Riwayat Penyakit Gastritis dan Sindroma Dispepsia

gas, sisa busuk dan racun, yang diserap oleh usus, diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Penyebaran racun ini mengakibatkan pembentukan macam-macam penyakit Firman, 2011. Makanan yang sulit dicerna yang dapat memperlambat pengosongan lambung. Hal ini menyebabkan peningkatan peregangan di lambung yang akhirnya dapat meningkatkan asam lambung seperti makanan berlemak, kue tart, cokelat, keju. Makanan yang secara langsung merusak dinding lambung yaitu makan yang mengandung cuka dan pedas, merica, dan bumbu yang merangsang dapat menyebabkan dispepsia Firman, 2011.

2.4 Riwayat Penyakit Gastritis dan Sindroma Dispepsia

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara jalur regular angkatan 2008- 2011 tidak memiliki riwayat penyakit gastritis yaitu 58 orang 78,4. Sedangkan mahasiswa yang memiliki riwayat penyakit gastritis sebanyak 16 orang 21,6 dan tidak ada yang menderita ulkus peptikum. Seluruh responden yang menderita gastritis juga mengalami sindroma dispepsia. Dispepsia organik ulkus merupakan sindrom pada pencernaan atas yang disebabkan adanya kerusakan organ lambung. Hal ini diketahui melalui pemeriksaan klinis USG Ultrasono grafi atau pemeriksaan endoskopi Tarigan, 2003. Pada dispepsia organik baik gastritis maupun ulkus peptik pada umumnya disertai ansietas. Ansietas yang terjadi tidak berhubungan dengan derajat gastritis 67 Universitas Sumatera Utara dan jenis ulkus peptik. Ini berarti tidak ada hubungan antara derajat ansietas dengan dispepsia organik. Helycobacteri pylori tidak terlalu berperan menimbulkan dispepsia organik karena umumnya ditemukan dispepsia organik tanpa adanya kuman helycobacteri pylori.Stres psikososial sangat berhubungan dengan derajat ansietas, di temukan semakin banyak sresor psikisosial semakin tinggi derajat ansietas yang yang menyertai pada pasien dispesia organik Uleng, 2011. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit gastritis dengan sindroma dispepsia mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara jalur regular angkatan 2008-2011. Mahasiswa yang memiliki riwayat penyakit gastritis akan beresiko lebih besar untuk menderita sindroma dispepsia dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak menderita gastritis. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti 2011 pada mahasiswa IPB juga ditemukan adanya hubungan antara riwayat penyakit atau gangguan lambung dengan frekuensi dispepsia. Mahasiswa yang memiliki riwayat gangguan lambung gastritis atau tukak peptik sebelumnya lebih beresiko mengalami dispepsia dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat Penyakit gastritis sering terjadi pada remaja, orang-orang yang stres, karena stres dapat meningk\atkan produksi asam lambung, pengkonsumsi alkohol dan obat-obatan anti inflamasi non steroid. Gejala yang timbul pada penyakit gastritis adalah rasa tidak enak pada perut, perut kembung, sakit kepala, mual seperti gejala sindroma dispepsia. Masyarakat sering menganggap remeh panyakit 68 Universitas Sumatera Utara gastritis, padahal ini akan semakin besar dan parah maka inflamasi pada lapisan mukosa akan tampak sembab, merah, dan mudah berdarah Ekowati, 2008. Menurut Sebayang 2011, dikutip dari Dongoes, 2000, gastritis menyebabkan inflamasi dari mukosa lambung, gambaran klinis yang ditemukan berupa dispepsia atau indigesti. Berdasarkan endoskopi ditemukan edema mukosa, sedangkan hasil foto memperlihatkan iregularitas mukosa. Penyakit gastritis sangat menganggu aktifitas sehari-hari, karena penderita akan merasa nyeri dan rasa sakit tidak enak pada perut. Selain dapat menyebabkan rasa tidak enak, juga menyebabkan perdarahan saluran cerna atas, ulkus, anemia kerena gangguan absorbsi vitamin B12. Ada berbagai cara untuk mengatasi agar tidak terkena penyakit gastritis dan untuk menyembuhkan gastritis agar tidak menjadi parah yaitu dengan banyak minum ± 8 gelashari, istirahat cukup, kurangi kegiatan fisik, hindari makanan pedas dan panas dan hindari stres Ekowati, 2008. Menurut Sebayang 2011, dikutip dari Hirlan, 2001, gastritis terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensive. Faktor agresif itu terdiri dari asam lambung, pepsin, AINS, empedu, infeksi virus, infeksi bakteri, bahan korosif: asam dan basa kuat. Sedangakan faktor defensive tersebut terdiri dari mukus, bikarbonas mukosa dan prostaglandin mikrosirkulasi. Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid merusak mukosa lambung melaui beberapa mekanisme obat-obat ini dapat menghambat aktivitas siklooksigenase mukosa. Siklooksigenase merupakan enzim yang penting untuk pembentukkan prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin mukosa 69 Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang amat penting, selain menghambat produksi prostaglandin mukosa, aspirin dan obat antiinflamasi nonsteriod tertentu dapat merusak mukosa secara topikal, kerusakan topikal terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung sehingga kemampuan faktor defensif terganggu Sebayang, 2011. 70 Universitas Sumatera Utara

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan pada 74 mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan USU jalur regular angkatan 2008-2011 menggambarkan bahwa kejadian sindroma dispepsia pada mahasiswa cukup tinggi, yaitu 49 orang 66,2 . Kejadian sindroma dispepsia ini dipengaruhi oleh tingkat stres p=0,009, keteraturan makan p=0,003, makanan dan minuman iritatif p=0,013, dan riwayat penyakit gastritis p=0,003. Adapun faktor yang memberikan pengaruh terbesar terhadap kejadian sindroma dispepsia adalah tingkat stres. Mahasiswa yang mengalami stres sedang akan 10 kali lebih besar menderita sindroma dispepsia dibandingkan dengan mahasiswa yang mengalami stres ringan setelah dikontrol keteraturan makan dan makananminuman iritatif.

2. Saran

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi sindroma dispepsia. Penelitian selanjutnya diharapkan memaparkan lebih banyak lagi faktor-faktor yang mempengaruhi sindroma dispepsia, seperti infeksi bakteri Helicobacter pylori, Indeks Massa Tubuh IMT, dan sebagainya. Hasil penelitian ini juga dapat memberikan informasi kepada mahasiswa bahwa mengontrol stres adalah lebih baik untuk menghindari sindroma dispepsia. 71 Universitas Sumatera Utara