Desain Penelitian Subjek dan Objek Penelitian Teknik Pengumpulan Data

37 Adapun gambaran tentang proses jalannya penelitian dapat digambarkan sperti pada bagan di bawah ini. Latar Belakang Masalah Dokumentasi, Studi Pustaka DATA Wawancara Analisis Bagan 1. Skema Penelitian 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Sejarah Kraton Yogyakarta

Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, tepatnya pada hari Sabtu Pahing 15 Februari 1755, diadakan pertemuan antara Sunan Paku Buwana III dengan Sultan Hamengku Buwana I di desa Lebak Jatisari. Sebulan kemudian pada hari Kamis Pon, 29 Jumadilawal, Be 1680 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 13 Maret 1755 Sultan Hamengku Buwono I memproklamirkan bahwa separuh dari Negara Mataram yang dikuasainya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta. Tanggal ini khususnya tanggal, bulan dan tahun Jawa dinyatakan sebagai Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram - Ngayogyakarta. Menurut K.R.T Jatiningrat wawancara 17 Maret 2015, menjelaskan bahwa pada hari Kamis Pon tanggal 3 Sura, Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 9 Oktober 1755 M Sri Sultan Hamengku Buwana I mesanggrah di Ambar Ketawang dan memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di desa Pacethokan dalam hutan Beringan. Kemudian Sultan jumeneng nata atau diangkat sebagai raja pada tanggal 11 Oktober 1755. Setelah itu Sultan memerintahkan salah satu tumenggung untuk membuat Kraton di hutan Beringan Desa Pachetokan dan diberi waktu satu tahun. Ketika dilakukan proses pembangunan kemudian Sultan masuk kraton pada tanggal 7 Oktober 1756 dari arah selatan panggung Krapyak menuju ke 39 utara. Yang menurut Purwadi 2003 ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal, yang menunjukkan tahun 1682 Jawa dan yang mengungkapkan makna yang tersirat: Sari-Rasa-Tunggal artinya: Hakikat Kesatuan dan Sarira-Satunggal yang berarti: Kepribadian. Selama pembangunan berjalan sang Sultan tinggal di Gedong Sedahan sebelah barat sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal-regol kemagangan sebelah selatan bangsal Manis selama 13 tahun. Sementara Gedong Jene tempat tinggal Sultan sendiri baru dibangun pada masa Sultan HB VIII dengan sengkalan sekar sinaut naga raja atau tahun 1869 Jawa.

2. Arsitektur Bangunan Kraton Yogyakarta

Arsitek atau perancang utama bangunan Kraton Yogyakarta adalah tidak lain Sultan Hamengku Buwono I. Sebagian besar bangunan yang berada di dalam Kraton Yogyakarta bergaya arsietktur tradisional Jawa. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentukberkonstruksi Joglo atau derivasiturunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong gedung. Selain itu ada bangunan beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi. Pada penelitian kali ini pembahasan hanya akan difokuskan pada bangunan Bangsal Kencono karena tempat ini menjadi salah satu tempat terpenting dalam lingkup Kraton Yogyakarta. Dan selain Bangsal Kencono yang akan dikaji ornamen-ornamennya juga pembahasan mengenai arsitektur Bangsal 40 Tamanan. Menurut K.R.T Jatiningrat wawancara 17 Maret 2015 sebagian besar ornamen pokok yang berada pada Bangsal Kencana diambil dari ornamen tiang yang berada di dalam Bangsal Tamanan yang juga diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit.

a. Bangsal Kencana

Bangsal Kencana terletak di tengah komplek Kedhaton Kraton Yogyakarta, yang dulunya bernama bangsal Alus ketika pertama kali didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kemudian Bangsal Kencana dibangun total oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, menurut keterangan dari K.R.T Jatiningrat wawancara 15 April 2015 dengan sengkalan yang berbunyi Trus Manunggal Panditaning Rat dibaca Trus = 9, Manunggal = 1, Pandita = 7, Rat = 1 atau 1719 tahun Jawa sama dengan 1793 M. Dikisahkan setelah proses pembangunan bangsal Kencana oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II sempat terjadi perdebatan dengan ayahnya yaitu Sultan Hamengku Buwono I, kemudian HB I memindahkan bangsal Kencana yang baru dibangun tersebut ke sebelah barat bangsal Manis menjadi bangsal Pengapit . Selain dipergunakan untuk pentas wayang orang dan tari bedhaya semang, fungsi utama bangsal Kencana adalah sebagai tempat menerima tamu agung Kraton. Di samping itu juga untuk menyelenggarakan upacara pernikahan, upacara khitanan, serta yang tidak kalah penting adalah kegiatan Ngabekten Syawal yang dilaksanakan setiap tahunnya. Kegiatan ini berupa perayaan Hari Raya Idul Fitri yang dilakukan dari para abdi dalem, pejabat, dan kerabat Kraton menghaturkan sembah dan saling memohon maaf. 41 Gambar XI: Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015 Bangsal Kencana berbentuk joglo mangkurat lambang gantung dengan empat susun atap dan atap kedua atau penanggap menggantung pada atap di atasnya, sementara atap ketiga menempel dengan sambungan lambangsari pada atap kedua. Pada bangsal ini memiliki tiga tingkatan lantai, lantai yang paling tingggi yang letaknya ditengah-tengah pendopo biasanya dipergunakan sebagai singgasana sang Sultan. Tiang pada bangsal Kencana terdiri dari 4 saka guru, 16 saka penanggap, 23 saka penitih serta 8 saka santen berbentuk bulat, dan 8 saka tambahan yang tidak memiliki ukiran ragam hias. Di sekeliling bangsal Kencono dihiasi tumbuhan paku yang potnya terbuat dari keramik dan memiliki gambar atau hiasan lukisan ala Tiongkok. 42 Gambar XII: Pelataran Bangsal Kencana Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015 Beberapa cerita menyebutkan bahwa ketika Sultan duduk di Bangsal Kencana berada ditengah atau dibawah persilangan tumpangsari yang terbagi menjadi empat sesuai pola kiblat-papat-lima-pancer, Sultan selalu menghadap ke timur atau ke arah matahari terbit sama seperti letak bangsal Kencana, Prabayeksa, dan Gedong Jene yang menghadap ke timur. Hal tersebut sebagai simbol bahwa arah timur sebagai awal kehidupan atau sesuai dengan pola rotasi matahari yang terbit dari timur dan tenggelam di barat. Simbol ini mengingatkan manusia bahwa setiap kehidupan pasti ada awal dan ada akhir. Selaras dengan kepercayaan tersebut selain posisi duduk Sultan, hal lain yang juga memiliki konsep yang sama yaitu ketika proses mengkhitan putra mahkota dilakukan pada pagi hari ketika matahari mulai merekah dan dengan posisi menghadap ke timur. Bangsal Kencana sendiri diapit oleh dua bangunan limasan memanjang yakni Tratag Bangsal Kencana di sisi timur yang semula dipergunakan