Protestan Antropologi Kelas 12 Dyastriningrum 2009

43 Agama dan Perilaku Keagamaan 2. Aliran Kepercayaan di Indonesia Wilhelm Wundt menjelaskan bahwa pada mulanya datang kepercayaan tentang magi, iblis, dan lainnya. Pada tahap evolusi berikutnya, yakni pada abad Totem, mulai munculnya agama dalam bentuk pemujaan binatang. Lama-kelamaan totem mulai susut, lalu objek pemujaan diganti dengan manusia. Pemujaan beralih menjadi pemujaan terhadap nenek moyang hingga akhirnya ada pengkultusan terhadap pahlawan, dan pengkultusan dewa-dewi. Aliran kepercayaan yang berkembang di Indonesia adalah Budi Setia didirikan oleh kaum priayi, Sumarah didominasi oleh kaum priayi, Kawruh Baja, Ilmu Sejati, Kawruh kasunyatan, Sunda wiwitan tersisa pada etnis Baduy di Kanekes, Banten, Buhun Jawa Barat, Parmalim agama asli Batak, Kaharingan Kalimantan, Tonaas Walian Minahasa Sulut, Tolottang, Wetu telu, dan Naurus P. Seram Maluku. Sumber: Indonesian Heritage: Agama dan Upacara, halaman 85 Gambar 2.8 Naga Bayan dipercaya penganut Wetu Telu. Wetu telu berarti tiga waktu. Wetu telu adalah agama Islam yang mengalami sinkretisme dengan Hindu Bali, kejawen, dan kepercayaan kepada leluhur. Kamu dapat menemui orang-orang yang beragama Islam seperti itu terutama di bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Bagaimana sampai terjadi percampuran seperti itu? Latar belakang proses percampurannya adalah pada waktu itu, ada sejenis agama Islam keras berkembang di kalangan orang kaya. Tokoh di balik perkembangan itu adalah para mahasiswa yang belajar pada kurun waktu tertentu di sekolah- sekolah agama ortodoks. Mereka inilah yang mempelajari dasar-dasar keislaman dengan menafsirkan ayat-ayat untuk disesuaikan dengan tradisi ortodoks yang telah mapan. Dalam kepercayaan ini, peran leluhur begitu menonjol. Mereka memercayai kehidupan yang senantiasa mengalir dengan unsur sangat kuat yang disebut jiwa yang dapat dibangkitkan. Seseorang yang hidup jiwanya selalu berada di dalam tubuh. Jiwa dapat meninggalkan tubuh pada saat tidur tetapi selalu kembali ke tubuh orang tersebut. Baru setelah mati, jiwa meninggalkan tubuh, tetapi selalu hidup dan dapat mengembara ke mana-mana. Nah, supaya jiwa itu tenteram dan tidak membahayakan manusia, maka dilakukanlah upacara-upacara. Pada saat itulah, orang yang mati diubah menjadi leluhur. Bagi orang-orang Lombok yang menganut wetu telu, kematian tidak berarti perpisahan. Jiwa orang mati mungkin pergi ke alam lain tetapi tetap dapat kembali sewaktu-waktu. Oleh karena itu, mereka dapat memengaruhi kehidupan keturunannya yang masih hidup. Para penganut wetu telu dapat memanggil dan meminta bantuan arwah para leluhurnya dengan suatu perayaan. Lihatlah gambar di samping. Itulah upacara tumbuk padi yang dilakukan untuk persiapan perayaan. Orang Islam penganut wetu telu di Lombok Utara memiliki pusat tempat suci yang disebut dengan Masjid Bayan. Ciri-ciri masjidnya sebagai berikut. a. Memiliki beduk yang besar. b. Terdapat patung naga yang disebut dengan naga Bayan. c. Terdapat patung burung dari kayu di atas mimbar induk. d. Tidak pernah melaksanakan khotbah hari Jumat. e. Para jemaah wetu telu hanya mengunjungi jika mereka ingin mempersembahkan makanan kepada kiai pada perayaan tertentu.