BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia perbankan syari’ah sebagai lembaga perantara keuangan financial intermediary di dunia internasional sedang mengalami
peningkatan dalam beberapa akhir tahun ini. Hal ini ditandai dengan adanya restrukturisasi institusi keuangan atau perbankan dengan menggunakan konsep
Islam di beberapa negara seperti Mesir, Malaysia, Iran, Pakistan termasuk di beberapa negara eropa seperti Denmark, Luxemburg, Switzerland dan Inggris.
Jika kita melihat kembali ke belakang, sejak pertengahan 1970-an perbankan Islam telah meluas di sekitar 70 negara meliputi sebagian negara muslim.
Sebagai contoh, Faisal Islamic Bank Mesir yang didirikan pada tanggal 27 agustus 1977 di Kairo telah mencatat keberhasilan dengan total asset lebih dari
500 juta di beberapa provinsi di3 Mesir Amin:2007:34. Studi statistik yang dilakukan Samad dan Hasan tahun 1999 Algaoud dan Lewis:2001:18
mengenai kinerja Bank Islam Malaysia Berhad dihubungkan dengan bank- bank komersial lainnya dari 1984 sampai 1997, secara keseluruhan Bank
Islam Malaysia Berhad dianggap sebagai bank yang lebih likuid dan agak kurang beresiko dibanding bank-bank lainnya.
Melihat adanya perkembangan perbankan syari’ah di beberapa negara tersebut, secara tidak langsung membawa perubahan terhadap perkembangan
perbankan syari’ah di Indonesia. Hal ini sesuai dengan ungkapan Iwan
Triyuwono Sabirin:2003:415 yang menjelaskan bahwa, secara historis perkembangan
perbankan syari’ah
di Indonesia
tidak terlepas
dari perkembangan
dan kemajuan
perbankan syari’ah
internasional Surbakti:2005:2.
Menurut Maruf Amin 2007:3-4 berkembangya perbankan syariah di Indonesia disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, potensial market bank
syariah di Indonesia cukup besar dengan mayoritas umat beragama Islam. Kedua
, umat Islam sendiri pada akhirnya akan memilih bank syariah apalagi setelah MUI menyatakan bahwa system bunga dan semua transaksi dengannya
adalah haram pada tanggal 16 desember 2003. Ketiga, bank syariah ternyata tidak menimbulkan resistensi bagi mereka yang bukan Muslim bahkan
nasabah bank syariah tidak hanya terdiri dari umat Islam melainkan juga dari kalangan non muslim. Keempat, bank syariah ternyata memiliki keunggulan
kompetitif seperti memberikan bagi hasil yang lebih besar kepada pemilik dana dibanding dengan bank konvesional. Kelima, bank syariah tidak
mengenal negative spread karena bank syariah tidak membayar bunga deposito yang besarnya bisa melampaui pendapatan bank. Keenam, bank
syariah telah berhasil menggerakan potensi ekonomi syariah sehingga tanpa disadari telah terjadi Gerakan Ekonomi Syariah GES yang meliputi
terjadinya sinergi antar potensi ekonomi syariah. Ketujuh, melalui bank syariah, fiqih muamalah dapat diterapkan secara optimal. Selain itu, Sutan
Remy 2002:13 mensyaratkan bahwa suatu perbankan syari’ah memerlukan lima unsur penting agar sistem tersebut dapat tumbuh dan berkembang, yaitu:
a. Adanya jumlah pemain kantor cabang bank syari’ah yang banyak b. Jenis instrumen perbankan syari’ah harus beraneka ragam
c. Tersedianya pasar keuangan syari’ah d. Sistem tersebut harus merefleksikan nilai-nilai ekonomis dalam Islam,
baik dalam substansinya maupun dalam bentuknya e. Perundang-undangan yang memadai
Lahirnya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan menjadi awal bagi perkembangan perbankan syari’ah di
Indonesia. Perkembangan ini dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia
BMI sebagai bank umum syari’ah pertama yang menerapkan konsep bagi hasil. Bahkan sejak krisis ekonomi pada tahun 1997, hanya bank syari’ah saja
yang tidak mengalami negative spread dibandingkan dengan bank-bank konvesional yang saat itu mengalami bancrupty. Menurut Arifin 2003
seperti yang dikutip Muhammad 2005:22, contoh dari krisis ekonomi tahun 1997 adalah Bank Exim yang menawarkan suku bunga sebesar 72.5 untuk
deposito 12 bulan yang menyebabkan bank tersebut menjadi banking crash. UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan telah memberikan
keleluasaan bagi perbankan syari’ah untuk memperluas jaringannya ke berbagai daerah walaupun pada saat itu hanya ada satu bank syariah Bank
Muamalat dan sekitar 70 BPR Syariah. Salah satu aturan yang terdapat dalam UU tersebut antara lain melalui izin pembukaan kantor cabang syariah KCS
oleh bank umum konvensional.
Adanya pembukaan kantor cabang syari’ah tersebut diperkuat dengan pendapat
Hariman Hasbi:2005
yang menyatakan
perlu adanya
pengembangan pada dual banking system dengan didasarkan atas berbagai pertimbangan. Pertama, pengalaman krisis perbankan yang terjadi sejak 1998
membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga bank yang
tinggi. Kedua, perbankan syariah pada awalnya terutama ditujukan dalam rangka pemenuhan pelayanan jasa perbankan bagi segmen masyarakat yang
belum memperoleh pelayanan jasa perbankan karena sistem perbankan konvensional dipandang tidak sesuai dengan prinsip syariah yang diyakini.
Keadaan ini didukung oleh karakteristik kegiatan usaha bank syariah yang melarang bunga bank riba dan menggunakan nisbah bagi hasil sebagai
penggantinya profitloss sharing contract, serta melarang transaksi keuangan yang bersifat spekulasi al-gharar. Ketiga, kegiatan pembiayaan bank syariah
didasarkan investasi riil dan participation system suplai uang dari sistem perbankan syariah sangat terkait erat dengan kebutuhan transaksi pelaku
ekonomi secara riil. Hal ini terlihat financing to deposit ratio FDR yang melebihi 100 persen, artinya seluruh dana pihak ketiga DPK dipergunakan
kembali dalam bentuk pembiayaan. Indikator utama untuk mengukur perkembangan perbankan syari’ah
adalah melihat besarnya jumlah pembiayaan yang disalurkan kepada nasabahnya. Secara rinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini mengenai
pembiayaan mulai dari Desember 2006 sampai September 2007 berdasarkan statistik perbankah syari’ah Bank Indonesia pada September 2007.
Tabel 1.1 Jumlah Asset Perbankan Syariah
Dalam juta Rupiah
Keterangan Des-06
Jul-07 Agu-07
Sep-07
Kas 346,114
487,365 367,890
410,271 Penempatan pada BI
3,640,734 3,042,103
2,420,532 2,941,506
Penempatan pada bank lain 991,377
1,110,417 1,121,823
1,214,436 Pembiayaan yang diberikan
20,444,907 23,687,318
24,637,850 25,589,806
Penyertaan 5,660
40,660 40,660
40,660 Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif PPAP
514,724 805,964
869,517 867,661
Aktiva tetap dan invetaris 270,397
275,229 274,559
273,354 Rupa-rupa aktiva
1,495,482 2,034,409
2,120,121 2,171,749
Jumlah 26,722,030
29,034,409 30,144,504
31,802,773
Sumber: Statistik Perbankah Syari’ah Bank Indonesia September 2007.
Tabel 1 menunjukan secara keseluruhan jumlah asset perbankan syariah terus meningkat dari bulan ke bulan khususnya pada pembiayaan.
Peningkatan tersebut dapat dilihat pada asset bulan Agustus sebesar 24,6 triliun yang lebih tinggi dibandingkan jumlah asset bulan Juli sebesar 23,6
trliun rupiah. Terakhir bulan September mempunyai asset yang lebih tinggi sebesar 25,6 triliun rupiah dibandingkan bulan Agustus sebesar 24,6 triliun
rupiah. Contoh bank syari’ah yang sedang mengalami peningkatan dari segi
pembiayaan adalah Bank Syariah Mandiri. Bank Syariah Mandiri merupakan bank kedua setelah Bank Muamalat yang berdiri sebagai bank umum syariah.
Pertumbuhan Bank Syariah Mandiri meningkat secara signifikan baik dari
segi pembiayaan, dana pihak ketiga, maupun asset secara keseluruhan pada tahun 2004 sampai 2006.
Tabel 1.2 Pertumbuhan Bank Syariah Mandiri
Pertumbuhan Bank Syariah Mandiri dalam jutaan Rupiah
Keterangan 2004
2005 2006
Asset 6.869.949
8.272.965 9.554.967
Dana Pihak Ketiga 5.888.102
7.067.757 8.219.267
Pembiayaan 5.253.985
5.866.876 7.414.757
Sumber: Laporan Keuangan Bank Indonesia, data diolah.
Tabel 2 dapat dilihat bahwa asset Bank Syariah Mandiri meningkat dari tahun 2004 sampai tahun 2006. Tahun 2004 aset bank tersebut sebesar 6,8
triliun rupiah, tahun 2005 sebesar 8,2 triliun rupiah dan tahun 2006 jumlah asset sebesar 9,5 triliun rupiah. Dari segi penghimpunan dana pihak ketiga,
Bank Syariah Mandiri mampu menghimpun dana pihak ketiga sebesar 5,8 triliun rupiah pada tahun 2004. Sedangkan tahun 2005 dan 2006 masing-
masing dana pihak ketiga sebesar 7,06 triliun rupiah dan 8,2 triliun rupiah. Terakhir, dana yang disalurkan untuk pembiayaan sebesar 5,2 triliun rupiah
dan 5,8 triliun rupiah pada tahun 2004 dan 2005. Dan tahun 2006 jumlah pembiayaan yang disalurkan sebesar 7,4 triliun rupiah.
Besarnya kontribusi aktiva pembiayaan pada Bank Syariah Mandiri menimbulkan permasalahan yang harus dipecahkan. Permasalahan tersebut
adalah faktor-faktor apa saja yang bisa mempengaruhi jumlah pembiayaan yang disalurkan perbankan syari’ah kepada para nasabahnya.
Pembiayaan memiliki kaitan erat dengan tingkat pendapatan yang dihimpun oleh perbankan syariah. Secara tidak langsung dapat dikatakan
semakin tinggi tingkat pendapatan perbankan syari’ah maka semakin tinggi pula pembiayaan yang disalurkan. Oleh karena itu perlu dikaji pula faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi jumlah pendapatan perbankan syari’ah. Seperti yang dikutip oleh Priatin dan Adnan 2005:36, Rose-Kolari
menyebutkan ada dua faktor yang mempengaruhi pendapatan lembaga keuangan yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara
lain perubahan teknologi pengiriman jasa, kompetisi dari lembaga keuangan lainnya, hukum dan peraturan mengenai lembaga keuangan, dan kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi sistem ekonomi dan keuangan. Faktor internal antara lain efisiensi penggunaan sumber daya, pengendalian biaya,
kebijakan manajemen perpajakan, posisi liquiditas, dan posisi resiko. Menurut Muhammad faktor-faktor lingkungan secara umum dikelompokan menjadi
lingkungan umum dan lingkungan khusus. Faktor lingkungan umum yang mempengaruhi kinerja perbankan syari’ah antara lain kondisi politik, hukum,
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, teknologi, kondisi lingkungan alamiah, dan keamanan negara. Faktor lingkungan khusus yang berpengaruh
antara lain pelanggan atau nasabah, pemasok atau penabung, pesaing, serikat pekerja, dan kebijakan bank sentral sebagai regulator.
Faktor internal misalnya effisiensi sumber daya yang ada pada bank syaria’ah tersebut dan pengendalian biaya dan posisi resiko. Penggunaan
sumber daya secara effisien dapat mempengaruhi tingkat pendapatan perbankan syari’ah sekaligus mempengaruhi tingkat pembiayaan yang
disalurkan. Sumber daya yang dihimpun perbankan syari’ah bersumber dari simpanan atau dana pihak ketiga, pinjaman serta modal sendiri ekuitas. Hal
ini sesuai dengan pendapat Rose-Kolari yang dikutip oleh Pratin dan Adnan 2005:36 bahwa sumber-sumber dana yang bisa digunakan untuk pembiayaan
adalah simpanan giro, tabungan, deposito berjangka, pinjaman bank sentral pinjaman liquiditas, pinjaman dari institusi keuangan internasional, dan
modal ekuitas modal disetor, laba ditahan, cadangan. Simpanan dan modal sendiri merupakan bagian yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Simpanan atau dana pihak ketiga merupakan harta titipan dari masyarakat sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi bank syari’ah. Jika
bank syari’ah tidak dapat menggunakan simpanan dengan sebaik-baiknya dalam memenuhi aktiva pembiayaan, maka tingkat pendapatan yang diperoleh
bank syari’ah akan berkurang. Semakin tinggi simpanan yang dihimpun bank syari’ah, semakin tinggi pula peluang untuk menyalurkan pembiayaan kepada
para nasabah dengan berbagai variatif pembiayaan seperti pembiayaan konsumtif, pembiayaan modal kerja maupun pembiayaan investasi.
Sumber dana kedua yang dapat digunakan untuk pembiayaan adalah modal sendiri yang terdiri dari modal disetor para pemegang saham, laba
ditahan dan cadangan-cadangan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Zainul Arifin
2005:18 yang menyatakan bahwa modal sendiri dapat digunakan untuk mendanai kegiatan operasional bank khususnya pada aktiva pembiayaan
financing . Baik simpanan atau dana pihak ketiga maupun modal sendiri
keduanya merupakan sumber daya bank syari’ah yang harus digunakan seefisien mungkin guna memenuhi ekspansi aktiva pembiayaan ke berbagai
sektor pembiayaan. Selain pengaruh jumlah simpanan dan modal sendiri, tingkat
pengendalian biaya dan posisi resiko pun dapat mempengaruhi besarnya jumlah pembiayaan perbankan syariah. Faktor ini dapat dilihat dari tingkat
kredit bermasalah atau Non Performing Loan NPL yang ada pada perbankan syariah. Istilah dalam kredit bermasalah, bank konvesional menggunakan
istilah Non Performing Loan NPL, sedangkan bank syari’ah menggunakan istilah Non Performing Financing NPF. Menurut Djoko Retnadi dkk
2005:113, angka NPL yang tinggi bagi sebuah bank komersial merupakan salah satu indikator yang sering dipakai untuk memprediksi prospek
kelangsungan hidup sustainability bank itu sendiri. Survey yang dilakukan konsultan Booz Allen and Hamilton terhadap penyebab kebangkrutan 200
bank international pada tahun 1987, ternyata masalah perkreditan menduduki ranking pertama sebesar 61. Hasil survey tersebut semakin diperkuat dengan
kenyataan bahwa sumber utama terjadinya krisis perbankan di tanah air maupun di negara lain pada tahun 1997 disebabkan angka NPL yang sangat
besar. Tingginya tingkat kredit bermasalah merepresentasikan tingginya resiko pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah.
Dari faktor eksternal yang mempengaruhi pembiayaan bank syari’ah misalnya dilihat dari adalah kompetensi dari lembaga keuangan lainnya.
Kompetensi ini dicerminkan dengan tingkat prosentase bagi hasil dan mark up keuntungan yang ada pada perbankan syariah. Muhammad Syafi’i Antonio
2001:139 menambahkan bahwa nisbah bagi hasil profit sharing ratio mempunyai pengaruh dalam perhitungan bagi hasil pada suatu bank. Bank
syari’ah semaksimal mungkin menetapkan tingkat bagi hasil sama dengan atau lebih besar dari suku bunga bank konvesional serta menerapkan kebijakan
mark up keuntungan yang lebih rendah dibandingkan suku bunga kredit bank
konvesional. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penelitian ini akan menguji
faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh bank syari’ah kepada masyarakat, diantaranya simpanan DPK, ekuitas
modal sendiri, Non Performing Financing NPF, prosentase bagi hasil dan mark up keuntungan. Simpanan dan ekuitas sebagai faktor efisiensi
penggunaan sumber daya, prosentase bagi hasil dan mark up keuntungan sebagai faktor yang menunujukan tingkat kompetensi dari lembaga keuangan
bank, dan tingkat NPF sebagai faktor pengendalian biaya dan posisi resiko. Penelitian dilakukan pada Bank Syariah Mandiri dengan jangka waktu selama
4 tahun dari tahun 2003 sampai 2006. Pertimbangan dipilihnya tahun 2003 sampai 2006 karena pada bulan Desember tahun 2003 Majelis Ulama
Indonesia menetapkan fatwa bunga bank haram. Hal ini membawa pengaruh kepada masyarakat khususnya yang beragama muslim untuk memilih bank
syariah daripada bank konvesional yang mengandung unsur riba. Penelitian ini
berjudul “ANALISIS PENGARUH SIMPANAN, MODAL SENDIRI, NON PERFORMING FINANCING, PROSENTASE BAGI HASIL DAN
MARK UP
KEUNTUNGAN TERHADAP
PEMBIAYAAN PADA
PERBANKAN SYARIAH Studi Kasus Bank Syariah Mandiri.
B. Identifikasi Masalah