Estimasi Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Marike Dan Sikundur Kecil Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara

(1)

ESTIMASI KEPADATAN POPULASI ORANGUTAN SUMATERA

(

Pongo abelii

)

BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI MARIKE

DAN SIKUNDUR KECIL KAWASAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA

SKRIPSI

OLEH

KHAIRUL UMRI

060805022

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

ESTIMASI KEPADATAN POPULASI ORANGUTAN SUMATERA

(

Pongo abelii

)

BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI MARIKE

DAN SIKUNDUR KECIL KAWASAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains

KHAIRUL UMRI

060805022

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(3)

PERSETUJUAN

Judul : ESTIMASI KEPADATAN ORANGUTAN

SUMATERA (Pongo abelii) BERDASARKAN

JUMLAH SARANG DI MARIKE DAN SIKUNDUR KECIL KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA

Kategori : SKRIPSI

Nama : KHAIRUL UMRI

Nomor Induk Mahasiswa : 060805022

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI

Fakultas MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan, Januari 2012 Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Asril Abdullah S.Si., M.si Drs. Arlen Hanel J., M.Si

NIP. - NIP. 19581018 199003 1 001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua

Dr. Nursahara Pasaribu., M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

ESTIMASI KEPADATAN POPULASI ORANGUTAN SUMATERA

(

Pongo abelii

) BERDASARKAN JUMLAH SARANG DI MARIKE

DAN SIKUNDUR KECIL KAWASAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2012

Khairul Umri 060805022


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas Rahmat, kekuatan dan kemurahan-Nya sehingga penulis diberikan kemampuan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Marike Dan Sikundur Kecil Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara” ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J., M.Si selaku Pembimbing I dan Bapak Asril Abdullah S.Si., M.Si selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, arahan, waktu, serta perhatiannya kepada penulis dari mulai penelitian sampai akhirnya penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti., M.S dan Ibu Dr. Suci Rahayu., M.Si selaku ketua dan sekretaris penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan serta waktunya demi kesempurnaan dan penyelesaiaan skripsi ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Mayang Sari Yeanny.,S.Si.,M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu memberikan saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan segala urusan mengenai akademis selama perkuliahan. Ibu Dr. Nursahara.,M.Si dan Bapak Kiki Nurtjahja.,M.Sc selaku ketua dan sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU, terima kasih kepada Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku tata usaha Departemen Biologi FMIPA USU, serta Ibu Nurhasni muluk dan Alm.Bapak Sukirmanto selaku analisis dan laboran di Laboraturium Departemen Biologi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis. Tidak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh staf pengajar di Departemen Biologi yang membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada lembaga Sumatera Orangutan Conservation Program-Yayasan Ekosistem Lestari (SOCP-YEL), yang telah memberikan bantuan kepada penulis, Kepada Ibu Sri Suci Utami selaku Ibu yang membimbing penulis di lapangan, Bang Mistar selaku koordinator tim survey yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, Bang Gonda Nisam, Bang Irfan, Bang Rio, Bang Hubert, Pak Sugianto, Bang Sentosa Surbakti dan Bang Sahrun Sembiring selaku pemandu lokal di lapangan, Kepada Pak Edison Pakar, Pak Setia Tambunan dan Pak Hariadi selaku Dinas Kehutanan yang mengawasi penulis di lapangan serta tim survey sarang orangutan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda M.Kasni dan Ibunda R.Sugiarti yang telah mencurahkan segala kasih sayang, cinta yang tak terhingga dan do’a serta dukungan yang tiada pernah putus kepada penulis, juga kepada Abangda Ilyas Siswadi.,S.Pd, Kakanda Dwi Yanti, Kakanda Julia Ningsih, Kakanda Leliana, Abangda Hery Prayetno.,S.Kom, Kakanda Reni


(6)

Kurniawanti, Abangda Puji Pandhuwinata dan Adinda Gusvita Windari serta Keluarga Besar penulis yang banyak memberikan do’a dan dukungan selama ini.

Ucapan Terima Kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat penulis Ayu Juli Arnita Sgh.,SKM atas do’a, dukungan serta kesabaran memberikan semangat kepada penulis. Untuk teman-teman seperjuangan di stambuk 2006, Kasbi, Zuki, Andri, Zulfan, Rudi, Hariadi, Dian, Utari, Vita, Yayan, Dwi, Ami, Ika, Liya, Lena, Grisa, Zulfa, Hilda, Desmina, Nikmah, Reni, untuk persahabatan yang indah. Kepada anak Ekowan, Yanti, Diah, Leni, Eva, Gilang, Juju, Surya, Ncay dan Aini terima kasih atas do’a dan dukungannya yang di berikan kepada penulis. Kepada Kakak-kakak Adik-adik penulis di Biologi, Bang Rahmad, Bang Rizky, Bang Juned, Bang Dahin, Kak Putri, Kak Fifi, Kak Diana, Desi, Misfalla, Mirza, Raymon, Jupe, Jayana, Farid dan seluruh adik-adik Stambuk 2007, Eka, Oppy, Pinta, Ika, Jakmal, Jhon dan seluruh Stambuk 2008, Ulan, Bobby, Siska, Boy, Hotman, Imam, AWH dan seluruh Stambuk 2009, atas semua dukungan dan bantuan. Kepada semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan dukungannya selama ini.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih kepada BIOPALAS yang telah membesarkan dan mendidik penulis. Kepada Bang Gigi, Bang Hasri, Bang Zamrud, Bang Andinal, Kak Gita, Bang Edu, Bang Mahya, Bang Yopi, Bang Franhot Kak Maini dan Kak Roma serta Bang Andi Asmara selaku abang asuh penulis atas do’a dan dukungannya selama ini kepada penulis.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini nantinya. Demikian skripsi ini penulis sampaikan, semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya konservasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Penulis,


(7)

Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Marike Dan Sikundur Kecil Kawasan Taman Nasional

Gunung Leuser Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian tentang “Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Marike dan Sikundur Kecil Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara” telah dilakukan padabulan Agustus 2010 sampai Januari 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan populasi orang-utan berdasarkan jumlah sarang. Penelitian dilakukan dengan metode line transect. Dari hasil penelitian jumlah rata-rata sarang diperoleh sebanyak 100,83 sarang di lokasi Marike dan 24,33 sarang di lokasi Sikundur Kecil dengan kepadatan populasi orang-utan sebesar 2,32 individu/km2 di lokasi Marike dan 0,56 individu/km² di lokasi Sikundur Kecil. Posisi sarang didominasi oleh posisi II (sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya) yaitu 81 sarang di lokasi Marike dan 16 sarang di lokasi Sikundur Kecil. Pemilihan sarang berdasarkan ketinggian ditemukan paling banyak berada pada ketinggian >10-15 m yaitu sebanyak 58 sarang di lokasi Marike, sedangkan di lokasi Sikundur Kecil berada pada ketinggian >15-20 m dan >20-25 m yaitu sebanyak 10 sarang pada masing-masing ketinggian. Pemilihan sarang berdasarkan jenis pohon ditemukan sebanyak 18 famili di lokasi Marike dan 13 family di lokasi Sikundur Kecil. Lokasi Marike didominasi oleh famili Lauraceae sebesar 16,76% yang lebih besar dari famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae masing-masing sebesar 13,51%. Lokasi Sikundur Kecil didominasi oleh family Dipterocarpaceae, Lauraceae, dan Meliaceae masing-masing sebesar 16,67%.


(8)

Density Estimation Of Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Population Based On Number Of Nest In Marike And Sikundur Kecil, Gunung Leuser National Park

Area, North Sumatera

ABSTRACT

A study of “Density Estimation of Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Population Based on Number of Nest in Marike and Sikundur Kecil Gunung Leuser National Park Area, north sumatera” was conducted in August 2010 to January 2011. The purpose of this study is to know the density of orangutan population based on number of its nest. This study was cunducted using the line transect method. The result showed that average number of the nest were found as 100,83 in Marike and 24,33 in Sikundur Kecil with density of population as 2,32 individual/km2 in Marike and 0,56 individual/km2 in Sikundur Kecil. Nest position was dominated by position II (the nest is in the middle or side of branching without using the tree or branch of the other tree) namely 81 nests in Marike and 16 nests in Sikundur Kecil. Choosing the nest based on altitude was found most on >10-15 m namely 58 nests in Marike, while in Sikundur Kecil were found on >15-20 m and >20-25 m as 10 nest for each altitude. Choosing the nest based on tree species were found as 18 families in Marike and 13 families in Sikundur Kecil. Marike was dominated by Lauraceae as 16,76% is more than Dipterocarpaceae and Lauraceae for each family as 13,51%. Sikundur Kecil was dominated by Dipterocarpaceae, Lauraceae, and Meliaceae for each family as 16,67%.


(9)

DAFTAR ISI

halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Lampiran x

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka 4

2.1 Klasifikasi Orangutan 4

2.2 Morfologi Orangutan 4

2.4 Ekologi 5

2.4.1 Penyebaran Orangutan 5

2.4.2 Habitat Orangutan 7

2.4.3 Perilaku Bersarang Orangutan 7

Bab 3 Bahan Dan Metoda 14

3.1 Deskripsi Area 14

3.1.1 Letak Dan Luas 14

a. Kawasan Marike 14

b. Kawasan Sikundur Kecil 14

3.1.2 Potensi Kawasan 14

1. Flora 14

a. Kawasan Marike 14

b. Kawasan Sikundur Kecil 15

2. Fauna 15

3.2 Waktu Dan Tempat 15

3.3 Alat Dan Bahan 16

3.4 Metoda Penelitian 16

3.5 Prosedur Kerja 16


(10)

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 19 4.1 Perkiraan Kepadatan Populasi Orangutan Berdasarkan

Jumlah Sarang 19

4.2 Jumlah Sarang Orangutan 21

4.3 Aktivitas Bersarang Orangutan 22

4.3.1 Tinggi Sarang 22

4.3.2 Posisi Sarang 24

4.3.3 Kelas Sarang 26

4.4 Pemilihan Pohon Sarang 27

4.4.1 Pemilihan Pohon Sarang Orangutan di Lokasi

Marike 27

4.4.2 Pemilihan Pohon Sarang Orangutan di Lokasi

Sikundur Kecil 29

Bab 5 Kesimpulan Dan Saran 31

5.1 Kesimpulan 31

5.2 Saran 32

Daftar Pustaka 33


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 4.1 Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Berdasarkan Sarang di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung

Leuser 19

Tabel 4.2 Proporsi Jarak Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dari Transek Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional

Gunung Leuser 21

Tabel 4.3 Proporsi Tinggi Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dari Tanah di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional

Gunung Leuser. 23

Tabel 4.4 Proporsi Posisi Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di

Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser. 24 Tabel 4.5 Proporsi Kelas Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

dari Transek di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul halaman

Gambar 2.1 Orangutan Betina (kiri) dan Orangutan jantan (kanan) 5 Gambar 2.2 Beberapa Posisi Sarang Orangutan di Atas Pohon 10

Gambar 2.3 Contoh Sarang Kelas A 11

Gambar 2.4 Contoh Sarang Kelas B 11

Gambar 2.5 Contoh Sarang Kelas C 12


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul halaman

Lampiran A Peta Lokasi Marike 36

Lampiran B Peta Lokasi Sikundur Kecil 38

Lampiran C Tabel Data Pengamatan Lokasi Marike 40 Lampiran D Tabel Data Pengamatan Lokasi Sikundur Kecil 45

Lampiran E Foto Penelitian 46

Lampiran F Ilustrasi Posisi Sarang Yang Biasa Digunakan Orangutan

Dalam Suatu Pohon 50

Lampiran G Perhitungan Estimasi Kepadatan Orangutan di Kawasan Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung


(14)

Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Marike Dan Sikundur Kecil Kawasan Taman Nasional

Gunung Leuser Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian tentang “Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Marike dan Sikundur Kecil Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara” telah dilakukan padabulan Agustus 2010 sampai Januari 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan populasi orang-utan berdasarkan jumlah sarang. Penelitian dilakukan dengan metode line transect. Dari hasil penelitian jumlah rata-rata sarang diperoleh sebanyak 100,83 sarang di lokasi Marike dan 24,33 sarang di lokasi Sikundur Kecil dengan kepadatan populasi orang-utan sebesar 2,32 individu/km2 di lokasi Marike dan 0,56 individu/km² di lokasi Sikundur Kecil. Posisi sarang didominasi oleh posisi II (sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya) yaitu 81 sarang di lokasi Marike dan 16 sarang di lokasi Sikundur Kecil. Pemilihan sarang berdasarkan ketinggian ditemukan paling banyak berada pada ketinggian >10-15 m yaitu sebanyak 58 sarang di lokasi Marike, sedangkan di lokasi Sikundur Kecil berada pada ketinggian >15-20 m dan >20-25 m yaitu sebanyak 10 sarang pada masing-masing ketinggian. Pemilihan sarang berdasarkan jenis pohon ditemukan sebanyak 18 famili di lokasi Marike dan 13 family di lokasi Sikundur Kecil. Lokasi Marike didominasi oleh famili Lauraceae sebesar 16,76% yang lebih besar dari famili Dipterocarpaceae dan Lauraceae masing-masing sebesar 13,51%. Lokasi Sikundur Kecil didominasi oleh family Dipterocarpaceae, Lauraceae, dan Meliaceae masing-masing sebesar 16,67%.


(15)

Density Estimation Of Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Population Based On Number Of Nest In Marike And Sikundur Kecil, Gunung Leuser National Park

Area, North Sumatera

ABSTRACT

A study of “Density Estimation of Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Population Based on Number of Nest in Marike and Sikundur Kecil Gunung Leuser National Park Area, north sumatera” was conducted in August 2010 to January 2011. The purpose of this study is to know the density of orangutan population based on number of its nest. This study was cunducted using the line transect method. The result showed that average number of the nest were found as 100,83 in Marike and 24,33 in Sikundur Kecil with density of population as 2,32 individual/km2 in Marike and 0,56 individual/km2 in Sikundur Kecil. Nest position was dominated by position II (the nest is in the middle or side of branching without using the tree or branch of the other tree) namely 81 nests in Marike and 16 nests in Sikundur Kecil. Choosing the nest based on altitude was found most on >10-15 m namely 58 nests in Marike, while in Sikundur Kecil were found on >15-20 m and >20-25 m as 10 nest for each altitude. Choosing the nest based on tree species were found as 18 families in Marike and 13 families in Sikundur Kecil. Marike was dominated by Lauraceae as 16,76% is more than Dipterocarpaceae and Lauraceae for each family as 13,51%. Sikundur Kecil was dominated by Dipterocarpaceae, Lauraceae, and Meliaceae for each family as 16,67%.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Orangutan merupakan salah satu satwa liar yang paling dikenal dan membuat kagum hampir semua orang di dunia, termasuk di Indonesia. Morfologi dan perilaku yang mirip dengan manusia merupakan daya tarik pemerhati primata maupun turis lokal dan internasional

Satwa liar merupakan salah satu komponen lingkungan yang ikut menjaga keseimbangan hutan, terutama ekosistem hutan tropika. Hutan sebagai habitat satwa menyediakan makanan, tempat berlindung, tempat beristirahat dan bermain serta tempat melakukan aktivitas perkembangbiakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup generasinya. Perubahan komponen lingkungan dalam habitat akan menimbulkan efek terhadap proses kehidupannya (Everett,1979 dalam Bismark, 1984).

Sejak tahun 1980-an, fragmentasi habitat, perburuan dan pembantaian satwa liar, serta penyebaran penyakit telah menimbulkan penurunan drastis dalam populasi kera-kera besar di seluruh Afrika. Oleh sebab itu, para ilmuwan yang khawatir mencoba untuk memperkirakan ukuran berbagai populasi serta memantau perubahan-perubahan dalam jumlah dan persebarannya (Kuhl et.al, 2009).

Menurut International Union Concervation of Nature (IUCN) (2007) sekitar 80% habitat orangutan telah hilang atau musnah, yang disebabkan karena terganggu, rusak dan berkurangnya kawasan hutan sebagai habitatnya. Bila keadaan ini dibiarkan, maka dalam 10–20 tahun ke depan orangután akan punah. Sehingga IUCN


(17)

mengkategorikan orangután sebagai critically endangered species atau sebagai satwa yang terancam punah.

Untuk menghitung kepadatan populasi, banyak peneliti yang telah mencoba mengestimasikan kepadatan orangutan melalui perhitungan sarang sepanjang transek tertentu, karena semua kera besar membuat sarang, salah satu fungsi sarang adalah sebagai tempat beristirahat setelah seharian melakukan aktivitas hariannya (Rijksen, 1978). Selain itu sarang juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari cuaca yang ekstrim. Perilaku sarang ini ditemukan pada kera besar karena kera besar memiliki perkembangan otak yang lebih baik. Sehingga kera besar dapat berfikir bahwa ada cara yang paling nyaman untuk beristirahat. Untuk Orangutan sendiri, sarang adalah sangat mutlak yang dilakukan setiap harinya di akhir aktivitas jelajahnya (Meijaard et al, 2001).

Hal ini dimungkinkan karena semua jenis kera besar termasuk orangutan, umumnya membangun sarang ketika akan beristirahat pada siang dan terutama malam hari. Sarang lebih mudah dihitung dibanding hewannya sendiri dan dapat terlihat dalam jangka waktu yang cukup lama, serta kurang berfluktuasi pada suatu lokasi tertentu. Setelah melalui proses yang cukup panjang, metode ini semakin memungkinkan untuk diterapkan dengan hasil yang cukup akurat (Van Schaik et al.,1994). Berkaitan dengan uraian di atas maka dilakukanlah penelitian dengan judul ”Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang Di Marike Dan Sikundur Kecil Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara”

1.2Permasalahan

Orangutan Sumatera (Pongo abelii) lebih terancam dibandingkan dengan Orangutan Kalimantan/Borneo (Pongo pygmaeus). Rusaknya sebagian ekosistem hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, menyebabkan terganggunya habitat dan berkurangnya sumber pakan alami bagi orangutan Sumatera, sehubungan


(18)

dengan ini belum di ketahui bagaimana jumlah populasi orangutan sumatera di lihat

dari jumlah sarang orangutan (Pongo abelii) di Marike dan Sikundur Kecil.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1) Mengetahui kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang di sekitar kawasan Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

2) Mengetahui posisi, kelas, tinggi sarang dan vegetasi dominan sarang di sekitar kawasan Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.4Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) berdasarkan jumlah sarang di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara kepada instansi terkait sehingga lebih bermanfaat bagi upaya konservasi sumber daya alam hutan berupa satwa secara optimal dan diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan kepada peneliti selanjutnya.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Orangutan

Menurut taksonomi sekarang, ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu anak jenis dari Sumatera dan dari Kalimantan (van Bammel 1968; Jones 1969). Kedua anak jenis ini terisolasi secara geografis paling sedikit sejak 10.000 tahun yang lalu ketika permukaan laut antara Sumatera dan Kalimantan naik (Meijaard et al, 2001).

Orangutan termasuk ordo Primata dan famili Homonidae (Groves 2001), dengan klasifikasi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrae Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Homonidae Subfamili : Pongonidae

Genus : Pongo

Spesies : Pongo abelii (Orangutan Sumatera)

Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan/Borneo).

2.2 Morfologi Orangutan

Orangutan atau mawas, merupakan kera besar yang hanya ada di Pulau Sumatera bagian Utara dan Kalimantan, termasuk Sabah Malaysia. Orangutan Sumatera,


(20)

memiliki warna tubuh merah kekuningan dan lebih terang dibandingkan orangutan Kalimantan (Wahyono, 2005), perbedaan morfologis orangutan dapat dikenali dari perawakannya, khususnya struktur rambut. Dilihat melalui mikroskop, jenis orangutan dari Kalimantan berambut pipih, dengan kolom pigmen hitam yang tebal di tengah; jenis orangutan dari Sumatera berambut lebih dari tipis, membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya (MacKinnon, 1973 dalam Meijaard et al., 2001).

Orangutan Sumatera mempunyai tubuh besar dengan berat berkisar antara 50-90 kg, tubuh ditutupi oleh rambut berwarna coklat kemerahan, tidak berekor, ukuran tubuh jantan dua kali lebih besar dari pada yang betina. Secara genetik orangutan memiliki kemiripan dengan manusia (http://www.cpoi.or.id, 2007). Selanjutnya Galdikas (1986) menjelaskan bahwa orangutan Sumatera (Pongo abelii), biasanya berwarna lebih pucat, khasnya “ginger” (jahe), rambutnya lebih lembut dan lemas (Gambar 2.1). Kadang-kadang mempunyai bulu putih pada mukanya.

Gambar 2.1 Orangutan betina (kiri) dan orangutan jantan (kanan)

Sumber: http://www.trips-indonesia.com

2.3. Ekologi Orangutan 2.3.1. Penyebaran Orangutan

Orangutan (Pongo sp.) merupakan satu-satunya kera besar yang terdapat di Asia. Pada masa Pleistocene satwa ini tersebar di seluruh Asia Tenggara, dari Selatan Cina di Utara hingga ke Jawa, Indonesia di Selatan, saat ini penyebaran orangutan hanya


(21)

terbatas di pulau Sumatera dan Borneo (Rijksen and Meijaard, 1999, Singleton et al, 2004), dan keduanya dinyatakan sebagai spesies terpisah, yaitu Pongo abelii di Sumatera dan Pongo pygmaeus di Borneo (Groves, 2001). Populasi terakhir diperkirakan sekitar 55.000 individu di pulau Borneo (Soehartono et al, 2007; Wich et al 2008) dan 6,600 individu di Sumatera (Soehartono et al, 2007; Wich et al 2008).

Menurut Van Schaik (2006), orangutan merupakan satu-satunya kera besar di Asia, hanya dapat ditemukan di hutan-hutan pedalaman di pulau Kalimantan dan pulau Sumatera. Menurut Groves (2001), orangutan yang hidup di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan adalah satu genera, yang terdiri dari dua spesies, yaitu Pongo abelii yang terdapat di pulau Sumatera dan spesies Pongo pygmaeus di pulau Kalimantan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari SOS-OIC (2007) di pulau Sumatera orangutan hanya ditemukan pada beberapa kawasan hutan saja, diantaranya di hutan yang terdapat di Sumatera Utara (antara lain di Bohorok, Tangkahan dan Batang Toru) dan Aceh Tenggara (antara lain di Singkil, Ketambe, dan Suaq).

Orangutan hidup di hutan tropis, mulai dari dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. Orangutan cenderung menyendiri dan tidak membuat keluarga atau kelompok. Biasanya hanya betina yang diikuti dengan satu atau dua anaknya yang belum mandiri. Sedangkan jantan hanya saat berpasangan dengan betina pada musim kawin.

Kehidupan soliter pada orangutan adalah sesuatu yang khas dan berbeda dari jenis kera besar lainnya dari suku Pongidae (Napier & Napier, 1976). Walaupun demikian menurut Schurmann (1982), orangutan bukan berarti tidak melakukan kontak sosial. Kemudian Galdikas (1978) menambahkan bahwa orangutan tetap melakukan interaksi dengan individu lain, terutama hubungan yang terjadi antara anak dan induk yang terlibat dalam berbagai kebersamaan dengan jenis-jenis satuan lain secara luas. Selain itu, melimpahnya sumber pangan, juga membuat orangutan Sumatera lebih sosial seperti yang terjadi di rawa Singkil (Schaik et al., 1994).


(22)

2.3.2 Habitat Orangutan

Orangutan banyak dijumpai di kawasan hutan hujan tropis dan menjadikan daerah ini sebagai habitatnya (Galdikas, 1986). Selanjutnya dijelaskan bahwa saat ini habitat orangutan dapat dikategorikan sebagai habitat in-situ (hutan alam) dan habitat eks-situ (hutan binaan/rehabilitasi dan reintroduksi, kebun binatang, dan lain sebagainya). Apabila dikaitkan dengan usaha-usaha konservasi, maka kegiatan yang dilakukan di habitat tersebut dapat dikelompokkan menjadi kegiatan rehabilitasi dan bukan rehabilitasi.

Hoeve (1996) menyatakan bahwa orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl.

Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-sumber makanan alternatif. Jika tidak, mereka akan mati. Jadi, jika kebutuhan dasar lainnya (air, makanan, tempat beristirahat, dan lain sebagainya) cukup tersedia, maka aktivitas hidupnya akan berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupannya ditentukan oleh ketersediaan akan sumber makanannya (Meijaard, 2001).

2.3.3 Perilaku Bersarang Orangutan

Semua kera besar termasuk orangutan membangun sarang yang biasanya di pergunakannya baik untuk beristirahat pada siang maupun tidur pada malam hari (Schaik et.al., 1994). Sarang bagi orangutan juga dapat berfungsi sebagai tempat


(23)

bermain bagi orangutan muda, tempat berlindung, melahirkan, melakukan kopulasi dan aktivitas makan (Rijksen, 1978).

Orangutan sering berpindah-pindah, maka tiap harinya pula ia membuat sarang-sarang baru (Wardaningsih, 1992). Dalam membuat sarang, orangutan memilih pohon yang sesuai dengan seleranya. Kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon makanan terakhir yang dikunjunginya. Sarang dibuat dari ranting dan daunnya masih segar, biasanya pada ketinggian 15 meter sampai 20 meter dari permukaan tanah (Walkers, 1983).

Ketika seekor orangutan menemukan posisi yang sesuai untuk membangun sebuah sarang dalam sebuah pohon, maka orangutan bergerak menuju batang-batang pohon kecil disekitarnya, lalu memegang dahan ke bawah dengan kaki. Kemudian ia memilin, melekukkan atau melipatnya ke bagian cabang yang lentur dengan tangannya. Tangan juga dipergunakannya untuk mendorong dahan-dahan tersebut ke bawah supaya rapat untuk membentuk suatu bidang datar. Pembuatan sebuah sarang biasanya membutuhkan waktu 2-3 menit, namun dapat dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan ringan (Mac Kinnon, 1974). Konstuksi sebuah sarang orangutan dapat bervariasi dari suatu bidang datar kecil yang sederhana sampai sebuah sarang yang besar dan kokoh, yang bahkan mampu untuk menahan seorang manusia dewasa dengan sangat nyaman (Rijksen, 1978).

Menurut Margianto (1998), setelah Orangutan menemukan dahan yang cocok untuk bersarang maka terdapat 4 (empat langkah) dalam teknik bersarang yang menggunakan dahan-dahan tersebut yaitu :

1) Melingkari, dahan dilengkungkan mendatar untuk membentuk sarang melingkar dan pegangan pada tempat bengkokan lain pada cabang pohon

2) Menggantung, dimana sebuah cabang dibengkokkan kebawah mengarah ke sarang untuk membentuk bagian tutup sarang

3) Bertiang, dimana cabang-cabang dilingkarkan ke atas dari bawah mengarah pada sarang untuk menahan cabang-cabang untuk dukungan ekstra

4) Melepaskan, sebuah cabang dihentakkan dari pohon lain dan di taruh dibawah sarang atau diletakkan di tempat sebagai bagian dari atap penutup sarang.


(24)

Sarang orangutan tidak permanen sifatnya (Sugardjito, 1983). Lebih lanjut Rijksen (1978) menjelaskan bahwa orangutan sering kali membuat sarang baru di lokasi yang berbeda atau dengan memperbaiki sarang yang lama. Sarang-sarang tersebut dapat digunakan selama dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari satu tahun. Menurut Van Schaik et al., (1994), hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan, habitat, begitu juga faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya seperti temperatur, kelembaban dan curah hujan.

Menurut Sugardjito (1983), di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser orangutan jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak memiliki perbedaan dengan orangutan remaja dan betina dewasa dengan anak dalam hal pemilihan tempat bersarang. Orangutan jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak lebih sering memilih membuat sarang pada pohon makanan yang terakhir dikunjunginya, sedangkan orangutan remaja dan betina dewasa dengan anak lebih banyak membuat sarang pada pohon lain. Hal ini merupakan strategi hewan untuk menghindar dari predator atau hewan-hewan lain yang memakan buah yang sama pada malam hari yang dapat mengganggu tidurnya.

Schaik & Idrusman (1996) menyatakan bahwa dalam suatu pohon ada beberapa posisi sarang yang biasa digunakan orangutan yaitu; (1) posisi sarang yang terletak didekat batang utama, (2) posisi sarang yang terletak ditengah atau dipinggir cabang utama, dan (3) posisi sarang yang terletak di puncak pohon atau di antara dua tepi pohon atau lebih yang saling bersinggungan yang di jalin menjadi satu.

YEL (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa posisi sarang orangutan yang terdapat di Sumatera, antara lain berada batang utama pohon, percabangan pohon, puncak pohon yang tinggi, dan pada panggabungan dua pohon atau lebih, seperti terlihat pada Gambar 2.2 berikut ini.


(25)

Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3 Posisi 4

Gambar 2.2 Beberapa Posisi Sarang Orangutan di Atas Pohon

Sugardjito (1983) menyatakan bahwa posisi sarang di atas puncak pohon dan dahan pohon, baik pada satu batang maupun pada dua batang pohon mempunyai keuntungan bagi orangutan, yaitu tidak terhalangnya pandangan dan jangkauan yang dapat mencakup sebagian besar dari penjuru hutan. Selain itu posisi ini juga memudahkan orangutan dalam melakukan pergerakan sewaktu keluar dari sarang dan dari segi keamanan, posisi ini menghindarkan orangutan dari ancaman predator.

Menurut Mac Kinnon (1974), orangutan lebih sering membangun sarangnya di dekat batang utama dari pada di posisi lain. Namun pemilihan posisi sarang ini sepertinya juga ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya pandangan mata yang dapat menjangkau sebagian besar penjuru hutan.

Estimasi populasi dengan metode penghitungan sarang dipengaruhi oleh umur sarang, potensi pohon pakan, perilaku pergerakan, termasuk migrasi serta kondisi habitat. Bagi orangutan, daya dukung habitat ini ditentukan oleh produktivitas tumbuhan yang menghasilkan makanan pada waktu yang tepat dan sebagai tempat beristirahat yang aman. Kekurangan makanan akan menyebabkan terjadinya persaingan, dan anggota yang posisinya lebih rendah harus mencari sumber-sumber makanan di tempat lain, atau menerima sumber-sumber makanan alternatif. Jika tidak, mereka akan mati. Jadi, jika kebutuhan dasar lainnya (air, tempat beristirahat, dll.) cukup tersedia, maka aktivitas hidupnya akan berlangsung dengan baik, dengan kata lain daya dukung untuk kehidupannya ditentukan oleh ketersediaan (Meijaard, 2001).


(26)

2) Kelas Sarang

UNESCO-PanEco dalam YEL (2009), menjelaskan bahwa kelas sarang dan kelas kerusakan/kehancuran sarang dapat ditentukan atas empat kelas untuk memprediksi kondisi tersebut dengan ciri-ciri sebagai berikut:

A.Kelas A; daun masih segar, sarang baru, semua daun masih hijau seperti Gambar 2.3 berikut

Gambar 2.3 Contoh Sarang Kelas A.

B.Kelas B, daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk sarang masih utuh, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan sarang, belum ada lubang yang terlihat dari bawah seperti Gambar 2.4 berikut


(27)

C.Kelas C, sarang tua, semua daun sudah coklat bahkan sebagian daun sudah hilang; sudah terlihat adanya lubang dari bawah seperti Gambar 2.5 berikut

Gambar 2.5 Contoh Sarang Kelas C.

D.Kelas D, semua daun sudah hilang, sebagian besar hanya tinggal ranting seperti Gambar 2.6 berikut


(28)

Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya:

1) Sarang Kelas A : merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau semua dan umurnya baru seminggu

2) Sarang Kelas B : daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan 3) Sarang Kelas C : semua daunnya sudah coklat

4) Sarang Kelas D : alas sarangnya sudah berlubang dan bentuknya kurang utuh 5) Sarang Kelas E : biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan bentuk

sarangnya.

Penelitian populasi orangutan dengan inventarisasi sarang, umur sarang dari tipe A-E berperan penting dalam menaksir populasi orangutan. Kelas sarang bergantung pada jenis pohon, temperatur, dan kelembaban udara, termasuk sarang yang dibuat untuk istirahat di siang hari atau untuk bermalam. Pembuatan sarang untuk siang hari tidak intensif, sehingga kualitas sarang tidak sebaik sarang untuk malam hari. Dalam hal ini komposisi vegetasi tidak banyak berpengaruh pada pembusukan sarang. Di Sumatera rata-rata umur sarang 2,5 bulan dengan variasi antara 2 minggu sampai lebih dari satu tahun (Rijksen 1978) dan antara 3-6 bulan (Van Schaik et al. 1995), namun angka ini tidak sama untuk semua habitat.


(29)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Deskripsi Area 3.1.1 Letak dan Luas a. Kawasan Marike

Secara geografis Kawasan Marike terletak di 03°50’39.6” LU 097°46’23.5” BT. Marike merupakan Desa dari Kecamatan Kutambaru, Kabupaten Langkat. Menurut BPS Kabupaten Langkat (2010), Marike luasnya 17,72 km².

b. Kawasan Sikundur Kecil

Secara geografis Sikundur Kecil terletak di 03°56’20.9” LU 098°03’44.9” BT. Kondisi lokasi Aras Napal/Sikundur merupakan dusun dari desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat adalah dusun yang berbatasan langsung dengan TNGL.

3.1.2 Potensi Kawasan 1. Flora

a. Kawasan Marike

Merupakan areal perkebunan dan hutan primer dataran tinggi. Menurut BPS Kabupaten Langkat (2010), perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) luasnya ±12 Ha dan Karet (Havea brasiliensis) ± 1.802 Ha. Marike juga merupakan hutan dataran tinggi dengan kondisi sangat baik. Bertopografi perbukitan dengan tingkat kemiringan berkisar 40%-80%, dibeberapa bagian wilayahnya terdapat lereng-lereng yang terjal. Sebagai hutan primer dengan kondisi baik, lokasi ini memiliki tutupan vegetasi/canopy 70%-90%. Ketinggian lokasi penelitian berkisar 550 mdpl–1260 mdpl. Jalur transek yang dibentuk mengacu pada elevasi rendah ke elevasi tinggi.


(30)

b. Kawasan Sikundur Kecil

Hasil utama disektor pertanian adalah Tananan Coklat (Theobroma cacao) dan Kelapa Sawit (Elais guineensis), di samping itu juga terdapat tanamam keras lainnya seperti Pinang (Arenga pinata), Durian (Durio zibethinus), Kelapa (Cocos nucifera), dll. Untuk tanamam palawija pada umumnya adalah Padi (Oriza sativa), Sawah dan Jagung (Zea mays). Suatu hal yang menarik di lokasi ini adalah banyak ditemuinya sejenis pohon palem yang oleh masyarakat setempat disebut pohon Sang (Johanesmania altiform). Pohon Sang merupakan jenis endemik yang hanya ditemui di lokasi ini. Secara umum kondisi hutan di jalur transek adalah sekunder tua dengan perkiraan tutupan hutan 50% - 70%. Sebagai hutan bekas tebangan, vegetasi di lokasi ini di dominasi oleh tumbuhan makaranga (Makaranga sp.). Pada area yang terbuka atau bekas jalan logging banyak ditumbuhi oleh tumbuhan pakis. Di bagian bawah hutan banyak ditumbuhi oleh pohon Sang (Johanesmania altiform), Rotan (Calamys spp.), dan tanaman merambat lainnya dan anakan pohon.

2. Fauna

Kawasan hutan di sekitar Stasiun pengamatan Orangutan Marike dan Sikundur Kecil juga merupakan habitat beberapa jenis hewan seperti: Siamang (Hylobates sindactylus), Kedih (Presbytis thomasii), Owa (Hylobates lar), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Jelarang (Ratufa bicolor), Beruang madu (Helarctos

malayanus), Burung rangkong (Buceros bicolor) dan beberapa jenis Reptil, Amfibi.

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama enam bulan yang dimulai bulan Agustus 2010 sampai dengan Januari 2011, di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.


(31)

3.3 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah: Peta areal penelitian, Alat tulis, Tabulasi data, tali, Kamera digital, Meteran, Parang, Sarung tangan, Plastik packing ukuran 10 kg, Teropong binokuler, Global Positioning System (GPS), Kompas, tali plastik berwarna, Headlamp, Range finder.

3.4Metoda Penelitian

Dalam penelitian ini, metoda yang digunakan dalam pengumpulan data mengenai estimasi kepadatan orangutan adalah metode line transect yang didasarkan atas sensus sarang secara random sampling. Semua sarang yg dijumpai dicatat (lokasi, nama pohon, jarak sarang ke jalur/ transek, kelas sarang, ketinggian, posisi sarang) diberi tanda dengan pita dan posisi sarang diambil GPS-nya. Disetiap lokasi setidaknya 6 kali kunjungan/monitor (1 kali kunjungan/bulannya). Setiap kunjungan setiap sarang yang sudah ditandai didata kembali kondisi terakhirnya (apakah masih ada, sudah pindah kelas, sudah rusak, atau sudah hilang sama sekali) (UNESCO-PanEco/YEL, 2009).

3.5 Prosedur Kerja

Mula-mula dilakukan pembuatan jalur (trail) sepanjang 1 km sampai 2 km dengan panjang jalur total 4 km di setiap kawasan, dilihat sarang di sekitar jalur transek. Lebar trail diterapkan atas dasar keyakinan bahwa jarak pandang mata masih dapat menjangkau sasaran (target) dengan baik untuk mendeteksi keberadaan sebuah sarang orangutan. Pengukuran terhadap lebar jalur (jarak sarang dari trail) tidak diperlukan apabila sarang diyakini masih kelihatan dari jalur transek dan dapat di ukur dan di catat sebagai data yang diperlukan.

Sensus sarang dilakukan di setiap transek dengan enam kali ulangan transek dengan jarak antara transek yang satu dan yang lain adalah 200 m. Cara kerja dari


(32)

sensus sarang dilakukan dengan jalan menyusuri trail secara perlahan-lahan, untuk mengamati kemungkinan adanya sebuah sarang orangutan baik disisi kanan maupun kiri trail yang dijadikan trail. Apabila sarang orangutan ditemukan, catat jarak antara lokasi sarang dengan pengamat, dalam hal ini penghitungan sarang berdasarkan kelas sarang A, B, C dan D agar tidak terjadi bias dalam penghitungan. Untuk mencegah penghitungan sarang berulang, maka ditentukan letak sarang dengan kategori sebagai berikut :

a. Meter di rintis (jarak tertentu yang memungkinkan sarang dapat diamati) b. Derajat arah sarang

c. Jarak sarang dari rintis (jarak sarang dari titik pengamat) d. Kelas sarang dengan kategori sebagai berikut:

- kelas A = segar, sarang baru, semua daun masih hijau

- kelas B = daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk sarang masih utuh, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan sarang, belum ada lubang yang terlihat dari bawah

- kelas C = sarang tua, semua daun sudah coklat bahkan sebagian daun sudah hilang; sudah terlihat adanya lubang dari bawah

- kelas D = semua daun sudah hilang, sebagian besar hanya tinggal ranting e. ketinggian sarang

f. posisi sarang dengan kategori sebagai berikut:

- Posisi I : posisi sarang yang terletak dekat batang utama

- Posisi II : sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya.

- Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon

- Posisi IV : posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda

Menurut IUCN (2007) sarang-sarang tersebut dibagi menjadi 5 kelas berdasarkan kondisi dan umur sarang tersebut dibuat, berikut klasifikasinya :

a. Sarang Kelas Satu merupakan sarang paling baru dengan daunnya masih hijau semua dan umurnya baru seminggu

b. Sarang Kelas Dua, daunnya sebagian hijau dan sebagian sudah kecoklatan c. Sarang Kelas Tiga semua daunnya sudah coklat


(33)

e. Sarang Kelas Lima biasanya sudah tinggal kerangka, namun masih kelihatan bentuk sarangnya.

Pohon yang ditemukan sarang orangutan, dicatat jenisnya jika memungkinkan. Pohon yang tidak dapat diidentifikasi langsung, diambil bagian daun serta alat generatifnya seperti bunga dan buah untuk diidentifikasi di laboratorium.

3.6Analisis Data

Untuk menghitung kepadatan orangutan di Kawasan Marike dan Sikundur Kecil, digunakan rumus yang diberikan oleh Van Schaik et al., (1994), yang khusus dimodifikasi untuk menghitung kepadatan orangutan dalam suatu areal berdasarkan perhitungan sarang. Rumus tersebut adalah :

D = N /(2µLp x r x t )

keterangan:

D = kepadatan populasi orang utan (individu/km²) L = panjang jalur/transect (km)

µ = rata-rata jarak antara sarang dengan transect (m) P = proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam populasi r = tingkat produksi sarang

t = ketahanan sarang

N = jumlah sarang yang tercatat /ditemukan di sepanjang jalur transect

Nilai yang digunakan pada penelitian ini, bagi semua perhitungan dengan menggunakan rumus diatas adalah :

- panjang transek (L) = 4 km

- proporsi jumlah sarang yang dibangun dalam populasi (p) = 0,9 - tingkat produksi sarang (r) = 1,7

- nilai ketahanan sarang (t) = 180 hari

- rata-rata jarak antara sarang dengan transek (µ = 0.1576) (Stephanie et al., 2010).


(34)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkiraan Kepadatan Populasi Orangutan Berdasarkan Jumlah Sarang

Hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh perkiraan kepadatan populasi orangutan berdasarkan jumlah sarang orangutan yang ditemukan di Kawasan Marike dan Sikundur Kecil, seperti terlihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Estimasi Kepadatan Populasi Orangutan Berdasarkan Jumlah Sarang orangutan di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser. Monitoring Jumlah Sarang Marike Kepadatan Orangutan Marike (km²) Jumlah Sarang Sikundur Kecil Kepadatan Orangutan Sikundur Kecil (km²)

1 100 2,30 22 0,50

2 118 2,71 25 0,57

3 103 2,37 26 0,59

4 87 2 24 0,55

5 99 2,28 23 0,52

6 98 2,25 26 0,59

Rata-rata 100,83 2,32 24,33 0,56

Berdasarkan dari Tabel 4.1 diatas terlihat bahwa jumlah sarang dan nilai kepadatan Orangutan di Marike jauh lebih banyak dibandingkan dengan lokasi di Sikundur Kecil, baik dilihat dari jumlah sarang maupun jumlah estimasi kepadatan populasinya. Dimana jumlah sarang di Marike sebanyak 100,83 sarang, dengan estimasi kepadatan orangutan sebanyak 2,32 individu/km2, sedangkan jumlah sarang di Sikundur Kecil sebanyak 24,33 sarang, dengan estimasi kepadatan orangutan sebanyak 0,56 individu/km2.

Berdasarkan dari jumlah sarang di Marike dan Sikundur Kecil yang terdapat di Tabel 4.1 terlihat bahwa jumlah sarang dan kepadatan Orangutan jauh berbeda, ini di sebabkan adanya perbedaan antara lokasi Hutan Marike dan Hutan Sikundur Kecil.


(35)

Hutan Marike masih tergolong hutan primer, sedangkan Hutan Sikundur Kecil tergolong hutan sekunder dikarenakan hutan ini merupakan bekas area Hak Pemilikan Hutan PT. Raja Garuda Mas (HPH PT. RGM) yang sudah lama di tinggalkan. Sehingga jumlah populasi orangutan liar pada masing-masing lokasi berbeda. Rendahnya jumlah kepadatan orangutan yang didapatkan di Sikundur Kecil di sebabkan oleh berbagai faktor pendukung bagi kelangsungan hidup orangutan maupun kehadiran orangutan, seperti sumber pakan, kondisi lingkungan hingga kenyamanan dari ancaman. Keadaan ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asfi Z pada tahun 2000, di Agusan yang hanya mendapatkan 0,0086 individu/ km2, populasi orangutan di Sikundur Kecil ini masih tergolong cukup banyak (0,56 individu/km2).

Departemen Kehutanan, (2007) menyatakan bahwa jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara terus menerus dalam beberapa dekade terakhir akibat hilangnya hutan dataran rendah, namun beberapa tahun terakhir kecepatan penurunan populasi orangutan terus meningkat. Hasil lokakarya Pengkajian Status Populasi dan Habitat (Population and Habitat Viability Analysis/PHVA) yang dilaksanakan pada Januari 2004 memberikan gambaran terkini tentang sebaran dan status populasi orangutan di Sumatera dan Kalimantan. Perkiraan populasi orangutan di Sumatera saat ini berkisar 6,667 individu.

Menurut Faust et al.(1994) disitasi oleh Syukur (2000) bahwa kepadatan orangutan dipengaruhi oleh faktor kebutuhan dasar yaitu air, tempat beristirahat, pakan cukup tersedia, maka daya dukung ditentukan oleh ketersediaan dan juga dipengaruhi oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan yang disukai orangutan merupakan tipe hutan dataran rendah (0-1000m dpl) berdasarkan ketinggian tempatnya serta hutan rawa gambut berdasarkan keadaan tanahnya. Dimana ketinggian di daerah Bukit Lawang adalah 100-350 m dpl.

Menurut Rijksen (1978), jumlah/banyaknya dan distribusi populasi orangutan normalnya/biasanya diukur secara sistematik melalui sensus sarang. Melaksanakan

sensus sarang secara tepat adalah hal yang kompleks karena sebaran orangutan tidak sama di setiap hutan. Mereka lebih memilih tinggal di habitat tertentu, terutama di dataran rendah (<500 mdpl) disepanjang sungai dan rawa. Mereka juga menjelajah


(36)

hingga ke area yang lebih tinggi (700- 1300 mdpl) yang terdiri dari beberapa tipe hutan berdasarkan jenis pohon yang dominan (hutan dipterokarpa, hutan ekaliptus, dll) dan dapat juga disatu hutan dengan tipe habitat yang berbeda. Setiap tipe habitat memiliki perbedaan produktivitas pakan orangutan, artinya, kepadatan orangutan berbeda disetiap tipe habitat.

Kepadatan populasi orangutan bervariasi di setiap lokasi dan ini berhubungan dengan tersedianya buah lunak (berdaging) dan kepadatan pohon rambung (Djojosudharmo & Schaik, 1992; Schaik et al., 1995; Buij et al., 2002; Wich et al., 2004). Terdapat sekitar 60% buah yang dimakan oleh orangutan di Sumatra dan Borneo (Galdikas, 1978; Wich et al., 2006). Pohon buah juga mempunyai peran yang penting untuk bersosialisasi. Meskipun orangutan termasuk jenis yang semi-soliter (Galdikas, 1978; Rijksen, 1978; Schaik, 1999), orangutan kadang kala berkumpul dan makan bersama di pohon buah yang besar, seperti pohon rambung yang besar (Ficus spp), bergerak bersama, kadang sampai beberapa hari, terutama ketika buah melimpah (Rijksen, 1978; Sugardjito et al., 1987; Utami et al., 1997).

4.2 Jumlah Sarang Orangutan

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing jarak sarang dari transek dalam masing-masing lokasi penelitian diperoleh jumlah sarang orangutan di Kawasan Marike dan Sikundur Kecil yang cukup bervariasi, seperti terlihat pada berikut:

Tabel 4.2 Proporsi Jarak Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dari Transek di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser.

No. Jarak Sarang dari

Transek (m) Marike Sikundur Kecil

1 0-5 40 12

2 > 5-10 42 4

3 > 10-15 34 3

4 > 15-20 24 0

5 > 20-25 23 5

6 > 25-30 12 4

7 > 30-35 4 1

8 > 35-40 4 1

9 > 40-45 1 0


(37)

Berdasarkan dari Tabel 4.2 dapat dilihat hasil yang lebih besar pada proporsi jarak sarang dari transek, yakni pada jarak > 5-10 m, dimana di lokasi Marike di hasilkan sebanyak 42 sarang dan di Sikundur Kecil di hasilkan sebanyak 12 sarang pada jarak > 0-5 m dari jalur transek. Sedangkan yang paling sedikit di hasilkan yakni pada jarak > 40-45 m dan pada jarak > 45-50 m, dimana di lokasi Marike di hasilkan sebanyak 1 sarang pada masing-masing jarak sarang dari transek dan di lokasi Sikundur Kecil tidak ada di hasilkan sarang Orangutan pada masing-masing jarak sarang dari transek.

Lebar trail diterapkan atas dasar keyakinan bahwa jarak pandang mata masih dapat menjangkau sasaran (target) dengan baik untuk mendeteksi keberadaan sebuah sarang orangutan. Pengukuran terhadap lebar jalur (jarak sarang dari trail) tidak diperlukan apabila sarang diyakini masih kelihatan dari jalur transek dan dapat di ukur. Pada penelitian yang dilakukan pada masing-masing lokasi dihasilkan bahwa jarak antara jalur ke sarang orangutan lebih besar pada jarak > 5-10 m di Marike, sedangkan di Sikundur Kecil jarak antara jalur ke sarang orangutan lebih besar pada jarak > 0-5 m, seperti terlihat pada Tabel 4.2.

4.3 Aktivitas Bersarang Orangutan

Parameter yang diamati untuk aktivitas bersarang orangutan meliputi ketinggian sarang, posisi sarang, serta kelas sarang,. Aktivitas bersarang merupakan aktivitas yang jarang dilakukan oleh jenis primata lain, kecuali Gorilla dan Simpanse yang juga melakukan aktivitas bersarang secara regular (Egenter, 1990).

4.3.1 Tinggi Sarang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dihasilkan jumlah sarang berdasarkan ketinggian sarang orangutan pada setiap tingkat ketinggian cukup bervariasi, seperti terlihat pada tabel berikut:


(38)

Tabel 4.3 Proporsi Tinggi Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dari Tanah di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser.

No. Ketinggian

(m) Marike Sikundur Kecil

1 0-5 0 0

2 > 5-10 11 0

3 > 10-15 58 6

4 > 15-20 55 10

5 > 20-25 29 10

6 > 25-30 19 4

7 > 30-35 13 0

Berdasarkan Tabel 4.3 diatas, terlihat bahwa pemilihan sarang berdasarkan ketinggian yang paling banyak ditemukan adalah sarang pada ketinggian > 10-15 m yakni 58 sarang di ikuti pada ketinggian > 15-20 m yakni 55 sarang di lokasi Marike dan sarang pada ketinggian > 15-20 m dan >20-25 m yakni 10 sarang di ikuti pada ketinggian > 10-15 m yakni 6 sarang di lokasi Sikundur Kecil.

Ketinggian 10 sampai k`urang dari 25 meter dari permukaan tanah, sangat ideal bagi Orangutan dalam menghadapi kemungkinan buruk. Posisi ini lebih disukai letaknya dan sering berada di dalam rimbunan daun pohon tempat Orangutan bersarang yang dapat melindunginya dari predator dan cuaca buruk (Rijksen, 1978).

Predator Orangutan terdidri dari Harimau dan Macan Dahan yang dapat memanjat pohon dan memangsa Orangutan. Sarang-sarang yang dibuat pada ketinggian yang rendah menyebabkan predator dengan mudah menangkap Orangutan (Mac Kinnon, 1974).

Selanjutnya menurut Rijksen (1978), orangutan dalam membangun sarang, posisi dan lokasi sarang sangat menentukan. Banyak sarang dibangun di posisi dan lokasi yang menguntungkan (baik dari segi keamanan maupun kenyamanan). Ketinggian juga memiliki jangkauan pandangan yang luas serta tidak terhalang untuk menjangkau sebagian besar penjuru hutan.


(39)

4.3.2 Posisi Sarang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, jumlah dari sarang orangutan berdasarkan posisi sarang dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut

Tabel 4.4 Proporsi Posisi Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser.

No. Posisi Sarang Marike Sikundur Kecil

1 I 44 6

2 II 81 16

3 III 44 5

4 IV 16 3

Keterangan :

Posisi I : posisi sarang yang terletak dekat batang utama

Posisi II : sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya.

Posisi III : posisi sarang terdapat di puncak pohon

Posisi IV : posisi sarang yang terletak diantara dua pohon yang berbeda

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, posisi II banyak ditemukan pada lokasi Marike (81 sarang) dan Sikundur Kecil (16 sarang), di ikuti pada posisi I dan III yang ditemukan di lokasi Marike (44 sarang) dan Sikundur Kecil di ikuti pada posisi I yang di temukan sebanyak 6 sarang (Gambar 4.3). Hal ini disebabkan oleh kerapatan vegetasi hutan pada tiap lokasi yang berbeda dan berdasarkan kenyamanan bagi tiap orangutan yang membuat sarangnya.

Pada saat membuat sarang orangutan memilih pohon yang sesuai dengan seleranya, umumnya pada pohon yang rimbun daunnya. Namun demikian kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon pakan terakhir yang dikunjunginya. Sarang dibuat dari ranting yang daunnya masih segar, dengan ketinggian 5 sampai lebih 35 meter dari permukaan tanah. Strategi membuat sarang pada orangutan di stasiun penelitian Ketambe memiliki perbedaan antara orangutan jantan dewasa dan betina dewasa tanpa anak dengan orangutan remaja (adolescent) dan betina dewasa dengan anak kecil dalam hal pemilihan tempat bersarang.


(40)

Orangutan jantan dewasa kadang memilih membuat sarang dekat dengan pohon pakan atau bahkan dipohon pakan yang terakhir dikunjunginya dan sarang biasanya agak rendah bisa mencapai 5 meter di atas permukaan tanah, sedangkan orangutan remaja dan betina dengan anak kecil lebih banyak membuat sarang pada pohon lain dan agak jauh dari pohon pakan terakhir. Hal ini merupakan strategi orangutan untuk menghindari dari predator atau hewan-hewan lain yang memakan buah yang sama pada malam hari yang dapat mengganggu tidur orangutan, serta tingginnya bisa mencapai lebih dari 35 meter di atas permukaan tanah (Nuzuar., 2004).

Menurut Schaik & Idrusman (1996), dalam suatu pohon ada beberapa posisi sarang yang biasa digunakan oleh orangutan, yaitu posisi sarang yang terletak di dekat batang utama, posisi sarang yang terletak di tengah atau pinggir cabang utama, dan posisi sarang yang terletak di puncak pohon atau di antara dua tepi pohon atau lebih yang saling bersinggungan yang dijalin menjadi satu. Menurut Mac Kinnon (1974), orangutan lebih sering membangun sarangnya di dekat batang utama dari pada di posisi lain. Namun, pemilihan posisi sarang ini sepertinya juga ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya pandangan mata yang dapat menjangkau sebagian besar dari penjuru hutan.

Posisi sarang yang biasanya digunakan Orangutan pada suatu pohon antara lain : posisi sarang yang terletak di dekat batang utama, posisi sarang yang terletak di tengah atau dipinggir cabang utama dan posisi sarang yang terletak di puncak pohon atau diantara dua tepi pohon atau lebih yang saling bersinggungan yang dijalin menjadi satu. Kadang-kadang orangutan lebih sering membangun sarangnya didekat batang utama dari pada posisi lain. Namun pemilihan posisi sarang ini sepertinya juga ditentukan oleh banyak faktor, seperti keuntungan dari tidak terhalangnya pandangan mata yang dapat menjangkau sebagian besar dari penjuru hutan. Sarang orangutan sifatnya tidak permanen , orangutan seringkali membuat sarang baru di lokasi yang berbeda atau dengan memperbaiki sebuah sarang lama serta dipakai untuk dua malam. Sedangkan ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari tiga bulan (Nuzuar, 2004).


(41)

4.3.3 Kelas Sarang

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, jumlah dari sarang orangutan berdasarkan kelas sarang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.5 Proporsi Kelas Sarang Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dari Transek di Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser.

No. Kelas Marike Sikundur Kecil

1 A 53 3

2 B 30 2

3 C 32 11

4 D 70 14

Keterangan :

Kelas A : Sarang baru dan masih hijau

Kelas B : Sarang masih utuh, tapi warna berubah coklat Kelas C : Sarang berwarna coklat dan sudah terdapat lubang Kelas D : Sarang sudah tinggal kerangka

Berdasarkan dari data pada Tabel 4.5 di atas, Kelas D lebih banyak ditemukan pada masing-masing lokasi, yakni 70 sarang (di lokasi Marike) dan 14 sarang (di lokasi Sikundur Kecil), kemudian di ikuti dengan Kelas A di lokasi Marike, yakni 53 sarang, sedangkan di lokasi Sikundur Kecil di ikuti dengan Kelas C yakni 11 sarang. Pada masing-masing lokasi yang paling sedikit di temukan pada Kelas B, yakni 30 sarang (di lokasi Marike) dan 2 sarang (di lokasi Sikundur Kecil).

Hancur dan hilangnya sarang orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl), tipe hutan/habitat, begitu juga faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya seperti temperatur. Selama penelitian ada beberapa sarang teramati yang bertahan lama pada kelas 3 dan kelas 4 selama 3 bulan, dimana posisi (letak) sarang tersebut terlindung dengan dedaunan dari tetesan air hujan serta terhindar dari gangguan orangutan lainnya (Schaik et al., 1994).

Menurut Nuzuar (2008), lamanya ketahanan sarang setiap kelas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :


(42)

b. Kerusakan yang ditimbulkan oleh Orangutan seperti mencari serangga dan lainnya, sehingga menyebabkan sarang menjadi rusak

c. Kualitas pohon sarang, karena ada pohon yang mempunyai tipe pohon keras dan tipe pohon mudah lapuk.

Salah satu komponen penting dalam memperkirakan populasi orangutan dengan metode penghitungan sarang orangutan dalam transek adalah diketahuinya berapa lama sebuah sarang orangutan hancur dengan pengikuti penurunan kelas sarang. (Marshall, 2002) menyatakan lamanya sebuah sarang hancur ditentukan oleh beberapa faktor antara lain; jenis pohon sarang, temperatur, kelembaban, keasaman (pH) tanah, ketinggian dari permukaan laut dll.

Menurut Schaik et al., (1994), hancur dan hilangnya sarang Orangutan ditentukan oleh faktor ketinggian tempat diatas permukaan laut (dpl), tipe hutan/habitat, begitu juga faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya seperti temperatur. Selama penelitian ada beberapa sarang teramati yang bertahan lama pada kelas 3 dan kelas 4 selama 3 bulan, dimana posisi (letak) sarang tersebut terlindung dengan dedaunan dari tetesan air hujan serta terhindar dari gangguan Orangutan lainnya.

4.4 Pemilihan Pohon Sarang

4.4.1 Pemilihan Pohon Sarang Orangutan di Lokasi Marike

Hasil penelitian ini diketahui bahwa orangutan umumnya memilih jenis pohon sebagai tempat bersarang pada 18 famili yang berbeda yaitu Anacardiaceae, Annonaceae, Araliaceae, Bombacaceae, Burceraceae, Dipterocarpaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae, Fagaceae, Gnetaceae, Lauraceae, Leguminosae, Meliaceae, Moraceae, Myristiceae, Myrsinaceae, Myrtaceae, Sterculiaceae. Dari keseluruhan famili juga dapat dilihat bahwa famili Lauraceae (17%) diikuti dengan famili Dipterocarpaceae (14%) dan Fagaceae (14%) merupakan pohon yang persentasenya tertinggi yang dipilih orangutan untuk bersarang, seperti yang terlihat pada Gambar 4.5.


(43)

Jumlah sarang orangutan pada beberapa jenis tumbuhan memiliki beberapa perbedaan proporsi disetiap tipe habitatnya;dimana jenis tumbuhan yang mendominasi jumlah sarang di hutan dataran rendah ialah: Dipterocarpus confertus dan Eusideroxylon zwageri, di hutan rawa didominasi oleh jenis Dipterocarpus confertus , Eusideroxylon zwageri dan Bouea oppositifolia, sedangkan Dipterocarpus confertus mendominasi jenis pohon sarang di hutan dataran tinggi. Secara keseluruhan pohon-pohon yang menjadi tempat membuat sarang di hutan dataran rendah,hutan rawa, dan di hutan dataran tinggi memiliki tinggi rata-rata 11-40 meter (Ela et al., 2001).

4% 7% 5% 1% 4% 14% 1% 8% 1% 17% 1% 6% 3% 8% 1% 6% 14% 1%

A nac ardiac eae A nnonac eae A raliac eae B ombac ac eae B urs erac eae Dipteroc arpac eae E benac eae E uphorbiac eae F agac eae G netac eae L aurac eae L eguminos ae Meliac eae Morac eae Myris tic ac eae Myrs inac eae Myrtac eae S terc uliac eae

Gambar 4.5 Diagram Perbandingan Persentase Pemilihan Pohon Sarang di

Lokasi Marike

Aktivitas harian yang dilakukan orangutan dimulai dari meninggalkan sarang tidur pada pagi hari dan diakhiri dengan membuat sarang kembali dan tidur pada sore hari (Galdikas, 1986). Keberadaan pohon sarang juga menjadi kebutuhan yang penting bagi orangutan, di beberapa tempat penelitian diketahui terdapat preferensi pohon sarang pada orangutan (Widjaja et. al, 2007). Tumbuhan yang ada di Taman Nasional Sebangau tercatat sekitar 10 taksa yang dimanfaatkan orangutan untuk bersarang. Taksa tersebut diantaranya seperti Camnosperma, Shorea, Lithocarpus, Eugenia, Palaquium, Elaeocarpus, Chrysobalanaceae, Nephelium, Diospyros dan Garcinia (Ancrenaz, 2007).


(44)

4.4.2 Pemilihan Pohon Sarang Orangutan di Lokasi Sikundur Kecil

Hasil penelitian ini diketahui bahwa orangutan umumnya memilih jenis pohon sebagai tempat bersarang pada 13 famili yang berbeda yaitu Anacardiaceae, Annonaceae, Apocynaceae, Clusiaceae, Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Fagaceae, Meliaceae, Moraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, Sapindaceae, dan Sapotaceae. Dari keseluruhan famili juga dapat dilihat bahwa famili Dipterocarpaceae, Fagaceae dan Meliaceae merupakan pohon yang persentasenya tertinggi yang dipilih orangutan untuk bersarang yakni (16.67%), seperti terlihat pada Gambar 4.6.

3% 7%

3%

17%

17%

13%

18% 3% 3% 7%

3% 3%

3%

A nac ardiac eae A nnonac eae A poc ynac eae C lus iac eae

Dipteroc arpac eae E uphorbiac eae F agac eae Meliac eae

Morac eae Myris tic ac eae Myrtac eae S apindac eae

S apotac eae

Gambar 4.6 Diagram Perbandingan Persentase Pemilihan Pohon Sarang di

Lokasi Sikundur Kecil

Dipterocarpaceae kemungkinan merupakan kelompok tumbuhan yang paling tepat digunakan sebagai pohon sarang orangutan karena pohon ini sangat keras dan kemungkinan patah sangat kecil. Dipterocarpaceae merupakan salah satu famili kayu keras yang banyak terdapat di hutan hujan tropis. Pohon berukuran besar dengan ketinggian dapat mencapai 50 m, tinggi bebas cabang sampai 30 dengan diameter sekitar 100 cm, mempunyai banir mencapai 3,5 m. Pohon meranti (Shorea faguetiana) tertinggi yang pernah ditemukan terdapat di Sabah, dengan ketinggian 88,1 m. Kelompok Dipterocarpaceae tergolong tanaman berbunga. Waktu berbunga tidak tetap dan terjadi dalam interval waktu 3-10 tahun. Sering kali terjadi di suatu kawasan hutan


(45)

tropis, hampir semua dipterocarps dari berbagai spesies berbunga secara bersamaan (Yayasan Ekosistem Leuser, 2009).

Orangutan terutama hidup dan tersebar pada hutan-hutan primer dataran rendah namun juga dijumpai pada hutan dataran tinggi atau pegunungan yang banyak ditumbuhi tanaman dari famili Dipterocarpaceae (MacKinnon, 1971 dalam Rijksen, 1978). Dari hasil penelitiannya, Rijksen (1978) menyatakan struktur hutan yang dihuni orangutan terdiri atas pohon-pohon tinggi berkisar 35-50 meter dengan tidak adanya dominasi jenis vegetasi dan lantai hutan ditumbuhi oleh herba.


(46)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1) Kepadatan populasi Orangutan di Kawasan Marike lebih besar di bandingkan dengan kepadatan populasi orangutan di Kawasan Sikundur Kecil berdasarkan jumlah sarang adalah 2.32 individu/km² di Kawasan Marike dengan jumlah rata-rata sarang sebanyak 100.83 sarang, sedangkan di Kawasan Sikundur Kecil adalah 0.56 individu/km² dengan jumlah rata-rata sarang adalah 24.33 sarang.

2) Perbandingan proporsi tinggi sarang berdasarkan ketinggian yang paling banyak ditemukan adalah sarang pada ketinggian >10-15 m yakni 58 sarang di ikuti pada ketinggian >15-20 m yakni 55 sarang di lokasi Marike dan sarang pada ketinggian >15-20 m dan >20-25 m yakni 10 sarang di ikuti pada ketinggian >10-15 m yakni 6 sarang di lokasi Sikundur Kecil.

3) Perbandingan proporsi posisi sarang orangutan yang ditemukan di lokasi Marike dan Sikundur Kecil yakni: pada posisi II banyak ditemukan di lokasi Marike (81 sarang) dan Sikundur Kecil (16 sarang), di ikuti pada posisi I dan III yang ditemukan di lokasi Marike (44 sarang) dan Sikundur Kecil di ikuti pada posisi I yang di temukan sebanyak 6 sarang.

4) Perbandingan Proporsi Kelas Sarang Orangutan yang ditemukan di lokasi Marike dan Sikundur Kecil yakni: Kelas D lebih banyak ditemukan pada masing-masing lokasi yakni 70 sarang (di lokasi Marike) dan 14 sarang (di lokasi Sikundur Kecil), kemudian di ikuti dengan Kelas A di lokasi Marike yakni 53 sarang, sedangkan di lokasi Sikundur Kecil di ikuti dengan Kelas C yakni 11 sarang. Pada masing-masing lokasi yang paling sedikit di temukan pada Kelas B, yakni 30 sarang (di lokasi Marike) dan 2 sarang (di lokasi Sikundur Kecil).


(47)

5) Pemilihan sarang berdasarkan jenis pohon ditemukan sebanyak 18 famili di lokasi Marike dan 13 family di lokasi Sikundur Kecil. Lokasi Marike didominasi oleh famili Lauraceae sebesar 16,76% yang lebih besar dari family Dipterocarpaceae dan Lauraceae masing-masing sebesar 13,51%. Lokasi Sikundur Kecil di dominasi oleh family Dipterocarpaceae, Lauraceae, dan Meliaceae masing-masing sebesar 16,67%.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil yang telah diperoleh selama melakukan penelitian ini, disarankan: a. Perlunya di lakukan pencegahan penebangan hutan secara illegal loging demi

menjaga kelestarian hutan dan kelangsungan hidup hewan di dalamnya termasuk orangutan.

b. Sebaiknya untuk menghitung kepadatan populasi orangutan dilakukan secara berulang untuk dapat melihat perubahan jumlah populasi dalam interval jangka waktu yang tertentu.

c. Untuk kepentingan ilmiah dapat di lakukan penelitian mengenai: Analisis vegetasi dan ketersediaan buah di alam yang bertujuan untuk mengetahui daya dukung habitat, terutama kelimpahan buah dan jenis-jenis tumbuhan secara lengkap.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Cetakan pertama. Jilid I. Fakultas Kehutanan IPB: Bogor.

Ancrenas , M. 2007 : Orangutan aerial survey in Sebangau National Park, Central Kalimantan Indonesia. Sebangau Project, Kalimantan Tengah, Palangkaraya. WWF Indonesia.

Asfi, Z. 2001. Kepadatan Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus abelii) Berdasarkan Jumlah Sarang di Agusan Ekosistem Leuser. Skripsi Universitas Syiah Kuala fakultas kehutanan: Banda Aceh.

Bismark, M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata Indonesia. Fakultas Pasca Sarjana IPB: Bogor

Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007 – 2017. Jakarta

Buij, R., S.A. Wich, A.H. Lubis, And E.C.M. Sterck. 2002. Seasonal movements in the Sumatran orangutan (Pongo pygmaeus abelii) and consequences for conservation. Biol. Conserv.

Ela, P. L., Djuwantoko., Yuda, P. 2001. Penggunaan Habitat oleh Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) Rehabilitan di Hutan Lindung Sungai Wain, Kalimantan Timur. Biota Vol VI (3). Yogyakarta

Galdikas, B, M, F. 1986. Adaptasi Orangutan Di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Cetakan kedua. Universitas Indonesia- Press: Jakarta

Galdikas, B. M. F. 1984. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Universitas Indonesia Press: Jakarta

Galdikas, B. M. F. 1978.Orangutan Adaptation at Tanjung Puting Reseve, Central Borneo. University of Califonia, Los Angeles.

Ghiglieri, M.P. 1984. The Chimpanzees of Kibale Forest. Columbia University Press, New York.

Groves, C. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press: Washington Hashimoto, C. 1995. Population census of the chimpanzees in the Kalinzu Forest.


(49)

IUCN (2007) 2007 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN, Gland, Switzerland. Http://www.iucnredlist.org [accessed 15 Januari 2010].

Kuhl, H. S. Utami, S.A. Wich, 2009, Panduan Lapangan-Survey Training Workshop Bohorok, Sumatera: Medan.

Mackinnon, J. R. 1974. The Ape Within Us. Holt. Rinehard and Winston: New York. Margianto, G. 1998. Perilaku Bersarang pada Orangutan (Pongo abelii) di Pusat

Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser Aceh Tenggara, Sumatera, Skripsi, Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta

Marshalll, A., J. 2002. Orangutan population survei of Gunung Gajah in Berau district, East Kalimantan. Biological Consultant to The Nature Conservancy (draft 3).

Meijaard, E., H. D. Rijksen, S. N. Kartikasari. 2001. Diambang Kepunahan! Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Cetakan pertama. The Gibbon Foundation Indonesia; Jakarta.

Napier, J. R. and Napier, P.H. A.1976. Hand Book of Living Primate. Academic Press: London.

Nuzuar. 2004, Perilaku Bersarang Orangutan, Laporan penelitian, Medan; Sumatera Utara.

Nuzuar, 2008, Kepadatan Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berdasarkan Sensus Sarang Dikawasan Stasiun Pemantauan Agusan Ekosistem Leuser, Laporan Penelitian, Medan; Sumatera Utara.

Partodiharjo, 1980 http://www x-jungle.blogspot.com/orangutan-pongo pygmaeus., diakses 14 April 2010.

Rijksen, H. D. 1978. A Field Study on Sumatran Orangutan (Pongo pygmaeus abelii Lesson 1827). Ecology, Behaviour and Conservation. Wageningen: The Netherlands.

Schurmann, C. L. 1982. Mating Behavior of Wild Orangutan dalam The Orangutan, its Biology and Coservation, Liem De Boer (Eds.), The Hague, W Junk.

Stephanie, N., P.D. Mathewson, E. Meijaard, Nardiyono, Purnomo, A. Sasmirul, Sudiyanto, Oman, Sulhnudin, Jasary, Jumali, and A.J. Marshall

.

, 2010. Estimating Orangutan Densities Using The Standing Crop And Marked Nest Count Methods: Lesson Learned for Conservation. Biotropica.

Sugardjito, J., 1983. Selecting Nest-site Of Sumatran Orangutan, Pongo Pygmeus abelii in The Gunung Leuser national Park. Indonesia, Primates.


(50)

Syukur, F. A.,2000. Estimasi Kepadatan Populasi dan Pola Bersarang (Pongo abelii, lesson 1827) di Stasiun Penelitian Soraya, Kawasan Ekosistem Leuser. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta. Aceh Selatan.

UNESCO-PanEco/YEL, 2009, Cara Kerja Survei Sebaran & Populasi Orangutan Di TNGL 2009-2010, SOCP_Untuk Kalangan Sendiri: Medan.

Van Hoeve,W. 1996. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.

Van Schaik, C. P. dan Azwar, 1991. Orangutan Densities In Different Forest Types in the Gunung Leuser National park (Sumatera). As Determined by Nest Cuont, Report to PHPA. LIPI and L. S. B. Lea Key Foundation, Durham.

Van Schaik, C. P., S. Poniran, S. Utami, M. Griffith, S. Djojosudharmo, T. Mitrasetia, J. Sugardjito, H. D. Rijksen, U.S. Seal, T. Faust, K. Traylorholzer, dan R. Tilson, 1994. Estimates of Orangutan Distribution and Status in Sumatra. Plenum Press, New York.

Van Schaik, C. P., A. Priatna, dan D. Priatna, 1995. Population Estimates Habitat Reference of Orangutan Based on Line Transect of Nest. Plenum Press, New York.

Van Schaik, C. P. dan Idrusman, 1996. Conservation Biology and Behavior of Sumatran Orangutan in Kluet, Gunung Leuser National Park (Progress Report for January March1996).

Van Schaik. 2006. Di Antara Orangutan Kera Merah dan Bangkitnya Kebudayaan Manusia. Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo. Jakarta.

Wahyono, E.H. 2005. Mengenal Beberapa Primata di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam. Conservation International Indonesia: Jakarta.

Walkers, E.P., 1983. Mammals of The World. The Johns Hopkins University Press, Landon.

Wardaningsih, 1992. Orangutan di Sumatera : Upaya Rehabilitasinya. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Wich, S.A., And C.P. Van Schaick. 2000. The impact of El Niño on mast fruiting in Sumatra and elsewhere in Malaysia. J. Trop. Ecol.

Wich, S.A., Utami-Atmoko, S.S.,Mitra Setia, T., Rijksen, H.D., Schurmann, c., van Hooff, J.A.R.A., and van Schaik, C.P. 2004. Life History of Wild Sumatran Orangutans (Pongo abelii).

Widjaja. E.W., Wardani, W., Amir, M. 2007. Flora Taman Nasional Sabangau. Laporan penelitian bidang Botani kerjasama LIPI-WWF program Indonesia. http://www.cpoi.or.id. Diakses tanggal 14 April 2010.


(51)

Lampiran A. Peta Lokasi Marike a. Peta Lokasi Marike


(52)

(53)

Lampiran B. Peta Lokasi Sikundur Kecil a. Peta Lokasi Sikundur


(54)

(55)

Lampiran C. Tabel Data Pengamatan Lokasi Marike

No. Transect Meters

Nest-WP PPD (m) Nest Direct Nest-Position Nest

High Tree Nest TBC TTP

Dbh

(cm) Habitat Nest Class

1 Transect_1 105 8.25 West 3 19.2 Euphorbiaceae 8.24 18.5 80 B

2 Transect_1 125 7.55 West 2 22.4 Meliaceae 12 21 144 D

3 Transect_1 135 18.5 West 1 27.5 Sterculiaceae 17 28 155 C

4 Transect_1 158 6.9 West 2 22.5 Fagaceae 17 21 81 A

5 Transect_1 160 5.06 East 2 22.5 Meliaceae 13 20 114 A

6 Transect_1 144 20.64 East 4 12.1 Araliaceae 12 25 53.8

5 A

7 Transect_1 158 16.67 East 2 23.2 Leguminosae 18 27 164 A

8 Transect_1 185 0.43 West 1 16.4 Annonaceae 15.4 21 83 C

9 Transect_1 200 6.61 West 2 32.6 Araliaceae 17 34 343 C

10 Transect_1 208 4 West 3 18.7 Dipterocarpaceae 12 19 60 B

11 Transect_1 365 6.7 West 1 11 Annonaceae 9 18 75 D

12 Transect_1 393 16.22 West 1 11.3 Meliaceae 12 16 46 D

13 Transect_1 420 10.67 West 3 13.6 Dipterocarpaceae 7 14 78 D

14 Transect_1 423 10.53 West 3 15.1

Myristicaceae

13 15 68 B

15 Transect_1 423 10.58 West 2 15.6 13 15 68 D

16 Transect_1 440 2.39 East 2 33.6 Myrtaceae 31 37 251 A

17 Transect_1 483 1.76 East 2 13.9 Araliaceae 9 17 101 A

18 Transect_1 540 1.12 East 1 14.4 Dipterocarpaceae 18 24 77 D

19 Transect_1 685 6.37 East 2 18.7 Myristicaceae 10 19 101 B

20 Transect_1 720 21.72 West 2 20.5 Meliaceae 13 23 111 D

21 Transect_1 875 25.07 West 1 12 Annonaceae 12 24 58 D

22 Transect_1 903 3.61 East 1 19.7 Gnetaceae 11 22 82 D

23 Transect_1 965 16.37 West 1 14 Annonaceae 11 17 54 D

24 Transect_1 1048 48 East 2 14.3 Araliaceae 24 28 203 C

25 Transect_1 1210 16.36 West 1 7.53 Euphorbiaceae 7 19 74 C

26 Transect_1 1230 31.57 West 1 13.3 Ebenaceae 6 18 60 D

27 Transect_1 1485 4 East 2 14.3 Annonaceae 11 16 94 D

28 Transect_1 1778 3.07 East 2 15.3 Dipterocarpaceae 11 17 111 A

29 Transect_1 1835 10.07 East 2 13.7 Fagaceae 4 13 67 D

30 Transect_1 1885 14.34 East 4 20 Araliaceae 17 28 78 A

31 Transect_2 100 14.62 East 1 14.4

Fagaceae

11 18 68 D

32 Transect_2 124 0.72 West 2 10.7 8 14 41 D

33 Transect_2 126 14.69 East 3 12.5 Myristicaceae 5 13 58 D

34 Transect_2 137 24.71 East 1 14 Dipterocarpaceae 8 21 77 D

35 Transect_2 138 27.2 East 3 16 Moraceae 4 16 71 D

36 Transect_2 195 17.21 East 2 24.5 Lauraceae 15 34 159 D


(56)

No. Transect Meters Nest-WP PPD (m) Nest Direct Nest-Position Nest

High Tree Nest TBC TTP

Dbh

(cm) Habitat Nest Class

38 Transect_2 230 6.25 West 1 15.7 Dipterocarpaceae 7 18 110 D

39 Transect_2 230 6.25 West 2 12.7 Dipterocarpaceae 7 18 110 D

40 Transect_2 230 6.25 West 2 13.3

Lauraceae

7 18 110 D

41 Transect_2 280 7.24 East 2 27.2 13 30 118 D

42 Transect_2 300 37 East 3 21

Dipterocarpaceae

11 22 110 D

43 Transect_2 305 15.59 East 2 28 16 35 178 D

44 Transect_2 305 19.59 East 2 27

Fagaceae

12 33 178 D

45 Transect_2 335 9.5 East 1 14.6 11 26 120 D

46 Transect_2 340 28.13 West 2 17 Lauraceae 9 21 160 A

47 Transect_2 350 27.17 West 2 22 Myrtaceae 12 31 320 D

48 Transect_2 420 7.54 East 2 7.89 Lauraceae 6 14 96 D

49 Transect_2 420 9.04 East 2 9.89

Myrtaceae

6 14 96 D

50 Transect_2 425 10 East 2 24.3 14 27 170 D

51 Transect_2 426 4.93 East 1 19.5 Moraceae 12 21 108 D

52 Transect_2 426 4.93 East 3 20.5

Fagaceae

12 21 108 A

53 Transect_2 437 1 East 1 15.3 13 18 84.5 D

54 Transect_2 510 39 West 1 11 Meliaceae 6 18 58 C

55 Transect_2 510 39 West 2 16

Lauraceae

6 18 58 D

56 Transect_2 512 0 West 2 16 12 28 116.

4 B

57 Transect_2 585 30.21 West 2 25.2 Fagaceae 14 31 168.

2 D

58 Transect_2 600 6 East 3 16.3 Myrtaceae 12 17 77.8 D

59 Transect_2 605 21.16 West 3 18

Lauraceae

13 18 77 D

60 Transect_2 612 10.11 West 3 16 11 16 68 D

61 Transect_2 718 19.19 East 2 24.4 Meliaceae 13 28 156 D

62 Transect_2 803 11.14 East 2 24.8 Lauraceae 15 27 79 D

63 Transect_2 990 9.35 West 4 7

Euphorbiaceae

6 15 69 D

64 Transect_2 998 15.39 West 3 9 3 9 47 D

65 Transect_3 26 5.61 West 2 13.5 9 16 96 D

66 Transect_3 49 18.59 East 2 13 Anacardiaceae 8 19 63 D

67 Transect_3 76 8.29 West 1 8

Annonaceae

7 16 53 D

68 Transect_3 78 40.05 East 2 10 5 15 68 D

69 Transect_3 92 10.52 East 1 12.3 Myristicaceae 11 18 79 D

70 Transect_3 94 12.78 West 2 14.4 Myrtaceae 12 27 143 D

71 Transect_3 90 7.11 West 3 15.2

Anacardiaceae

9 16 108 D

72 Transect_3 160 18.5 West 1 17.2 11 18 55 D


(57)

No. Transect Meters Nest-WP PPD (m) Nest Direct Nest-Position Nest

High Tree Nest TBC TTP

Dbh

(cm) Habitat Nest Class

74 Transect_3 306 12.03 East 4 14.2 Lauraceae 12 19 97 A

75 Transect_3 306 14.1 East 1 10

Anacardiaceae

6 15 51 D

76 Transect_3 330 9.57 East 2 14.4 11 17 62 B

77 Transect_3 388 0 West 2 30.8 Euphorbiaceae 17 36 131 D

78 Transect_3 388 0 West 2 32.1

Dipterocarpaceae

17 36 131 D

79 Transect_3 388 0 West 2 33.2 17 36 131 D

80 Transect_3 398 23.3 East 2 30.5 14 38 569 A

81 Transect_3 400 29 East 2 20 Lauraceae 11 26 92 D

82 Transect_3 395 29 East 2 22

Dipterocarpaceae

11 26 92 D

83 Transect_3 395 7.47 East 4 13.2 9 16 63 D

84 Transect_3 415 0 West 2 30.4 Euphorbiaceae 16 36 500 D

85 Transect_3 422 1 West 2 12.4 Dipterocarpaceae 6 17 64 D

86 Transect_3 430 17.85 East 2 13 Lauraceae 7 15 42 D

87 Transect_3 475 21.85 East 4 13

Dipterocarpaceae

8 18 61 D

88 Transect_3 475 21.85 East 4 14 8 18 61 A

89 Transect_3 475 30 East 2 14.3 11 17 61 D

90 Transect_3 485 30 East 2 14.9 Myristicaceae 12 19 61 D

91 Transect_3 485 12.51 East 2 20 Lauraceae 14 26 187 A

92 Transect_3 570 12.21 East 2 22 Anacardiaceae 9 28 187 A

93 Transect_3 570 9.74 East 1 14.7 Meliaceae 13 18 105 C

94 Transect_3 573 6.14 West 1 15.9 Lauraceae 11 19 69 D

95 Transect_3 632 18.91 West 2 13

Fagaceae

8 15 254 A

96 Transect_3 635 21.27 West 2 18 13 32 436 D

97 Transect_3 640 18 West 2 21

Myristicaceae

14 34 436 D

98 Transect_3 640 20 West 1 11 7 14 40 D

99 Transect_3 635 18.91 West 2 20 9 27 254 D

100 Transect_3 848 5.86 East 3 20.3 11 21 86 A

101 Transect_1 152 3.24 West 1 18.2 Annonaceae 14 22 84 A

102 Transect_1 160 10.39 East 2 15.6 Araliaceae 13 17 63 A

103 Transect_1 285 12 East 1 13.8 Annonaceae 12 20 63 B

104 Transect_1 390 0 West 1 18.4 Dipterocarpaceae 17 22 97 C

105 Transect_1 400 26 East 1 11.8 Leguminosae 5 13 47 A

106 Transect_1 418 15 East 1 13 Lauraceae 10 14 42 B

107 Transect_1 423 12 East 2 13.5 Myristicaceae 8 16 64 A

108 Transect_1 423 20.61 East 4 14 Ebenaceae 8 16 53 A

109 Transect_1 415 5.4 West 1 9.6 Burseraceae 9 14 44 B

110 Transect_1 410 8.64 West 2 21.1 Meliaceae 12 28 187 A


(58)

No. Transect Meters Nest-WP PPD (m) Nest Direct Nest-Position Nest

High Tree Nest TBC TTP

Dbh

(cm) Habitat Nest Class

112 Transect_1 1800 16.03 West 2 12.6

Anacardiaceae

6 17 54 B

113 Transect_2 127 23.28 East 3 14.4 9 15 72 C

114 Transect_2 175 4.71 West 3 24.4 Dipterocarpaceae 12 25 111 A

115 Transect_2 285 14 East 2 33 Lauraceae 14 36 470 C

116 Transect_2 285 14 East 2 31.2

Annonaceae

14 36 470 B

117 Transect_2 325 20.29 East 4 13.4 11 16 60 A

118 Transect_2 648 23.26 West 2 33 Myristicaceae 14 33 74 C

119 Transect_2 650 22.6 West 2 30

Annonaceae

14 33 74 C

120 Transect_1 130 11.47 West 4 17.9 11 17 91&

232 A

121 Transect_1 400 30.87 East 2 21.3 Lauraceae 21 26 155 A

122 Transect_1 548 1 East 3 16.3 Bombacaceae 11 18 79 C

123 Transect_1 1880 27.14 East 3 19.8

Euphorbiaceae Euphorbiaceae

16 23 76 B

124 Transect_1 110 11.55 East 4 12.9

Dipterocarpaceae

8 15 52 B

125 Transect_1 115 15.22 East 1 12 7.5 17 44 A

126 Transect_1 115 15.22 East 3 13.8

Euphorbiaceae

7.5 17 44 A

127 Transect_1 120 14.65 East 2 17 7 22 95 A

128 Transect_1 470 0.42 East 1 11.9 Bombacaceae 8 13 80 A

129 Transect_1 1475 21.74 West 1 11.9 Euphorbiaceae 14 27 66 B

130 Transect_2 235 24.41 East 1 16.9 Burseraceae 12 20 86 A

131 Transect_2 280 3.46 West 1 10.5 Myrsinaceae 8 18 64 B

132 Transect_2 302 2.94 East 3 20.2 Lauraceae 14 22 115 B

133 Transect_2 325 1.69 East 2 13.9 Burseraceae 9 16 68 B

134 Transect_2 327 3.74 East 3 25.5 Fagaceae 16 26 112 B

135 Transect_2 325 24.42 East 3 31.5

Dipterocarpaceae

12 32 150 C

136 Transect_2 325 25.42 East 2 32.5 19 36 150 C

137 Transect_2 335 8.96 West 1 15.5 14 21 95 B

138 Transect_1 120 9.19 East 2 25.8 Burseraceae 10 23 153 B

139 Transect_1 118 10.64 East 3 25.5 Dipterocarpaceae 15 26 103 A

140 Transect_1 324 14.44 East 3 19.2 Annonaceae 10 20 80 B

141 Transect_1 665 16.53 West 3 16.5 Meliaceae 9 17 108 B

142 Transect_1 790 11.16 West 3 27 Fagaceae 11 27 125 C

143 Transect_1 1348 13.82 East 3 19.7

Dipterocarpaceae

9 20 115 A

144 Transect_1 1875 8.01 West 3 18.7 12 19 68 A

145 Transect_3 659 27.71 West 4 12.6 Fagaceae 7 17

44, phn 2=43

A

146 Transect_3 695 24.32 West 2 17.8 Lauraceae 9 28 104 C

147 Transect_3 695 24.32 West 1 16.3

Burseraceae

14 24 104 C


(1)

Pencatatan Data Sarang


(2)

Sarang Kelas A


(3)

Sarang Kelas C


(4)

Lampiran F. Ilustrasi Posisi Sarang Yang Biasa Digunakan Orangutan Dalam Suatu Pohon


(5)

Lampiran G. Perhitungan Estimasi Kepadatan Orangutan Di Kawasan Marike dan Sikundur Kecil Taman Nasional Gunung Leuser

a. Perhitungan di Kawasan Marike

= 2,30 individu orangutan/km²

= 2,71 individu orangutan/km²

= 2,37individu orangutan/km²

= 2,00 individu orangutan/km²

= 2,28 individu orangutan/km²


(6)

b. Perhitungan di Kawasan Sikundur Kecil

= 0,50 individu orangutan/km²

= 0,7 individu orangutan/km²

= 0,59 individu orangutan/km²

= 0,55 individu orangutan/km²

= 0,52 individu orangutan/km²