketahui bahwa periwayatan yang berstaus syahid
21
tidak ada, karena ternyata Abu Dzar merupakan satu-satunya sahabat yang meriwayatkan hadis yang tengah diteliti
tersebut. maka sanad hadis tersebut termasuk Gharib
22
bagian dari hadis Ahad yang perlu diteliti keorsinilannya.
20
Mahmud Tahhan, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis, penerjemah Ridlwan Nasir Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, Cet. I. h. 97
21
Syahid ialah hadis yang periwayat di tingkat sahabat Nabi SAW terdiri dari lebih seorang. Lihat. M.Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet. III. h. 145
22
Hadis Gharib merupakan salah satu bagian hadis Ahad hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kekerabatan. Sedangkan hadis Gharib
secara istilah ialah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005, Hal. 113
dan 115.
ﲏﺛﺪﺣ ﺎﻨﺛﺪﺣ
213 H-290 H
ﷲا ﺪﺒﻋ د ﻮﺑأ
ا دو
164 H-241 H
213 H-290 H 202 H-275 H
Kemudian lambang-lambang metode periwayatan yang terdapat dalam hadis tersebut di antaranya adalah
addatsana, ‘an, dan qla. itu menunjukan, terdapat perbedaan metode yang digunakan para periwayat dalam sanad hadis tersebut.
Selanjutnya sanad yang akan diteliti adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan alasan seperti yang telah diutarakan sebelumnya.
Adapun Urutan nama periwayat hadis Ahmad bin Hanbal di atas adalah sebagai berikut:
1. Periwayat I : Ab
Dzar al-Ghifri 2. Periwayat II
: Ab Aswad Al-ily
3. Periwayat III : Ab
Harb bin Ab Al-Aswad 4. Periwayat IV
: D ud bin Ab Hind
5. Periwayat V : Ab
Mu’wiyah Muammad bin Khazm 6. Periwayat VI
: A mad bin Hanbal
Dalam kegiatan kritik sanad berikut ini akan diuraikan para perawi hadis dalam skema sanad hadis tersebut dari mukharij Abdullah bin Hanbal dan Ahmad
bin Hanbal.
23
seterusnya hingga periwayat pertama :
1. Abdullah
Bernama lengkap ‘Abdullah bin A mad bin Muammad bin Hanbal bin
Hilali bin Asad al-Syaib ni, Ab ‘Abdirrahmn al-Baghddi.
24
Lahir pada tahun 213 H dan wafat pada hari Minggu pada akhir siang bulan Jumadil Akhir
23
Ahmad bin Hanbal selain sebagai periwayat hadis juga sebagai mukharij. Namun penghimpunan hadis-hadisnya tidak dilakukan sendiri, tetapi dengan cara memerintahkan
putranya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal untuk menulis kitabnya. Oleh sebab itulah penulis menetapkan Abdullah sebagai mukharij dalam jalur Ahmad bin Hanbal.
24
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 14. h. 285
tahun 290 H kemudian dimakamkan di makam “B bu al-Tibani.” Sebagai
penghormatan terakhir sebelum dimakamkan, anak saudaranya bernama Juhair bin Shaleh ikut menshalatkan zenajahnya.
25
Guru dan Murid : ‘Abdullah bin Hanbal menerima hadis kepada 94 guru. di antaranya : Ibr
hm Bin Ism’il bin Yahya bin Salamah bin Kuhail, Ibrhm bin Al-Hajj
j Al-Sym, Ibrhm bin Al-Hasan Al-Bhil Al-Maqrai, A
mad bin Ibrhm Al-Dauraq, Amad bin Ibrhm Al-Mausl, Amad bin Mu
ammad bin Ayub Shhib Al-Maghz, Abhi Amad bin Mu
ammad bin Hanbal dan lain sebagainya. Adapun Murid-muridnya berjumlah 27 orang di antaranya : Al-Nas
’i, Ab Bakar Amad bin Ja’far bin Hamdan bin M
lik Al-Qathi’i Ab Husain Amad bin Ja’far bin Muammad bin ‘Ubaidillah Ibnu Al-Mun
di, Amad bin Salman dan seterusnya.
26
Komentar ulama kritikus hadis terhadapnya
27
sebagai berikut: 1. Ibr
hm bin Muammad bin Basyar berkata: qad wa’ ‘ilman kats
ran
28
2. Al-Q d Ab Ya’la bin Farra’i berkata: ‘Abdullah ma min Ilmi
al- adits aw min hif al-hadts
29
25
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 14. h. 291
26
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 14. h. 286-289
27
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 14. 289-290
28
Artinya, “Abdullah telah menerima dan memberi ilmu yang banyak” ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-4 karena penta’dilan menunjukan adanya kedabitan tanpa adanya
isyarat akan keadilan. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
29
Artinya, “Abdullah adalah seorang yang diberi nasib baik dari ilmu hadis atau dari penghafal hadis” ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-2 karena penta’dilan menunjukan
adanya sifat yang menguatkan ketsiqahannya, keadilan dan ketetapan periwayatannya. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
3. Ab Bakr Al-Khtib berkata:
Abdullah adalah seorang yang tsiqatan tsabatan f
himan.
30
Berdasarkan analisis penilaian ulama hadis terhadapnya, dapat disimpulkan Abdullah sebagai seorang yang tsiqat.
31
Tidak ada seorang ulama pun yang melontarkan celaan terhadapnya. Selanjutnya, hadis yang diriwayatkan Abdullah
ini bersambung kepada Ahmad bin Hanbal. Hal ini dapat dilihat melalui metode periwayatannya secara al-sama’,
32
selain itu mereka berhubungan anak dan ayah yang memiiki kesamaan tempat tinggal dan hidup semasa, bahwa Abdullah hidup
selama 28 tahun sebelum wafatnya Ahmad.
2. Abi Ahmad bin Hanbal
Bernama lengkap, A mad bin Muammad bin Hanbal bin Hilali bin Asad
Al-Syaib n, Ab ‘Abdillah Al-Marwazi, kemudian Baghdd. Ab
dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 H-241 H. dan wafat di sana.
33
Ayah Mu ammad bin Hanbal wafat saat ia masih kecil, sepeninggal
ayahnya kemudian ia diasuh oleh ibnunya dengan kehidupan yang sangat
30
Ta’dil yang dilontarkan kepada Abdullah ini berkualitas ke-2 dalam tingkatan ta’dil. Artinya, secara hukum periwayatan Abdullah tersebut bisa diterima dan dijadikan hujjah. Lihat.
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88-89
31
Setelah melihat tingkatan-tingkatan penta’dilan yang dilontarkan ulama hadis terhadapnya, menunjukan penta’dilan lebih banyak berada pada tingkatan ke-2 dengan
menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya. Artinya, secara hukum ketsiqahan Abdullah tersebut bisa diterima dan dijadikan hujjah. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88-89
32
as-Sama’ ialah penerimaan hadis dengan cara mendengar langsung lafal hadis dari guru hadis baik secara didiktekan atau disampaikan dalam pengajian. Mayoritas ulama menempatkan
cara menerimaan riwayat as-Sama’ berstatus tertinggi dalam periwayatan hadis. Lebih lanjut, lihat. M.Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet. III.
h. 60
33
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 1 h. 445
sederhana.
34
Ahmad pernah melakukan perjalanan pendidikannya ke berbagai daerah di antaranya Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam, dan
Jazirah.
35
Ia pun merupakan seorang yang tekun beribadah, mengerjakan shalat setiap hari dan setiap malam sebanyak 103 raka’at dan terkadang mendekati 180
raka’at, pada saat sakit ia shalat setengah dari 103 raka’at. Saat kecil sudah hafal Al-Qur’an
36
dan selalu menghatamkan bacaan Al-Qur’an setiap satu pekan sekali.
37
Guru dan Murid : A mad bin Muammad bin Hanbal menerima hadis
kepada 129 guru, di antaranya, Ibr hm bin Khlid Al-Shan’n, Ibrhm
bin Sa’d Al-Zuhr , Ibrhm bin syams Al-Samarqand Ibrhm bin Ab
Al-‘Abbas Al-Baghd d, Ishq bin Ysuf Al-Azraq, Ab Mu’wiyyah bin
Kh zim Al-arri, dan seterusnya.
38
Adapun murid yang menerima hadis darinya sebanyak 85 orang di antaranya, Al-Bukh
ri, Muslim, Ab Dud, Ibr
hm bin Ishk, Amad bin Hasan bin Junaidib Al-Tirmiz, ‘Abdullah bin A
mad bin Muammad bin Hanbal. Dan seterusnya.
39
Komentar ulama kritikus hadis terhadapnya sebgai berikut:
34
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Jambatan, 1992, h. 80
35
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 1. h. 437
36
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Jambatan, 1992, h. 80
37
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 1. h. 458-459
38
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 1. h. 437-440
39
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 1 h. 440-442
1. A mad bin Salamah al-Naisbriy berkata:
40
Aku tidak melihat Aswad al-Ra’si lebih hafal hadis Rasulullah dan tidak ada yang lebih mengetahui
fiqih serta maknanya dari ayahnya ‘Abdullah bin Hanbal
41
2. Sh leh bin Amad bin Abdillah bin Shleh berkata: Ahmad itu
Tsiqatun, Tsabtun f al-adts.
42
Ia orang yang mulia, orang yang mengerti dalam hadis, Ia mengikuti
tsr, Shhibu al-Sunnah wa khairin.
3. Ab Bakr al-Marrdzi berkata:
43
Aku hadir pada saat Aba Tsauri ditanya suatu hal, lalu ia berkata, ‘berkata Abu Abdillah Ahmad bin
Hanbal Guru kami, Imam kami, masalah tersbut begini dan begini.
44
4. ‘Abdullah bin D ud Al-Khuraibi berkata: Ahmad adalah paling Utama
di Masanya
45
. Dengan pandangan yang sama berkata pula Ab Ishk
Al-Fazari, dan Nasr bin ‘Al .
Berdasarkan analisis penilaian ulama hadis terhadapnya, dapat disimpulkan Ahmad sebagai seorang yang tsiqat.
46
Tidak ada seorang ulama pun yang
40
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 1 h. 456
41
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan pertama, dengan menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan atau dengan menggunakan wajan af’ala. Lihat. Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
42
Artinya, “Ahmad adalah seorang yang adil dan dabit, tetap di dalam hadis” ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-2 karena penta’dilan menunjukan adanya sifat yang
menguatkan ketsiqahannya, keadilan dan ketetapan periwayatannya. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
43
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 1. h. 453
44
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-5, dengan tidak menunjukan adanya pentsiqatan atau celaan. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005, h. 88
45
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-5, dengan tidak menunjukan adanya pentsiqatan atau celaan. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005, h. 88
46
Setelah melihat tingkatan-tingkatan penta’dilan yang dilontarkan ulama hadis terhadapnya, menunjukan penta’dilan memiliki kualitas tertinggi dalam tingkatan penta’dilan
karena di antara ta’dil ada yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan atau dengan menggunakan wajan af’ala Artinya, secara hukum ketsiqahan Ahmad bin Hanbal tersebut bisa
melontarkan celaan terhadapnya. Selanjutnya, hadis yang diriwayatkan Ahmad ini bersambung kepada Abu Muawiyah. Hal ini dapat dilihat melalui metode
periwayatannya secara al-sama’. Selain itu, hubungan sebagai murid Abu Muawiyah dan jarak kelahiran serta wafat di antara keduanya menunjukan
merekapun hidup semasa. Bahwa Ahmad hidup selama 31 tahun sebelum wafatnya Abu Muawiyah.
3. Abu Muawiyah
Bernama lengkap, Ab Mu’wiyah Muammad bin Khazm Al-arri,
Al-K f.
47
Ia menetap di Kufah, Ab Mu’wiyah wafat di usia ke-82 tahun,
tepatnya 195 H.
48
Guru dan Murid : guru Ab Mu’wiyah cukup banyak. Di antarnaya Al-
A’masy, D ud bin Ab Hind dan lain sebagainya. Demikian pula murid yang
menerima hadis darinya cukup banyak. Diantaranya adalah Ab Bakar bin Ab
Syaibah, A mad bin Muammad bin Hanbal, dan lain sebagainya.
49
Komentar ulama terhadapnya antara lain : Ahmad bin Ali bin Hajr Al-Asqalani berkata:
50
Abu Muawiyah adalah tsiqatun, A
f al-Ns liadts al-A’masy
51
diterima dan dijadikan hujjah. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88-89
47
H fi Amad bin ‘Al bin Hajar Al-‘Asqaln, Taqrb Al-Tahdzb T.tp.: Dr
Al-‘ simah, t.t., Huruf م h. 840
48
H fi Amad bin ‘Al bin Hajar Al-‘Asqaln, Taqrb Al-Tahdzb T.tp.: Dr
Al-‘ simah, t.t., Huruf م h. 840 ; Footnote. Imm Muslim bin Hajjaj, Kun wa Al-Asm’
T.tp.: Tanpa penerbit, 1404 H1984, Cet. I. Jilid II. h. 759
49
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 34. h. 304
50
H fi Amad bin ‘Al bin Hajar Al-‘Asqaln, Taqrb Al-Tahdzb T.tp.: Dr
Al-‘ simah, t.t., Huruf م h. 840 ; Imm Muslim bin Hajjaj, Kun wa Al-Asm’ T.tp.: Tanpa
penerbit, 1404 H1984, Cet. I. Jilid II. h. 759
Berdasarkan analisis penilaian ulama hadis terhadapnya, dapat disimpulkan Abu Muawiyah sebagai seorang yang tsiqat.
52
Tidak ada seorang ulama pun yang melontarkan celaan terhadapnya. Selanjutnya, hadis yang diriwayatkan Abu
Muawiyah ini bersambung kepada Daud bin Abi Hindi. Hal ini dapat dilihat melalui metode periwayatannya secara al-sama’. Selain itu, hubungan sebagai
murid Daud dan jarak kelahiran serta wafat di antara keduanya menunjukan merekapun hidup semasa. Bahwa Abu Muawiyah hidup selama 24 tahun sebelum
wafatnya Daud bin Abi Hindi.
4. Daud bin Abi Hindi
Bernama lengkap, D ud bin Ab Hind dan namanya Dnr bin
‘Udz fir, dikatakan ahmn Al-Qusyair Ab Bakr, dan Ab Muammad
Al-Basr .
53
D
ud bin Ab Hind wafat di Bashrah pada 137 H. Guru dan Murid : D
ud bin Ab Hind Cukup Banyak. Di antaranya adalah Bisyr bin Numair, Bakr bin Abdillah Al-Muzan
, Al-Hasan Al-Basriy, Ab Harb bin Ab
Al-Aswad. Dan lain sebagainya. Demikian pula murid yang menerima hadis darinya cukup banyak. Di antaranya adalah Ibr
hm bin
51
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan pertama, dengan menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan atau dengan menggunakan wajan af’ala. Lihat. Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
52
Setelah melihat tingkatan-tingkatan penta’dilan yang dilontarkan ulama hadis terhadapnya, menunjukan penta’dilan memiliki kualitas tertinggi dalam tingkatan penta’dilan.
Artinya, secara hukum ketsiqahan Abu Muawiyah tersebut bisa diterima dan dijadikan hujjah. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h.
88-89
53
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 8. h. 461
ahmn, Ism’l bin ‘Ulaiyah, Asy’ats bin ‘Abdi Al-Malik, Ab Mu’wiyah Al-
arri. Dan lain sebagainya.
54
Komentar ulama kritikus hadis terhadapnya
55
sebagai berikut. 1. Ibnu Mub
rak berkata: dia itu “uf al-Basriyyn”
56
2. ‘Abdullah bin A mad bin anbal berkata: tsiqatun tsiqatun
57
3. Ish q bin Mansr berkata: tsiqatun
58
4. A mad bin ‘Abdullah Al-‘Ijlyy berakta: Tsiqatun Jayyid al-Isndi dan
dia adalah laki-laki yang shaleh
59
5. Ab atim dan Al-Nas’ berkata: tsiqatun
60
6. Ya’q b bin Syaibah berkata : tsiqatun tsabtun
61
Berdasarkan analisis penilaian ulama hadis terhadapnya, dapat di simpulkan Daud sebagai seorang yang tsiqat.
62
Tidak ada seorang ulama pun yang
54
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 8. h. 462-464
55
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 8. h. 465
56
Artinya, “orang yang paling hafal di negeri Bashrah” ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan pertama, dengan menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan atau dengan
menggunakan wajan fu’ lu. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
57
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-2, dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya, keadilan dan ketetapan periwayatannya. Lihat. Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
58
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-3, dengan pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005, h. 88
59
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-2, dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya, keadilan dan ketetapan periwayatannya. Lihat. Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
60
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-3, dengan pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005, h. 88
61
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-2, dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya, keadilan dan ketetapan periwayatannya. Lihat. Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
62
Setelah melihat tingkatan-tingkatan penta’dilan yang dilontarkan ulama hadis terhadapnya, menunjukan penta’dilan memiliki kualitas tertinggi dalam tingkatan penta’dilan.
Karena Abu Hatim dan Nasa’i tergolong kelompok ulama jarh mutasyadid . Artinya secara hukum ketsiqahan Daud bin Abi Hind tersebut sangat kuat dijadikan hujjah. Lihat. Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88-89
melontarkan celaan terhadapnya. Selanjutnya, Daud menerima hadis dari Abi Harb dengan metode periwayatannya ‘an’anah.
63
Meskipun Daud memakai metode tersebut, tetapi sanad dari Daud kepada Abi Harb bersambung juga,
karena Daud seorang periwayat tsiqat yang tidak pernah terbukti melakukan tadlis.
64
Selain itu, hubungan sebagai murid Abi Harb dan jarak kelahiran serta wafat di antara keduanya menunjukan merekapun hidup semasa. Bahwa Daud bin
Abi Hind hidup selama 28 tahun setelah wafatnya Abi Harb. Dengan demikian hadis yang diriwayatkan Daud bin Abi Hind ini bersambung kepada Abi Harb.
5. Abi Harb
Bernama lengkap, Ab Harb bin Ab Al-Aswad Al-Dialy.
65
Ab Harb
wafat 109 H. Ia menetap di Bashrah dan hadisnya sangat dikenal di sana.
66
Guru dan Murid : guru Ab Harb cukup banyak, di antaranya adalah
‘Abdullah bin ‘Amar bin Al-‘ s, ‘Abdullah ibnu Falah Al-Laitsy, ‘Abdullah
bin Qais Al-Basriy, Ab Al-Aswad Al-Dialy. Dan lain sebagainya. Demikian
pula murid yang menerima hadis darinya cukup banyak, di antaranya adalah
63
Harf ﻦﻋ yang disebut di atas dinamakan sebagai hadis mu’an’an. Sebgaian ulama
menyatakan, sanad hadis yang menggandung harf ﻦﻋ adalah sanad yang terputus. Tetapi metode
tersebut bisa diterima jika memenuhi syaratnya. Yaitu dalam sanad tersebut tidak menyembunyikan tadlis yang dilakukan oleh perawi, periwayatannya bersambung, periwayat yang
menggunakan ﻦﻋdapat dipercaya. Lebih lanjut, lihat. M.Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad
Hadis Jakarta: Bulan Bintang, 2005, Cet. 3. h. 72-73
64
Tadlis menurut bahasa berarti penyembunyian aib barang dagangan dari pemberli. Diambil dari kata “ad-dalsu” yaitu kegelapan atau percampuran kegelapan. Sementara Tadlis
menurut istilah adalah penyembunyian aib dalam hadis dan menampakan kebaikan pada zhahirnya. Lihat. Manna’ Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Hadis. Penerjemah Mifdhol
Abdurrahman Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005, Cet. I. h. 139
65
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33. h. 231
66
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33. h. 232
umrn bin A’yun, Dud bin Ab Hind, Ab Wahb Saif bin Wahb. Dan lain sebagainya.
67
Komentar ulama terhadapnya
68
sebagai berikut: 1. Ibnu
ibbn menceritakannya di dalam kitab al-tsiqt
69
2. Ibn Hajar menambahkan: bahwa Ibnu ‘Abdul Bar Watsaqahu
70
3. Al-Dzahabi: Watsaqahu
71
Berdasarkan analisis penilaian ulama hadis terhadapnya, dapat disimpulkan Abi Harb sebagai seorang yang tsiqat.
72
Tidak ada seorang ulama pun yang melontarkan celaan terhadapnya. Selanjutnya, Abi Harb menerima hadis dari Abi
al-Aswad dengan metode ‘an’anah. Meskipun Abi Harb memakai metode tersebut, tetapi sanad dari Abi Harb kepada Abi al-Aswad bersambung juga,
karena Abi Harb seorang periwayat tsiqat yang tidak pernah terbukti melakukan tadlis. Selain itu, hubungan sebagai murid Abi al-Aswad dan jarak kelahiran serta
wafat di antara keduanya menunjukan merekapun hidup semasa. bahwa Abi Harb hidup selama 40 tahun setelah wafatnya Abi Al-Aswad. Dengan demikian hadis
yang diriwayatkan Abi Harb ini bersambung kepada Abi Al-Aswad.
67
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jillid 33. h. 231
68
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33. h. 232
69
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-3, dengan pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005, h. 88
70
Artinya “Ibnu Hajar menilainya sebagai seorang yang tsiqat”. ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-3, dengan pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu. Lihat. Manna’ Al-
Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
71
Artinya “Al-Dzahabi menilainya sebagai seorang yang tsiqat”. ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-3, dengan pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu. Lihat. Manna’ Al-
Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
72
Setelah melihat tingkatan-tingkatan penta’dilan yang dilontarkan ulama hadis terhadapnya, menunjukan penta’dilan memiliki kualitas ketiga dalam tingkatan penta’dilan..
Artinya, secara hukum ketsiqahan Abi Harb tersebut bisa diterima dan dijadikan hujjah. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88-89
6. Abi al-Aswad
Bernama Ab Al-Aswad Al-Dialy. Pendapat lain mengatakan Al-Dualy
Al-Basriy ia seorang Qadi di Bashrah. Ia bernama lengkap Z lim bin ‘Amar bin
Sufy n
73
bin Jandal bin Ya’mar bin ils bin Nuftsah bin ‘Ad bin Al-Dialy,
Ab Al-Aswad wafat pada tahun 69 H. semasa hidupnya ia pernah ikut
peperangan Jamal bersama Ali sampai memporak-porandakan wilayah Ubaidillah bin Ziyad.
74
Guru dan Murid : Ab Al-Aswad menerima hadis dari 10 Guru, di
antaranya adalah Ubai bin Ka’ab, Al-Zubair bin ‘Aww m, ‘Abdullah bin
‘Abb s, ‘Abdullah bin Mas’d, ‘Al bin Ab lib, ‘Umar bin Khatb,
Mu’ dz bin Jabal, Ab Dzar Al-Ghifri dan seterusnya. Adapun jumlah
muridnya sebanyak lima orang di antarnaya : Sa’ d bin ‘Abdirrahman bin
Ruqaisy, ‘Abdullah bin Buraidah, ‘Umar bin ‘Abdullah maula Gufrah, Yahya bin Ya’mar, Anaknya Ab
Harb bin Ab Al-Aswad.
75
Komentar ulama kritikus hadis antara lain : Ab
Bakr bin Ab Khaitsamah berkata: Abi Al-Aswad adalah Tsiqatun, dan dia orang yang pertama berbicara dalam Nahwu.
76
Berdasarkan analisis penilaian ulama hadis terhadapnya, dapat di simpulkan Abi al-Aswad sebagai seorang yang tsiqat.
77
Tidak ada seorang ulama pun yang
73
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33 h. 38
74
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33. h. 38
75
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33. h. 37
76
ta’dil tersebut termasuk dalam tingkatan ke-2, dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya, keadilan dan ketetapan periwayatannya. Lihat. Manna’ Al-Qaththan,
Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88
77
Setelah melihat tingkatan penta’dilan yang dilontarkan ulama hadis terhadapnya, menunjukan penta’dilan memiliki kualitas kedua dalam tingkatannya. Artinya, secara hukum
melontarkan celaan terhadapnya. Selanjutnya, Abi al-Aswad menerima hadis dari Abu Dzar dengan metode ‘an’anah. Meskipun Abi al-Aswad memakai metode
tersebut, tetapi sanad dari Abi al-Aswad kepada Abu Dzar bersambung juga, karena Abi al-Aswad seorang periwayat tsiqat yang tidak pernah terbukti
melakukan tadlis. Selain itu, hubungan sebagai murid Abu Dzar dan jarak kelahiran serta wafat di antara keduanya menunjukan merekapun hidup semasa.
Bahwa Abi Al-Aswad hidup selama 37 tahun setelah wafatnya Abu Dzar. Dengan demikian hadis yang diriwayatkan Abi Al-Aswad ini bersambung kepada Abu
Dzar.
7. Abu Dzar
Bernama lengkap Ab Dzar Al-Ghifri
78
Sahabat Rasulallah saw. Bernama lengkap, Jundub bin Jun
dah bin Sufyn bin ‘Ubaid bin Waq’ah bin Har
m bin Ghifr. Dikatakan dalam riwayat lain Jundub bin Jundah bin Qais bin ‘Amar bin Mulail bin Su’air bin Har
m bin Ghifr bin Mulail bin amrah ibnu Bakr bin ‘Abdi Man
h bin Kinnah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ily
s bin Muar. Dan Ibunya bernama Ramlah binti Waq’ah bin Bani Ghifr bin Mulail. Abu Dzar wafat di Rabdzah pada tahun 32 H 652 M. saat itu ibnu
Mas’ d pun ikut menyolatkan. Kemudian Ibnu Mas’ud wafat sepuluh hari setelah
ketsiqahan Abu Aswad tersebut bisa diterima dan dijadikan hujjah. Lihat. Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 88-89
78
Nama lengkap Abu Dzar dan ayahnya terdapat kontroversi di kalangan ulama hadis,
Namun yang masyhur ialah Jundub bin Junadah bin Sufyan bin ‘Ubaid bin Waqi’ah bin Haram bin Ghifar. Dikatakan dalam riwayat lain Jundub bin Junadah bin Qais bin ‘Amar bin Mulail bin
Shu’air bin Haram bin Ghifar bin Mulail bin Dhamrah ibnu Bakar bin Abdi Manah bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar. Lihat. Jam
luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al- Maraz
, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-Rijl T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33. h. 294
wafatnya Abu Dzar.
79
Abu Dzar berkata : “Aku adalah orang Islam yang keempat”. Ia masuk Islam saat berada di Mekah kemudian ia kembali ke kota
kaumnya sampai akhirnya ia menetap di Madinah.
80
Guru dan Murid, Abu Dzar berguru langsung kepada Nabi saw. Dan ia pun meriwayatkan hadis dari Mu’
wiyah bin Ab Sufyn. Adapun muridnya sebanyak 77 orang, di antaranya adalah Ahnaf bin Qais, Usamah bin Salman,
Anas bin M lik, Ahban ia adalah anak perempuan Abi Dzar, namun ada yang
mengatakan “Ahban” adalah anak saudaranya, Jubair bin Nufair Al-Hadram ,
Abu Al-Aswad Al-Diali, Ab Salam Al-Aswad. Dan seterusnya.
81
Komentar ulama terhadapnya, Abdullah bin Buraidah dari Ayahnya bahwa Rasulallah saw bersabda “Aku
diperintahkan mencintai empat orang dari sahabatku, dan Allah telah mengabarkan kepada ku bahwa ia mencintai mereka. Ayahnya berkata, siapakah
mereka ya Rasulallah ? Nabi saw menjawab mereka adalah Ali, Abu Dzar, Sulaiman, dan Miqdad”.
Berdasarkan metode periwayatan as-sama’ yang digunakan Abu Dzar, kesamaan tempat tinggal, hubungan guru dan murid, dan pernyataan kecintaan
Nabi SAW terhadapnya, Maka hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bersambung kepada Nabi Muhammad SAW.
Kesimpulan Hasil Penelitian Sanad
79
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33. h. 298 ; Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Jambatan, 1992, h. 51
80
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33. h. 294
81
Jam luddin Ab Al-Hajjaj Ysuf Al-Maraz, Tahdzb Al-Kaml f Asm Al-
Rij l T.tp.: Muassasah Al-Rislah, t.t., Jilid 33. h. 295-296
Dari penelitian sanad di atas dapat disimpulkan bahwa sanad Ahmad bin Hanbal melalui Abu Mu’awiyah ini berkualitas shahih. Karena setelah penulis
melakukan penelitian, berdasarkan metode periwayatan yang mereka gunakan di antaranya al-sama’, ‘an’anah dan q
la, kemudian berdasarkan data historis di antara mereka adanya hubungan murid dan guru secara estafet, tahun lahir dan
wafat dan beberapa tempat yang pernah mereka singgahi, mata rantai sanad hadis Ahmad bin Hanbal dinyatakan bersambung. Adapun hasil mencermati beberapa
penilaian para kritikus hadis terhadap para periwayat hadis telah menunjukan bahwa mereka dinyatakan bereputasi baik atau Tsiqat terhindar dari syadz dan
‘illat. Jadi hadis yang diteliti ini telah memenuhi syarat kesahihan sanad hadis menurut Ibn Al-Shalah.
82
Dengan demikian, hadis riwayat Ahmad bin Hanbal ini berkualitas Sah
lidztihi.
83
82
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadis. Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq Jakarta: Gaya Media Pertama, 1998, Cet. I. h. 276
83
Shahih lidzatihi adalah hadis shahih yang memenuhi syarat-syaratny secara maksimal, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang tsiqat, terhindar Syadz, dan terhindar
dari illat. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadis. Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq Jakarta: Gaya Media Pertama, 1998, Cet. I. h. 277
BAB IV KEGIATAN PENELITIAN MATAN HADIS
Bicara tentang hubungannya dengan status kehujahan hadis, maka penelitian sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama pentingnya. Karena suatu hadis
barulah dinyatakan shahih, apabila sanad dan matan hadis itu sama-sama berkualitas shahih.
1
Pernyataan yang dikemukakan ulama bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam,
yakni terhindar dari syudzudz kejanggalan dan terhindar dari ‘illah cacat. Oleh karena itu, kedua unsur tersebut harus menjadi acuan utama dalam meneliti matan
hadis.
2
Dalam penelitian matan ini tidaklah mudah. Seperti yang telah diungkapkan oleh M.Syuhudi Ismail misalnya, apabila dinyatakan bahwa kaidah kesahihan
sanad hadis mempunyai tingkat akurasi yang tinggi, maka suatu hadis yang sanad-nya shahih mestinya matan-nya juga shahih. Namun, pada kenyataannya,
ada hadis yang sanad-nya shahih tetapi matan-nya a’f. Hal ini terjadi
sesungguhnya bukanlah disebabkan oleh kaidah keshahihan sanad yang kurang akurat, melainkan karena faktor-faktor lain. Seperti pertama, karena telah terjadi
kesalahan dalam melaksanakan penelitian matan. Kedua, karena terjadinya kesalahan dalam melaksanakan penelitian sanad. Ketiga, karena matan hadis yang
bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna yang ternyata
1
M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. I. h. 122-123
2
M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cet. I. h. 124