Konten dalam Rubrik Jelajah

Sumber Pusdok Republika Judul : Gunung Prau yang Terlupakan 9 Febuari 2014 Tabel 3 Analisis Teks 1 1 BUNGA DAISY, Mutiara Gunung Prau Hiasan paling indah sepanjang Gunung Prau adalah bunga daisy. Hamparan bunganya cukup dominan. Sama halnya ketika kita menemukan bunga edelweis di Gunung Gede-Pangrango, Gunung Semeru ataupun daerah lain. Terdapat subjektifitas dari penulis nonjurnalis mengenai bunga daisy yang lalu diangkat menjadi judul kecil. 2 Bunga daisy merupakan bunga dari keluarga asteraceae, sama seperti bunga aster atau bunga matahari. Asteraceae sendiri merupakan keluarga tumbuhan berbunga kedua yang terbesar dari jenis maupun spesiesnya. Dari segi fisik, bunga daisy merupakan bunga yang wujudnya sangat sederhana. Ia berbentuk bulat. Bagian tengahnya sangat lebar dan dikelilingi petal-petal, seperti sinar matahari. Dalam paragraf ini terdapat informasi yang dikemas secara naratif dan deskriptif. 3 Salah satu ciri bunga ini, yaitu membuka petalnya pada pagi hari saat matahari terbit dan menutupnya kembali pada saat matahari terbenam. Oleh karena itu, penduduk lokal menyebutnya lonte sore. Bukan hanya itu, bunga daisy juga memiliki khasiat menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu, seperti sakit tenggorokan atau sakit perut. Disebutkan informasi dalam paragraf ini namun disayangkan tidak ada sumber fakta atau wawancara. 4 Bunga yang dinobatkan sebagai simbol kelahiran bulan April dan diberi arti sebagai kerendahan hati, kestabilan, suci, simpati dan keceriaan itu kebanyakan berwarna putih. Kita juga dapat menjumpai bunga daisy yang berwarna merah dan kuning. Bahkan, ada yang berwarna ungu. Bila musim mekar tiba, bunga daisy akan tampak lebih indah menghiasi puncak bukit Gunung Prau dan Bukit Teletubies dengan warna- warninya. Tidak ada data yang memperkuat fakta dalam paragraf ini. Sehingga syarat dalam kaidah jurnalistik dianggap tidak terpenuhi. 5 Namun sayang sekali, di beberapa lokasi, kita mendapati kerusakan bunga daisy akibat pendirian tenda beberapa pendaki. Ada baiknya bagi para pendaki yang ingin mendaki Gunung Prau, agar memilih lokasi yang tepat untuk mendirikan tenda. Sehingga, tak merusak keberadaan tumbuhnya bunga daisy. Dalam paragraf ini terdapat subjektifitas penulis nonjurnalis yang menandakan adanya syarat penulisan features. 6 GUNUNG PRAU YANG TERLUPAKAN Oleh Yogi Suryana Lathif fotografer freelancer. Terdapat nama asli penulis yaitu „Yogi Suryana Lathif‟ dan dibuat oleh nonjurnalis ditandai dengan pernyataan profesi sebagai „fotografer freelancer‟ di bawah judul besar. Hal itu menjadi salah satu karakteristik jurnalisme warga sekaligus petanda adanya unsur who siapa. 7 Dieng menyuguhkan dataran tinggi indah yang terletak di antara Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah. Di sekelilingnya terdapat Gunung Sikunir, Gunung Pakuwaja, dan Gunung Prau. Terdapat unsur 5W+1H where yang menjadi syarat unsur jurnalistik. Selain itu juga penulis nonjurnalis memaparkannya dengan gaya deskriptif. 8 Perjalanan ke Dieng bukan pertama bagi kami. Kali kedua ini, saya bersama teman-teman menginjakkan kaki ke Gunung Prau. Gunung yang memiliki ketinggian 2.565 meter di atas permukaan laut mdpl itu merupakan gunung tertinggi pertama di kawasan Dieng. Gunung itu memiliki kawasan hutan yang masih asri, indah, dan terjaga. Namun, masih sedikit orang yang menjadikan lokasi itu sebagai pilihan utama berwisata. Penulis nonjurnalis disini menganggap dirinya sebagai orang pertama “aku”. Terdapat informasi tentang ketinggian Gunung Prau. 9 Saat kita menemui gerbang bertuliskan „Kawasan Dieng Plateau„ menandakan sudah tak lama lagi akan tiba di pos pendaftaran Gunung Prau. Pos itu berlokasi di Desa Patak Banteng, Kecamatan Kejajar. Untuk bisa mendaki Gunung Prau sebenarnya ada dua lokasi akses pendakian. Pertama, kita bisa melewati Desa Patak Banteng, melalui pos pendaftaran. Kedua, melewati SMP 2 Kejajar, Dieng Kulon. Jalur kedua itu bisa dikatakan ilegal. Terdapat beberapa unsur 5W+1H, yaitu how bagaimana dan when dimana. 10 Berangkat malam Papan petunjuk yang besarnya berukuran 2 x 1 meter bertuliskan „Pos Pendakian Gunung Prau„ sudah terlihat ketika memasuki Desa Patak Banteng. Namun, mata harus lebih jeli untuk melihat papan petunjuk yang tak terlalu besar itu. Tetapi, tak perlu khawatir, letak pos pendakian masih satu lokasi dengan Kantor Desa Patak Banteng. Kita cukup berjalan menuju belakang gedung balai desa. Di sana kita menemukan petunjuk „Basecamp Gunung Prau„. Penulis nonjurnalis menuturkan paragraf ini secara naratif. 11 Setiba di sana, Anda diharuskan mengisi buku administrasi yang tujuannya untuk mendata calon pendaki. Pendaki juga dikenakan biaya pendakian sebesar Rp 3.500 untuk sekali pendakian. Sedangkan, yang membawa kendaraan dikenakan biaya sebesar Rp 5.000. Dalam paragraf ini juga memiliki unsur 5W+1H yaitu how berapa. 12 Waktu pada jam tangan saya menunjukkan pukul 16.45. Kami berencana mendaki pada sore hari ternyata harus diundur karena tebalnya kabut dan hujan. Kami baru bisa mendaki setelah azan Maghrib. Rasa khawatir sempat muncul sejenak dari diri saya, karena pendakian pertama yang saya lakukan pada malam hari. Dalam paragraf ini terdapat salah satu unsur 5W+1H yaitu when kapan kemudian penulis menuliskannya dengan cara berkisah. 13 Jalur yang kami lewati dimulai dengan melewati pemukiman penduduk. Keramahan mereka kian terasa sejak kami memasuki pemukiman. Mereka menyapa kami dengan senyum. Seolah obat mujarab bagi kami untuk mendaki hingga tiba di puncak Gunung Prau. Penulis nonjurnalis menuliskan dengan cara berkisah. 14 Tanjakan awal cukup membuat kami letih. Pacu napas kami terasa sangat cepat. Kami menyadari masih banyak tanjakan dan bebatuan di depan. Paragraf ini dipaparkan secara naratif oleh penulis nonjurnalis. 15 Empat pos Jalur bebatuan yang kami lewati membuat perjalanan kami lebih singkat. Jalur itu digunakan penduduk menuju lahan pertanian.Penduduk biasa menggunakan motor untuk membawa hasil panen. Tak lama, kami menemui jalur setapak. Dari sini sebenarnya pendakian dimulai. Kami melewati perkebunan kentang. Aromanya sangat terasa. Terlebih pada malam hari. Terlihat penulis nonjurnalis menuliskan paragraf ini secara deskriptif. 16 Bagi penduduk Desa Patak Banteng, kentang merupakan komoditas utama. Belakangan ini,hasil panen kentang kurang berkualitas. Menurut warga, hal itu disebabkan cairan antihama yang digunakan petani. Terdapat kutipan wawancara dari warga setempat mengenai pengurangan kualitas kentang di dessa tersebut, tetapi tidak dituliskan secara jelas siapa narasumbernya. 17 Tak terasa, perjalanan memasuki semak belukar dan rimbunan pepohonan. Penanda kami akan tiba di Pos 2 dalam waktu 1,5 jam. Beruntung hujan turun hanya sore hari. Sehingga, kondisi langit pada malam hari terlihat terang. Cahaya bulan dan bintang turut menerangi pendakian. Alangkah baiknya kita tak selalu mengandalkan kondisi cuaca karena bisa saja berubah setiap saat. Terdapat subjektifitas nonjurnalis dalam paragraf ini pada kalimat “ Alangkah baiknya kita tak selalu mengandalkan kondisi cuaca karena bisa saja berubah setiap saat” 18 Gunung Prau sendiri memiliki empat pos yang harus dilewati. Kami sudah melewati tiga pos. Menuju pos terakhir, rintangan bertambah sulit. Jalur terus mendaki. Ditambah debu berterbangan dalam setiap langkah kami. Melewati jalur itu diperlukan masker atau kain untuk menutup hidung. Dibutuhkan sepatu khusus pendakian untuk melewati jalur itu. Hindari penggunaan sepatu kets yang dapat membuat Anda kesulitan melanjutkan perjalanan. Penulis nonjurnalis menarasikan tentang jalan yang dilaluinya. Pada kalimat selanjutnya penulis menyisipkan unswur what yakni apa yang diperlukan saat melalui jalan tersebut. 19 Perlahan namun pasti, jalur terasa semakin landai. Bunga daisy atau lebih akrab disapa dengan sebutan bunga lonte sore sudah mulai terlihat di sisi kanan dan kiri jalur pendakian. Sebentar lagi kami akan tiba di puncak Gunung Prau. Masih terlihat peunulisan yang ditulis secara deskriptif dalam paragraf ini. 20 Menyambut matahari terbit Tepat pukul 21.30 rombongan kami tiba di Puncak Gunung Prau, Gunung tertinggi di daerah Dieng. Hampir 4,5 waktu yang ditempuh untuk mencapai puncak. Dalam kondisi normal, pendakian mungkin hanya butuh waktu tiga jam. Rasa letih para pendaki tentunya tak sia-sia setiba di puncak yang begitu terbuka tanpa terhalang pepohonan. Terdapat keterangan waktu yang menandakan adanya unsur 5W+1H when. 21 Di puncak, kami merasakan terbebas dari kungkungan gedung-gedung bertingkat seperti di Jakarta. Seluas mata kami memandang, langit menyuguhkan indahnya jutaan mutiara bintang dan bulan. Di tempat yang sama itu, pendaki juga dapat melihat sunset dan sunrise jika cuaca cerah dan tidak diselimuti kabut tebal. Penulis nonjurnalis memaparkan dengan cara deskriptif. 22 Di sana, kami juga merasakan kesunyian sambil bercengkerama ringan dan tawa. Segelas minuman sereal yang kami buat, menambah hangatnya suasana di puncak itu. Tak jarang para pendaki memilih tidur di luar tenda ditemani hangatnya api unggun. Terdapat pemaparan secara naratif dalam paragraf ini. penulis menceritakan suasana ketika di puncak. 23 Pukul 04.30 kami terbangun. Kami menantikan kedatangan sunrise. Dari arah timur, terlihat sang surya mulai merekah, menampakkan semburan berwarna kuning keemasan. Di sebelah selatan, kami dapat melihat wajah Gunung Sindoro-Sumbing begitu dekat. Jika Anda menengok kepala ke sebelah kanan, maka akan terlihat jelas sekali Dataran Tinggi Dieng, yang pada waktu malam hanya melihat pancaran lampu saja. Terdapat unsur when dalam paragraf ini. kemudian kalimat penjelasnya dipaparkan secara deskriptif. 24 Sementara di sebelah barat dan utara, mata Anda akan tertuju pada padang bunga daisy yang bila musim merekahnya, bunga-bunga itu terlihat indah di atas hijaunya rerumputan Bukit Teletubies. Paragraf ini ditulis secara deskriptif yang mengajak pembaca seolah melihat keadaan yang sebenarnya. 25 Bagaimana Cara ke Dieng? Untuk mencapai kawasan wisata Dieng, Anda yang dari Jakarta dapat menggunakan bis yang langsung menuju Wonosobo. Dari terminal bis Wonosobo, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan bis kecil tujuan Dieng. Dilihat dari judul, paragraf ini memiliki unsur how bagaimana dan dijelaskan secara naratif. 26 Kami sendiri menggunakan kereta api menuju Dieng. Pukul 21.30, kami berangkat dari Stasiun Senen, Jakarta, dengan menggunakan Kereta Api Kelas Ekonomi. Pukul 03.40 dini hari, kami tiba di Stasiun Purwokerto. Dalam paragraf ini terdapat unsur 5W+1H when. 27 Tak jauh dari Stasiun Purwokerto, terdapat rental motor bagi anda yang ingin menempuh waktu perjalanan lebih cepat ke Dieng. Dengan biaya sewa sebesar Rp 90 ribu, anda dapat melaju dengan motor otomatik. Perjalanan menggunakan motor mencapai 3 – 4 jam dalam kondisi normal. Kami menempuh perjalanan denga waktu lebih lama. Beberapa kali kami transit untuk melepas lelah. Bahkan, kami menyempatkan tidur di mushala di Banjarnegara. Terdapat unsur how pada paragraf ini, yakni bagaimana cara ke Dieng dengan menempuh waktu perjalanan yang lebih cepat. Paragraf ini ditulis secara naratif. 28 Memasuki daerah Wonosobo, jalur yang kita lewati mulai menanjak. Perlu tenaga ekstra untuk bisa menempuh jarak 24 km dari Wonosobo menuju Desa Patak Banteng. Bukan hanya jalur yang menanjak dan berkelok, namun perlahan kabut tebal turun dan menghalangi jarak pandang. Penulis nonjurnalis menuliskan pararaf ini dengan naratif. 29 Bawa Perlengkapan Seperlunya Gunung Prau dianggap surganya kawasan Dieng. Hamparan indahnya bunga daisy dan gundukan hijau Bukit Teletubies yang begitu luas membuat sejuk mata memandang. Masih dituturkan dengan cara deskriptif. 30 Sebelum menuju ke sana, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk persiapan. Selain kebutuhan wajib, seperti tenda, sleeping bag, alat masak dan alat penerang, ada beberapa hal yang paling mendasar bila ingin melakukan pendakian ke Gunung Prau. Pertama, jadwal atau perencanaan waktu, merupakan dasar bagi para pendaki. Berapa lama Anda ingin melakukan camping di puncak Gunung Prau. Hal itu berpengaruh pada barang kebutuhan di sana. Memiliki unsur 5W+1H yaitu what apa yakni apa yang perlu dipersiapkan untuk melakukan pendakian. 31 Bila beban isi tas Anda terlalu berat, ada baiknya dikurangi sesuai dengan kebutuhan jangka waktu Anda di puncak. Tak perlu khawatir bila ingin meninggalkan barang bawaan yang tak dibutuhkan, bisa dititipkan di basecamp pendakian. Didapatkan subjektifitas penulis dalam paragraf ini. 32 Selama mendaki menuju puncak Gunung Prau tak ada sumber air di sepanjang jalur yang dilewati. Sumber air terakhir hanya ada sedikit di bawah Pos 1. Tetapi, jika belum mengetahui medan, sebaiknya penuhi botol atau jeriken air dari basecamp. Atur penggunaan air seefisien mung kin. Air dalam setiap pendakian merupakan hal yang sangat penting. Terdapat informasi dalam paragraf ini yang menjadi syarat dalam kaidah jurnalistik, namun terdapat pula subjektifitasnya. 33 Bila selesai mendaki dan ingin melanjutkan berwisata di Dieng Plateau, di sana banyak home stay dengan harga bervariasi dari yang mahal hingga yang terjangkau kondisi keuangan kita. Tarifnya berkisar Rp 70 ribu hingga Rp 150 ribu untuk per malamnya. Dalam paragraf ini terdapat makna berapa how yang menjadi unsur 5W+1H dalam jurnalistik. Semua tergantung fasilitas yang dimiliki penginapan itu. Setelah berbagai pemaparan analisa perparagraf diatas, tulisan yang berjudul “Gunung Prau yang Terlupakan” tersebut ditulis oleh nonjurnalis serta memenuhi sebagian besar dari karakteristik jurnalisme warga citizen Journalism dan features. Dari segi jurnalisme warga, ditandai oleh adanya nama penulis nonjurnalis yang diiringi dengan profesinya. Turut berperan dalam proses kejurnalistikan seperti mencari informasi, dan foto seperti yang ada dalam gambar, namun penulis tidak menganalisa fotonya karena fokus kepada teks. Memiliki kutipan pendapat masyarakat namun kurang lengkap dengan nama narasumbernya. Dalam karakteristik features, tulisan di atas melukiskan peristiwa secara naratif dalam bahasa pengisahan yang informal. Meski sebagian besar gaya tulisannya naratif, namun juga terkadang deskriptif yakni dengan penggambaran suasana. Terdapat beberapa dari unsur 5W1H kecuali why, yaitu where, what, who, when dan how. Nama lengkap wartawan dicantumkan dan terbukti kadang subjektif. Tulisan tersebut bertema gunung, yaitu Gunung Prau dan lebih fokus kepada bunga Daisy. Bunga tersebutlah menjadi icon dari gunung yang berada di kawasan Dieng, Wonosobo tersebut setelah bukit teletubbies. Teks 2 Gambar 2 Teks 2 Rubrik Jelajah Koran Harian Republika Sumber Pusdok Republika Judul : Berkenalan dengan Masyarakat Adat Bayan 9 Maret 2014 Tabel 4 Tabel Analisis Teks 2 1 Masjid Bayan Beleq Bayan terkenal dengan Masjid Bayan Beleq. Masjid kayu ini konon merupakan masjid pertama yang ada di Lombok dan dibangun sekitar abad ke-16-17 Masehi. Hanya para pemuka agama dan pemuka adat Bayan yang diizinkan shalat di masjid ini. Dalam paragraf pembuka ini, penulis nonjurnalis mengungkapkan keterangan waktu yang berarti itu adalah unsur kapan when dari 5W+1H dan mengandung informasi meski datanya tidak disebutkan darimana sumbernya. Diceritakan secara naratif. 2 Masjid Bayan Beleq hanya dibuka pada saat-saat tertentu. Menurut cerita, Islam masuk ke Lombok dibawa para mubalig era Wali Songo dari Tanah Jawa melalui Bayan. Teori ini kemudian berkembang untuk menjelaskan mengapa keturunan pembesar Bayan menyandang gelar raden di depan namanya. Di paragraf selanjutnya, terdapat penuturan sejarah yang dituliskan dengan gaya berkisah. 3 Menuju Bayan Bayan terletak sekitar tiga jam perjalanan dari Mataram, bisa melalui Pusuk ataupun Senggigi menuju arah Senaru. Susuri saja jalan provinsi di garis pantai utara Lombok sampai bertemu Kecamatan Bayan. Lokasi Desa Bayan kurang lebih tiga kilometer dari pusat kecamatan dan dua kilometer dari pintu gerbang menuju Gunung Rinjani, Desa Dari sub judulnya, paragraf ini terlihat juga mengandung unsur jurnalistik 5W+1H how terbukti dengan kalimat ”bisa melalui Pusuk atau Senggigi menuju arah Senaru. Susuri saja jalan provinsi di garis pantai utara Lombok sampai bertemu Kecamatan Bayan.” 4 BERKENALAN DENGAN MASYARAKAT ADAT BAYAN Oleh Farchan Noor Rachman travel blogger, penulis Dibawah judul besar, terdapat nama asli penulis „ Farchan Noor Rachman‟ serta profesinya sebagai „travel blogger, penulis‟ menandakan sebagai karakteristik jurnalisme warga. 5 Tiga jam bermobil dari Mataram, Lombok, saya sampai ke desa ini: Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Desa Bayan terletak di garis pantai utara Lombok, lokasinya seolah berada pada sebuah ceruk, tepat di tengah antara lautan di utara dan garis Pegunungan Rinjani di selatan. Dalam paragraf ini, penulis nonjurnalis mengawali kalimat dengan menjelaskan berapa lama waktu yang ditempuh dan deskripsi mengenai lokasi yang dituju yaitu Bayan, Lombok. Dengan terdapat keterangan tempat berarti menunjukkan adanya salah satu unsur 5w+1H where yang menandakan dalam artikel ini memiliki unsur jurnalistik khususnya features. 6 Di desa yang hijau itu, saya menemukan alur hidup yang sangat lambat dan menenangkan. Alam seolah bersenandung riang menaungi masyarakat Bayan yang agraris. Petani-petani Bayan pun berangkat ke sawah berteman desau angin, kicau burung, dan lambaian pepohonan di hutan sekeliling desa. Terdapat subjektifitas penulis dan dipaparkan secara deskripsi mengenai suasana di desa. 7 Keingintahuan yang kuat membimbing langkah saya bertamu ke masyarakat adat Bayan. Mereka, yang sering disebut orang Bayan, ini teguh menjalani filosofi Wetu Telu. Sebuah filosofi yang mewarnai denyut kehidupan sehari-hari mereka. Dari paragraf ini penulis beranggapan bahwa penulis nonjurnalis adalah seorang yang memiliki keingintahuan lebih. Penulis nonjurnalis tampaknya penasaran akan filosofi wetu telu yang dijalani sehari-hari oleh orang Bayan sehingga menjadi fokus dalam tulisan ini. Terdapat pula subjektifitas penulis nonjurnalis dalam ka limat “ Mereka, yang sering disebut orang Bayan, ini teguh menjalani filosofi Wetu Telu. Sebuah filosofi yang mewarnai denyut kehidupan sehari-hari mereka”. 8 Filosofi Wetu Telu “Banyak orang yang salah tangkap tentang Wetu Telu Bayan,” kata Raden Sawinggih. Tokoh pemuda Bayan itu menjelaskan, kesalahan utama pemahaman orang luar adalah anggapan bahwa penghayat Wetu Telu hanya menunaikan shalat tiga waktu dalam sehari. “Itu salah besar, banyak orang mengartikan wetu sebagai waktu, padaha l bukan itu,” ujarnya. Terlihat dari judul kecil, penulis nonjurnalis berusaha menonjolkan apa yang ditulisnya yaitu Wetu Telu dalam kehidupan Orang Bayan. Terdapat juga kutipan wawancara dari pemuka adat setempat yang menguatkan bahwa adanya kesalahpahaman sehingga menimbulkan keinginan penulis nonjurnalis untuk menyelaraskan kebenaran yang ada. Penulis nonjurnalis ingin meluruskan anggapan tentang wetu telu yang banyak terjadi. Karena wetu telu dianggap sesat oleh masyarakat lain. 13 9 Lebih jauh lagi, anggapan umum bahwa Wetu Telu merupakan agama tradisional asli yang hanya ada di Bayan. Raden Gedarip, salah seorang pemangku adat Desa Bayan, yang Adanya narasumber menandakan terdapat unsur 5W+1H yaitu Who siapa, serta kutipan wawancara. 13 Wawancara pribadi dengan penulis nonjurnalis Rubrik Jelajah Koran Harian Republika, Farchan Noor Rachman, Jakarta, 21 Juli 2014. saya temui di kediamannya di Dusun Karang Salah, Desa Bayan, meluruskan anggapan itu. “Wetu Telu itu adalah filosofi dasar orang Bayan, ini pedoman hidup, bukan agama. Agama kami, ya Islam, kami Muslim, shalat kami ya lima waktu,” katanya menegaskan. 10 Wetu Telu lebih dimaknai sebagai aturan adat yang berfungsi menjaga kehidupan masyarakat lebih teratur dan tenteram. Aturan-aturan agama Islam dan aturan adat, mereka mengungkapkan, saling melengkapi, bukan saling menyelisihi. Dengan ini orang Bayan memiliki panduan untuk jiwa, pun untuk kehidupan duniawinya. Paragraf ini merupakan penjelas yang menjelaskan paragraf sebelumnya. Di bagian tengah paragraf ini terdapat kutipan kalimat tak langsung yang ditandai dengan kalimat “mereka mengungkapkan”. 11 Terma Wetu Telu dalam pemahaman orang Bayan juga sering disebut dengan Sesepan yang kira-kira jika dalam bahasa Indonesia berarti diresapi. Ini terkait dengan filosofi Wetu Telu sebagai sesuatu yang harus diresapi dengan benar oleh penghayatnya. Inti dari Wetu Telu adalah pemahaman akan tiga unsur utama dalam hidup manusia. Raden Gedarip lantas menjelaskan, filosofi Wetu Telu bisa dipahami dari tiga siklus hidup utama manusia, metu beranak, tioq tumbuh, dan menteloq bertelur. Prinsip Wetu Telu juga bisa diartikan tiga unsur pemberi hidup manusia, yaitu Allah Tuhan, imaq ibu, dan amaq ayah. Terdapa unsur what apa dalam paragraf ini. Penulis nonjurnalis memaparkan apa arti sebenarnya dan apa prinsip utama dari wetu telu yang menjadi inti dalam features perjalanan edisi ini. 12 Tecermin dalam rumah adat Agar memahami Wetu Telu dalam kehidupan sehari-hari, Sawinggih menyaran kan saya mengawalinya dengan kunjungan ke rumah adat Dalam sub judul kedua ini, dapat dikatakan sebagai bukti yang ditampilkan penulis nonjurnalis secara naratif dan memasukkan kutipan kalimat Bayan. Rumah-rumah di Bayan mayoritas mengarah ke arah utara dan selatan. “Utara itu laut, selatan itu Rinjani,” kata Raden Gedarip menjelaskan arah utara dan selatan yang merupakan penghormatan untuk lautan lepas dan Gunung Rinjani, dua tempat yang dianggap sakral di arah utara dan selatan Desa Bayan. langsung. Paragraph ini pun didukung dengan foto yang dimuat, namun disayangkan foto tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda arah utara dan selatan yang dianggap sakral tersebut. 14 13 Ada beberapa rumah adat di sudut- sudut desa, saya mengunjungi salah satu di antaranya. Rumah adat di sini hanya untuk para pemangku adat Bayan dan keturunannya. Pemangku adat biasanya juga orang yang ditinggikan atau bangsawan, mereka dan keturunannya yang berhak menyandang gelar raden di depan namanya. Dalam unsur-unsur jurnalistik salah satunya adalah harus mengandung informasi. Di paragraph inilah terdapat informasi mengenai rumah adat dan ketentuannya. 14 Rumah adat Bayan merupakan satu kompleks yang biasanya dipagari kayu di sekelilingnya dan terdiri atas beberapa bagian. Biasanya bagian paling depan merupakan halaman yang cukup luas dan terdapat beberapa beruga. Beruga adalah semacam balai-balai dari kayu yang utamanya digunakan sebagai rapat adat, jamuan makan, sampai pelaksanaan upacara adat. Penulis nonjurnalis lebih menampilkan pendeskripsian tentang rumah adat Bayan dalam paragraph ini. 15 Bagian inti rumah adat terdiri atas rumah utama dan kemudian dapur yang terpisah dari rumah utama. “Setiap keputusan penting dalam hal adat lahir di beruga, beberapa upacara adat penting pun dimulai di beruga,” ujar Raden Gedarip. Masih pendeskripsian tentang rumah adat dan ditambah dengan kutipan wawancara. 16 Semua rumah adat Bayan dibangun dari susunan batu, uniknya batu-batu Dalam paragraf ini penulis nonjurnalis terus 14 Lihat gambar 2. yang digunakan adalah batu bulat yang pipih dan disusun sedemikian rupa. Bukan fondasi batu umpak yang lazim ditemui di pedesaan. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, sedangkan atapnya terbuat dari ilalang yang tumbuh di area lereng Gunung Rinjani. Bentuk atapnya berbeda dengan rumah adat suku Sasak yang menjadi atap khas Lombok. menggambarkan rumah adat Bayan dan sedikit menambahkan perbandingan dengan adat lainnya yang masih satu wilayah. 17 Jika atap suku Sasak sedikit tinggi dan melengkung, bagian atap rumah adat di Bayan runcing segitiga, terbentuk dari silangan rangka atap pada bagian puncaknya. Merupakan paragraf penjelas untuk paragraf sebelumnya, penulis nonjurnalis lebih menggambarkan perbedaan yang dapat mudah ditemukan antara rumah adat Bayan dengan adat pembandingnya. 18 Di bagian terpisah dari rumah adat biasanya juga terdapat lumbung padi yang disebut geleng. Lumbung padi ini dibangun dalam bentuk beruga panggung berukuran kecil dan dipancang tinggi untuk menghindari serbuan binatang pengganggu, seperti tikus. Geleng tersebar di penjuru desa. Padi biasanya disimpan setiap sehabis panen. Sebelum memasukkan padi ke geleng, si pemilik padi akan melakukan sedikit ritual sederhana dan rapalan doa-doa. Msish berkaitan dengan rumah adat, penulis nonjurnalis menampilkan informasi lainnya dalam paragraph ini yaitu tempat penyimpanan padi atau disebut geleng dalam bahasa Bayan. Penulisannya dituliskan secara naratif. 19 Rumah-rumah di Bayan dibangun meng ikuti aturan adat, perawatan berkala, seperti penggantian atap atau dinding harus mengikuti aturan adat, renovasi, dan perbaikan rumah adat mesti dilakukan pada bulan-bulan tertentu yang sudah ditentukan. Bahkan, dalam setiap detail kecil ini pun, orang-orang Bayan tidak bisa melepaskan aturan adat yang menjadi pedoman hidup mereka. Di paragraf ini sepenuhnya adalah informasi mengenai aturan yang berkaitan dengan rumah adat yang juga menjadi aturan atau pedoman hidupnya. Dipaparkan dengan cara naratif. 20 Kearifan Adat Menjaga Hutan Ucapan Raden Sawinggih langsung melekat di benak saya. “Desa ini tak pernah kekurangan air, adat menjaga hutan kami, hutan kami menyediakan mata air sehingga air terus mengalir dan desa ini tetap lestari,” katanya sebelum saya melakukan perjalanan ke Hutan Adat Mandala. Terdapat kutipan langsung dari narasumber dalam paragraf ini, serta memiliki unsur why atau kenapa, yakni kenapa desa tak pernah kekurangan air lalu dijawab oleh kalimat selanjutnya. 21 Bayan memang masih dikelilingi hutan yang masih hijau dan menjadi sumber anugerah air yang berlimpah bagi masyarakatnya. Hutan-hutan ini merupakan hutan adat yang dijaga benar keberadaannya oleh masyarakat Bayan. Paragraf ini terlihat sebagai paragraf penjelas dari paragraf sebelumnya yang mengandung informasi. 22 Tak hanya masyarakat Bayan yang menerima berkah air dari keberadaan hutan ini, tapi desa sebelah, Senaru, juga menerima berkah air berlimpah dan tak pernah habis pada musim kering. Sepasang air terjun di Lombok, Sendang Gile dan Tiu Kelep, yang lokasinya berada di batas Desa Bayan dan Senaru, mata airnya berada di dalam hutan adat Bayan. Terdapat unsur 5W+1H who, terlihat pada kalimat “yang menerima berkah air dari keberadaan hutan ini, tapi desa sebelah, Senari, juga menerima berkah air berlimpah dan tak pernah habis pada musim kering.” 23 Hutan Adat Mandala ada di tengah- tengah desa, dikelilingi persawahan sejauh mata memandang. Hutan adat yang luasnya kira-kira 1,3 hektare ini memiliki tiga mata air di tengah- tengahnya. Masyarakat adat sejak dulu menyadari pentingnya hutan untuk penghidupan desa. Oleh sebab itu, hutan ini dilindungi terus- menerus, turun-menurun. Hutan tersebut dilindungi dengan sistem adat sehingga setiap masyarakat Bayan mau tak mau harus tunduk pada aturan adat untuk menghormati dan menjag keberadaan hutan. “Tidak Terdapat fakta dan data dalam paragraf ini, dengan adanya kalimat “ Masyarakat adat sejak dulu menyadari pentingnya hutan untuk penghidupan desa. Oleh sebab itu, hutan ini dilindungi terus-menerus, turun- menurun. Hutan tersebut dilindungi dengan sistem adat sehingga setiap masyarakat Bayan mau tak mau harus tunduk pada aturan adat untuk menghormati dan menjaga keberadaan hutan.” Kemudian diperjelas oleh kutipan langsung ada yang berani macam-macam di hutan, Mas, masya rakat sudah sadar sendiri,” ujar Raden Sawinggih. dari perwakilan adat. 24 Masyarakat Bayan menjaga hutan dengan awiq-awiq atau aturan adat. Awiq-awiq yang dibuat untuk menjaga hutan mencakup pengelolaan hutan adat dan juga sumber mata air di dalamnya. Di dalamnya juga terdapat larangan dan sanksi bagi yang melanggarnya. Paragraf ini terdapat informasi mengenai aturan atau awiq- awiq dalam bahasa adat berikut sanksinya. 25 Sanksi adat ini macam-macam, mulai dari ringan sampai berat. Mulai dari denda, seperti satu ekor kerbau sampai sanksi sosial yang berat, yaitu dikucilkan dan tidak diakui lagi sebagai bagian dari masyarakat adat. Selain dibekali dengan aturan adat, masyarakat juga membentuk sistem pengamanannya sendiri. Dengan aturan adat, ada orang-orang yang kemudian diangkat dan diberi jabatan adat sebagai pemangku hutan sampai penjaga dan pengatur mata air. Kemudian di paragraf inilah yang memperjelas paragraf sebelumnya dan terdapat fakta seperti sanksi yang harus diterima jika melanggar dan fakta adanya jabatan khusus di dalam adat. Tiap orang yang diangkat punya jabatan masing-masing seperti kepala dusun, imam dalam keagaman, pemimpin upacara dan mengurusi pertanian seperti menegakkan hukum-hukum pertanian. 15 26 Terbukti dengan awiq-awiq tentang hutan ini masyarakat terus menghormati kebera-daan hutan di Bayan. Hutan di Bayan masih terjaga lestari, hijau, masih rimbun, dan penuh pohon besar berusia ratusan tahun dengan sulur-sulur akar yang kekar men-cengkeram tanah. Kelestarian ini yang menjaga ke berlangsungan air yang mem-bawa kemakmuran bagi masyarakat Bayan. Penulis nonjurnalis mendeskripsikan dalam paragraf ini, bagaimana gambaran hutan yang dijaga dengan awiq-awiq dan dipatuhi oleh masyarakat adat Bayan. 15 Wawancara pribadi dengan penulis nonjurnalis Rubrik Jelajah Koran Harian Republika, Farchan Noor Rachman, Jakarta, 21 Juli 2014. 27 “Saya ingin anak-anak kami nanti memandang Wetu Telu sebagai sebuah kebanggaan dan Wetu Telu akan terus menjaga filosofi yang menjaga hidup mereka kelak,” kata Raden Sawinggih mengucap kalimat perpisahan, yang mungkin mewakili suara anak muda Bayan pada akhir perjalanan. Paragraf ini merupakan paragraf penutup, dengan kutipan langsung dari perwakilan adat. Hal ini merupakan struktur dalam gaya penulisan features yaitu penutup. Hasil dari penjabaran diatas, teks tersebut lebih memiliki karakteristik features daripada teks sebelumnya. Diantaranya, ditulis dengan cara berkisah, berbentuk narasi namun juga terdapat deskriptif untuk memaparkan ceritanya yang berpijak pada fakta, terdapat subjektif dari penulis dan memiliki struktur pembuka dan penutup sebagaimana gaya penulisan dari features itu sendiri. Teks diatas menggunakan seluruh unsur dari 5W1H, yang berarti terdapat maksud dari apa, siapa, kapan, dimana, kenapa dan bagaimana. Hal itu memang diabaikan dalam features sebagaimana dikatakan oleh Mc Kinney dan Sumadiria dalam bukunya, namun harus mengandung semua unsur keenamnya. Tidak terikat pada aktualisasi karena tidak ada tanggal di dalam teksnya. Tulisannya pun ditulis dengan menggunakan gaya bahasa jurnalistik sastrawi. Dalam sisi jurnalisme warga, teks ditulis oleh seorang yang bukan nonjurnalis. Tertulis nama lengkap beserta profesinya. Turut berperan aktif dalam kegiatan jurnalistik seperti mencari dan mengolah, termasuk memotret juga melakukan wawancara dengan warga setempat dan mencantumkan nama narasumbernya. Berikut adalah hasil analisis perbandingan antara teks asli tulisan penulis nonjurnalis dengan teks yang sudah diedit oleh editor: Tabel 5 Teks Asli Penulis dan Hasil Editor Teks pada Republika Teks Asli Penulis Nonjurnalis Analisis 1 Masjid Bayan Beleq Bayan terkenal dengan Masjid Bayan Beleq. Masjid kayu ini konon merupakan masjid pertama yang ada di Lombok dan dibangun sekitar abad ke-16-17 Masehi. Hanya para pemuka agama dan pemuka adat Bayan yang diizinkan shalat di masjid ini. Bayan terkenal dengan Masjid Bayan Beleq, masjid kayu ini konon merupakan masjid pertama yang ada di Lombok dan dibangun sekitar abad 16-17 Masehi. Hanya para pemuka agama dan pemuka adat Bayan yang diizinkan shalat di masjid ini dan masjid ini hanya dibuka saat-saat tertentu saja. Menurut cerita, konon Islam masuk ke Lombok melalui Bayan oleh mubaligh-mubaligh dari Tanah Jawa di era Wali Songo. Teori ini kemudian berkembang untuk menjelaskan kenapa keturunan- keturunan pembesar Bayan menyandang gelar Raden di depan namanya, diyakini karena pengaruh dari Tanah Jawa. Pada bagian dua paragraf pertama dalam tulisan yang diterbitkan, mulanya berada di paragraf ke 27 dan menjadi satu bagian pada tulisan asli yang ditulis oleh penulis nonjurnalis sebelum masuk ruang editor. Editor membaginya menjadi dua paragraf. Terdapat beberapa diksi dan kalimat yang dihilangkan diantaranya “konon” dan “diyakini karena pengaruh dari Tanah Jawa.” Menghilang di tulisan yang diterbitkan. Selain itu juga mengalami perubahan kalimat. Dalam teks yang ditulis oleh nonjurnalis adalah “Menurut cerita, konon Islam masuk ke Lombok melalui Bayan oleh mubaligh- 2 Masjid Bayan Beleq hanya dibuka pada saat-saat tertentu. Menurut cerita, Islam masuk ke Lombok dibawa para mubalig era Wali Songo dari Tanah Jawa melalui Bayan. Teori ini kemudian berkembang untuk menjelaskan mengapa keturunan pembesar Bayan menyandang gelar raden di depan namanya. mubaligh dari Tanah Jawa di era Wali Songo.” Menjadi “Menurut cerita, Islam masuk ke Lombok dibawa para mubalig era Wali Songo dari Tanah Jawa melalui Bay an.” 3 Menuju Bayan Bayan terletak sekitar tiga jam perjalanan dari Mataram, bisa melalui Pusuk ataupun Senggigi menuju arah Senaru. Susuri saja jalan provinsi di garis pantai utara Lombok sampai bertemu Kecamatan Bayan. Lokasi Desa Bayan kurang lebih tiga kilometer dari pusat kecamatan dan dua kilometer dari pintu gerbang menuju Gunung Rinjani, Desa Senaru. Menuju Bayan Bayan terletak sekitar 3 jam perjalanan dari Mataram, bisa melalui Pusuk ataupun Senggigi menuju arah Senaru. Susuri saja jalan propinsi di garis pantai utara Lombok sampai bertemu Kecamatan Bayan. Lokasi Desa Bayan kurang lebih 3 kilometer dari pusat kecamatan dan 2 kilometer dari pintu gerbang menuju Gunung Rinjani, Desa Senaru. Paragraf ketiga ini, berada di paragraf terakhir 28 dalam tulisan asli yang ditulis oleh nonjurnalis. Tidak banyak perubahan yang terlihat. Hanya pergantian tulisan angka manjadi huruf dan perubahan ejaan “propinsi” menjadi “provinsi” 4 Berkenalan dengan Masyarakat Adat Bayan Tiga jam bermobil dari Mataram, Lombok, saya sampai ke desa ini: Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Desa Bayan, Kisah Keteguhan Menjaga Adat Di tengah – tengah pesatnya perkembangan pariwisata yang diiringi kekhawatiran pergeseran budaya dan cara hidup masyarakat di Lombok, ternyata masih ada Judul besar disini terlihat berbeda, interpretsinya editor mengganti diksi yang digunakan oleh penulis nonjurnalis. Paragraf yang ditulis oleh nonjurnalis sebenarnya berada pada paragraf pertama, Bayan terletak di garis pantai utara Lombok, lokasinya seolah berada pada sebuah ceruk, tepat di tengah antara lautan di utara dan garis Pegunungan Rinjani di selatan. sekelompok masyarakat di Lombok yang terus berpegang pada adat yang sudah dianut turun- temurun. Di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara inilah masyarakat setempat yang sering disebut Orang Bayan teguh melestarikan adat yang menjadi filosofi hidup mereka, Wetu Telu. namun dalam teks yang terbitkan berada di paragraf ketiga. Pembuka paragrafnya pun berbeda. Satu kalimat pertama dalam tulisan nonjurnalis dihapus dan diganti dengan beberapa kata saja. Dalam tulisan nonjurnalis tidak ditemukan kalimat yang menunjukkan adanya keterangan waktu “tiga jam bermobil dari Mataram”, tapi di sebaliknya ada. Selain itu, ada beberapa kata yang dihilangkan seperti “genit”. Pengulangan kata yag ada dalam teks asli pun tidak lagi menjadi berulang. Hal tersebut dianggap sebagai efesiensi kata atau menghindari mubazir kata dalam karakteristik bahasa jurnalistik. Jumlah paragraf pada awalnya berjumlah dua kini menjadi tiga paragraf pada teks yang diterbitkan. Susunannya pun berubah, paragraf terakhir seperti dibuat sebagai penyambung untuk ke judul kecil selanjutnya. 5 Di desa yang hijau itu, saya menemukan alur hidup yang sangat lambat dan menenangkan. Alam seolah bersenandung riang menaungi masyarakat Bayan yang agraris. Petani- petani Bayan pun berangkat ke sawah berteman desau angin, kicau burung, dan lambaian pepohonan di hutan sekeliling desa. Desa Bayan terletak di garis pantai utara Lombok, lokasinya seolah berada pada sebuah ceruk, tepat di tengah antara lautan di utara dan garis pegunungan Rinjani di selatan. Alur hidup di Bayan sangat lambat dan menenangkan, seolah alam bersenandung riang menaungi masyarakat Bayan. Petani-petani Bayan pun berangkat ke sawah berteman desau angin, kicau burung dan lambaian genit pepohonan di hutan – hutan sekeliling desa. 6 Keingintahuan yang kuat membimbing langkah saya bertamu ke masyarakat adat Bayan. Mereka, yang sering disebut orang Bayan, ini teguh menjalani filosofi Wetu Telu. Sebuah filosofi yang mewarnai denyut ke- hidupan sehari-hari mereka. 7 Filosofi Wetu Telu “Banyak orang yang salah tangkap tentang Wetu Telu Bayan,” kata Raden Sawinggih. Tokoh pemuda Bayan itu menjelaskan, kesalahan utama pemahaman orang luar adalah anggapan bahwa penghayat Wetu Telu hanya menunaikan shalat tiga waktu dalam sehari. “Itu salah besar, banyak orang mengartikan wetu sebagai waktu, padahal bukan itu,” ujarnya. Wetu Telu, Filosofi Utama Orang Bayan. “Banyak orang yang salah tangkap tentang Wetu Telu Bayan” kata Raden Sawinggih, tokoh pemuda Bayan. Menurut Sawinggih kesalahan utama pemahaman orang-orang tentang Wetu Telu adalah anggapan bahwa penghayat Wetu Telu hanya menunaikan shalat 3 waktu dalam sehari. “Itu salah besar, banyak orang mengartikan Wetu sebagai Waktu, padahal bukan itu.” Sawinggih menambahkan. Judul kecilnya dirubah men-jadi lebih singkat. Dalam jur-nalistik, ini dianggap sebagai karakteristik bahasa jurnalis-tik, yaitu singkat dan padat. Tidak hanya terjadi pada judul, dalam paragraf ketujuh pada teks yang diterbitkan dan paragraf ketiga pada teks aslinya ini juga banyak mengalami pemenggalan kata sebagai efesiensi kata sebagai wujud untuk menghindari kemubaziran. Serta perubahan penulisan angka nominal kecil, berubah menjadi huruf. 8 Lebih jauh lagi, anggapan umum bahwa Wetu Telu merupakan agama tradisional asli yang hanya ada di Bayan. Raden Gedarip, salah seorang pemangku adat Desa Bayan, yang saya temui di kediamannya di Dusun Karang Salah, Desa Bayan, meluruskan anggapan itu. “Wetu Telu itu adalah filosofi dasar orang Bayan, ini Memang anggapan umum menyatakan bahwa penganut umat Wetu Telu hanya menunaikan shalat 3 waktu dalam sehari, bahkan menganggap Wetu Telu adalah agama tradisional asli yang hanya ada di Bayan. Anggapan ini kemudian yang diluruskan oleh Raden Gedarip, salah seorang pemangku adat Desa Bayan yang saya temui di kediamannya di Dusun Karang Salah, Tidak banyak terjadi perubahan dalam masing-masing paragraf ini. Hanya pemenggalan beberapa kalimat yang sudah pernah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya. Selebihnya sama termasuk pada kutipan wawancara, editor tidak merubahnya selain penulisan angka nominal kecil diganti dengan penulisan pedoman hidup, bukan agama. Agama kami, ya Islam, kami Muslim, shalat kami ya lima waktu,” katanya menegaskan. Desa Bayan .“Wetu Telu itu adalah filosofi dasar orang Bayan, ini pedoman hidup, bukan agama. Agama kami ya Islam, kami muslim, shalat kami ya 5 waktu” katanya menegaskan. menggunakan huruf. 9 Wetu Telu lebih dimaknai sebagai aturan adat yang berfungsi menjaga kehidupan masyarakat lebih teratur dan tenteram. Aturan- aturan agama Islam dan aturan adat, mereka mengungkapkan, saling melengkapi, bukan saling menyelisihi. Dengan ini orang Bayan memiliki panduan untuk jiwa, pun untuk kehidupan duniawinya. Dari penjelasan 2 tokoh Bayan tadi, baik Raden Sawinggih maupun Raden Gedarip. Wetu Telu dalam kehidupan orang Bayan berfungsi sebagai pedoman hidup dan filosofi yang menyertai dalam laku kehidupan sehari-hari. Bukan sebagai agama, Wetu Telu lebih dimaknai sebagai aturan adat yang berfungsi menjaga kehidupan masyarakat lebih teratur dan tenteram. Aturan- aturan agama Islam dan aturan adat saling melengkapi, bukan saling menyelisihi. Dengan ini orang Bayan memiliki panduan untuk jiwa, pun untuk kehidupan duniawinya Tidak ada perubahan kata dalam kedua paragraf tersebut, hanya terlihat pemenggalan kalimat dan teks yang diterbitkan menjadi lebih singkat daripada teks aslinnya yang ditulis oleh nonjurnalis. Editor menambahkan kalimat penjelas “ mereka mengungkapkan,” sebagai penguat bahwa pernyataan tersebut adalah hasil wawancara dengan narasumebr warga setempat. 10 Terma Wetu Telu dalam pemahaman orang Bayan juga sering disebut dengan Sesepan yang kira-kira jika dalam bahasa Indonesia berarti diresapi. Ini terkait dengan filosofi Wetu Telu sebagai sesuatu yang harus diresapi dengan benar oleh Terma Wetu Telu dalam pemahaman Orang Bayan juga sering disebut dengan Sesepan yang kira-kira jika dalam bahasa Indonesia berarti diresapi. Ini terkait dengan filosofi Wetu Telu sebagai sesuatu yang harus diresapi dengan benar oleh penghayatnya. Inti Tida kbanyak mngalami perubahan dalam paragraf ini. perbaikan pada penulisan angka dan pemenggalan beberapa kata yang dirasa bertele-tele. penghayatnya. Inti dari Wetu Telu adalah pemahaman akan tiga unsur utama dalam hidup manusia. Raden Gedarip lantas menjelaskan, filosofi Wetu Telu bisa dipahami dari tiga siklus hidup utama manusia, metu beranak, tioq tumbuh, dan menteloq bertelur. Prinsip Wetu Telu juga bisa diartikan tiga unsur pemberi hidup manusia, yaitu Allah Tuhan, imaq ibu, dan amaq ayah. dari Wetu Telu adalah pemahaman akan 3 unsur utama dalam hidup manusia. Seperti dituturkan oleh Raden Gedarip, filosofi Wetu Telu bisa dipahami dari 3 siklus hidup utama manusia, Metu Beranak, Tioq Tumbuh dan Menteloq Bertelur. Tapi tak terbatas itu, Wetu Telu menurut Raden Gedarip, prinsip Wetu Telu juga bisa diartikan 3 unsur pemberi hidup manusia, yaitu Allah Tuhan, Imaq Ibu dan Amaq Ayah. 11 Tecermin dalam rumah adat Agar memahami Wetu Telu dalam kehidupan sehari-hari, Sawinggih menyaran kan saya mengawalinya dengan kunjungan ke rumah adat Bayan. Rumah- rumah di Bayan mayoritas me-ngarah ke arah utara dan selatan. “Utara itu laut, selatan itu Rinjani,” kata Raden Gedarip menje-laskan arah utara dan selatan yang merupakan penghormatan untuk lautan lepas dan Gunung Rinjani, dua tempat yang dianggap sakral di arah utara dan selatan Desa Bayan. Watu Telu Dan Kehidupan Sehari-hari Wetu Telu tak hanya dimaknai sebagai filosofi, orang Bayan menerapkan Wetu Telu dalam kehidupan sehari- hari. Maka kemudian saya menyusuri jalanan Desa Bayan untuk menyaksikan bagaimana lekatnya Wetu Telu dalam kehidupan sehari- hari. Untuk memahami ini saya disarankan untuk mengunjungi Rumah Adat Bayan oleh Raden Sawinggih, sekaligus bisa memahami makna filosofis Wetu Telu dalam konstruksi rumah adat. Judul kecil terlihat berubah menjadi lebih spesifik. Dalam teks asli yang ditulis oleh nonjurnalis, paragraf ini berada di urutan ke 13-14, namun dalam teks yang diterbitkan menjadi satu paragraf yakni paragraf 11. Terdapat banyak pemenggalan kalimat pada paragraf tersebut namun terlihat menjadi lebih ringkas. Tidak ada diksi yang dirubah. Namun terjadi penambahan kutipan yang sebenarnya di tulisan nonjurnalis tidak ada kalimat langsung. Rumah-rumah di Bayan mayoritas mengarah ke arah utara dan selatan. Hal ini adalah penghormatan untuk lautan lepas dan Gunung Rinjani, 2 tempat yang dianggap sakral yang berada di arah utara dan selatan Desa Bayan. Masyarakat adat dimanapun memang tak bisa lepas dari simbolisasi-simbolisasi atas sesuatu yang dihormati. Kadang simbolisasi ini serupa kode dan seseorang baru bisa mengetahui maknanya setelah dipelajari beberapa lama. 12 Ada beberapa rumah adat di sudut-sudut desa, saya mengunjungi salah satu di antaranya. Rumah adat di sini hanya untuk para pemangku adat Bayan dan keturunannya. Pemangku adat biasanya juga orang yang ditinggikan atau bangsawan, mereka dan keturunannya yang berhak menyandang gelar raden di depan namanya. Ada beberapa rumah adat di sudut-sudut desa, saya mengunjungi salah satu diantaranya. Rumah Adat disini hanya untuk para pemangku adat Bayan dan keturunannya, pemangku adat disini biasanya juga orang yang ditinggikan atau bangsawan, mereka dan keturunannya berhak menyandang gelar Raden di depan namanya. Sebagian besar dalam paragraf ini tidak berubah. Hanya satu kata yang dihapus “disini” dan perubahan ejaan “Raden” menjadi “raden”. 13 Rumah adat Bayan merupakan satu kompleks yang biasanya dipagari kayu di sekelilingnya dan terdiri atas beberapa bagian. Biasanya bagian paling depan merupakan halaman yang cukup luas dan terdapat beberapa beruga. Beruga adalah semacam balai-balai dari kayu yang utamanya digunakan sebagai rapat adat, jamuan makan, sampai pelaksanaan upacara adat. Rumah Adat Bayan merupakan 1 kompleks yang biasanya dipagari kayu di sekelilingnya dan terdiri dari beberapa bagian. Biasanya bagian paling depan adalah halaman yang cukup luas dan terdapat beberapa Beruga. Beruga adalah semacam balai-balai dari kayu yang utamanya digunakan sebagai rapat adat, jamuan makan sampai pelaksanaan upacara adat. Beranjak dari bagian halaman, maka terdapat bagian inti rumah adat yang terdiri dari rumah utama dan kemudian dapur yang terpisah dari rumah utama. “Setiap keputusan penting dalam hal adat lahir di Beruga, beberapa upacara adat penting pun dimulai di Beruga” imbuh Raden Gedarip. Ini merupakan penegasan mengenai penting-nya Beruga dalam susunan rumah adat maupun adat Bayan itu sendiri. Paragraf dalam teks yang ditulis oleh nonjurnalis ini terbagi menjadi dua paragraf di teks yang diterbitkan. Seperti yang sebelumnya, dalam paragraf 13 di teks yang diterbitkan penulisan angka nominal kecil berubah penulisannya menjadi huruf. Pemilihan diksipun berubah, kata “adalah” menjadi “merupakan”. Dalam paragraf 14 pada teks yang diterbitkan banyak mengalami pemenggalan kalimat. Selain itu EYD pun mengalami perbaikan “Beruga” dalam teks yang ditulis oleh nonjurnalis menjadi “beruga”. 14 Bagian inti rumah adat terdiri atas rumah utama dan kemudian dapur yang terpisah dari rumah utama. “Setiap keputusan penting dalam hal adat lahir di beruga, beberapa upacara adat penting pun dimulai di beruga,” ujar Raden Gedarip. 15 Semua rumah adat Bayan dibangun dari susunan batu, uniknya batu-batu yang digunakan adalah batu bulat yang pipih dan disusun sedemikian rupa. Bukan fondasi batu umpak yang lazim ditemui di pedesaan. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, sedangkan atapnya terbuat dari ilalang yang tumbuh di area lereng Gunung Rinjani. Bentuk atapnya berbeda dengan rumah adat suku Sasak yang menjadi atap khas Lombok. Semua Rumah Adat Bayan dibangun dari susunan batu, uniknya batu-batu yang digunakan adalah batu bulat yang pipih dan disusun sedemikian rupa. Bukan pondasi batu umpag seperti halnya pondasi batu yang lazim ditemui di pedesaan. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu sementara atapnya terbuat dari ilalang yang tumbuh di area lereng gunung Rinjani. Bentuk atapnya berbeda dengan rumah adat Suku Sasak yang menjadi atap khas Lombok. Jika atap Suku Sasak sedikit tinggi dan melengkung, bagian atap Rumah Adat di Bayan runcing segitiga, terbentuk dari silangan rangka atap pada bagian puncaknya. Disini terdapat perubahan EYD. Dalam teks yang ditulis nonjurnalis kata “pondasi, umpag, gunung rinjani” menjadi “fondasi, umpak, Gunung Rinjani”, dalam teks yang diterbitkan juga mengalami pemenggalan kata. Selain itu, diksi juga ada yang berubah sebelumnya kata “sementara” pada teks yang ditulis oleh nonjurnalis menjadi “sedangkan”. Pada kalimat terakhir, editor menjadikannya sebagai paragaraf baru yang berarti paragraf ke 16 dalam teks yang diterbitkan dan tidak mengalami perubahan lainnya. 16 Jika atap suku Sasak sedikit tinggi dan melengkung, bagian atap rumah adat di Bayan runcing segitiga, terbentuk dari silangan rangka atap pada bagian puncaknya. 17 Di bagian terpisah dari rumah adat Di bagian terpisah dari Rumah Adat biasanya Tidak ada perubahan yang mencolok pada biasanya juga terdapat lumbung padi yang disebut geleng. Lumbung padi ini dibangun dalam bentuk beruga panggung berukuran kecil dan dipancang tinggi untuk menghindari serbuan binatang pengganggu, seperti tikus. Geleng tersebar di penjuru desa. Padi biasanya disimpan setiap sehabis panen. Sebelum memasukkan padi ke geleng, si pemilik padi akan melakukan sedikit ritual sederhana dan rapalan doa-doa. juga terdapat lumbung padi yang disebut Geleng, lumbung padi ini dibangun dalam bentuk Beruga panggung berukuran kecil dan dipancang tinggi untuk menghindari serbuan binatang pengganggu seperti tikus. Geleng ini tersebar di penjuru desa, padi biasanya disimpan setiap sehabis panen, sebelum memasukkan padi ke Geleng, si pemilik padi akan melakukan sedikit ritual sederhana dan rapalan doa-doa. bagian ini, hanya perubaha beberapa EYD seperti “Rumah Adat, Geleng, Beruga” menjadi “rumah adat, geleng, beruga”. 18 Rumah-rumah di Bayan dibangun meng ikuti aturan adat, perawatan berkala, seperti penggantian atap atau dinding harus mengikuti aturan adat, renovasi, dan perbaikan rumah adat mesti dilakukan pada bulan-bulan tertentu yang sudah ditentukan. Bahkan, dalam setiap detail kecil ini pun, orang- orang Bayan tidak bisa melepaskan aturan adat yang menjadi pedoman hidup mereka. Rumah-rumah di Bayan dibangun mengikuti aturan adat, perawatan berkala seperti penggantian atap atau dinding pun harus mengikuti aturan adat, renovasi dan perbaikan rumah adat harus dilakukan pada bulan- bulan tertentu yang sudah ditentukan, tidak bisa dilakukan sembarangan. Bahkan dalam setiap detail- detail kecil ini pun, orang-orang Bayan tidak bisa melepaskan aturan adat yang memang sudah dijadikan sebagai pedoman hidup mereka. Tidak banyak editan yang dilakukan dalam paragraf ini, hanya pemenggalan beberapa kalimat. Dalam teks yang ditulis oleh nonjurnalis kalimat “tidak bisa dilakukan sembarangan” dihapuskan pada teks yang diterbitkan, dan kalimat “memang sudah dijadikan sebagai pedoman” dipersingkat “menjadi pedoman” saja. 19 Kearifan Adat Menjaga Hutan Ucapan Raden Sawinggih langsung melekat di benak saya. “Desa ini tak pernah kekurangan air, adat menjaga hutan kami, hutan kami menyediakan mata air sehingga air terus mengalir dan desa ini tetap lestari,” katanya sebelum saya melakukan perjalanan ke Hutan Adat Mandala. Adat Menjaga Hutan “Desa ini tak pernah kekurangan air, adat menjaga hutan kami, hutan kami menyediakan mata air sehingga air terus mengalir dan desa ini tetap lestari.” ucap Raden Sawinggih sebelum saya melakukan perjalanan ke Hutan Adat Mandala. Bayan memang masih dikelilingi hutan yang masih hijau dan menjadi sumber anugerah air yang berlimpah bagi masyarakatnya, hutan- hutan ini merupakan hutan adat yang dijaga benar keberadaannya oleh masyarakat Bayan. Tak hanya masyarakat Bayan yang menerima berkah air dari keberadaan hutan ini desa sebelah, Senaru juga menerima berkah air berlimpah dan tak pernah habis di musim kering. Sepasang air terjun nan indah di Lombok, Sendang Gile dan Tiu Kelep yang lokasinya berada di batas desa Bayan dan Senaru, mata airnya berada di dalam hutan adat Bayan. Kalimat kedua dalam paragraf ke 19 ini berubah susunannya. Kemudian menjadi paragraf yang terpisah dari teks aslinya. Pada paragraf 20 juga merupakan satu bagian dari paragraf sbelumnya di teks aslinya, tidak ada dirubah perkatanya, hanya dari satu kalimat pada takes aslinya kini dibagi menjadi dua kalimat. Begitupun paragraf ke 21 masih satu bagian dengan paragraf sebelumnya di teks aslinya sebelum masuk ruang editor. Beberapa kata dalam paragraf ini terdepat EYD yang mengalami perubahan dan ada pemenggalan kata pada teks aslinya. Kalimat “Sepasang air terjun nan indah di Lombok,” kata “indah” menghilang pada teks yg diterbitkan. 20 Bayan memang masih dikelilingi hutan yang masih hijau dan menjadi sumber anugerah air yang berlimpah bagi masyarakatnya. Hutan-hutan ini merupakan hutan adat yang dijaga benar keberadaannya oleh masyarakat Bayan. 21 Tak hanya masyarakat Bayan yang menerima berkah air dari keberadaan hutan ini, tapi desa sebelah, Senaru, juga menerima berkah air berlimpah dan tak pernah habis pada musim kering. Sepasang air terjun di Lombok, Sendang Gile dan Tiu Kelep, yang lokasinya berada di batas Desa Bayan dan Senaru, mata airnya berada di dalam hutan adat Bayan. 22 Hutan Adat Mandala ada di tengah-tengah desa, dikelilingi persawahan sejauh mata memandang. Hutan adat yang luasnya kira-kira 1,3 hektare ini memiliki tiga mata air di tengah-tengahnya. Masyarakat adat sejak dulu menya-dari pentingnya hutan untuk penghidupan desa. Oleh sebab itu, hutan ini dilindungi terus-menerus, turun- menurun. Hutan tersebut dilindungi dengan sistem adat Hutan Adat Mandala ada di tengah-tengah desa, dikelilingi persawahan sejauh mata memandang. Hutan Adat yang luasnya kira- kira 1,3 hektar memiliki 3 mata air di tengah- tengahnya. Masyarakat Adat sejak dulu menyadari pentingnya hutan untuk penghidupan desa, oleh sebab itu hutan ini dilindungi terus menerus, turun – menurun. Hutan ini dilindungi dengan sistem adat sehingga setiap masyarakat Bayan Sebagian besar tidak banyak yang mengalami perubahan dalam paragraf ini. Hanya ditemukan diksi yang berubah, kata “ini” dalam teks asli berubah menjadi “tersebut” dan terdapat kutipan langsung pada teks yang diterbitkan. sehingga setiap masya-rakat Bayan mau tak mau harus tunduk pada aturan adat untuk menghormati dan menjaga keberadaan hutan. “Tidak ada yang berani macam- macam di hutan, Mas, masya rakat sudah sadar sendiri,” ujar Raden Sawinggih. mau tak mau harus tunduk pada aturan adat untuk menghormati dan menjaga keberadaan hutan. 23 Masyarakat Bayan menjaga hutan dengan awiq-awiq atau aturan adat. Awiq-awiq yang dibuat untuk menjaga hutan mencakup pengelolaan hutan adat dan juga sumber mata air di dalamnya. Di dalamnya juga terdapat larangan dan sanksi bagi yang melanggarnya. Masyarakat Bayan menjaga hutan dengan Awiq-awiq atau Aturan adat. Awiq-awiq yang dibuat untuk menjaga hutan mencakup tentang pengelolaan hutan adat dan juga sumber mata air di dalamnya. Di dalamnya juga terdapat larangan dan sanksi bagi yang melanggarnya. Sanksi adat ini macam- macam, mulai dari ringan sampai berat, mulai dari denda seperti satu ekor kerbau sampai sanksi sosial yang berat yaitu dikucilkan dan tidak diakui lagi sebagai bagian dari masyarakat adat. Selain dibekali dengan aturan adat, masyarakat juga membentuk sistem pengamanannya sendiri. Dengan aturan adat, ada orang-orang yang kemudian diangkat dan diberi jabatan adat sebagai pemangku hutan Tidak ada pergantian kalimat ataupun diksi dalam paragraf ke 23- 24 tapi adanya perbaikan EYD. Keduanya merupakan kesatuan paragraf dalam teks asli yang di tulis oleh nonjurnalis namun terbagi menjadi dua paragraf dalam teks yang diterbitkan. sampai penjaga dan pengatur mata air. 24 Sanksi adat ini macam-macam, mulai dari ringan sampai berat. Mulai dari denda, seperti satu ekor kerbau sampai sanksi sosial yang berat, yaitu dikucilkan dan tidak diakui lagi sebagai bagian dari masyarakat adat. Selain dibekali dengan aturan adat, masyarakat juga membentuk sistem pengamanannya sendiri. Dengan aturan adat, ada orang-orang yang kemudian diangkat dan diberi jabatan adat sebagai pemangku hutan sampai penjaga dan pengatur mata air. 25 Terbukti dengan awiq- awiq tentang hutan ini masyarakat terus menghormati keberadaan hutan di Bayan. Hutan di Bayan masih terjaga lestari, hijau, masih rimbun, dan penuh pohon besar berusia ratusan tahun dengan sulur-sulur akar yang kekar mencengkeram tanah. Kelestarian ini yang menjaga keberlangsungan air yang membawa kemakmuran bagi Terbukti dengan awiq- awiq tentang hutan ini masyarakat terus menghormati keberadaan hutan di Bayan. utan di Bayan masih terjaga lestari, hijau, masih rimbun dan penuh pohon besar berusia ratusan tahun, pun dengan sulur-sulur akar yang kekar men- cengkeram tanah. Kelestarian ini kemu- dianlah yang menjaga keberlangsungan air yang membawa kemakmuran bagi Kata “awiq-awiq” dalam teks yang diterbitkan tidak dimiringkan, namun sebaliknya pada teks aslinya. Terdapat penambahan huruf pada kata yang kurang lengkap seperti “utan” menjadi “hutan”, dan penghilangan kata “kemudianlah” dalam kalimat “Kelestarian ini kemudianlah yang menjaga” pada teks yang diterbitkan menjadi “ Kelestarian ini yang menjaga”. masyarakat Bayan. masyarakat Bayan. Watu Telu Dan Penerusnya Perjalanan mengelilingi Desa Bayan membu- kakan mata bahwa masyarakat adat ternyata memiliki sistem yang maju untuk memproteksi lingkungan mereka sendiri. Aturan- aturan adat dibuat bukan untuk membelenggu tapi justru untuk melindungi keberlangsungan kehidupan mereka. Bayan dan filosofi Wetu Telu terus menjaga lingkungan mereka melintasi lintasan masa dari masa lalu hingga sekarang. Adat memang berasal dari masa lalu, tapi terus dijaga untuk keberlangsungan hidup di masa mendatang. Terbukti modernitas di Bayan bisa berjalan seimbang tanpa harus menggerus aturan adat. Paragraf ini tidak terdapat di dalam teks yang diterbitkan, seluruhnya dihilangkan. 26 “Saya ingin anak-anak kami nanti meman- dang Wetu Telu sebagai sebuah kebanggaan dan Wetu Telu akan terus menjaga filosofi yang menjaga hidup mereka kelak,” kata Raden Sawinggih mengucap kalimat perpisahan, yang mungkin mewakili suara anak muda Bayan pada Di akhir perjalanan, Raden Sawinggih mengucap kalimat perpisahan yang mungkin mewakili suara anak muda Bayan. “Saya ingin, anak-anak kami nanti memandang Wetu Telu sebagai sebuah kebanggaan dan Wetu Telu akan terus menjaga filosofi yang menjaga hidup mereka Dalam paragraf ke-26 pada teks yang diterbitkan, susunan kalimatnya berubah. Kutipan berada di awal paragraf, sedangkan sebaliknya pada teks asli. Kemudian terdapat perubahan kata “Di” menjadi “pada” serta penambahan kata “kata” setelah kutipan. akhir perjalanan. kelak”. Dari hasil analisa penulis, sudah dapat ditemukan beberapa poin yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Dilihat dari teksnya, penulisan dalam rubrik tersebut yang ditulis oleh nonjurnalis bisa dikatakan sebagai features dengan jenis travelogue features yang memuat kisah atau pengalaman perjalanan seseorang ke objek-objek wisata tertentu. Pernyataan tulisan yang dibuat oleh nonjurnalis tersebut bisa dikatakan sebagai features karena telah memenuhi syarat khas features yaitu cerita khas yang diperoleh melalui proses jurnalistik seperti kutipan wawancara dan foto-foto. Mengandung keenam unsur 5W+1H. Bahasa yang digunakan bersifat informal dan memberikan informasi bagi halayak serta memiliki unsur subjektivitas karena penulis menganggap dirinya sebagai orang pertama. Demikian pula tulisan yang ditulis oleh nonjurnalis diatas, bisa penulis sebut sebagai jurnalisme warga karena warga telah terlibat dalam proses jurnalistik dan telah dimuat di media massa. Mengandung informasi juga fakta atas apa yang dialaminya. Ditulis oleh nonjurnalis ditandai dengan adanya penjelasan profesi di bawah nama asli penulis nonjurnalis. Syarat features dan jurnalisme warga tersebut ternyata hampir seluruhnya terkandung dalam tulisan yang ditulis oleh nonjurnalis. Jelaslah bahwa Rubrik Jelajah dalam Koran Harian Republika yang beberapa tulisannya ditulis oleh bukan jurnalis profesional dapat dikatakan sebagai jurnalisme warga dengan isi yang mengulas tentang perjalanan dan ditulis secara lebih mendalam, lebih mengeksplorasi objek-objek tertentu, tempat-tempat baru atau tempat-tempat lama namun diulas dengan cara yang berbeda. Setelah dilakukan analisa antara teks asli dari penulis nonjurnalis dengan teks yang telah disunting oleh editor, terjadi perubahan sekitar 10 dari keseluruhan pada teks di atas. Hal itu berarti menunjukkan bahwa editor tidak terlalu memasukkan kesubjektifannya dalam tulisan nonjurnalis tersebut. Editor hanya memperbaiki, menjaga kualitas dan mendidik kontributor dalam hal ini adalah penulis nonjurnalis, yang sesuai dengan tulisannya maupun topik-topik yang layak dilaporkan. 81

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Peran Jurnalisme Warga dalam Rubrik Jelajah

Jurnalisme warga memiliki peran tersendiri bagi Rubrik Jelajah. Dalam keredaksian, warga membantu redaktur sebagai salah satu pengisi kolom yang kosong. Tulisan nonjurnalis tersebut lebih sering masuk di kolom zoom in yang memiliki kapasitas sekitar 6000 karakter dengan beberapa foto di antaranya. Pada peran penyebaran informasi, warga berperan sebagai orang yang menemukan, memilih dan menulis informasi. Serta dalam peran partisipasi, warga mengirimkan tulisan ke redaksi Rubrik Jelajah. Dari warga tersebut pula redaksi dan halayak dapat menambah jaringan informasi mengenai budaya dan keterampilan khusus yang dibutuhkan untuk pergi ke tempat tertentu seperti gunung, gua dan sebagainya. Hal itu dikarenakan sebagian besar pengirim tulisan adalah orang-orang yang sudah memiliki pengalaman perjalanan di bidangnya seperti mahasiswa pecinta alam mapala, culture traveler hingga geolog.

2. Konten yang Dibahas dalam Rubrik Jelajah

Tulisan yang dikirimkan oleh warga kepada Rubrik Jelajah dapat dikatakan sebagai jurnalisme warga citizen journalism karena tulisan tersebut memenuhi definisi dari citizen journalism yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Jenis jurnalisme warga yang dimiliki oleh “Jelajah” adalah the stand-alone citizen journalism site: edited version dengan melalui tahap edit sebagai proses filterasi. Sejumlah 15 tulisan di rubrik tersebut ditulis oleh nonjurnalis dengan ditandai adanya nama jelas dan profesi si penulis. Konten Rubrik Jelajah ini termasuk dalam jenis features setelah merujuk pada pengertian, karakteristik serta fungsinya. Lebih spesifiknya dapat disebut sebagai features perjalanan travelogue features yang mengajak pembaca untuk mengenali lebih dekat mengenai suatu kegiatan atau tempat yang diyakini memiliki daya tarik tertentu. Features ditulis dengan berpijak pada fakta dan disajikan dalam bahasa pengisahan yang bersifat kreatif informal, kadang subjektif dan menghibur serta sebagai wahana ekspresi yang efektif dalam mempengaruhi halayak seperti menemukan emosi, perasaan hingga jati diri. Meski kontennya tentang kisah perjalana, tapi dalam Rubrik Jelajah tulisan dibuat berbeda dengan tulisan features perjalanan pada umumnya. Perjalanan yang ditampilakan di sini banyak mengulas perjalanan yang lebih membutuhkan tenaga dan kemampuan tertentu seperti perjalanan adventure. Karena pada awalnya segmen rubrik ini dibuat untuk laki-laki berusia sekitar 20-40 tahun, namun semakin lama ternyata wanita yang menyukai adventure pun turut menjadi audien dan penulis.

B. Saran

1. Republika sebagi salah satu media yang telah menjalankan fungsinya dengan menerima aspirasi dan informasi dari halayak, baiknya lebih meningkatkan lagi promosi untuk menunjukkan bahwa Republika terutama dalam Rubrik Jelajah menerima tulisan dari pembaca agar lebih banyak tulisan masuk redaksi. Selain itu tim redaksi juga perlu memperbaiki sistem dan teknis dalam penerimaan tulisan dari warga tersebut. 2. Bagi para warga yang turut berpartisipasi menyumbangkan tulisannya, harap diperhatikan lagi gaya tulisan di media yang dituju, agar meminimalisir revisi yang mungkin akan terjadi. Sekaligus sebagai wahana pembelajaran khususnya bagi mahasiswa jurusan jurnalistik dan bidang komunikasi lainnya. 84 DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Barus, Sedia Willing. Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta: Erlangga, 2010. Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif: Komunikasi. Ekonomi. Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2005. Cet. Ke-1. ____________. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2006. Effendy, Onong Uchjana. Kamus Komunikasi. Bandung: PT. Mandar Maju, 1989. ____________. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005. Moeleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Morissan. Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana, 2013. Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999. Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2006 Nugraha, Pepih. Citizen Journalism. Jakarta: Kompas, 2012. Nurudin. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Poerwadarminta, WJS. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.