Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era globalisasi ini berbagai permasalahan yang dialami remaja sangatlah komplek dan beraneka ragam, tentu saja dengan sumber permasalahan yang berbeda-beda pula. Permasalahan remaja yang terjadi berupa masalah penyesuaian sosial; masalah kenakalan remaja berupa tindakan pencurian, kekerasan dan pemerkosaan; serta masalah penyesuaian perilaku seperti perilaku seks bebas, perilaku merokok, mengkonsumsi narkoba bahkan masalah kriminalitas dan bunuh diri. Berdasarkan data NSA National Survey of Adolescent jumlah remaja SMA yang melakukan bunuh diri mengalami peningkatan dari 7,3 pada tahun 1991 menjadi 8,4 pada tahun 2005. Peningkatan tersebut menandai adanya peningkatan permasalahan remaja dari generasi ke generasi sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia. Badan Narkotika Nasional BNN melaporkan jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba di Indonesia dari tahun 1998-2003 adalah 20.301 orang, di mana 70 diantaranya berusia antara 15-19 tahun. Mengutip makalah ilmiah yang ditulis Widianti 2007, yaitu berdasarkan data yang dihimpun oleh Departemen Kesehatan sampai Juni 2003 jumlah pengidap HIV atau AIDS atau ODHA Orang Yang Hidup Dengan HIV atau AIDS di Indonesia adalah 3.647 orang terdiri dari pengidap HIV 2.559 dan penderita AIDS 1.088 orang. Dari commit to user jumlah tersebut, kelompok usia 15-19 berjumlah 151 orang 4,14, 19-24 berjumlah 930 orang 25,50. Hal ini berarti bahwa jumlah terbanyak penderita HIV atau AIDS adalah remaja dan orang muda. Fenomena dari berbagai permasalahan yang dialami oleh remaja merupakan manifestasi dari distres. Menurut Mirowsky Catherine 2003 distres mengacu masalah kepribadian seperti anti sosial atau saling bermusuhan, kemunduran kecerdasan atau penyalahgunaan obat terlarang, bentuk manik atau emosi yang tidak stabil, atau ketergantungan terhadap alkohol atau bahan kimia lain. Gunarsa 1985 mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yakni antara 12 sampai 21 tahun. Pada masa ini remaja mengalami berbagai macam perubahan-perubahan karakteristik dalam diri remaja. Santrock 2002 mengemukakan bahwa perubahan-perubahan pada remaja tersebut diantaranya adalah perubahan fisik yang meliputi perubahan pubertas; perubahan kognitif yang meliputi berkembangnya penalaran logis, meningkatnya pemikiran abstrak, idealistis, maupun egosentris; perubahan sosioemosional meliputi kelekatan dengan orang tua serta pencapaian otonomi; serta perubahan hubungan sosial remaja dalam lingkungan sekolah, teman sebaya, maupun lingkungan sekolah. Remaja menurut perkembangannya berada dalam kondisi yang labil baik dalam fisik, psikis, emosi maupun perilakunya. Dalam kondisi demikian, remaja mudah dipengaruhi sehingga mempunyai potensi yang besar terhadap berbagai macam permasalahan seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Remaja dengan karakteristik perkembangannya mengalami berbagai perubahan fisik dan mental commit to user mengarahkan pada kebutuhan remaja akan perlakuan khusus dari orang tua. Di satu sisi, remaja membutuhkan kesempatan untuk belajar meraih otonomi, mengatur diri sendiri, membuat keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut sehingga cenderung menolak intervensi dari pihak lain, dalam hal ini orang tua. Di sisi lain, remaja juga membutuhkan perhatian, pengawasan, serta bimbingan dari orang tua. Sarafino 1998 mengungkapkan bahwa stres merupakan kondisi sebagai hasil interaksi antara individu dan lingkungan, dimana individu merasakan pertentangan antara tuntutan situasi dan sumber biologis, psikologis, dan sosial yang dimiliki. Kondisi ketertekanan yang semakin menumpuk akan membawa remaja pada kondisi stres. Maramis 2005 mengungkapkan bahwa tekanan sehari-hari walaupun kecil, tetapi bila bertumpuk-tumpuk, dapat menjadi stres yang hebat. Stres merupakan suatu kondisi psikologis dimana seseorang merasa tertekan karena suatu persoalan yang dihadapinya Koentjoro, 2007. Hubungan antara orang tua dengan remaja terbangun melalui pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Pola pengasuhan yang pada dasarnya mempunyai tujuan yang baik bagi perkembangan anak-anak, sehingga menjadi individu yang dewasa secara sosial Santrock, 2002. Sejalan dengan tahap-tahap perkembangan yang terjadi pada remaja berpengaruh pula terhadap kebutuhan akan perubahan pola pengasuhan pada orang tua. Orang tua merasa khawatir remaja mereka mengalami degradasi moral dalam masa perkembangannya. Orang tua mulai memikirkan kemungkinan- kemungkinan munculnya perilaku menyimpang pada perkembangan remaja, commit to user sehingga orang tua semakin memperketat ruang gerak remaja. Orang tua semakin meningkatkan sikap keras pada pola pengasuhannya dengan mengendalian perilaku remaja secara ketat serta menekan remaja agar mengikuti aturan-aturan sesuai standar orang tua Santrock, 2002. Pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan ditetapkan oleh orang tua dengan batasan-batasan dan aturan yang mereka tetapkan sendiri bahkan tanpa memberikan penjelasan pada remaja. Sikap orang tua yang demikian merupakan bentuk dari pola asuh otoriter. Menurut Hurlock 2002, pola asuh yang otoriter memiliki ciri-ciri sikap ortu kaku dan keras, menuntut anak untuk patuh pada semua perintah dan kehendak orang tua, pengontrolan terhadap tingkah laku anak yang sangat ketat serta kurang memberikan kepercayaan pada anak dan sering memberikan hukuman pada anak ketika anak melakukan pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan. Berlawanan dengan kebutuhan remaja, orang tua sering tidak memahami perubahan yang terjadi sehingga tidak menyadari anak telah tumbuh menjadi seorang remaja, remaja yang masih berada pada tahap belajar terhadap berbagai perubahan serta peristiwa yang mereka alami. Perubahan-perubahan kognisi dimana remaja mengalami perkembangan penalaran logis, peningkatan dalam berpikir abstrak, idealistis, maupun egosentris mengarahkan dan dorongan remaja untuk mendapatkan dan meraih otonomi Santrock, 2002. Hukum Trotzalte r mengatakan bahwa pada masa-masa remaja terjadi perubahan mencolok dalam dirinya baik aspek fisik maupun psikis sehingga menimbulkan reaksi emosional dan perilaku radikal. Wujud nyata perilaku seringkali ditunjukkan dengan sikap mampu berdiri sendiri, mampu mengerjakan sesuatu secara sendiri, dan merasa commit to user tidak perlu bantuan orang lain sehingga seringkali timbul sikap menentang ketika ada stimulus dari orang lain yang dirasa kurang sesuai Ali Mohammad, 2008. Pola asuh otoriter yang diterapkan oleh orang tua sangat berlawanan dengan perubahan karakteristik yang terjadi dalam diri remaja. Pada saat remaja mencurahkan perhatiannya dalam mengatasi masalah yang timbul pada masa perkembangan, remaja dituntut untuk tidak lagi bertingkah laku seperti anak-anak akan tetapi mereka belum sepenuhnya dipercaya untuk berperan seperti orang dewasa. Remaja dinilai belum sepenuhnya mampu memegang otonomi, bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan sendiri. Kondisi demikian mendorong remaja melakukan penolakan maupun pemberotakan terhadap penerapan pola pengasuhan orang tua karena tidak sesuai dengan harapan serta kebutuhan remaja. Sejalan dengan perubahan karakteristik yang khas pada perkembangan remaja yang berupaya menuntut adanya kesempatan maupun kebebasan untuk menentukan sendiri pilihan-pilihannya, orang tua mengharuskannya mengikuti aturan dan standar-standar yang ditetapkan tanpa kompromi dengan remaja. Kondisi demikian menjadi stressor yang menimbulkan perasaan ketertekanan dalam diri remaja yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi fisik, psikologi maupun sosial pada remaja. Menurut Mirowsky Catherine 2003 distres merupakan salah satu konsekuensi utama dari suatu perenggangan hubungan. Yusuf 2009 mengatakan bahwa keluarga yang hubungan antar anggota keluarganya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental mental illness bagi anak. commit to user Menurut WHO 2008, kesehatan mental adalah suatu keadaan kesejahteraan yang mana tiap individu mampu mengoptimalkan kemampuannya, dapat mengatasi stress dalam hidupnya, dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat serta dapat berkontribusi terhadap komunitasnya. Mirowsky Catherine 2003 distres secara konseptual dianggap sebagai sakit mental dilihat dari sejumlah symptom yang ditunjukkan seperti depresi dan cemas. Penelitian yang dilakukan oleh Nasution 2008 menyimpulkan bahwa stres pada remaja itu disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi faktor yang paling banyak mempengaruhi remaja berhubungan dengan orang tua, akademik dan teman sebaya. Hal ini berarti berbagai bentuk permasalahan pada remaja dilatarbelakangi oleh kondisi stres yang salah satunya bersumber dari hubungan orang tua dengan remaja. Ghofur, dkk 2009 dalam penelitiannya mengenai “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perkembangan Karakteristik Anak” memberikan penjelasan bahwa pengaruh pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma-norma, berkepribadian lemah, cemas dan terkesan menarik diri. Analisis dari karya ilmiah oleh Fitri, dkk 2006 menyatakan ada hubungan yang signifikan antara sikap authoritarian oleh orang tua terhadap kesehatan mental anak. Kesenjangan yang terjadi antara remaja dan orang tua semakin meninggi karena masa remaja adalah periode ”badai dan stress” yang ditandai oleh ketegangan emosi, kemurungan, kekacauan dalam diri dan pemberontakan Atkinson, 1981. Remaja yang tidak mampu menanggulangi kondisi yang commit to user dialami akan mengalami gangguan baik dalam fungsi fisik, psikologis, intelektual maupun interpersonal sebagai akibat dari stres yang dirasakan. Kondisi demikian yang dinamakan sebagai kondisi distres. Uraian latar belakang permasalahan di atas menyatakan bahwa orang tua dengan penerapan pola asuh otoriter memberi batasan serta aturan yang tegas tanpa adanya kompromi terhadap remaja. Hal ini menyebabkan tidak ada kesempatan bagi remaja untuk belajar meraih otonomi, mengatur diri sendiri, membuat keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut. Sementara itu, remaja juga membutuhkan perhatian, pengawasan, serta bimbingan dari orang tua. Remaja pun merasa tertuntut dalam memenuhi harapan serta keinginan orang tua. Kondisi yang dialami remaja yaitu antara keinginannya sendiri dengan tuntutan dari orang tua mengarahkan pada situasi keterpaksaan yang sulit dihadapi oleh remaja sehingga memungkinkan terjadinya distres pada remaja. Inilah yang mendasari peneliti untuk mengadakan suatu penelitian dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada ”Hubungan antara Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua dengan Distres pada Remaja. Hal ini untuk membuktikan apakah pola asuh otoriter memberikan dampak buruk tersebut berupa keadaaan distres pada remaja yang menjadi akibat dari penerapan pola asuh orang tuanya. commit to user

B. Rumusan Masalah