Konten dalam Rubrik Jelajah
Sumber Pusdok Republika Judul : Gunung Prau yang Terlupakan 9 Febuari 2014
Tabel 3 Analisis Teks 1
1 BUNGA DAISY, Mutiara Gunung
Prau Hiasan paling indah sepanjang Gunung
Prau adalah bunga daisy. Hamparan bunganya cukup dominan. Sama halnya
ketika kita menemukan bunga edelweis di Gunung Gede-Pangrango, Gunung
Semeru ataupun daerah lain.
Terdapat subjektifitas dari penulis nonjurnalis mengenai
bunga daisy yang lalu diangkat menjadi judul kecil.
2 Bunga daisy merupakan bunga dari
keluarga asteraceae, sama seperti bunga aster atau bunga matahari. Asteraceae
sendiri merupakan keluarga tumbuhan berbunga kedua yang terbesar dari jenis
maupun spesiesnya. Dari segi fisik, bunga daisy merupakan bunga yang
wujudnya sangat sederhana. Ia berbentuk bulat. Bagian tengahnya sangat lebar dan
dikelilingi petal-petal, seperti sinar matahari.
Dalam paragraf ini terdapat informasi yang dikemas secara
naratif dan deskriptif.
3 Salah satu ciri bunga ini, yaitu membuka
petalnya pada pagi hari saat matahari terbit dan menutupnya kembali pada saat
matahari terbenam. Oleh karena itu, penduduk lokal menyebutnya lonte sore.
Bukan hanya itu, bunga daisy juga memiliki khasiat menyembuhkan
penyakit-penyakit tertentu, seperti sakit tenggorokan atau sakit perut.
Disebutkan informasi dalam paragraf ini namun disayangkan
tidak ada sumber fakta atau wawancara.
4 Bunga yang dinobatkan sebagai simbol
kelahiran bulan April dan diberi arti sebagai kerendahan hati, kestabilan, suci,
simpati dan keceriaan itu kebanyakan berwarna putih. Kita juga dapat
menjumpai bunga daisy yang berwarna merah dan kuning. Bahkan, ada yang
berwarna ungu. Bila musim mekar tiba, bunga daisy akan tampak lebih indah
menghiasi puncak bukit Gunung Prau dan Bukit Teletubies dengan warna-
warninya.
Tidak ada data yang memperkuat fakta dalam paragraf ini.
Sehingga syarat dalam kaidah jurnalistik dianggap tidak
terpenuhi.
5 Namun sayang sekali, di beberapa lokasi,
kita mendapati kerusakan bunga daisy akibat pendirian tenda beberapa pendaki.
Ada baiknya bagi para pendaki yang ingin mendaki Gunung Prau, agar
memilih lokasi yang tepat untuk mendirikan tenda. Sehingga, tak merusak
keberadaan tumbuhnya bunga daisy.
Dalam paragraf ini terdapat subjektifitas penulis nonjurnalis
yang menandakan adanya syarat penulisan features.
6 GUNUNG PRAU YANG
TERLUPAKAN Oleh Yogi Suryana Lathif fotografer
freelancer.
Terdapat nama asli penulis yaitu „Yogi Suryana Lathif‟ dan dibuat
oleh nonjurnalis ditandai dengan pernyataan profesi sebagai
„fotografer freelancer‟ di bawah judul besar. Hal itu menjadi
salah satu karakteristik jurnalisme warga sekaligus
petanda adanya unsur who siapa.
7 Dieng menyuguhkan dataran tinggi indah
yang terletak di antara Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa
Tengah. Di sekelilingnya terdapat Gunung Sikunir, Gunung Pakuwaja, dan
Gunung Prau.
Terdapat unsur 5W+1H where yang menjadi syarat unsur
jurnalistik. Selain itu juga penulis nonjurnalis
memaparkannya dengan gaya deskriptif.
8 Perjalanan ke Dieng bukan pertama bagi
kami. Kali kedua ini, saya bersama teman-teman menginjakkan kaki ke
Gunung Prau. Gunung yang memiliki ketinggian 2.565 meter di atas
permukaan laut mdpl itu merupakan gunung tertinggi pertama di kawasan
Dieng. Gunung itu memiliki kawasan hutan yang masih asri, indah, dan
terjaga. Namun, masih sedikit orang yang menjadikan lokasi itu sebagai
pilihan utama berwisata.
Penulis nonjurnalis disini menganggap dirinya sebagai
orang pertama “aku”. Terdapat informasi tentang ketinggian
Gunung Prau.
9 Saat kita menemui gerbang bertuliskan
„Kawasan Dieng Plateau„ menandakan sudah tak lama lagi akan tiba di pos
pendaftaran Gunung Prau. Pos itu berlokasi di Desa Patak Banteng,
Kecamatan Kejajar. Untuk bisa mendaki Gunung Prau sebenarnya ada dua lokasi
akses pendakian. Pertama, kita bisa melewati Desa Patak Banteng, melalui
pos pendaftaran. Kedua, melewati SMP 2 Kejajar, Dieng Kulon. Jalur kedua itu
bisa dikatakan ilegal.
Terdapat beberapa unsur 5W+1H, yaitu how bagaimana
dan when dimana.
10 Berangkat malam
Papan petunjuk yang besarnya berukuran 2 x 1 meter bertuliskan „Pos Pendakian
Gunung Prau„ sudah terlihat ketika memasuki Desa Patak Banteng. Namun,
mata harus lebih jeli untuk melihat papan petunjuk yang tak terlalu besar itu.
Tetapi, tak perlu khawatir, letak pos pendakian masih satu lokasi dengan
Kantor Desa Patak Banteng. Kita cukup berjalan menuju belakang gedung balai
desa. Di sana kita menemukan petunjuk
„Basecamp Gunung Prau„.
Penulis nonjurnalis menuturkan paragraf ini secara naratif.
11 Setiba di sana, Anda diharuskan mengisi
buku administrasi yang tujuannya untuk mendata calon pendaki. Pendaki juga
dikenakan biaya pendakian sebesar Rp 3.500 untuk sekali pendakian.
Sedangkan, yang membawa kendaraan dikenakan biaya sebesar Rp 5.000.
Dalam paragraf ini juga memiliki unsur 5W+1H yaitu
how berapa.
12 Waktu pada jam tangan saya
menunjukkan pukul 16.45. Kami berencana mendaki pada sore hari
ternyata harus diundur karena tebalnya kabut dan hujan. Kami baru bisa
mendaki setelah azan Maghrib. Rasa khawatir sempat muncul sejenak dari diri
saya, karena pendakian pertama yang saya lakukan pada malam hari.
Dalam paragraf ini terdapat salah satu unsur 5W+1H yaitu when
kapan kemudian penulis menuliskannya dengan cara
berkisah.
13 Jalur yang kami lewati dimulai dengan
melewati pemukiman penduduk. Keramahan mereka kian terasa sejak
kami memasuki pemukiman. Mereka menyapa kami dengan senyum. Seolah
obat mujarab bagi kami untuk mendaki hingga tiba di puncak Gunung Prau.
Penulis nonjurnalis menuliskan dengan cara berkisah.
14 Tanjakan awal cukup membuat kami
letih. Pacu napas kami terasa sangat cepat. Kami menyadari masih banyak
tanjakan dan bebatuan di depan.
Paragraf ini dipaparkan secara naratif oleh penulis nonjurnalis.
15
Empat pos
Jalur bebatuan yang kami lewati membuat perjalanan kami lebih singkat.
Jalur itu digunakan penduduk menuju lahan pertanian.Penduduk biasa
menggunakan motor untuk membawa hasil panen. Tak lama, kami menemui
jalur setapak. Dari sini sebenarnya pendakian dimulai. Kami melewati
perkebunan kentang. Aromanya sangat terasa. Terlebih pada malam hari.
Terlihat penulis nonjurnalis menuliskan paragraf ini secara
deskriptif.
16 Bagi penduduk Desa Patak Banteng,
kentang merupakan komoditas utama. Belakangan ini,hasil panen kentang
kurang berkualitas. Menurut warga, hal itu disebabkan cairan antihama yang
digunakan petani.
Terdapat kutipan wawancara dari warga setempat mengenai
pengurangan kualitas kentang di dessa tersebut, tetapi tidak
dituliskan secara jelas siapa narasumbernya.
17 Tak terasa, perjalanan memasuki semak
belukar dan rimbunan pepohonan. Penanda kami akan tiba di Pos 2 dalam
waktu 1,5 jam. Beruntung hujan turun hanya sore hari. Sehingga, kondisi langit
pada malam hari terlihat terang. Cahaya bulan dan bintang turut menerangi
pendakian. Alangkah baiknya kita tak selalu mengandalkan kondisi cuaca
karena bisa saja berubah setiap saat. Terdapat subjektifitas nonjurnalis
dalam paragraf ini pada kalimat “
Alangkah baiknya kita tak selalu mengandalkan kondisi cuaca karena
bisa saja berubah setiap saat”
18 Gunung Prau sendiri memiliki empat pos
yang harus dilewati. Kami sudah melewati tiga pos. Menuju pos terakhir,
rintangan bertambah sulit. Jalur terus mendaki. Ditambah debu berterbangan
dalam setiap langkah kami. Melewati jalur itu diperlukan masker atau kain
untuk menutup hidung. Dibutuhkan sepatu khusus pendakian untuk melewati
jalur itu. Hindari penggunaan sepatu kets yang dapat membuat Anda kesulitan
melanjutkan perjalanan.
Penulis nonjurnalis menarasikan tentang jalan yang dilaluinya.
Pada kalimat selanjutnya penulis menyisipkan unswur what yakni
apa yang diperlukan saat melalui jalan tersebut.
19 Perlahan namun pasti, jalur terasa
semakin landai. Bunga daisy atau lebih akrab disapa dengan sebutan bunga lonte
sore sudah mulai terlihat di sisi kanan dan kiri jalur pendakian. Sebentar lagi
kami akan tiba di puncak Gunung Prau.
Masih terlihat peunulisan yang ditulis secara deskriptif dalam
paragraf ini.
20 Menyambut matahari terbit
Tepat pukul 21.30 rombongan kami tiba di Puncak Gunung Prau, Gunung
tertinggi di daerah Dieng. Hampir 4,5 waktu yang ditempuh untuk mencapai
puncak. Dalam kondisi normal, pendakian mungkin hanya butuh waktu
tiga jam. Rasa letih para pendaki tentunya tak sia-sia setiba di puncak
yang begitu terbuka tanpa terhalang pepohonan.
Terdapat keterangan waktu yang menandakan adanya unsur
5W+1H when.
21 Di puncak, kami merasakan terbebas dari
kungkungan gedung-gedung bertingkat seperti di Jakarta. Seluas mata kami
memandang, langit menyuguhkan indahnya jutaan mutiara bintang dan
bulan. Di tempat yang sama itu, pendaki juga dapat melihat sunset dan sunrise
jika cuaca cerah dan tidak diselimuti kabut tebal.
Penulis nonjurnalis memaparkan dengan cara deskriptif.
22 Di sana, kami juga merasakan kesunyian
sambil bercengkerama ringan dan tawa. Segelas minuman sereal yang kami buat,
menambah hangatnya suasana di puncak itu. Tak jarang para pendaki memilih
tidur di luar tenda ditemani hangatnya api unggun.
Terdapat pemaparan secara naratif dalam paragraf ini.
penulis menceritakan suasana ketika di puncak.
23 Pukul 04.30 kami terbangun. Kami
menantikan kedatangan sunrise. Dari arah timur, terlihat sang surya mulai
merekah, menampakkan semburan berwarna kuning keemasan. Di sebelah
selatan, kami dapat melihat wajah Gunung Sindoro-Sumbing begitu dekat.
Jika Anda menengok kepala ke sebelah kanan, maka akan terlihat jelas sekali
Dataran Tinggi Dieng, yang pada waktu malam hanya melihat pancaran lampu
saja.
Terdapat unsur when dalam paragraf ini. kemudian kalimat
penjelasnya dipaparkan secara deskriptif.
24 Sementara di sebelah barat dan utara,
mata Anda akan tertuju pada padang bunga daisy yang bila musim
merekahnya, bunga-bunga itu terlihat indah di atas hijaunya rerumputan Bukit
Teletubies.
Paragraf ini ditulis secara deskriptif yang mengajak
pembaca seolah melihat keadaan yang sebenarnya.
25
Bagaimana Cara ke Dieng?
Untuk mencapai kawasan wisata Dieng, Anda yang dari Jakarta dapat
menggunakan bis yang langsung menuju Wonosobo. Dari terminal bis Wonosobo,
perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan bis kecil tujuan Dieng.
Dilihat dari judul, paragraf ini memiliki unsur how bagaimana
dan dijelaskan secara naratif.
26 Kami sendiri menggunakan kereta api
menuju Dieng. Pukul 21.30, kami berangkat dari Stasiun Senen, Jakarta,
dengan menggunakan Kereta Api Kelas Ekonomi. Pukul 03.40 dini hari, kami
tiba di Stasiun Purwokerto.
Dalam paragraf ini terdapat unsur 5W+1H when.
27 Tak jauh dari Stasiun Purwokerto,
terdapat rental motor bagi anda yang ingin menempuh waktu perjalanan lebih
cepat ke Dieng. Dengan biaya sewa sebesar Rp 90 ribu, anda dapat melaju
dengan motor otomatik. Perjalanan menggunakan motor mencapai 3
– 4 jam dalam kondisi normal. Kami menempuh
perjalanan denga waktu lebih lama. Beberapa kali kami transit untuk melepas
lelah. Bahkan, kami menyempatkan tidur di mushala di Banjarnegara.
Terdapat unsur how pada paragraf ini, yakni bagaimana
cara ke Dieng dengan menempuh waktu perjalanan
yang lebih cepat. Paragraf ini ditulis secara naratif.
28 Memasuki daerah Wonosobo, jalur yang
kita lewati mulai menanjak. Perlu tenaga ekstra untuk bisa menempuh jarak 24 km
dari Wonosobo menuju Desa Patak Banteng. Bukan hanya jalur yang
menanjak dan berkelok, namun perlahan kabut tebal turun dan menghalangi jarak
pandang.
Penulis nonjurnalis menuliskan pararaf ini dengan naratif.
29 Bawa Perlengkapan Seperlunya
Gunung Prau dianggap surganya kawasan Dieng. Hamparan indahnya
bunga daisy dan gundukan hijau Bukit Teletubies yang begitu luas membuat
sejuk mata memandang.
Masih dituturkan dengan cara deskriptif.
30 Sebelum menuju ke sana, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan untuk persiapan. Selain kebutuhan wajib,
seperti tenda, sleeping bag, alat masak dan alat penerang, ada beberapa hal yang
paling mendasar bila ingin melakukan pendakian ke Gunung Prau. Pertama,
jadwal atau perencanaan waktu, merupakan dasar bagi para pendaki.
Berapa lama Anda ingin melakukan camping di puncak Gunung Prau. Hal itu
berpengaruh pada barang kebutuhan di sana.
Memiliki unsur 5W+1H yaitu what apa yakni apa yang perlu
dipersiapkan untuk melakukan pendakian.
31 Bila beban isi tas Anda terlalu berat, ada
baiknya dikurangi sesuai dengan kebutuhan jangka waktu Anda di puncak.
Tak perlu khawatir bila ingin meninggalkan barang bawaan yang tak
dibutuhkan, bisa dititipkan di basecamp pendakian.
Didapatkan subjektifitas penulis dalam paragraf ini.
32 Selama mendaki menuju puncak Gunung
Prau tak ada sumber air di sepanjang jalur yang dilewati. Sumber air terakhir
hanya ada sedikit di bawah Pos 1. Tetapi, jika belum mengetahui medan, sebaiknya
penuhi botol atau jeriken air dari basecamp. Atur penggunaan air seefisien
mung kin. Air dalam setiap pendakian merupakan hal yang sangat penting.
Terdapat informasi dalam paragraf ini yang menjadi syarat
dalam kaidah jurnalistik, namun terdapat pula subjektifitasnya.
33 Bila selesai mendaki dan ingin
melanjutkan berwisata di Dieng Plateau, di sana banyak home stay dengan harga
bervariasi dari yang mahal hingga yang terjangkau kondisi keuangan kita.
Tarifnya berkisar Rp 70 ribu hingga Rp 150 ribu untuk per malamnya.
Dalam paragraf ini terdapat makna berapa how yang
menjadi unsur 5W+1H dalam jurnalistik.
Semua tergantung fasilitas yang dimiliki penginapan itu.
Setelah berbagai pemaparan analisa perparagraf diatas, tulisan yang berjudul “Gunung Prau yang Terlupakan” tersebut ditulis oleh nonjurnalis serta
memenuhi sebagian besar dari karakteristik jurnalisme warga citizen Journalism dan features. Dari segi jurnalisme warga, ditandai oleh adanya nama penulis
nonjurnalis yang diiringi dengan profesinya. Turut berperan dalam proses kejurnalistikan seperti mencari informasi, dan foto seperti yang ada dalam
gambar, namun penulis tidak menganalisa fotonya karena fokus kepada teks. Memiliki kutipan pendapat masyarakat namun kurang lengkap dengan nama
narasumbernya.
Dalam karakteristik features, tulisan di atas melukiskan peristiwa secara naratif dalam bahasa pengisahan yang informal. Meski sebagian besar gaya
tulisannya naratif, namun juga terkadang deskriptif yakni dengan penggambaran suasana. Terdapat beberapa dari unsur 5W1H kecuali why, yaitu where, what,
who, when dan how. Nama lengkap wartawan dicantumkan dan terbukti kadang subjektif.
Tulisan tersebut bertema gunung, yaitu Gunung Prau dan lebih fokus kepada bunga Daisy. Bunga tersebutlah menjadi icon dari gunung yang berada di
kawasan Dieng, Wonosobo tersebut setelah bukit teletubbies.
Teks 2 Gambar 2
Teks 2 Rubrik Jelajah Koran Harian Republika
Sumber Pusdok Republika Judul : Berkenalan dengan Masyarakat Adat Bayan 9 Maret 2014
Tabel 4 Tabel Analisis Teks 2
1 Masjid Bayan Beleq
Bayan terkenal dengan Masjid Bayan Beleq. Masjid kayu ini konon
merupakan masjid pertama yang ada di Lombok dan dibangun sekitar abad
ke-16-17 Masehi.
Hanya para pemuka agama dan pemuka adat Bayan yang diizinkan
shalat di masjid ini. Dalam paragraf pembuka ini,
penulis nonjurnalis mengungkapkan keterangan
waktu yang berarti itu adalah unsur kapan when dari
5W+1H dan mengandung informasi meski datanya tidak
disebutkan darimana sumbernya. Diceritakan secara
naratif.
2 Masjid Bayan Beleq hanya dibuka
pada saat-saat tertentu. Menurut cerita, Islam masuk ke Lombok
dibawa para mubalig era Wali Songo dari Tanah Jawa melalui Bayan.
Teori ini kemudian berkembang untuk menjelaskan mengapa
keturunan pembesar Bayan menyandang gelar raden di depan
namanya. Di paragraf selanjutnya,
terdapat penuturan sejarah yang dituliskan dengan gaya
berkisah.
3 Menuju Bayan
Bayan terletak sekitar tiga jam perjalanan dari Mataram, bisa melalui
Pusuk ataupun Senggigi menuju arah Senaru. Susuri saja jalan provinsi di
garis pantai utara Lombok sampai bertemu Kecamatan Bayan. Lokasi
Desa Bayan kurang lebih tiga kilometer dari pusat kecamatan dan
dua kilometer dari pintu gerbang menuju Gunung
Rinjani, Desa Dari sub judulnya, paragraf ini
terlihat juga mengandung unsur jurnalistik 5W+1H how
terbukti dengan kalimat ”bisa melalui Pusuk atau Senggigi
menuju arah Senaru. Susuri saja
jalan provinsi di garis pantai utara Lombok sampai bertemu
Kecamatan Bayan.”
4 BERKENALAN DENGAN
MASYARAKAT ADAT BAYAN Oleh Farchan Noor Rachman travel
blogger, penulis Dibawah judul besar, terdapat
nama asli penulis „ Farchan
Noor Rachman‟ serta profesinya sebagai „travel
blogger, penulis‟ menandakan
sebagai karakteristik jurnalisme warga.
5 Tiga jam bermobil dari Mataram,
Lombok, saya sampai ke desa ini: Desa Bayan, Kecamatan Bayan,
Kabupaten Lombok Utara. Desa Bayan terletak di garis pantai utara
Lombok, lokasinya seolah berada pada sebuah ceruk, tepat di tengah
antara lautan di utara dan garis Pegunungan Rinjani di selatan.
Dalam paragraf ini, penulis nonjurnalis mengawali kalimat
dengan menjelaskan berapa lama waktu yang ditempuh dan
deskripsi mengenai lokasi yang dituju yaitu Bayan, Lombok.
Dengan terdapat keterangan tempat berarti menunjukkan
adanya salah satu unsur 5w+1H where yang menandakan
dalam artikel ini memiliki unsur jurnalistik khususnya features.
6 Di desa yang hijau itu, saya
menemukan alur hidup yang sangat lambat dan menenangkan. Alam
seolah bersenandung riang menaungi masyarakat Bayan yang agraris.
Petani-petani Bayan pun berangkat ke sawah berteman desau angin, kicau
burung, dan lambaian pepohonan di hutan sekeliling desa.
Terdapat subjektifitas penulis dan dipaparkan secara
deskripsi mengenai suasana di desa.
7 Keingintahuan yang kuat
membimbing langkah saya bertamu ke masyarakat adat Bayan. Mereka,
yang sering disebut orang Bayan, ini teguh menjalani filosofi Wetu Telu.
Sebuah filosofi yang mewarnai denyut kehidupan sehari-hari mereka.
Dari paragraf ini penulis beranggapan bahwa penulis
nonjurnalis adalah seorang yang memiliki keingintahuan lebih.
Penulis nonjurnalis tampaknya penasaran akan filosofi wetu
telu yang dijalani sehari-hari oleh orang Bayan sehingga
menjadi fokus dalam tulisan ini. Terdapat pula subjektifitas
penulis nonjurnalis dalam ka
limat “ Mereka, yang sering
disebut orang Bayan, ini teguh menjalani filosofi Wetu Telu.
Sebuah filosofi yang mewarnai denyut kehidupan sehari-hari
mereka”.
8 Filosofi Wetu Telu
“Banyak orang yang salah tangkap tentang Wetu Telu Bayan,” kata
Raden Sawinggih. Tokoh pemuda Bayan itu menjelaskan, kesalahan
utama pemahaman orang luar adalah anggapan bahwa penghayat Wetu
Telu hanya menunaikan shalat tiga
waktu dalam sehari. “Itu salah besar, banyak orang mengartikan wetu
sebagai waktu, padaha l bukan itu,”
ujarnya. Terlihat dari judul kecil, penulis
nonjurnalis berusaha menonjolkan apa yang
ditulisnya yaitu Wetu Telu dalam kehidupan Orang Bayan.
Terdapat juga kutipan wawancara dari pemuka adat
setempat yang menguatkan bahwa adanya kesalahpahaman
sehingga menimbulkan keinginan penulis nonjurnalis
untuk menyelaraskan kebenaran yang ada.
Penulis nonjurnalis ingin meluruskan anggapan tentang
wetu telu yang banyak terjadi. Karena wetu telu dianggap sesat
oleh masyarakat lain.
13
9 Lebih jauh lagi, anggapan umum
bahwa Wetu Telu merupakan agama tradisional asli yang hanya ada di
Bayan. Raden Gedarip, salah seorang pemangku adat Desa Bayan, yang
Adanya narasumber menandakan terdapat unsur
5W+1H yaitu Who siapa, serta kutipan wawancara.
13
Wawancara pribadi dengan penulis nonjurnalis Rubrik Jelajah Koran Harian Republika, Farchan Noor Rachman, Jakarta, 21 Juli 2014.
saya temui di kediamannya di Dusun Karang Salah, Desa Bayan,
meluruskan anggapan itu. “Wetu Telu itu adalah filosofi dasar orang
Bayan, ini pedoman hidup, bukan agama. Agama kami, ya Islam, kami
Muslim, shalat kami ya lima waktu,” katanya menegaskan.
10 Wetu Telu lebih dimaknai sebagai
aturan adat yang berfungsi menjaga kehidupan masyarakat lebih teratur
dan tenteram. Aturan-aturan agama Islam dan aturan adat, mereka
mengungkapkan, saling melengkapi, bukan saling menyelisihi. Dengan ini
orang Bayan memiliki panduan untuk jiwa, pun untuk kehidupan
duniawinya. Paragraf ini merupakan penjelas
yang menjelaskan paragraf sebelumnya. Di bagian tengah
paragraf ini terdapat kutipan kalimat tak langsung yang
ditandai dengan kalimat
“mereka mengungkapkan”.
11 Terma Wetu Telu dalam pemahaman
orang Bayan juga sering disebut dengan Sesepan yang kira-kira jika
dalam bahasa Indonesia berarti diresapi. Ini terkait dengan filosofi
Wetu Telu sebagai sesuatu yang harus diresapi dengan benar oleh
penghayatnya. Inti dari Wetu Telu adalah pemahaman akan tiga unsur
utama dalam hidup manusia. Raden Gedarip lantas menjelaskan, filosofi
Wetu Telu bisa dipahami dari tiga siklus hidup utama manusia, metu
beranak, tioq tumbuh, dan menteloq bertelur. Prinsip Wetu
Telu juga bisa diartikan tiga unsur pemberi hidup manusia, yaitu Allah
Tuhan, imaq ibu, dan amaq ayah.
Terdapa unsur what apa dalam paragraf ini. Penulis nonjurnalis
memaparkan apa arti sebenarnya dan apa prinsip
utama dari wetu telu yang menjadi inti dalam features
perjalanan edisi ini.
12 Tecermin dalam rumah adat
Agar memahami Wetu Telu dalam kehidupan sehari-hari, Sawinggih
menyaran kan saya mengawalinya dengan kunjungan ke rumah adat
Dalam sub judul kedua ini, dapat dikatakan sebagai bukti
yang ditampilkan penulis nonjurnalis secara naratif dan
memasukkan kutipan kalimat
Bayan. Rumah-rumah di Bayan mayoritas mengarah ke arah utara
dan selatan. “Utara itu laut, selatan itu Rinjani,” kata Raden Gedarip
menjelaskan arah utara dan selatan yang merupakan penghormatan untuk
lautan lepas dan Gunung Rinjani, dua tempat yang dianggap sakral di arah
utara dan selatan Desa Bayan. langsung.
Paragraph ini pun didukung dengan foto yang dimuat,
namun disayangkan foto tersebut tidak menunjukkan
tanda-tanda arah utara dan selatan yang dianggap sakral
tersebut.
14
13 Ada beberapa rumah adat di sudut-
sudut desa, saya mengunjungi salah satu di antaranya. Rumah adat di sini
hanya untuk para pemangku adat Bayan dan keturunannya. Pemangku
adat biasanya juga orang yang ditinggikan atau bangsawan, mereka
dan keturunannya yang berhak menyandang gelar raden di depan
namanya. Dalam unsur-unsur jurnalistik
salah satunya adalah harus mengandung informasi. Di
paragraph inilah terdapat informasi mengenai rumah adat
dan ketentuannya.
14 Rumah adat Bayan merupakan satu
kompleks yang biasanya dipagari kayu di sekelilingnya dan terdiri atas
beberapa bagian. Biasanya bagian paling depan merupakan halaman
yang cukup luas dan terdapat beberapa beruga. Beruga adalah
semacam balai-balai dari kayu yang utamanya digunakan sebagai rapat
adat, jamuan makan, sampai pelaksanaan upacara adat.
Penulis nonjurnalis lebih menampilkan pendeskripsian
tentang rumah adat Bayan dalam paragraph ini.
15 Bagian inti rumah adat terdiri atas
rumah utama dan kemudian dapur yang terpisah dari rumah utama.
“Setiap keputusan penting dalam hal adat lahir di beruga, beberapa upacara
adat penting pun dimulai di beruga,” ujar Raden Gedarip.
Masih pendeskripsian tentang rumah adat dan ditambah
dengan kutipan wawancara.
16 Semua rumah adat Bayan dibangun
dari susunan batu, uniknya batu-batu Dalam paragraf ini penulis
nonjurnalis terus
14
Lihat gambar 2.
yang digunakan adalah batu bulat yang pipih dan disusun sedemikian
rupa. Bukan fondasi batu umpak yang lazim ditemui di pedesaan.
Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, sedangkan atapnya terbuat
dari ilalang yang tumbuh di area lereng Gunung Rinjani. Bentuk
atapnya berbeda dengan rumah adat suku Sasak yang menjadi atap khas
Lombok. menggambarkan rumah adat
Bayan dan sedikit menambahkan perbandingan
dengan adat lainnya yang masih satu wilayah.
17 Jika atap suku Sasak sedikit tinggi
dan melengkung, bagian atap rumah adat di Bayan runcing segitiga,
terbentuk dari silangan rangka atap pada bagian puncaknya.
Merupakan paragraf penjelas untuk paragraf sebelumnya,
penulis nonjurnalis lebih menggambarkan perbedaan
yang dapat mudah ditemukan antara rumah adat Bayan
dengan adat pembandingnya.
18 Di bagian terpisah dari rumah adat
biasanya juga terdapat lumbung padi yang disebut geleng. Lumbung padi
ini dibangun dalam bentuk beruga panggung berukuran kecil dan
dipancang tinggi untuk menghindari serbuan binatang pengganggu, seperti
tikus. Geleng tersebar di penjuru desa. Padi biasanya disimpan setiap
sehabis panen. Sebelum memasukkan padi ke geleng, si pemilik padi akan
melakukan sedikit ritual sederhana dan rapalan doa-doa.
Msish berkaitan dengan rumah adat, penulis nonjurnalis
menampilkan informasi lainnya dalam paragraph ini yaitu
tempat penyimpanan padi atau disebut geleng dalam bahasa
Bayan. Penulisannya dituliskan secara naratif.
19 Rumah-rumah di Bayan dibangun
meng ikuti aturan adat, perawatan berkala, seperti penggantian atap atau
dinding harus mengikuti aturan adat, renovasi, dan perbaikan rumah adat
mesti dilakukan pada bulan-bulan tertentu yang sudah ditentukan.
Bahkan, dalam setiap detail kecil ini pun, orang-orang Bayan tidak bisa
melepaskan aturan adat yang menjadi pedoman hidup mereka.
Di paragraf ini sepenuhnya adalah informasi mengenai
aturan yang berkaitan dengan rumah adat yang juga menjadi
aturan atau pedoman hidupnya. Dipaparkan dengan cara naratif.
20 Kearifan Adat Menjaga Hutan
Ucapan Raden Sawinggih langsung melekat di benak saya. “Desa ini tak
pernah kekurangan air, adat menjaga hutan kami, hutan kami menyediakan
mata air sehingga air terus mengalir
dan desa ini tetap lestari,” katanya sebelum saya melakukan perjalanan
ke Hutan Adat Mandala.
Terdapat kutipan langsung dari narasumber dalam paragraf ini,
serta memiliki unsur why atau kenapa, yakni kenapa desa tak
pernah kekurangan air lalu dijawab oleh kalimat
selanjutnya.
21 Bayan memang masih dikelilingi
hutan yang masih hijau dan menjadi sumber anugerah air yang berlimpah
bagi masyarakatnya. Hutan-hutan ini merupakan hutan adat yang dijaga
benar keberadaannya oleh masyarakat Bayan.
Paragraf ini terlihat sebagai paragraf penjelas dari paragraf
sebelumnya yang mengandung informasi.
22 Tak hanya masyarakat Bayan yang
menerima berkah air dari keberadaan hutan ini, tapi desa sebelah, Senaru,
juga menerima berkah air berlimpah dan tak pernah habis pada musim
kering. Sepasang air terjun di Lombok, Sendang Gile dan Tiu
Kelep, yang lokasinya berada di batas Desa Bayan dan Senaru, mata airnya
berada di dalam hutan adat Bayan. Terdapat unsur 5W+1H who,
terlihat pada kalimat “yang menerima berkah air dari
keberadaan hutan ini, tapi desa sebelah, Senari, juga menerima
berkah air berlimpah dan tak pernah habis pada musim
kering.”
23 Hutan Adat Mandala ada di tengah-
tengah desa, dikelilingi persawahan sejauh mata memandang. Hutan adat
yang luasnya kira-kira 1,3 hektare ini memiliki tiga mata air di tengah-
tengahnya. Masyarakat adat sejak dulu menyadari pentingnya hutan
untuk penghidupan desa. Oleh sebab itu, hutan ini dilindungi terus-
menerus, turun-menurun. Hutan tersebut dilindungi dengan sistem
adat sehingga setiap masyarakat Bayan mau tak mau harus tunduk
pada aturan adat untuk menghormati
dan menjag keberadaan hutan. “Tidak Terdapat fakta dan data dalam
paragraf ini, dengan adanya kalimat “
Masyarakat adat sejak dulu menyadari pentingnya
hutan untuk penghidupan desa. Oleh sebab itu, hutan ini
dilindungi terus-menerus, turun- menurun. Hutan tersebut
dilindungi dengan sistem adat sehingga setiap masyarakat
Bayan mau tak mau harus tunduk pada aturan adat untuk
menghormati dan menjaga
keberadaan hutan.” Kemudian diperjelas oleh kutipan langsung
ada yang berani macam-macam di hutan, Mas, masya rakat sudah sadar
sendiri,” ujar Raden Sawinggih. dari perwakilan adat.
24 Masyarakat Bayan menjaga hutan
dengan awiq-awiq atau aturan adat. Awiq-awiq yang dibuat untuk
menjaga hutan mencakup pengelolaan hutan adat dan juga
sumber mata air di dalamnya. Di dalamnya juga terdapat larangan dan
sanksi bagi yang melanggarnya. Paragraf ini terdapat informasi
mengenai aturan atau awiq- awiq dalam bahasa adat berikut
sanksinya.
25 Sanksi adat ini macam-macam, mulai
dari ringan sampai berat. Mulai dari denda, seperti satu ekor kerbau
sampai sanksi sosial yang berat, yaitu dikucilkan dan tidak diakui lagi
sebagai bagian dari masyarakat adat. Selain dibekali dengan aturan adat,
masyarakat juga membentuk sistem pengamanannya sendiri. Dengan
aturan adat, ada orang-orang yang kemudian diangkat dan diberi jabatan
adat sebagai pemangku hutan sampai penjaga dan pengatur mata air.
Kemudian di paragraf inilah yang memperjelas paragraf
sebelumnya dan terdapat fakta seperti sanksi yang harus
diterima jika melanggar dan fakta adanya jabatan khusus di
dalam adat.
Tiap orang yang diangkat punya jabatan masing-masing
seperti kepala dusun, imam dalam keagaman, pemimpin
upacara dan mengurusi pertanian seperti menegakkan
hukum-hukum pertanian.
15
26 Terbukti dengan awiq-awiq tentang
hutan ini masyarakat terus menghormati kebera-daan hutan di
Bayan. Hutan di Bayan masih terjaga lestari, hijau, masih rimbun, dan
penuh pohon besar berusia ratusan tahun dengan sulur-sulur akar yang
kekar men-cengkeram tanah. Kelestarian ini yang menjaga ke
berlangsungan air yang mem-bawa kemakmuran bagi masyarakat Bayan.
Penulis nonjurnalis mendeskripsikan dalam
paragraf ini, bagaimana gambaran hutan yang dijaga
dengan awiq-awiq dan dipatuhi oleh masyarakat adat Bayan.
15
Wawancara pribadi dengan penulis nonjurnalis Rubrik Jelajah Koran Harian Republika, Farchan Noor Rachman, Jakarta, 21 Juli 2014.
27 “Saya ingin anak-anak kami nanti
memandang Wetu Telu sebagai sebuah kebanggaan dan Wetu Telu
akan terus menjaga filosofi yang
menjaga hidup mereka kelak,” kata Raden Sawinggih mengucap kalimat
perpisahan, yang mungkin mewakili suara anak muda Bayan pada akhir
perjalanan. Paragraf ini merupakan paragraf
penutup, dengan kutipan langsung dari perwakilan adat.
Hal ini merupakan struktur dalam gaya penulisan features
yaitu penutup.
Hasil dari penjabaran diatas, teks tersebut lebih memiliki karakteristik features daripada teks sebelumnya. Diantaranya, ditulis dengan cara berkisah,
berbentuk narasi namun juga terdapat deskriptif untuk memaparkan ceritanya yang berpijak pada fakta, terdapat subjektif dari penulis dan memiliki struktur
pembuka dan penutup sebagaimana gaya penulisan dari features itu sendiri. Teks diatas menggunakan seluruh unsur dari 5W1H, yang berarti terdapat
maksud dari apa, siapa, kapan, dimana, kenapa dan bagaimana. Hal itu memang diabaikan dalam features sebagaimana dikatakan oleh Mc Kinney dan Sumadiria
dalam bukunya, namun harus mengandung semua unsur keenamnya. Tidak terikat pada aktualisasi karena tidak ada tanggal di dalam teksnya. Tulisannya pun ditulis
dengan menggunakan gaya bahasa jurnalistik sastrawi. Dalam sisi jurnalisme warga, teks ditulis oleh seorang yang bukan
nonjurnalis. Tertulis nama lengkap beserta profesinya. Turut berperan aktif dalam kegiatan jurnalistik seperti mencari dan mengolah, termasuk memotret juga
melakukan wawancara dengan warga setempat dan mencantumkan nama narasumbernya.
Berikut adalah hasil analisis perbandingan antara teks asli tulisan penulis nonjurnalis dengan teks yang sudah diedit oleh editor:
Tabel 5 Teks Asli Penulis dan Hasil Editor
Teks pada Republika
Teks Asli Penulis Nonjurnalis
Analisis
1 Masjid Bayan Beleq
Bayan terkenal dengan Masjid Bayan Beleq.
Masjid kayu ini konon merupakan masjid
pertama yang ada di Lombok dan dibangun
sekitar abad ke-16-17 Masehi. Hanya para
pemuka agama dan pemuka adat Bayan
yang diizinkan shalat di masjid ini.
Bayan terkenal dengan Masjid Bayan Beleq,
masjid kayu ini konon merupakan masjid
pertama yang ada di Lombok dan dibangun
sekitar abad 16-17 Masehi. Hanya para
pemuka agama dan pemuka adat Bayan
yang diizinkan shalat di masjid ini dan masjid ini
hanya dibuka saat-saat tertentu saja. Menurut
cerita, konon Islam masuk ke Lombok
melalui Bayan oleh mubaligh-mubaligh dari
Tanah Jawa di era Wali Songo. Teori ini
kemudian berkembang untuk menjelaskan
kenapa keturunan- keturunan pembesar
Bayan menyandang gelar Raden di depan
namanya, diyakini karena pengaruh dari
Tanah Jawa. Pada bagian dua
paragraf pertama dalam tulisan yang
diterbitkan, mulanya berada di paragraf ke
27 dan menjadi satu bagian pada tulisan
asli yang ditulis oleh penulis nonjurnalis
sebelum masuk ruang editor.
Editor membaginya menjadi dua paragraf.
Terdapat beberapa diksi dan kalimat
yang dihilangkan
diantaranya “konon” dan “diyakini karena
pengaruh dari Tanah Jawa.” Menghilang di
tulisan yang diterbitkan.
Selain itu juga mengalami perubahan
kalimat. Dalam teks yang ditulis oleh
nonjurnalis adalah
“Menurut cerita, konon Islam masuk ke
Lombok melalui Bayan oleh mubaligh-
2 Masjid Bayan Beleq
hanya dibuka pada
saat-saat tertentu. Menurut cerita, Islam
masuk ke Lombok dibawa para mubalig
era Wali Songo dari Tanah Jawa melalui
Bayan. Teori ini kemudian berkembang
untuk menjelaskan mengapa keturunan
pembesar Bayan menyandang gelar
raden di depan namanya.
mubaligh dari Tanah Jawa di era Wali
Songo.” Menjadi “Menurut cerita, Islam
masuk ke Lombok dibawa para mubalig
era Wali Songo dari Tanah Jawa melalui
Bay
an.”
3 Menuju Bayan
Bayan terletak sekitar tiga jam perjalanan
dari Mataram, bisa melalui Pusuk ataupun
Senggigi menuju arah Senaru. Susuri saja
jalan provinsi di garis pantai utara Lombok
sampai bertemu Kecamatan Bayan.
Lokasi Desa Bayan kurang lebih tiga
kilometer dari pusat kecamatan dan dua
kilometer dari pintu gerbang menuju
Gunung Rinjani, Desa Senaru.
Menuju Bayan
Bayan terletak sekitar 3 jam perjalanan dari
Mataram, bisa melalui Pusuk ataupun Senggigi
menuju arah Senaru. Susuri saja jalan
propinsi di garis pantai utara Lombok sampai
bertemu Kecamatan Bayan. Lokasi Desa
Bayan kurang lebih 3 kilometer dari pusat
kecamatan dan 2 kilometer dari pintu
gerbang menuju Gunung Rinjani, Desa Senaru.
Paragraf ketiga ini, berada di paragraf
terakhir 28 dalam tulisan asli yang
ditulis oleh nonjurnalis. Tidak
banyak perubahan yang terlihat. Hanya
pergantian tulisan angka manjadi huruf
dan perubahan ejaan
“propinsi” menjadi “provinsi”
4 Berkenalan dengan
Masyarakat Adat Bayan
Tiga jam bermobil dari Mataram,
Lombok, saya sampai ke desa ini: Desa
Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten
Lombok Utara. Desa
Bayan, Kisah Keteguhan Menjaga
Adat
Di tengah – tengah
pesatnya perkembangan pariwisata yang diiringi
kekhawatiran pergeseran budaya dan cara hidup
masyarakat di Lombok, ternyata masih ada
Judul besar disini terlihat berbeda,
interpretsinya editor mengganti diksi yang
digunakan oleh penulis nonjurnalis.
Paragraf yang ditulis oleh nonjurnalis
sebenarnya berada pada paragraf pertama,
Bayan terletak di garis pantai utara Lombok,
lokasinya seolah berada pada sebuah
ceruk, tepat di tengah antara lautan di utara
dan garis Pegunungan Rinjani di selatan.
sekelompok masyarakat di Lombok yang terus
berpegang pada adat yang sudah dianut turun-
temurun. Di Desa Bayan, Kecamatan
Bayan, Kabupaten Lombok Utara inilah
masyarakat setempat yang sering disebut
Orang Bayan teguh melestarikan adat yang
menjadi filosofi hidup mereka, Wetu Telu.
namun dalam teks yang terbitkan berada
di paragraf ketiga.
Pembuka paragrafnya pun berbeda. Satu
kalimat pertama dalam tulisan nonjurnalis
dihapus dan diganti dengan beberapa kata
saja. Dalam tulisan nonjurnalis tidak
ditemukan kalimat yang menunjukkan
adanya keterangan
waktu “tiga jam bermobil dari
Mataram”, tapi di sebaliknya ada.
Selain itu, ada beberapa kata yang
dihilangkan seperti “genit”. Pengulangan
kata yag ada dalam teks asli pun tidak lagi
menjadi berulang. Hal tersebut dianggap
sebagai efesiensi kata atau menghindari
mubazir kata dalam karakteristik bahasa
jurnalistik.
Jumlah paragraf pada awalnya berjumlah
dua kini menjadi tiga paragraf pada teks
yang diterbitkan. Susunannya pun
berubah, paragraf terakhir seperti dibuat
sebagai penyambung untuk ke judul kecil
selanjutnya. 5
Di desa yang hijau itu, saya menemukan alur
hidup yang sangat lambat dan
menenangkan. Alam seolah bersenandung
riang menaungi masyarakat Bayan
yang agraris. Petani- petani Bayan pun
berangkat ke sawah berteman desau angin,
kicau burung, dan lambaian pepohonan
di hutan sekeliling desa.
Desa Bayan terletak di garis pantai utara
Lombok, lokasinya seolah berada pada
sebuah ceruk, tepat di tengah antara lautan di
utara dan garis pegunungan Rinjani di
selatan. Alur hidup di Bayan sangat lambat
dan menenangkan, seolah alam
bersenandung riang menaungi masyarakat
Bayan. Petani-petani Bayan pun berangkat ke
sawah berteman desau angin, kicau burung dan
lambaian genit pepohonan di hutan
–
hutan sekeliling desa.
6 Keingintahuan yang
kuat membimbing langkah saya bertamu
ke masyarakat adat Bayan. Mereka, yang
sering disebut orang Bayan, ini teguh
menjalani filosofi Wetu Telu. Sebuah
filosofi yang
mewarnai denyut ke- hidupan sehari-hari
mereka.
7 Filosofi Wetu Telu
“Banyak orang yang salah tangkap tentang
Wetu Telu Bayan,” kata Raden
Sawinggih. Tokoh pemuda Bayan itu
menjelaskan, kesalahan utama
pemahaman orang luar adalah anggapan
bahwa penghayat Wetu Telu hanya
menunaikan shalat tiga waktu dalam
sehari. “Itu salah besar, banyak orang
mengartikan wetu sebagai waktu,
padahal bukan itu,” ujarnya.
Wetu Telu, Filosofi Utama Orang Bayan.
“Banyak orang yang salah tangkap tentang
Wetu Telu Bayan” kata Raden Sawinggih, tokoh
pemuda Bayan. Menurut Sawinggih kesalahan
utama pemahaman orang-orang tentang
Wetu Telu adalah anggapan bahwa
penghayat Wetu Telu hanya menunaikan
shalat 3 waktu dalam
sehari. “Itu salah besar, banyak orang
mengartikan Wetu sebagai Waktu, padahal
bukan itu.” Sawinggih menambahkan.
Judul kecilnya dirubah men-jadi lebih singkat.
Dalam jur-nalistik, ini dianggap sebagai
karakteristik bahasa jurnalis-tik, yaitu
singkat dan padat.
Tidak hanya terjadi pada judul, dalam
paragraf ketujuh pada teks yang diterbitkan
dan paragraf ketiga pada teks aslinya ini
juga banyak mengalami
pemenggalan kata sebagai efesiensi kata
sebagai wujud untuk menghindari
kemubaziran. Serta perubahan penulisan
angka nominal kecil, berubah menjadi
huruf.
8 Lebih jauh lagi,
anggapan umum bahwa Wetu Telu
merupakan agama tradisional asli yang
hanya ada di Bayan. Raden Gedarip, salah
seorang pemangku adat Desa Bayan, yang
saya temui di kediamannya di
Dusun Karang Salah, Desa Bayan,
meluruskan anggapan
itu. “Wetu Telu itu adalah filosofi dasar
orang Bayan, ini Memang anggapan
umum menyatakan bahwa penganut umat
Wetu Telu hanya menunaikan shalat 3
waktu dalam sehari, bahkan menganggap
Wetu Telu adalah agama tradisional asli yang
hanya ada di Bayan. Anggapan ini kemudian
yang diluruskan oleh Raden Gedarip, salah
seorang pemangku adat Desa Bayan yang saya
temui di kediamannya di Dusun Karang Salah,
Tidak banyak terjadi perubahan dalam
masing-masing paragraf ini. Hanya
pemenggalan beberapa kalimat yang sudah
pernah dijelaskan dalam paragraf
sebelumnya. Selebihnya sama
termasuk pada kutipan wawancara, editor
tidak merubahnya selain penulisan angka
nominal kecil diganti dengan penulisan
pedoman hidup, bukan agama. Agama kami,
ya Islam, kami Muslim, shalat kami
ya lima waktu,” katanya menegaskan.
Desa Bayan .“Wetu Telu
itu adalah filosofi dasar orang Bayan, ini
pedoman hidup, bukan agama. Agama kami ya
Islam, kami muslim,
shalat kami ya 5 waktu” katanya menegaskan.
menggunakan huruf.
9 Wetu Telu lebih
dimaknai sebagai aturan adat yang
berfungsi menjaga kehidupan masyarakat
lebih teratur dan tenteram. Aturan-
aturan agama Islam dan aturan adat,
mereka mengungkapkan,
saling melengkapi, bukan saling
menyelisihi. Dengan ini orang Bayan
memiliki panduan untuk jiwa, pun untuk
kehidupan duniawinya.
Dari penjelasan 2 tokoh Bayan tadi, baik Raden
Sawinggih maupun Raden Gedarip. Wetu
Telu dalam kehidupan orang Bayan berfungsi
sebagai pedoman hidup dan filosofi yang
menyertai dalam laku kehidupan sehari-hari.
Bukan sebagai agama, Wetu Telu lebih
dimaknai sebagai aturan adat yang berfungsi
menjaga kehidupan masyarakat lebih teratur
dan tenteram. Aturan- aturan agama Islam dan
aturan adat saling melengkapi, bukan
saling menyelisihi. Dengan ini orang Bayan
memiliki panduan untuk jiwa, pun untuk
kehidupan duniawinya Tidak ada perubahan
kata dalam kedua paragraf tersebut,
hanya terlihat pemenggalan kalimat
dan teks yang diterbitkan menjadi
lebih singkat daripada teks aslinnya yang
ditulis oleh nonjurnalis.
Editor menambahkan kalimat penjelas
“ mereka
mengungkapkan,” sebagai penguat
bahwa pernyataan tersebut adalah hasil
wawancara dengan narasumebr warga
setempat.
10 Terma Wetu Telu dalam pemahaman
orang Bayan juga sering disebut dengan
Sesepan yang kira-kira jika dalam bahasa
Indonesia berarti diresapi. Ini terkait
dengan filosofi Wetu Telu sebagai sesuatu
yang harus diresapi dengan benar oleh
Terma Wetu Telu dalam pemahaman Orang
Bayan juga sering disebut dengan Sesepan
yang kira-kira jika dalam bahasa Indonesia
berarti diresapi. Ini terkait dengan filosofi
Wetu Telu sebagai sesuatu yang harus
diresapi dengan benar oleh penghayatnya. Inti
Tida kbanyak mngalami perubahan
dalam paragraf ini. perbaikan pada
penulisan angka dan pemenggalan beberapa
kata yang dirasa bertele-tele.
penghayatnya. Inti dari Wetu Telu adalah
pemahaman akan tiga unsur utama dalam
hidup manusia. Raden Gedarip lantas
menjelaskan, filosofi Wetu Telu bisa
dipahami dari tiga siklus hidup utama
manusia, metu beranak, tioq
tumbuh, dan menteloq bertelur.
Prinsip Wetu Telu juga bisa diartikan tiga
unsur pemberi hidup manusia, yaitu Allah
Tuhan, imaq ibu, dan amaq ayah.
dari Wetu Telu adalah pemahaman akan 3
unsur utama dalam hidup manusia. Seperti
dituturkan oleh Raden Gedarip, filosofi Wetu
Telu bisa dipahami dari 3 siklus hidup utama
manusia, Metu Beranak, Tioq
Tumbuh dan Menteloq Bertelur. Tapi tak
terbatas itu, Wetu Telu menurut Raden Gedarip,
prinsip Wetu Telu juga bisa diartikan 3 unsur
pemberi hidup manusia, yaitu Allah Tuhan,
Imaq Ibu dan Amaq Ayah.
11 Tecermin dalam rumah adat
Agar memahami Wetu Telu dalam kehidupan
sehari-hari, Sawinggih menyaran kan saya
mengawalinya dengan kunjungan ke rumah
adat Bayan. Rumah- rumah di Bayan
mayoritas me-ngarah ke arah utara dan
selatan. “Utara itu laut, selatan itu
Rinjani,” kata Raden Gedarip menje-laskan
arah utara dan selatan yang merupakan
penghormatan untuk lautan lepas dan
Gunung Rinjani, dua tempat yang dianggap
sakral di arah utara dan selatan Desa
Bayan.
Watu Telu Dan Kehidupan Sehari-hari
Wetu Telu tak hanya dimaknai sebagai
filosofi, orang Bayan menerapkan Wetu Telu
dalam kehidupan sehari- hari. Maka kemudian
saya menyusuri jalanan Desa Bayan untuk
menyaksikan bagaimana lekatnya Wetu Telu
dalam kehidupan sehari- hari. Untuk memahami
ini saya disarankan untuk mengunjungi
Rumah Adat Bayan oleh Raden Sawinggih,
sekaligus bisa memahami makna
filosofis Wetu Telu dalam konstruksi rumah
adat. Judul kecil terlihat
berubah menjadi lebih spesifik. Dalam teks
asli yang ditulis oleh nonjurnalis, paragraf
ini berada di urutan ke 13-14, namun dalam
teks yang diterbitkan menjadi satu paragraf
yakni paragraf 11.
Terdapat banyak pemenggalan kalimat
pada paragraf tersebut namun terlihat
menjadi lebih ringkas. Tidak ada diksi yang
dirubah. Namun terjadi penambahan
kutipan yang sebenarnya di tulisan
nonjurnalis tidak ada kalimat langsung.
Rumah-rumah di Bayan mayoritas mengarah ke
arah utara dan selatan. Hal ini adalah
penghormatan untuk lautan lepas dan Gunung
Rinjani, 2 tempat yang dianggap sakral yang
berada di arah utara dan selatan Desa Bayan.
Masyarakat adat dimanapun memang tak
bisa lepas dari simbolisasi-simbolisasi
atas sesuatu yang dihormati. Kadang
simbolisasi ini serupa kode dan seseorang baru
bisa mengetahui maknanya setelah
dipelajari beberapa lama.
12 Ada beberapa rumah adat di sudut-sudut
desa, saya mengunjungi salah
satu di antaranya. Rumah adat di sini
hanya untuk para pemangku adat Bayan
dan keturunannya. Pemangku adat
biasanya juga orang yang ditinggikan atau
bangsawan, mereka dan keturunannya
yang berhak menyandang gelar
raden di depan namanya.
Ada beberapa rumah adat di sudut-sudut desa,
saya mengunjungi salah satu diantaranya. Rumah
Adat disini hanya untuk para pemangku adat
Bayan dan keturunannya,
pemangku adat disini biasanya juga orang
yang ditinggikan atau bangsawan, mereka dan
keturunannya berhak menyandang gelar
Raden di depan namanya.
Sebagian besar dalam paragraf ini tidak
berubah. Hanya satu kata yang dihapus
“disini” dan perubahan ejaan “Raden”
menjadi “raden”.
13 Rumah adat Bayan merupakan satu
kompleks yang biasanya dipagari
kayu di sekelilingnya dan terdiri atas
beberapa bagian. Biasanya bagian
paling depan merupakan halaman
yang cukup luas dan terdapat beberapa
beruga. Beruga adalah semacam balai-balai
dari kayu yang utamanya digunakan
sebagai rapat adat, jamuan makan, sampai
pelaksanaan upacara adat.
Rumah Adat Bayan merupakan 1 kompleks
yang biasanya dipagari kayu di sekelilingnya
dan terdiri dari beberapa bagian. Biasanya bagian
paling depan adalah halaman yang cukup
luas dan terdapat beberapa Beruga.
Beruga adalah semacam balai-balai dari kayu
yang utamanya digunakan sebagai rapat
adat, jamuan makan sampai pelaksanaan
upacara adat. Beranjak dari bagian halaman,
maka terdapat bagian inti rumah adat yang
terdiri dari rumah utama dan kemudian dapur
yang terpisah dari rumah utama.
“Setiap keputusan penting
dalam hal adat lahir di Beruga, beberapa
upacara adat penting
pun dimulai di Beruga” imbuh Raden Gedarip.
Ini merupakan penegasan mengenai
penting-nya Beruga dalam susunan rumah
adat maupun adat Bayan itu sendiri.
Paragraf dalam teks yang ditulis oleh
nonjurnalis ini terbagi menjadi dua paragraf
di teks yang diterbitkan.
Seperti yang sebelumnya, dalam
paragraf 13 di teks yang diterbitkan
penulisan angka nominal kecil berubah
penulisannya menjadi huruf. Pemilihan
diksipun berubah, kata
“adalah” menjadi “merupakan”.
Dalam paragraf 14 pada teks yang
diterbitkan banyak mengalami
pemenggalan kalimat. Selain itu EYD pun
mengalami perbaikan
“Beruga” dalam teks yang ditulis oleh
nonjurnalis menjadi
“beruga”.
14 Bagian inti rumah adat terdiri atas rumah
utama dan kemudian dapur yang terpisah
dari rumah utama.
“Setiap keputusan penting dalam hal adat
lahir di beruga, beberapa upacara adat
penting pun dimulai di beruga,” ujar Raden
Gedarip.
15 Semua rumah adat Bayan dibangun dari
susunan batu, uniknya batu-batu yang
digunakan adalah batu bulat yang pipih dan
disusun sedemikian rupa. Bukan fondasi
batu umpak yang lazim ditemui di
pedesaan. Dindingnya terbuat dari anyaman
bambu, sedangkan atapnya terbuat dari
ilalang yang tumbuh di area lereng Gunung
Rinjani. Bentuk atapnya berbeda
dengan rumah adat suku Sasak yang
menjadi atap khas Lombok.
Semua Rumah Adat Bayan dibangun dari
susunan batu, uniknya batu-batu yang
digunakan adalah batu bulat yang pipih dan
disusun sedemikian rupa. Bukan pondasi
batu umpag seperti halnya pondasi batu
yang lazim ditemui di pedesaan. Dindingnya
terbuat dari anyaman bambu sementara
atapnya terbuat dari ilalang yang tumbuh di
area lereng gunung Rinjani. Bentuk atapnya
berbeda dengan rumah adat Suku Sasak yang
menjadi atap khas Lombok. Jika atap Suku
Sasak sedikit tinggi dan melengkung, bagian
atap Rumah Adat di Bayan runcing segitiga,
terbentuk dari silangan rangka atap pada bagian
puncaknya. Disini terdapat
perubahan EYD. Dalam teks yang
ditulis nonjurnalis kata
“pondasi, umpag, gunung rinjani”
menjadi “fondasi, umpak, Gunung
Rinjani”, dalam teks yang diterbitkan juga
mengalami pemenggalan kata.
Selain itu, diksi juga ada yang berubah
sebelumnya kata “sementara” pada teks
yang ditulis oleh nonjurnalis menjadi
“sedangkan”. Pada kalimat terakhir,
editor menjadikannya sebagai paragaraf baru
yang berarti paragraf ke 16 dalam teks yang
diterbitkan dan tidak mengalami perubahan
lainnya.
16 Jika atap suku Sasak sedikit tinggi dan
melengkung, bagian atap rumah adat di
Bayan runcing segitiga, terbentuk dari
silangan rangka atap pada bagian
puncaknya.
17 Di bagian terpisah dari rumah adat
Di bagian terpisah dari Rumah Adat biasanya
Tidak ada perubahan yang mencolok pada
biasanya juga terdapat lumbung padi yang
disebut geleng. Lumbung padi ini
dibangun dalam bentuk beruga
panggung berukuran kecil dan dipancang
tinggi untuk menghindari serbuan
binatang pengganggu, seperti tikus. Geleng
tersebar di penjuru desa. Padi biasanya
disimpan setiap sehabis panen.
Sebelum memasukkan padi ke geleng, si
pemilik padi akan melakukan sedikit
ritual sederhana dan rapalan doa-doa.
juga terdapat lumbung padi yang disebut
Geleng, lumbung padi ini dibangun dalam
bentuk Beruga panggung berukuran
kecil dan dipancang tinggi untuk
menghindari serbuan binatang pengganggu
seperti tikus. Geleng ini tersebar di penjuru desa,
padi biasanya disimpan setiap sehabis panen,
sebelum memasukkan padi ke Geleng, si
pemilik padi akan melakukan sedikit ritual
sederhana dan rapalan doa-doa.
bagian ini, hanya perubaha beberapa
EYD seperti “Rumah Adat, Geleng, Beruga”
menjadi “rumah adat, geleng, beruga”.
18 Rumah-rumah di Bayan dibangun meng
ikuti aturan adat, perawatan berkala,
seperti penggantian atap atau dinding
harus mengikuti aturan adat, renovasi,
dan perbaikan rumah adat mesti dilakukan
pada bulan-bulan tertentu yang sudah
ditentukan. Bahkan, dalam setiap detail
kecil ini pun, orang- orang Bayan tidak bisa
melepaskan aturan adat yang menjadi
pedoman hidup mereka.
Rumah-rumah di Bayan dibangun mengikuti
aturan adat, perawatan berkala seperti
penggantian atap atau dinding pun harus
mengikuti aturan adat, renovasi dan perbaikan
rumah adat harus dilakukan pada bulan-
bulan tertentu yang sudah ditentukan, tidak
bisa dilakukan sembarangan. Bahkan
dalam setiap detail- detail kecil ini pun,
orang-orang Bayan tidak bisa melepaskan aturan
adat yang memang sudah dijadikan sebagai
pedoman hidup mereka. Tidak banyak editan
yang dilakukan dalam paragraf ini, hanya
pemenggalan beberapa kalimat. Dalam teks
yang ditulis oleh nonjurnalis kalimat
“tidak bisa dilakukan sembarangan”
dihapuskan pada teks yang diterbitkan, dan
kalimat “memang sudah dijadikan
sebagai pedoman” dipersingkat “menjadi
pedoman” saja.
19 Kearifan Adat Menjaga Hutan
Ucapan Raden Sawinggih langsung
melekat di benak saya. “Desa ini tak pernah
kekurangan air, adat menjaga hutan kami,
hutan kami menyediakan mata air
sehingga air terus mengalir dan desa ini
tetap lestari,” katanya sebelum saya
melakukan perjalanan ke Hutan Adat
Mandala. Adat Menjaga Hutan
“Desa ini tak pernah kekurangan air, adat
menjaga hutan kami, hutan kami
menyediakan mata air sehingga air terus
mengalir dan desa ini
tetap lestari.” ucap Raden Sawinggih
sebelum saya melakukan perjalanan
ke Hutan Adat Mandala. Bayan memang masih
dikelilingi hutan yang masih hijau dan menjadi
sumber anugerah air yang berlimpah bagi
masyarakatnya, hutan- hutan ini merupakan
hutan adat yang dijaga benar keberadaannya
oleh masyarakat Bayan. Tak hanya masyarakat
Bayan yang menerima berkah air dari
keberadaan hutan ini desa sebelah, Senaru
juga menerima berkah air berlimpah dan tak
pernah habis di musim kering. Sepasang air
terjun nan indah di Lombok, Sendang Gile
dan Tiu Kelep yang lokasinya berada di
batas desa Bayan dan Senaru, mata airnya
berada di dalam hutan adat Bayan.
Kalimat kedua dalam paragraf ke 19 ini
berubah susunannya. Kemudian menjadi
paragraf yang terpisah dari teks aslinya.
Pada paragraf 20 juga merupakan satu
bagian dari paragraf sbelumnya di teks
aslinya, tidak ada dirubah perkatanya,
hanya dari satu kalimat pada takes
aslinya kini dibagi menjadi dua kalimat.
Begitupun paragraf ke 21 masih satu bagian
dengan paragraf sebelumnya di teks
aslinya sebelum masuk ruang editor.
Beberapa kata dalam paragraf ini terdepat
EYD yang mengalami perubahan dan ada
pemenggalan kata pada teks aslinya.
Kalimat “Sepasang air terjun nan indah di
Lombok,” kata “indah” menghilang
pada teks yg diterbitkan.
20 Bayan memang masih dikelilingi hutan yang
masih hijau dan menjadi sumber
anugerah air yang
berlimpah bagi masyarakatnya.
Hutan-hutan ini merupakan hutan adat
yang dijaga benar keberadaannya oleh
masyarakat Bayan.
21 Tak hanya masyarakat Bayan yang menerima
berkah air dari keberadaan hutan ini,
tapi desa sebelah, Senaru, juga
menerima berkah air berlimpah dan tak
pernah habis pada musim kering.
Sepasang air terjun di Lombok, Sendang
Gile dan Tiu Kelep, yang lokasinya berada
di batas Desa Bayan dan Senaru, mata
airnya berada di dalam hutan adat Bayan.
22 Hutan Adat Mandala ada di tengah-tengah
desa, dikelilingi persawahan sejauh
mata memandang. Hutan adat yang
luasnya kira-kira 1,3 hektare ini memiliki
tiga mata air di tengah-tengahnya.
Masyarakat adat sejak dulu menya-dari
pentingnya hutan untuk penghidupan
desa. Oleh sebab itu, hutan ini dilindungi
terus-menerus, turun- menurun. Hutan
tersebut dilindungi dengan sistem adat
Hutan Adat Mandala ada di tengah-tengah
desa, dikelilingi persawahan sejauh mata
memandang. Hutan Adat yang luasnya kira-
kira 1,3 hektar memiliki 3 mata air di tengah-
tengahnya. Masyarakat Adat sejak dulu
menyadari pentingnya hutan untuk
penghidupan desa, oleh sebab itu hutan ini
dilindungi terus menerus, turun
– menurun. Hutan ini
dilindungi dengan sistem adat sehingga
setiap masyarakat Bayan Sebagian besar tidak
banyak yang mengalami perubahan
dalam paragraf ini. Hanya ditemukan
diksi yang berubah,
kata “ini” dalam teks asli berubah menjadi
“tersebut” dan terdapat kutipan
langsung pada teks yang diterbitkan.
sehingga setiap masya-rakat Bayan
mau tak mau harus tunduk pada aturan
adat untuk menghormati dan
menjaga keberadaan
hutan. “Tidak ada yang berani macam-
macam di hutan, Mas, masya rakat sudah
sadar sendiri,” ujar Raden Sawinggih.
mau tak mau harus tunduk pada aturan adat
untuk menghormati dan menjaga keberadaan
hutan.
23 Masyarakat Bayan menjaga hutan dengan
awiq-awiq atau aturan adat. Awiq-awiq yang
dibuat untuk menjaga hutan mencakup
pengelolaan hutan adat dan juga sumber
mata air di dalamnya. Di dalamnya juga
terdapat larangan dan sanksi bagi yang
melanggarnya. Masyarakat Bayan
menjaga hutan dengan Awiq-awiq atau Aturan
adat. Awiq-awiq yang dibuat untuk menjaga
hutan mencakup tentang pengelolaan hutan adat
dan juga sumber mata air di dalamnya. Di
dalamnya juga terdapat larangan dan sanksi bagi
yang melanggarnya. Sanksi adat ini macam-
macam, mulai dari ringan sampai berat,
mulai dari denda seperti satu ekor kerbau sampai
sanksi sosial yang berat yaitu dikucilkan dan
tidak diakui lagi sebagai bagian dari masyarakat
adat. Selain dibekali dengan aturan adat,
masyarakat juga membentuk sistem
pengamanannya sendiri. Dengan aturan adat, ada
orang-orang yang kemudian diangkat dan
diberi jabatan adat sebagai pemangku hutan
Tidak ada pergantian kalimat ataupun diksi
dalam paragraf ke 23- 24 tapi adanya
perbaikan EYD. Keduanya merupakan
kesatuan paragraf dalam teks asli yang di
tulis oleh nonjurnalis namun terbagi menjadi
dua paragraf dalam teks yang diterbitkan.
sampai penjaga dan pengatur mata air.
24 Sanksi adat ini macam-macam, mulai
dari ringan sampai berat. Mulai dari
denda, seperti satu ekor kerbau sampai
sanksi sosial yang berat, yaitu dikucilkan
dan tidak diakui lagi sebagai bagian dari
masyarakat adat. Selain dibekali dengan
aturan adat, masyarakat juga
membentuk sistem pengamanannya
sendiri. Dengan aturan adat, ada orang-orang
yang kemudian diangkat dan diberi
jabatan adat sebagai pemangku hutan
sampai penjaga dan pengatur mata air.
25 Terbukti dengan awiq- awiq tentang hutan ini
masyarakat terus menghormati
keberadaan hutan di Bayan. Hutan di
Bayan masih terjaga lestari, hijau, masih
rimbun, dan penuh pohon besar berusia
ratusan tahun dengan sulur-sulur akar yang
kekar mencengkeram tanah. Kelestarian ini
yang menjaga keberlangsungan air
yang membawa kemakmuran bagi
Terbukti dengan awiq- awiq tentang hutan ini
masyarakat terus menghormati
keberadaan hutan di Bayan. utan di Bayan
masih terjaga lestari, hijau, masih rimbun dan
penuh pohon besar berusia ratusan tahun,
pun dengan sulur-sulur akar yang kekar men-
cengkeram tanah. Kelestarian ini kemu-
dianlah yang menjaga keberlangsungan air
yang membawa kemakmuran bagi
Kata “awiq-awiq” dalam teks yang
diterbitkan tidak dimiringkan, namun
sebaliknya pada teks aslinya. Terdapat
penambahan huruf pada kata yang kurang
lengkap seperti “utan” menjadi “hutan”, dan
penghilangan kata “kemudianlah” dalam
kalimat “Kelestarian ini kemudianlah yang
menjaga” pada teks yang diterbitkan
menjadi “ Kelestarian
ini yang menjaga”.
masyarakat Bayan. masyarakat Bayan.
Watu Telu Dan Penerusnya
Perjalanan mengelilingi Desa Bayan membu-
kakan mata bahwa masyarakat adat ternyata
memiliki sistem yang maju untuk
memproteksi lingkungan mereka sendiri. Aturan-
aturan adat dibuat bukan untuk membelenggu tapi
justru untuk melindungi keberlangsungan
kehidupan mereka. Bayan dan filosofi Wetu
Telu terus menjaga lingkungan mereka
melintasi lintasan masa dari masa lalu hingga
sekarang. Adat memang berasal dari masa lalu,
tapi terus dijaga untuk keberlangsungan hidup
di masa mendatang. Terbukti modernitas di
Bayan bisa berjalan seimbang tanpa harus
menggerus aturan adat. Paragraf ini tidak
terdapat di dalam teks yang diterbitkan,
seluruhnya dihilangkan.
26 “Saya ingin anak-anak
kami nanti meman- dang Wetu Telu
sebagai sebuah kebanggaan dan Wetu
Telu akan terus menjaga filosofi yang
menjaga hidup mereka
kelak,” kata Raden Sawinggih mengucap
kalimat perpisahan, yang mungkin
mewakili suara anak muda Bayan pada
Di akhir perjalanan, Raden Sawinggih
mengucap kalimat perpisahan yang
mungkin mewakili suara anak muda Bayan.
“Saya ingin, anak-anak kami nanti memandang
Wetu Telu sebagai sebuah kebanggaan dan
Wetu Telu akan terus menjaga filosofi yang
menjaga hidup mereka Dalam paragraf ke-26
pada teks yang diterbitkan, susunan
kalimatnya berubah. Kutipan berada di
awal paragraf, sedangkan sebaliknya
pada teks asli. Kemudian terdapat
perubahan kata “Di” menjadi “pada” serta
penambahan kata “kata” setelah kutipan.
akhir perjalanan. kelak”.
Dari hasil analisa penulis, sudah dapat ditemukan beberapa poin yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Dilihat dari teksnya, penulisan dalam
rubrik tersebut yang ditulis oleh nonjurnalis bisa dikatakan sebagai features dengan jenis travelogue features yang memuat kisah atau pengalaman perjalanan
seseorang ke objek-objek wisata tertentu. Pernyataan tulisan yang dibuat oleh nonjurnalis tersebut bisa dikatakan sebagai features karena telah memenuhi syarat
khas features yaitu cerita khas yang diperoleh melalui proses jurnalistik seperti kutipan wawancara dan foto-foto. Mengandung keenam unsur 5W+1H. Bahasa
yang digunakan bersifat informal dan memberikan informasi bagi halayak serta memiliki unsur subjektivitas karena penulis menganggap dirinya sebagai orang
pertama. Demikian pula tulisan yang ditulis oleh nonjurnalis diatas, bisa penulis
sebut sebagai jurnalisme warga karena warga telah terlibat dalam proses jurnalistik dan telah dimuat di media massa. Mengandung informasi juga fakta
atas apa yang dialaminya. Ditulis oleh nonjurnalis ditandai dengan adanya penjelasan profesi di bawah nama asli penulis nonjurnalis.
Syarat features dan jurnalisme warga tersebut ternyata hampir seluruhnya terkandung dalam tulisan yang ditulis oleh nonjurnalis. Jelaslah bahwa Rubrik
Jelajah dalam Koran Harian Republika yang beberapa tulisannya ditulis oleh bukan jurnalis profesional dapat dikatakan sebagai jurnalisme warga dengan isi
yang mengulas tentang perjalanan dan ditulis secara lebih mendalam, lebih
mengeksplorasi objek-objek tertentu, tempat-tempat baru atau tempat-tempat lama namun diulas dengan cara yang berbeda.
Setelah dilakukan analisa antara teks asli dari penulis nonjurnalis dengan teks yang telah disunting oleh editor, terjadi perubahan sekitar 10 dari
keseluruhan pada teks di atas. Hal itu berarti menunjukkan bahwa editor tidak terlalu memasukkan kesubjektifannya dalam tulisan nonjurnalis tersebut. Editor
hanya memperbaiki, menjaga kualitas dan mendidik kontributor dalam hal ini adalah penulis nonjurnalis, yang sesuai dengan tulisannya maupun topik-topik
yang layak dilaporkan.
81