commit to user
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk sebagai dampak dari penerapan pola asuh otoriter.
C. Hubungan antara Penerapan Pola Asuh Otoriter pada Oang Tua dengan Distres pada Remaja
Keluarga menurut Yusuf 2009 mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya pengembangan pribadi anak. Keluarga juga merupakan lingkungan
mikro yang sangat penting bagi individu dan dapat menjadi pendorong bagi kesehatan mental para anggota keluarganya jika situasinya baik, dan menjadi
penghambat bagi perkembangan kesehatan mental jika situasinya kurang baik Orford, 1992 dalam Latipun, 2007. Menurut Latipun 2007 kondisi keluarga
yang sehat dapat meningkatkan kesehatan mental anak dan anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, kondisi keluarga yang tidak kondusif dapat berakibat
gangguan mental bagi anak. Pola pengasuhan merupakan hal yang dipandang sangat penting dalam
mewujudkan fungsi keluarga secara optimal. Fungsi keluarga adalah memberikan keamanan,
kenyamanan, pengasuhan,
pendampingan, bimbingan,
arahan, pendidikan dan stimulasi yang memberikan pondasi pada pembentukan fungsi
intelektual serta mental spiritual bagi anak. Yusuf 2009 menguraikan fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang dan
mengembangkan hubungan yang baik diantara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut
pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek dan keinginan
commit to user
untuk menumbuhkembangkan anak. Keberfungsian keluarga ini sangat tergantung pada peranan orang tua sebagai pelaku utama dalam pola pengasuhan terhadap
anak. Menurut Rice Kim 2002 ada tiga komponen pola pengasuhan yang
dapat diidentifikasi. Ke tiga komponen tersebut meliputi hubungan, otonomi, serta peraturan. Pola pengasuhan yang baik adalah yang memenuhi ketiga kompenen
tersebut serta hubungan antara ketiganya berjalan dengan baik. Hubungan berkaitan dengan kasih sayang, keseimbangan, cinta, perhatian antara orang tua
dan anak. Hubungan tersebut memberikan perasaan aman yang memberi kesempatan pada anak untuk menjelajahi dunia luar. Dalam hal ini ada kaitannya
dengan otonomi anak yaitu kebebasan mengungkapkan pendapat, memiliki rahasia, dan membuat keputusan untuk diri sendiri. Peraturan yang diterapkan
juga hanya sebatas memperingatkan dan mengawasi tingkah laku serta mengurangi tingkah laku yang kurang sesuai sehingga anak tetap merasa aman
dalam hubungannya dengan orang tua dan anak juga tidak terpaksa dan takut dalam menjalankan peraturan tersebut.
Levin 1983 mengatakan bahwa orang tua dengan pola asuh otoriter menggabungkan kontrol yang tinggi dengan memberikan tekanan untuk patuh
padanya. Dalam hal ini, orang tua tidak membangun hubungan dengan remaja serta mengambil kendali atas diri remaja. Dengan sikap demikian, remaja menjadi
tidak terbantu dalam pencapaian otonomi sehingga remaja mudah memiliki permasalahan tingkah laku dan memiliki kesulitan menjadi seseorang yang
mampu berdiri sendiri. Akibat yang mungkin timbul adalah remaja tidak
commit to user
mempunyai kesempatan untuk belajar mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas keputusannya tersebut. Pada penetapan peraturan, orang tua dengan
pola asuh otoriter tidak memberikan alasan pada anaknya apa yang menjadi dasar dalam pembuatan peraturan sehingga tidak membantu serta mendorong anak
dalam perkembangan pemikirannya dan merasakan keterpaksaan menjalankannya. Fungsi intelektual pada remaja merupakan wujud dari karakteristik
perkembangan remaja yang abstrak, logis serta idealis sehingga dapat berjalan dengan baik serta optimal. Fungsi intelektual yang abstrak, logis serta idealis akan
mendorong remaja dalam mempertanyakan kondisi yang dialami sebagai akibat dari pola pengasuhan orang tuanya. Di satu pihak remaja harus tunduk dan patuh
mengikuti kehendak orang tua. Di pihak lain tidak ada kesempatan dalam mengungkapkan ide, gagasan, bahkan perasaannya. Tidak mengherankan bila
remaja seringkali terlihat membingungkan serta menjengkelkan dengan segala tingkah lakunya yang merupakan suatu bentuk kompensasi dari ketidaknyamanan
dan ketidakmengertian remaja terhadap dirinya sendiri dengan keharusan mewujudkan harapan orang tua Hurlock, 2006.
Kondisi antara pola pengasuhan otoriter dan perkembangan karakteristik pada remaja adalah berlawanan sehingga menimbulkan ketegangan perasaan
sehingga akan memicu timbulnya perasaan ketertekanan dalam diri remaja. Menurut
Hurlock 2006
keadaan tersebut
membawa dampak
terhadap perkembangan
emosinya dalam
menanggapi perubahan-perubahan
yang dialaminya sehingga muncul tekanan dan akhirnya terbentuk menjadi stres.
commit to user
Kondisi stres yang tidak terkendali memunculkan kondisi yang lebih buruk dari yang sebelumnya. Brecht 2000 menuliskan sebuah survei yang
dilakukan Better Health Commision pada akhir tahun 1980-an terhadap 10.000 orang Australia, menunjukkan bahwa lebih dari 65 penduduk tidak tahu
bagaimana menangani atau mengendalikan stres, atau merasa bahwa mereka tidak punya kemampuan untuk itu. Jika remaja tidak mampu mengatasi kondisi stres
yang dialami, maka dapat menimbulkan dampak buruk bagi remaja, yaitu melemahnya kondisi fisik, psikologis, emosional, maupun sosial. Kondisi
demikian dinamakan sebagai kondisi distres. Menurut Mirowsky Catherine 2003 distres merupakan salah satu
konsekuensi utama dari suatu perenggangan hubungan. Pola asuh otoriter merupakan bentuk pola pengasuhan yang dapat memicu perenggangan hubungan
antara orang tua dan anak. Rowe Walter 1993 memperkuat dengan menyatakan pendapatnya bahwa
stressor secara psikologis dicantumkan dalam DSM-III-R yang salah satunya disebabkan karena pola pengasuhan dari orang tua.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa pola asuh otoriter kurang atau bahkan tidak memenuhi ketiga komponen pengasuhan orang tua sehingga dapat
menimbulkan dampak distres bagi remaja.
commit to user
Distres D. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah:
Gambar 2. 2 Kerangka Berpikir Hubungan antara Penerapan Pola Asuh Otoriter Orang Tua dengan Distres pada Remaja
E. HIPOTESIS