commit to user 80
B. Faktor Sosial yang Mempengaruhi Pemakaian Bahasa dalam RCB pada Surat Kabar SM
Di dalam setiap peristiwa interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor unsur yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor-faktor itu antara lain
ialah  :  penutur  speaker,  lawan  bicaralawan  tutur  hearer,  receiver,  suasana pembicaraan situation scene, pokok pembicaraan topicdan sebagainya. Dalam
setiap  pemakaian  bahasa,  setiap  penutur  akan  selalu  memperhitungkan  kepada siapa ia berbicara, di mana, mengenai masalah apa, dan dalam suasana bagaimana.
Dengan  demikian  maka  tempat  bicara  akan  menentukan  cara  pemakaian  bahasa penutur  demikian  pula  pokok  pembicaraan  dan  situasi  bicara  akan  memberikan
warna terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung Suwito, 1991:35-36. Berdasarkan  teori  tersebut,  berikut  diuraikan  faktor-faktor  yang
melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM.
1. Penutur speaker dan Mitra Tutur hearer, receiver
Butet  Kertaradjasa  merupakan  penulis  RCB  yang  diterbitkan  pada  surat kabar
SM. Dalam
rubrik ini,
Butetpenulis menggambarkan
atau mengimajinasikan  dirinya  menjadi  tokoh  Mas  Celathu.  Selain  itu,  penulis  juga
menggambarkan  atau  mengimajinasikan  anggota  keluarganya  ke  dalam  tokoh- tokoh yang terdapat dalam RCB ini, yaitu Mbakyu Celathu istri Butet, Mas Ndut
anak pertama Butet, Mbak Tomboy anak kedua Butet, Jeng Genit anak ketiga Butet, Mbak Yatek pembantu Butet, dan Bos Mburi pembantu Butet.
Perbedaan  latar  belakang  secara  fisik  di  antara  pengimajinasian  para tokoh  di  atas  membuat  perbedaan  pemakaian  bahasa  yang  dipakai  oleh  penutur
commit to user 81
dan  mitra  tutur  dalam  berkomunikasi.  Perbedaan  secara  fisik  tersebut  meliputi perbedaan jenis kelamin, usia, status sosial, tingkat pendidikan. Hal tersebut dapat
dilihat dalam tuturan berikut. 45
Keningnya  langsung  berkerut,  pertanda  dia  sulit  menerima argumen itu. Tadinya yang dipersoalkan adalah jenis lomba yang memang
tak  masuk  akal  itu.  Tapi,  kini  persoalannya  jadi  lain.  Alasannya  itu  lho? Kok pede banget?
”Jadi,...kamu yakin bakal menang?” ”Ya iyalah..mosok ya iya dong.” ”Kalau ternyata kalah?” ”Ya nggak mungkin. Temanku pada
bilang kalau aku cantik kok. Ya pasti menang.” RCB edisi 19 April 2009
Tuturan data 45 di  atas adalah percakapan antara  Mas Celathu dengan Jeng Genit, atau dilihat dari hubungan sosialnya tuturan di atas adalah percakapan
antara  seorang  anak  dengan  ayahnya.  Jika  dilihat  dari  faktor  usia,  Jeng  Genit adalah  seorang  gadis  remaja  yang  masih  berusia  belasan  tahun.  Dari  tuturan  di
atas  terlihat  bahwa  ragam  bahasa  yang  digunakan  oleh  Jeng  Genit  merupakan ragam  akrab  intimate,  yaitu  ragam  bahasa  antaranggota  yang  akrab  dalam
keluarga  atau  teman-teman  yang  tidak  perlu  berbahasa  secara  lengkap  dengan artikulasi  yang  terang,  tetapi  cukup  dengan  artikulasi-artikulasi  yang  pendek.
Dalam  ragam  ini  banyak  dipergunakan  istilah-istilah  kata-kata  yang  khas  bagi suatu  keluarga  atau  sekelompok  teman  akrab.  Hal  tersebut  ditandai  ketika  Mas
Celathu
bertanya”   ”Jadi,...kamu  yakin  bakal  menang?”dengan  menggunakan
bahasa  Indonesia,  kemudian  Jeng  Genit  menjawabnya  dengan  memakai  unsur bahasa dari dia
lek Jakarta, yaitu pada kalimat “Ya iyalah..mosok ya iya dong.”
Perbedaan  pemakaian  bahasa  oleh  Mas  Celathu  tentu  akan  berbeda ketika ia berkomunikasi dengan tokoh yang lain. Seperti ketika ia berkomunikasi
dengan  istrinya,  yaitu  Mbakyu  Celathu.  Hal  tersebut  dapat  dilihat  dalam percakapan berikut.
commit to user 82
46 ”Kalau  nggak  minum  sirih,  keringat  sampeyan  itu  baunya  mak
breeeng.  Yang  punya  badan  sih  nggak  bisa  merasakan.  Tapi  yang berpapasan bisa semaput. Awas, jangan tidak diminum ya,”  ujar Mbakyu
Celathu  sambil  menyodorkan  segelas  ramuan  lain.... ”Lha  ini  jamu  apa
lagi?”  tanya  Mas  Celathu  ketika  disodori  segelas  jamu  berikutnya. ”Ini godokan daun pegagan. Biar sampeyan tidak cepat pikun. Khasiatnya
sangat  jos  untuk  orang  berumur  yang  mulai  gampang  lupa.” ”Asem ki. Memangnya aku sudah pikun. Jangan ngece ya. Aku ini pemain
tonil je. Masih mampu menghafal puluhan halaman naskah sandiwara, kok dianggap  pelupa?”  jawabnya  dengan  jumawa,  seakan  usia  bisa  diajak
kompromi dengan kekuatan tubuhnya RCB edisi 3 Mei 2009
Tuturan data 46 di  atas adalah percakapan antara  Mas Celathu dengan Mbakyu  Celathu  atau  percakapan  antara  seorang  suami  dengan  istrinya.  Mas
Celathu dan Mbakyu Celathu berasal dari latar belakang budaya yang sama, yaitu berlatar belakang budaya Jawa, hal tersebut terlihat pada kalimat yang diutarakan
oleh  Mbakyu  Celathu
yang memakai kata sapaan bahasa Jawa „sampeyan’ yang
berfungsi  untuk  menunjukkan  rasa  hormat.  Mas  Celathu  juga  menggunakan
beberapa kata dalam bahasa Jawa seperti, „Asem ki‟ dan „ngece’. Dari tuturan di
atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh Mas Celathu dan Mbakyu Celathu  adalah  ragam  akrab  intimate  yaitu  ragam  bahasa  antaranggota  yang
akrab  dalam  keluarga  atau  teman-teman  yang  tidak  perlu  berbahasa  secara lengkap  dengan  artikulasi  yang  terang,  tetapi  cukup  dengan  artikulasi-artikulasi
yang  pendek.  Dalam  ragam  ini  banyak  dipergunakan  istilah-istilah  kata-kata yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.
Perbedaan  pemakaian  bahasa  oleh  Mas  Celathu  tentu  akan  berbeda ketika ia berkomunikasi dengan tokoh yang lain, selain dengan istri dan anaknya.
Seperti  ketika  ia  berkomunikasi  dengan  pembantunya,  yaitu  Bos  Mburi.  Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan berikut.
commit to user 83
47 Hanya Bos Mburi, lelaki lugu yang sudah lama mengabdi dan jadi
belahan  jiwa  Mas  Celathu,  masih  bengong  di  depan  papan  tulis.  Dia terlihat  ragu-ragu  menggoreskan  spidol.  Sambil  menggaruk-garuk
rambutnya  yang  tidak gatal,  dia  bertanya  dengan  wajah  serius,  ”Bos,
menggambar  contreng  i tu  rada  sulit  je.  Pripun  niki?”  ”Cuma  begitu  kok
sulit.  Lihat  aja  contohnya.”  ”Lho,  centang  napa  contreng?  Kok  kula bingung  niki...”  ”Centang  sama  contreng  itu  sami  mawon.”
”Nggih  benten,  beda,  ta  Bos.  Contreng  niku  anak  laron.  Nggambarnya mboten  gampang.”  ”Hua  ha  ha....oallah  Bos  Anak  laron  niku  gonteng.
Bukan  contreng.”Lalu  meledaklah  tawa  mereka.  Hanya  Bos  Buri  yang semangkin  bengong,  bertanya  dalam  hati  kenapa  dirinya  ditertawakan.
Orang-orang  terpelajar  menganggap  masalah  beginian  soal  sepele.  Tapi tidak  bagi  wong  cilik  seperti  Bos  Mburi.  Betapa  pun,  mereka  butuh
bimbingan RCB edisi 15 Maret 2009
Tuturan data 47 di  atas adalah percakapan antara  Mas Celathu dengan Bos  Mburi.  Jika  dilihat  dari  hubungan  atau  status  sosialnya,  percakapan  di  atas
adalah  percakapan  antara  majikan  dengan  pembantunya.  Bahasa  Jawa  mengenal kasta  dalam  pemakaiannya,  maka  tuturan  yang  dipakai  oleh  Bos  Mburi
menggunakan  bahasa  Jawa  yang  halus  atau  krama  ketika  ia  berkomunikasi dengan Mas Celathu, tuannya. Hal tersebut terlihat pada kalimat yang diutarakan
oleh Bos Mburi yang memakai bahasa Jawa
„Lho, centang napa contreng? Kok kula bingung niki...”yang berfungsi untuk menunjukkan rasa hormat kepada Mas
Celathu. Karena  Mas Celathu  dan Bos Mburi berasal dari latar belakang  budaya yang  sama,  yaitu  berlatar  belakang  budaya  Jawa,  maka  Mas  Celathu
menjawabnya  dengan  menggunakan  bahasa  Jawa,
„”Centang sama contreng itu sami mawon.
” Dari tuturan di atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh  Mas  Celathu  dan  Bos  Mburi  adalah  Ragam  akrab  intimate  adalah  ragam
bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga. Namun, karena perbedaan status sosialnya  maka  bahasa  yang  dipakai  oleh  Bos  Mburi  terasa  lebih  halus  dalam
pemakaian bahasa Jawa.
commit to user 84
Perbedaan  pemakaian  bahasa  oleh  Mas  Celathu  tentu  akan  berbeda ketika ia berkomunikasi dengan tokoh yang lain. Seperti ketika ia berkomunikasi
dengan temannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan berikut. 48
‟‟Kamu  ini  gimana  ta?  Katanya  pekerja  kebudayaan,...giliran kekayaannya  diserobot  orang  kok  malah  diam  aja.  Asem  tenan,‟‟  protes
Semaya,  seniman  perupa  salah  seorang  teman  Celathu,  yang  siang  itu sudah  menyiapkan  poster-poster  protes,  dan  siap  berangkat  ke  Ibu  Kota.
‟‟Emangnya  kalau  kita  demo,  lalu  Pemerintah  Malaysa  insyaf  nggak nyolong  lagi?‟‟  ‟‟Kita  harus  membuktikan  kalau  kita  menyintai
kebudayaan  kita.  Ini  pelanggaran  berat.  Melecehkan  kehormatan  dan martabat bangsa.‟‟ ‟‟Martabak? Wuah aku doyan banget tuh, apalagi kalau
yang  istimewa  pakai telur  tiga  butir....he  he  he.‟‟  ‟‟Asem  ki.  Serius  nih.
Mas Celathu, situne ini memang gombal. Tunjukkan jiwa nasionalis dong. Dasar  nggak  punya  mental  pejuang.  Emoh  ngrekasa,  maunya  enaknya
doang.‟‟
’’
Lha...  saya..  itu..  malah...  bersyukur...  je,‟‟  ujar  Mas  Celathu dengan  irama  kalem  kayak  dialog  Arjuna  di  panggung  wayang  orang.
‟‟Haaah...bersyukur?‟‟ ‟‟Lho,...kalau nggak ada gegeran seperti ini, kapan Pemerintah  Indonesia  peduli  dan  memperhatikan  kebudayaan.  Kan
lumayan,  sekarang  semua  perhatian  diarahkan  ke  sektor  budaya. Menterinya  tidak  hanya  bicara  pariwisata  lagi.  Kebudayaan  tidak  hanya
dilihat  sebagai  alat  untuk  menyedot  devisa.  Jadi,  ya  pantas  disyukuri
ta?‟‟RCB edisi 30 Agustus 2009 Tuturan  dalam  data  48  di  atas  adalah  percakapan  antara  Mas  Celathu
dengan  seorang  temannya.  Dilihat  dari  status  sosialnya,  teman  Mas  Celathu  ini adalah  seorang  perupa,  jadi  sama-sama  seorang  pekerja  seni  seperti  halnya  Mas
Celathu.  Dari  tuturan  48  di  atas  terlihat  bahwa  Mas  Celathu  dan  temannya, selain  menggunakan  bahasa  Indonesia  juga  menggunakan  bahasa  Jawa  dalam
berkomunikasi.  Hal  tersebut  dikarenakan  persamaan  latar  belakang  budaya diantara keduanya yang berlatar belakang budaya Jawa. Hal tersebut terlihat, dari
kalimat  yang  diutarakan  oleh  teman  Mas  Celathu
„’’Kamu  ini  gimana  ta? Katanya pekerja kebudayaan,...giliran kekayaannya diserobot orang kok malah
diam aja Asem tenan’. Lalu Mas Celathu menjawab „’’Lho,...kalau nggak ada gegeran  seperti  ini,  kapan  Pemerintah  Indonesia  peduli  dan  memperhatikan
commit to user 85
kebudayaan.  Kan  lumayan,  sekarang  semua  perhatian  diarahkan  ke  sektor budaya.  Menterinya  tidak  hanya  bicara  pariwisata  lagi.  Kebudayaan  tidak
hanya  dilihat  sebagai  alat  untuk  menyedot  devisa.  Jadi,  ya  pantas  disyukuri ta
?’’ Dari tuturan di atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh Mas Celathu dan temannya adalah ragam santai casual. Ragam santai adalah ragam
bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang.
2. Tempat Pembicaraan