90 Walaupun pandangan dari definisi tersebut sudah mirip dengan penelitian kelas dalam
buku ini, disayangkan bahwa pandangan mengenai fenomena PBM sebagai wacana untuk merumuskan totalitas dan logika internal belum menjadi perhatian.
Dengan bekal diatas, tujuan pragmatis dari penelitian kelas untuk mendeskripsikan dunia yang dikonstruksi di dalam kehidupan kelas dapat diarahkan pada pendalaman pemahaman.
Tugas mengajar dan bagaimana pengetahuan-praktis guru berkembang dapat dideskripsi lebih cermat daripada sekedar pengamatan. Seperti halnya dalam profesi kedokteran dimana studi-
kasus merupakan sumber data bagi pengembangan ilmu, hal ini kiranya juga berlaku untuk profesi pendidikan. Pengetahuan-praktis pengajar yang dibangun dari pengalaman yang cukup
lama dapat menjadi sumber pengetahuan untuk melengkapi pengetahuan formal para pakar pendidikan.
Untuk mewujudkan tujuan di atas, pengetahuan-praktis pengajar berpengalaman ‘the wisdom of practice; Shulman,1986 perlu didokumentasi untuk merumuskan bagaimana
pengetahuan tersebut berkembang mulai dari pengajar pemula hingga hingga menjadi pengajar ahli. Selama ini, Pengetahuan-praktis pengajar kurang dikembangkan menjadi pengetahuan
formal, karena belum dikodifikasi tacit knowledge. Ini menyebabkan pengajar berpengalaman sukar mengungkapkan pengetahuannya kepada pengajar pemula. Jika ini dapat diatasi, jangka
waktu untuk menjadi guru ahli yang berkisar 10 hingga 15 tahun dapat dipersingkat berdasarkan pengetahuan-praktis tersebut.
C. Apa Kendala dalam Penelitian Tindakan Kelas
Kompleksitas dari PBM merupakan beban mental yang cukup berat, yang membawa pengembangan penelitian kepada situasi yang sulit, terutama dalam aspek metodologi. Secara
intutif, kecanggihan metodologi penelitian tindakan kelas perlu melebihi kerumitan masalah- masalah yang muncul dalam kehidupan kelas. Seyogianya, metodologi tersebut harus mampu
mendeskripsikan tidak saja setiap komponen PBM tetapi juga, terutama, menjelaskan interaksi komponen-komponen tersebut yang masih beragam oleh peranan konteks, budaya, dan nilai
lingkungan. Metodologi yang hanya mampu menganalisis salah satu aspek saja adalah metodologi yang ‘tumpul’ yang tidak memberikan gambaran utuh mengenai suatu permasalahan.
Kerumitan masalah kiranyan perlu juga diimbangai dengan metodologi yang canggih yang mengenal kerumitan permasalahan.
91 Tiga kesukaran dalam metodologi penelitian tindakan kelas dapat dirumuskan
sehubungan dengan kerumitan dari PBM. 1
Perlunya suatu model empiric yang dapat memetakan PBM berdasarkan komponen pelaku, interaksi komponen, dan konteks dari proses.
2 Norma dan nilai yang berubah-ubah menurut sekolah dan kelas perlu dipisahkan menurut
langsung-tidaknya peranannya terhadap PBM. Pemisahan ini membantu dalam mendokumentasi hasil penelitian.
3 Fungsi evaluatif dari penelitian, karena kehidupan kelas menyangkut nilai dan norma
yang diaktualisasikan sebagai budaya kelas, perlu dilihat sebagai isu terpisah. Dapat dimengerti mengapa banyak penelitian yang mencoba menghindari kesukaran di
atas karena alasan bahwa norma dan nilai sukar diobservasi dan bahkan bersipat maya elusif. Kondisi ini kurang sejalan dengan pandangan penelitian standar yang mensyaratkan bahwa
obyek penelitian harus dapat diamati, dimanipulasi, dan diukur. Pandangan sederhana ini telah membawa upaya untuk memahami kehidupan kelas kurang berkembang.
Proses wacana dalam mengkonstruksi pengetahuan selalu melibatkan motif Mathiesen, 1994
, tetapi pandangan ini bersifat kontradiktif dengan criteria dalam penelitian standar. Karena: Penelitian tindakan kelas oleh penelitian standar tidak bertujuan, dan sebenarnya tidak
mampu, memanpankan “fakta” dalam pengertian yang sederhana sekalipun, tidak juga “fakta” dapat langsung menjurus pada kebijakan atau pelaksanaan yang dapat memperbaiki nasib
manusia Biddle dan Anderson, 1986. Kurang berhasilnya penelitian standar mengatasi ketidak-mampuan tersebut disebabkan
oleh penggunaan metodologi yang kurang potensil menangani sifat elusive fakta yang selalu merupakan permasalahan. Walaupun demikian, peneliti perlu tetap mengusahakan
pengungkapan masalah dalam kelas meningkatkan kemampuan metodologi untuk membuat perkiraan yang cukup beralasan. Peneliti perlu meyakini bahwa suatu penelitian yang walaupun
belum sempurna tetapi berupaya memecahkan masalah nyata dapat meningkatkan citra profesional yang lebih baik daripada sikap ketidak-perdulian profesional.
Mendeskripsikan Pengetahuan, Nilai dan Norma
Sifat data dari PBM yang elusive merupakan sumber kesulitan dalam mengembangkan penelitian-kelas,; yaitu, pengamatan PBM tidak dapat menghasilkan perumusan langsung
92 mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pengajar. Dengan hanya meminta pengajar
untuk menyatakan apa yang diyakini dan diketahuinya tidak menjamin bahwa apa yang dilaporkan dapat mengungkapkan pandangannya yang lebih mendalam. Mengabaikan
kemungkinan seseorang mencoba memberi ‘kesan’ pandai, menimbulkan kesukaran dalam memperkirakan apa yang dilaporkan. Jikapun tersedia cara tertentu untuk melaporkan proses
mentalnya, ini masih dipersulit oleh peristilahan yang belum dikodifikasi untuk memungkinkan berlangsungnya suatu komunikasi.
Belum ada solusi teoretis yang cukup memadai untuk mengembangkan suatu metodologi yang mampu merumuskan hasil observasi sebagai fakta. Metodologi yang ada mungkin belum
mampu mengungkapkan bagaimana pengajar memikirkan pekerjaan mereka. Sebaliknya, pengajar juga kurang mampu mengungkapkan keragaman pandangan yang digunakannya untuk
berbagai konteks. Keadaan ini digambarkan oleh Schwab 1959 sebagai kesenjangan konseptualisasi
: Konsep yang dikembangkan oleh pihak akademisi kurang lentur dalam mendeskripsikan pengetahuan-praktis pengajar.
Pendekatan terhadap Permasalahan
Kesulitan di atas juga berdampak pada upaya untuk menentukan pendekatan terhadap permasalahan. Keadaan ini masih dipersulit oleh keaneka-ragaman komponen dalam PBM,
terutama, komponen pengajar yang dapat beragam menurut umur, jenis kelamin, pengalaman, kemampuan, dlsb, yang keseluruhannya menyebabkan keragaman dalam PBM.
Tetapi asumsi bahwa PBM meruoakan fenomena wacana memudahkan perumusan pendakatan karena memungkinkan lapis-lapis permasalahan dirumuskan menjadi tema-tema
berdasarkan sumber data transkrip dari PBM. Sumber ini adalah hasil pengalihan rekaman audio dari interksi verbal PBM menjadi rekaman tertulis berdasarkan analisis wacana. Sebagai sumber
data, kelengkapan data dapat terpelihara; pengungkapan PBM dan keutuhan aspek-aspek social, budaya, dan pengetahuan yang mengendalikan proses tersebut tetap terpelihara kewajarannya.
Dilengkapi dengan sumber data lain seperti hasil observasi, dan interview, tugas mengungkapkan kehidupan kelas dapat lebih rinci dalam mendeskripsikan totalitas dan lebih menggali informasi
yang merupakan karakteristik dari logika-internal PBM.
Data Implikatif vs. Data Observasi
93 Kesulitan di atas membawa kepada pandangan terhadap sifat dasar data dalam penelitian-
kelas yang perlu dipahami oleh peneliti. Seperti telah dikemukakan, data dalam penelitian-kelas bukan hasil observasi langsung, melainkan hasil implikasi dari sumber data.
Keragaman dalam norma, nilai dari materi-subyek dalam penelitian-kelas merupakan kondisi yang perlu disadari yang menuntut kehati-hatiannya terhadap data langsung hasil
observasi. Disamping sifatnya yang elusif setiap jenis data merupakan aspek tertentudari kegiatan belajar-mengajar. Kesimpulan langsung berdasarkan salah satu aspek tidak
menggambarkan totalitas permasalahan; kesimpulan ini masih perlu dilihat hubungannya dengan aspek lain.
D. Bagaimana Mengatasi Kendala dalam Penelitian Tindakan Kelas