MAKNA SIMBOLIS ORNAMEN PRABA DAN TLACAPAN PADA BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA.

(1)

BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

oleh Trusti Warni

11206241016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA JUNI 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

Bapak Sugito dan Ibu Sami tercinta yang mengasihi tiada henti & mencintai tanpa pamrih,

tulisan ini hanya sedikit ilmu yang anakmu persembahkan sebagai tanda terima kasih atas segala doa dan kasih sayang kalian.

Allah SWT yang telah menghimpun kami dalam naungan cinta kasih.. Okky Ferdyyanto & Alvaro Esa Caravagio F.


(6)

Kebahagiaan yang sejati bukan ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi adalah ketika kita selalu

bersyukur dengan apa yang kita miliki (penulis)


(7)

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Makna Simbolis Ornamen Praba dan Tlacapan pada Bangunan Kraton Yogyakarta. Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dorongan dan nasehat serta saran dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan laporan ini.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, saya menyampaikan terimakasih kepada Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Bapak Prof. Dr. Zamzani, M.Pd., dan Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa sekaligus Penasehat Akademik Bapak Drs. Mardiyatmo, M.Pd. yang telah memberikan kesempatan dan berbagai kemudahan kepada saya.

Rasa hormat, terimakasih, dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada pembimbing saya, Bapak Dr. Hajar Pamadhi, M.A (Hons) yang penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi disela-sela kesibukannya. Ibu Eni Puji Astuti, M.Sn. selaku motivator dan inspirator yang telah selalu bersedia direpotkan.

Bapak K.R.T Jatiningrat sebagai narasumber ahli yang telah banyak menginspirasi penulisan skripsi ini. Suatu kebanggaan besar serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh pihak Kraton Yogyakarta Hadiningrat yang sangat terbuka dan memfasilitasi segala keperluan demi kelancaran penulisan, terima kasih banyak. Terima kasih kepada Dinas Kebudayaan Yogyakarta dan Sekretariat Daerah D.I Yogyakarta atas bantuan dan kerjasamanya.

Yang paling utama adalah kepada Bapak dan Ibu tercinta dan saudara di Malang, yang selalu mengirimkan doa. Orang tua kedua bagi saya, Bapak Riyanto dan ibu Lasini terima kasih atas dukungan moral dan spiritual yang diberikan. Akhirnya Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan skripsi ini masih


(8)

(9)

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

MOTTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK... xvi

BAB I PENDAHULUAN... . 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Perasalahan ... 3

C. Tujuan ... 3

D. Manfaat ... 3

BAB II KAJIAN TEORI... . 4

A. Sejarah Berdirinya Kraton Yogyakarta ... 4

B. Arsitektur dan Tata Ruang Kraton Yogyakarta... 5

1. Bangsal Kencana... ... 8

2. Bangsal Tamanan... 11

C. Ornamen atau Ragam Hias... 12

1. Motif Geometris... 14

2. Motif Non-geometris... 19

D. Simbol... 22

E. Konsep Segitiga... 26

F. Konsep Raja dalam Kepercayaan Jawa... 27

G. Makrokosmos dan Mikrokosmos... 28

1. Nilai keteraturan Makrokosmos Sejati... 29

2. Nilai keteraturan Mikrokosmos Sejati... 30

H. Manunggaling Kawula-Gusti ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... . 33

A. Desain Penelitian ... 33


(10)

1. Dokumentasi... 33

2. Studi Pustaka... 34

3. Wawancara... 34

4. Analisis Data... 34

D. Instrument Penelitian... 35

E. Teknik Analisis Data... 35

1. Klasifikasi Data... 36

2. Analisis Data... 36

3. Interpretasi Data... 36

4. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... . 38

A. Hasil Penelitian ... 38

1. Sejarah Kraton Yogyakarta ... 39

2. Arsitektur Bangunan Kraton Yogyakarta ... 39

3. Ornamen atau Ragam Hias pada tiang Bangsal Kencana .. 46

B. Pembahasan... ... 54

1. Kajian Ornamen Praba pada tiang Bangsal Kencana ... 55

2. Kajian Ornamen Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana... 66

3. Makna Ornamen Praba dan Tlacapan bagi Kraton Yogyakarta... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... . 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79


(11)

Halaman

Gambar I : Istana Jawa sebagai Imago Mundi... 7

Gambar II : Ornamen Tlacapan dan Praba pada tiang Bangsal Kencana... 14

Gambar III : Tumpal pada kain batik dari Madura... 15

Gambar IV : Motif Untu Walang ... 16

Gambar V : Motif tumpal berisi pohon Hayat, Bali... 16

Gambar VI : Tumpal pada meriam perunggu Manado... 17

Gambar VII : Motif pucuk rebung... 18

Gambar VIII : Tumpal pada Candi Naga, Blitar-Jawa Timur... 18

Gambar IX : Anteviks candi... 19

Gambar X : Gunung sebagai ide bentuk segitiga... 22

Gambar XI : Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta... 41

Gambar XII : Pelataran Bangsal Kencana... 42

Gambar XIII : Bagian dalam Bangsal Tamanan... 46

Gambar XIV : Ornamen Saton pada tiang Bangsal Kencana... 47

Gambar XV : Ornamen Praba pada tiang Bangsal Kencana... 48

Gambar XVI : Ornamen Putri Mirong sebagai stilisasi Muhammad Rasul Allah... 50

Gambar XVII : Ornamen Sorotan sebagai stilisasi Muhammad... 51

Gambar XVIII : Ornamen Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana.... 52

Gambar XIX : Hiasan umpak pada tiang Bangsal Kencana... 53

Gambar XX : Ornamen Praba... 55

Gambar XXI : Praba dengan bentuk lebih cembung... 56

Gambar XXII : Antevik Candi... 57

Gambar XXIII : Ornamen Praba... 57 Gambar XXIV : Ornamen Praba pada tiang Silindris Bangsal


(12)

Gambar XXV : Kalpataru candi Prambanan... 61 Gambar XXVI : Praba pada tiang Bangsal Kencana... 61 Gambar XXVII : Ornamen Praba pada Bangsal Tamanan (kiri) dan

Praba pada Bangsal Kencana(kanan)... 62 Gambar XXVIII : Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana (kanan) dan

tlacapan pada Bangsal Pancaniti... 66 Gambar XXIX : Hiasan pengisi pada ornamen Tlacapan... 68 Gambar XXX : Tiang pada Bangsal Kencana sebagai axis mundi.. 73


(13)

Halaman Tabel 1 : Ornamen dan pelambangannya... 14 Tabel 2 : Ornamen pada seni sungging wayang... 15 Tabel 3 : Karakter dan simbolisai warna... 26


(14)

Halaman Bagan 1 : Skema Penelitian... 38


(15)

Halaman Lampiran 1 : Lembar Wawancara... 82 Lampiran 2 : Dokumentasi Foto... 88 Lampiran 3 : Surat Izin Penelitian... 89


(16)

BANGUNAN KRATON YOGYAKARTA

Oleh Trusti Warni NIM 11206241016

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbolis ornamen Praba dan Tlacapan pada bangunan Kraton Yogyakarta dilihat dari segi bentuk, warna, dan isen-isen.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskripstif kualitatif, yaitu mendeskripsikan makna simbolis ornamen Praba dan Tlacapan pada bangunan Kraton Yogyakarta. Objek material adalah pola dasar segitiga, objek formal adalah makna simbolis. Adapun subjek penelitiannya adalah ornamen Kraton Yogyakarta. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik dokumentasi, studi pustaka, wawancara, dan analisis data. Data dianalisis dengan cara diklasifkasikan, analisis, dan kemudian interpretasi data. Keabsahan data diperoleh dengan cara triangulasi antara peneliti, objek penelitian, dan sumber ahli.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) tinjauan bentuk untuk ornamen Praba menyerupai hiasan tumpal dan antevik candi, dengan menggunakan warna kuning emas, isen-isen ornamen Praba adalah pohon kalpataru, makna simbolis dari ornamen Praba yang berada pada tiang Bangsal Kencana secara asal katanya adalah berarti cahaya atau sinar. Cahaya/sinar yang dimaksud dapat diartikan sebagai simbol kepemimpinan sang Sultan yang diharapkan dapat memberi penerangan dan pengayoman terhadap rakyatnya. Cahaya/sinar harapan sebagai doa bagi Kraton Yogyakarta, (2) tinjauan bentuk ornamen Tlacapan memiliki bentuk dasar segitiga tumpal, dengan warna kuning emas, isen-isen berupa daun-daun dan bunga yang distilir, makna simbolis ornamen tlacapan adalah sinar yang kemudian menjadi lambang dari sinar atau cahaya Tuhan, Nur Illahi. Ornamen Tlacapan diartikan sebagai cahaya merepresentasikan sifat-sifat yang bercahaya pada bangsal Kencana Kraton Yogyakarta, (3) kedua ornamen Praba dan Tlacapan yang memiliki bentuk dasar segitiga sebagai reperesentasi Manunggaling Kawula-Gusti (bersatunya manusia dan Tuhan) bagi Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta. Kata kunci: ornamen Praba dan Tlacapan, Kraton Yogyakarta


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Yogyakarta merupakan kota pendidikan sekaligus kota budaya, dihuni masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Kondisi ini tidak mengurangi nilai eksitensi kebudayaan-kebudayaan lokal yang terdapat di Yogyakarta. Wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Notowidagdo (1996) terdiri dari tiga macam. Pertama kebudayaan sebagai koplek ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan aturan. Kedua kebudayan berwujud aktivitas dalam masyarakat. Ketiga kebudayaan yang berupa benda-benda hasil karya manusia.

Menurut Panduan Pelaksanaan Konvensi Warisan Budaya Dunia UNESCO dalam Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta (2009: 6), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan warisan budaya (cultural heritage) mencakup monumen, kumpulan bangunan, situs, dan saujana budaya (cultural landscape). Pengertian warisan budaya (cultural heritage) merujuk pada unsur budaya yang telah dihasilkan manusia serta diteruskan dari generasi sebelumnya ke generasi sekarang dan mendatang.

Kraton Yogyakarta sebagai salah satu warisan budaya yang harus dilestarikan di tengah era modernisasi. Benda-benda yang terdapat di dalam kraton syarat akan nilai sejarah dan makna simbolis. Kraton Yogyakarta merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas. Kraton sebagai tempat kediaman, kedudukan, dan kekuasaan raja merupakan ungkapan simbolis tentang kekuasaan


(18)

ideal dan kehidupan yang luhur. Kraton bukan sekedar ruang dan bangunan yang menakjubkan. Kraton Yogyakarta juga mengisyaratkan kesempurnaan hidup, baik secara fisik maupun spiritual (Kresna, 2011: 174).

Komplek Kraton Yogyakarta yang secara arsitektur merupakan salah satu bangunan yang megah memiliki hiasan berupa ornamen-ornamen yang indah. Fungsi ornamen yang terdapat pada bangunan keraton Yogyakarta bukan hanya sebagai penghias atau estetis saja namun juga memiliki fungsi simbolis yang berkaitan dengan filosofi dan kepercayaan di dalamnya. Menurut Tabrani dalam Sunaryo (2009: 2) menjelaskan bahwa dalam kesenian tradisional itu, karya seni rupa yang dicipta tidak semata untuk keindahan, sebaliknya tak ada benda pakai yang dibuat fungsional melulu. Aspek keindahan pada produk seni bukan sekedar memuaskan mata melainkan berpadu dengan kaidah moral, adat, kepercayaan, dan sebagainya sehingga bermakna sekaligus indah.

Segala sesuatu di dalam Kraton, dari arsitektur bangunannya, dari letak bangsal-bangsalnya, ukiran-ukirannya, hiasannya sampai pada warna gedung-gedungnya mempunyai arti. Pohon-pohon yang ditanam di Kraton Yogyakarta terdiri atas jenis-jenis yang ada maknanya. Konon semua itu mengandung nasihat agar manusia cinta dan menyerahkan diri kepada Tuhan YME, berlaku sederhana, berhati-hati dalam tingkah laku sehari-hari (Roem, 2011: 120).

Ornamen pada Keraton Yogyakarta merupakan cikal-bakal ornamen yang kemudian dipakai pada arsitektur rumah tradisional Jawa. Menurut Ismunandar (1990: 49-55) menjelaskan bahwa ragam hias ukiran pada tiang bangunan rumah tradisional Jawa yaitu Saton, Tlacapan, Mirong, Praba, dan Sorotan.


(19)

Salah satu khas kraton adalah ornamen Praba dan Tlacapan yang terdapat pada tiang bangunan Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta memiliki nilai sejarah dan fungsi simbolis yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Hal tersebut dikarenakan ornamen Praba dan Tlacapan sudah sering diteliti namun hanya sebatas dalam arti asal katanya saja. Maka dalam penelitian ini akan dibahas mengenai ornamen Praba dan Tlacapan secara lebih mendalam.

B. Fokus Permasalahan

Adapun fokus masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana makna simbolis ornamen Praba dan Tlacapan yang berada pada tiang bangunan Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui makna simbolis ornamen Praba dan Tlacapan yang berada pada tiang bangunan Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta?

D.Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan mengenai makna simbolis ornamen Praba dan Tlacapan khususnya yang terdapat pada bangunan Kraton Yogyakarta agar dapat digunakan sebagai bahan ajar untuk pembelajaran ornamen yang disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan.


(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Sejarah Berdirinya Kraton Yogyakarta

Pada tangal 7 Oktober 1756, Sri Sultan Hamengkubuwono I menempati Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, setelah sejak 5 April 1755 dimulai pembukaan hutan Pabringan. Penyelesaiannya ditandai dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal, yang menunjukkan tahun 1682 J dan yang mengungkapkan makna yang tersirat: Sari-Rasa-Tunggal (artinya: Hakikat Kesatuan) dan Sarira-Satunggal (yang berarti: Kepribadian). Selanjutnya tanggal 7 Oktober itu diperingati sebagai Hari Jadi Kota Yogyakarta (Damardjati, 1993).

Menurut Kresna (2011), kata keraton berasal dari kata ratu. Kata keraton diartikan tempat seorang raja memerintah, tempat tinggal, dan bersemayam. Fungsi dan arti keraton dalam arti yang lebih luas bermakna simbolis kesemestaan. Kekuasaan raja-raja di Jawa, seorang raja diposisikan sebagai penguasa semesta. Selanjutnya, fungsi seremonial keraton adalah sebagai wadah penyelenggaraan upacara yang menampilkan kewibawaan seorang raja. Pendapat lain menyatakan bahwa keraton adalah tempat bersemayamnya ratu-ratu, berasal dari kata ka-ratu-an atau juga disebut kedhaton yang berasal dari kata ka-datu-an. Akan tetapi keraton adalah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, falsafah, dan kebudayaan (Roem, 2011: 120).

Menurut Kustiniyati dalam Purwadi (2003: 24) dibangunnya kota Ngayogyakarta di Hutan Beringan hal ini ada sejarahnya. Tempat ini pernah merupakan kota kecil yang indah dimana ada istana pasanggrahan yang disebut


(21)

Garjitawati. Pada jaman pemerintahan Paku Buwono II pasanggrahan ini diberi nama Ngayogya dan dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para raja yang akan dimakamkan di Imogiri. Untuk mengabadikan nama itu, ibukota daerah Sutan Hamengkubuwono I diberi nama Ngayogyakarta. Ngayogyakarta berasal dari dua kata yaitu Yogya dan Karta. Yogya berarti pantas, terhormat, indah, bermartabat, mulia. Karta berarti perbuatan, karya, amal. Dengan demikian Ngayogyakarta berarti tempat indah yang selalu dibuat bermartabat dan terhormat.

Pemberian nama dan pemilihan tempat untuk ibukota kerajaan di jaman dulu, selalu dipersiapkan secara matang baik lahir maupun batin. Menurut Purwadi (2003: 25) menjelaskan bahwa membangun keraton bagi raja selalu diawali dengan penyelidikan seksama mengenai: letak daerahnya, hawa udaranya, kesuburan tanah, keindahannya, keamanannya baik terhadap bencana alam maupun terhadap serangan musuh, mengingat bahwa Sultan Hamengkubuwono I dalam sejarah selalu dikenal sebagai orang yang pandai serta ahli dalam membangun, tentu juga telah melakukan pengamatan lahir dan batin sebelum memerintahkan membangun Kraton Yogyakarta.

B.Arsitektur dan Tata Ruang Kraton Yogyakarta

Kraton Ngayogyakarta dibangun membujur dari utara ke selatan, dengan luas lokasi sekitar 1,5 km. Dikelilingi dengan tembok berbentuk bujur sangkar (P=1.000 m, L=1.000 m) tinggi= 3,5 m tebal tembok 3-4 m (Tjunay, 1991: 7). Tembok yang mengelilingi kraton sebagai benteng. Di dalam benteng terdapat


(22)

gang atau lorong-lorong yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan senjata amonisi.

Arsitektur Kraton Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi atau tidak lain adalah Sultan Hamengku Buwono I. Sangat jarang arsitektur suatu kerajaan ditangani oleh rajanya sendiri. Menurut Daliman (2001: 11) mnjeaskan bahwa Pangeran Mangkubumi telah dipercaya oleh kakandanya Paku Buwono II untuk membangun Kraton Kasunanan Surakarta guna menggantikan Kraton Kasunanan Kartasura yang rusak akibat geger Pacina pada tahun 1740.

Komplek bangunan Kraton Yogyakarta yang memiliki tatanan simetris dan memiliki pusat konsentris sebagai poros, menurut T. Behrend dalam Daliman menyatakan bahwa konsep Kraton Jawa seperti ini disebut sebagai Imago Mundi atau citra dunia, (Daliman, 2001: 16). Sebagai mandala Kraton Yogyakarta dipandang sebagai pusat replika alam semesta.


(23)

Gambar I: Istana Jawa sebagai Imago mundi (citra dunia) Sumber: T.E. Behrend, 1983

Daliman (2001: 15) menyatakan bahwa

Kraton Yogyakarta yang dipandang sebagai mandala, sebagai pusat dari replika alam semesta, kosmos. Rangkaian bangunan dan halaman Kraton yang terpencar dari pusat melambangkan daratan dan lautan. Kedua pintu gerbang utama menghadap utara dan selatan. Pintu gerbang utara enghadap gunung mrapi dan pitu gerbang selatan menghadap laut selatan tempat tinggal Dewi Laut Selatan, Nyai Roro Kidul yang menrut legenda bertahta di dasar Samudera Selatan.

Pusat konsentrik dari tata ruang keraton adalah Pelataran Kedaton yang merupakan tempat paling dalam dan keramat. Pelataran Kedaton merepresentasikan gunung keramat, tempat bersemayamnya para dewa. Di


(24)

pusatnya terdapat rumah segala pusaka milik Kraton, Prabayeksa, dan Bangsal Kencana, tempat dimana Sultan bertahta dan memerintah sepanjang tahun. Di tempat ini Sultan menerima tamu paling penting setara Residen dan Gubernur. (http://www.kamusilmiah.com/sejarah/keraton-ngayogyakarta-hadiningrat-tata-ruang-arsitektur-dan-maknanya/ )

Sepanjang sejarah, unsur vertikal dalam arsitektur (kolom,tugu, dan menara) telah dipergunakan untuk menandai peristiwa-peristiwa penting dan menciptakan titik tertentu di dalam ruang. Hal ini berkaitan dengan pandangan masyarakat saat itu mengenai adanya pusat dunia atau poros. Mereka mencari orientasi, pengkiblatan diri. Selain itu unsur vertikal juga berfungsi sebagai perantara (axis mundi), simbol penyatuan antara dunia atas dan dunia manusia, (Purnomo, 2015).

Menurut Pamadhi (2004: 8-9) menjelaskan bahwa ketika manusia menciptakan suatu karya baik berupa teknologi ataupun seni dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah alam. Keadaan alam di timur yang subur membuat masyarakatnya mencari manifestasi kekagumannya akan alam, akhirnya mereka menciptakan dewa sebagai manifestasi ketidakmampuan menanggapi misteri alam.

1. Bangsal Kencana

Bangsal Kencana bangunan persidangan utama dan pendopo yang paling dimuliakan di Kraton Yogyakarta terletak di tengah kompleks Kedhaton. Semula bernama Bangsal Alus yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwana I dan dibangun kembali secara total oleh Hamengku Buwana II. Sebelum


(25)

Perang Diponegoro pecah, semula di tempat ini diselenggarakan persidangan rutin tiap pekan oleh para pejabat dan bangsawan Kraton yang dipimpin oleh Sultan. Bangsal ini dipergunakan untuk menyambut tamu agung, menyelenggarakan upacara pernikahan dan khitanan, pementasan wayang orang dan tari serta untuk menghadap para abdi, pejabat dan kerabat Kraton saat Ngabekten Sawal, menghaturkan sembah dan memohon maaf seusai perayaan Idul Fitri. Di Bangsal Kencana Sultan bertahta menghadap ke timur atau ke arah matahari terbit yang melambangkan kekuasaan Sultan yang perkasa dan mecerahkan laksana matahari.

Bangsal ini diapit oleh dua bangunan limasan memanjang yakni Tratag Bangsal Kencana di sisi timur yang semula dipergunakan untuk pentas wayang orang kolosal khususnya pada masa Hamengku Buwana VIII (1921-1939) dan Tratag Prabayeksa di sisi barat yang biasa dipergunakan oleh para penari bedhaya sebelum berpentas di Bangsal Kencana. Pada masa Hamengku Buwana VII (1877-1921) semua tratag ini dibangun ulang dengan tiangtiang besi tuang impor yang serupa kolom klasik Eropa dengan hiasan sulur berbunga yang melilit dan atap metal bergelombang (Dinas Kebudayaan D.I.Yogyakarta : 2009).

Menurut Tnunay (1991: 47) Kencana mengandung arti makna simbolik Manungaling Kawula Lan Gusti. Bersatunya rakyat dengan raja dalam artian kualitatif. Mempunyai kehendak dan keinginan yang sama dalam upaya pencapaian suatu tujuan dengan masing-masing komponen tetap berada pada


(26)

posisi dan hakekatnya. Berperan aktif secara proporsional sebagai strategi pencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan melalui aturan dan santun.

Menurut Daliman, (2001: 17-18) secara etimologis kata Kencana pada nama bangunan bangsal Kencana mengandung makna sifat-sifat atau unsur-unsur yang bercahaya. Bangunan Bangsal Kencana menjadi lambang menyatunya antara kawula (hamba) dan Gusti (Tuhan), sang Cahaya Sejati.

2. Bangsal Tamanan

Bangsal Tamanan bangunan kecil berbentuk joglo lawakan lambangsari dengan atap bersusun dua dan atap bawah menempel pada atap di atasnya, terletak di utara Gedong Kuning dan di sebelah barat halaman Sri Manganti. Bangsal ini didominasi oleh warna biru tua, merah, putih dan keemasan yang berbeda dengan kebanyakan bangunan di Kraton. Ornamen yang unik dijumpai pada kerbil atau bidang pengaku hubungan antara gelagar dan saka guru yang di antaranya memiliki figur naga, burung hong dan kijang yang akrab dengan tradisi Tiongkok. Perbedaan ini menimbulkan gambaran bahwa Bangsal Tamanan berasal dari masa sebelum Kraton Yogyakarta dibangun. Beberapa cerita lisan menyebutkan bahwa Bangsal ini berasal dari Masa Kerajaan Majapahit.

Jadi arsitektur Kraton secara keseluruhan dipandang sebagai Imago mundi (citra dunia). Sebagai pusat dunia berada pada bagian pelataran Kedaton yang salah satunya terdiri dari bangunan Bangsal Kencana. Pada skala kecil seperti bangunan bangsal Kencana juga dipandang sebagai pola kosmos (alam semesta) dengan pusat kosmos berada pada saka guru yang kedudukannya tepat di tengah penyangga atap utama. Atap berbentuk segitiga bentuk joglo sebagai simbol


(27)

gunung Mahameru tempat tinggal dewa. Saka atau tiang dipandang sebagai axis mundi (perantara dunia atas dan dunia bawah), di sinilah posisi ornamen Praba dan tlacapan berada. Maka untuk mengetahui makna simbolis dari ornamen Praba dan tlacapan harus dilakukakan pembahasan mengenai posisi ornamen tersebut terletak.

C.Ornamen atau Ragam Hias

Kata oranamen berasal dari bahasa Latin ornare, yang artinya hiasan atau perhiasan (Soepratno, 1983: 11) berdasar arti kata tersebut berarti menghiasi. Menurut Gustami dalam Sunaryo (2009: 3) menjelaskan bahwa ornamen adalah komponen produk seni yang ditambahkan atau sengaja dibuat untuk tujuan sebagai hiasan. Jadi, berdasarkan pengertian di atas, ornamen merupakan penerapan hiasan pada suatu produk. Bentuk-bentuk hiasan yang menjadi ornamen fungsi utamanya adalah untuk memperindah benda produk atau barang yang dihias. Benda produk tersebut, tetapi setelah ditambahkan ornamen padanya diharapkan menjadikannya semakin indah.

Ornamen yang ditambahkan pada suatu produk memiliki nilai simbolik sesuai dengan tujuan dan gagasan pembuatnya, sehingga dapat meningkatkan status sosialkepada yang memiliki. Maka sesungguhnya ornamen tidak dapat dipisahkan latar belakang sosial budaya masyarakat bersangkutan. Umunya setiap ornamen memiliki ciri-ciri yang jelas dan berbeda anatar satu dengan yang lain sesuai dengan masyarakat pendukungnya, sebagai manifestasi dari sistem gagasan yang menjadi acuannya.


(28)

Menurut Kusmiati (2004: 17), arsitektur adalah bagian dari kebudayaan, dan nilai-nilai budaya diungkapkan melalui relief yang terpasang sebagai ragam hias (ornament) tidak terpisahkan dari bangunan. Kehadiran sebuah ornamen tidak semata sebagai pengisi bagian kosong dan tanpa arti, lebih-lebih karya ornamen masa lalu. Ornamen memiliki beberapa fungsi, yakni: (1) fungsi murni estetis, (2) fungsi simbolis, (3) fungsi teknis konstruktif, (Sunaryo, 2009: 4).

Fungsi murni estetis merupakan fungsi ornamen untuk memperindah penampilan bentuk produk yang dihiasi sehingga menjadi sebuah karya seni. Fungsi ornamen yang demikian itu tampak jelas pada produk-produk benda kerajinan atau seni kriya.

Fungsi simbolis ornamen pada umumnya dijumpai pada produk-produk benda upacara atau benda-benda pusaka dan bersifat keagaman atau kepercayaan. Ornamen yang menggunakan motif kala, biawak, naga, burung, atau garuda misalnya, mmiliki fungsi simbolis. Sebagai contoh pada gerbang Kemagangan di komplek keraton Yogyakarta, terdapat motif hias berbentuk dua ekor naga yang saling berbelitan bagian ekornya. Ornamen itu sebagai tanda titimangsa berdirinya keraton, juga merupakan simbol bersatunya raja dengan rakyat yang selaras dengan konsep manunggaling kawula-gusti dalam kepercayaan Jawa.

Secara struktural ornamen berfungsi teknis untuk menyangga, menopang, menghubungkan atau memperkokoh konstruksi, karena itu ornamen memiliki fungsi konstruktif. Tiang, talang air, dan bumbungan atap ada kalanya didesain dalam bentuk ornamen, yang memperindah penampilan karena fungsi hiasnya sekaligus juga berfungsi konstruktif. Adanya fungsi teknis konstruktif sebuah


(29)

ornamen terkait erat dengan produk yang dihiasinya. Artinya, jika ornamen itu dibuang maka berarti pula tak ada produk yang bersangkutan.

Dalam konteks seni rupa, klasifikasi seni ornamen tradisional Hindu-Jawa di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) seni ornamen dari benua atas yang diwujudkan dalam bentuk binatang burung. Burung sebagai simbol roh atau lambang kematian dan kebangkitan kembali, atau dewa dunia atas, khusus burung garuda di Jawa maknanya sebagai kendaraan dewa Wisnu; (2) seni ornamen dari benua bawah yang ditampilkan dalam bentuk binatang ular. Ular merupakan binatang golongan rendah, simbol kemakmuran dan kesejahteraan, atau lambang perempuan; (3) seni ornamen tanaman, sulur-suluran, tumpal, manusia, dan binatang lainnya disebut dengan benua tengah. Biasanya divisualisasikan dalam pohon hayat atau gunungan (kekayon). Kelompok ragam hias ini melambangkan kesatuan, keesaan tertinggi, dan sumber kehidupan manusia, (Marizar, 2013: 124)

Di dalam seni rupa Indonesia tiap-tiap bentuk ornamen mempunyai arti, misal pada seni kerajinan batik, seni ukir, sungging dan sebagainya, dimana ornamen-ornamen tersebut memeiliki arti sebagai berikut.

Tabel 1. Ornamen dan perlambangannya Ornamen Melambangkan Swastika Alam semesta Garuda Dunia atas Burung Merak Kendaraan dewa Pohon Hayat/kehidupan Lidah api kesaktian

Ular Dunia bawah


(30)

Tabel 2. Ornamen pada seni sungging wayang Lukisan Melambangkan

Burung Dunia atas

pohon Dunia tengah (madya pada) Ular Dunia bawah

Sumber: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud

Dalam penelitian ini ornamen yang akan dikaji adalah Ornamen Praba dan Tlacapan yang berada pada tiang Bangunan Kraton Yogyakarta khususnya Bangsal Kencana. Agar memahami bentuk dan makna simbolis yang akan dikaji dari ornamen Praba dan Tlacapan maka terlebih dahulu harus memperhatikan pembagian jenis-jenis yang terdapat pada ornamen.

Gambar II: Ornamen Tlacapan dan Praba pada tiang Bangsal Kencana Sumber: Trusti, 2015

a. Ornamen motif Geometris

Motif Geometris merupakan motif tertua dalam ornamen karena sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Motif geometris menggunakan unsur-unsur rupa

Ornamen Tlacapan

Ornamen Praba


(31)

seperti garis dan bidang yang pada umumnya bersifat abstrak artinya bentuknya tidak dapat dikenali sebagai bentuk-bentuk objek alam. Motif geometris berkembang dari bentuk titik, garis, atau bidang yang berulang, dari yang sederhana sampai dengan pola yang rumit.

Sejumlah ornamen geometris nusantara antara lain adalah meander, pilin lereng, banji, kawung, jlamprang, dan tumpal. Berikut adalah penjelasan mengenai ornamen geometris dengan pola dasar segitiga atau tumpal yang mirip dengan bentuk ornamen Praba dan Tlacapan pada tiang Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta.

Tumpal memiliki bentuk dasar bidang segitiga. Bidang-bidang segitiga itu biasanya membentuk pola berderet, sering digunakan sebagai ornamen tepi. Menurut Sunaryo (2009: 30) menjelaskan bahwa motif tumpal banyak dijumpai pada batik, terutama batik pesisir yang banyak mendapat pengarauh dari Cina. Motif tumpal pada kain selain diterapkan sebagai hiasan pinggir, juga dipakai pada bagian kain yang disebut kepala.

Gambar III: Tumpal pada kain batik dari Madura

Sumber : http://batikunik.com/product/detail/20450/kain-sarung-batik-madura-motif-kepala-tumpal.html, 2015


(32)

Menurut Sunaryo (2009) menjelaskan bahwa di Jawa khususnya Yogyakarta mengenal motif tumpal pada kain batik dengan sebutan untu walang (gigi belalang).

Gambar IV: Motif untu walang

Sumber: http://4407399_untuwalang2_kpbsmall.com

Dalam berbagai variasi, motif tumpal yang berbentuk dasar segitiga sama kaki diisi oleh aneka tumbuh-tumbuhan, dan ada juga yang diisi dengan penggayaan lidah api. Menurut Van der Hoop (1949) menjelaskan bahwa terdapat juga motif tumpal dari Bali yang dihiasi dengan bentuk pohon hayat (kekayon).

Gambar V: Motif tumpal berisi pohon hayat, Bali Sumber: Van der Hoop, 1949


(33)

Ragam hias tumpal juga ditemukan pada benda pakai seperti yang disebut pinggir tumpal adalah deretan segitiga sama kaki. Menurut Van der Hoop (1949) menjelaskan bahwa terdapat jenis hiasan tumpal berselimpat pada meriam perunggu di Manado bentuknya bagian garis tepi segitiga sudah dihilangkan jadi hanya tinggal sulur dan ukel.

Gambar VI: Tumpal pada meriam perunggu Manado Sumber: (Van der Hoop, 1949).

Di beberapa daerah motif berbentuk dasar segitiga ini disebut dengan motif pucuk rebung. Menurut Sunaryo (2009) menjelskan bahwa motif pucuk rebung melambangkan sebuah pesan agar orang hidup hendaknya berguna, sebagaimana pucuk rebung, yakni tunas bambu yang dapat tumbuh menjadi rumpun bambu dan berguna bagi manusia.


(34)

Gambar VII: Motif pucuk rebung

Sumber: http://agungrmdhn.wordpress.com/arab-melayu

Ragam hias tumpal selain terdapat pada benda peralatan juga terdapat pada seni bangunan arsitektur. Menurut Van der Hoop (1949: 26) menjelaskan bahwa sekitar abad ke-14 hiasan tumpal terdapat pada candi Naga di Blitar Jawa Timur. Ragam hias tumpal tersebut terdapat pada bagian pintu masuk candi dan diisi dengan motif sulur-sulur.

Gambar VIII: Tumpal pada Candi Naga, Blitar- Jawa Timur Sumber : http://arsiparis.blogspot.com/2014/05/batik-jawa-timur.html, 2015

Ragam hias berbentuk segitiga pada candi juga disebut Antevik. Hiasan antevik biasanya dijumpai pada bagian tubuh, pagar langkan, hingga atap candi. Dalam buku Balai Konservasi Peninggalan Borobudur (2010) menjelaskan bahwa umumnya anteviks pada candi berbentu segitiga, namun ada juga yang berpola


(35)

dasar segitiga yang terdiri dari bentuk segitiga berjajar dimana segitiga pada bagian tengah lebih besar daripada dua segitiga lainnya. Hiasan antevik sebagai simbol dari gunung Mahameru yang merupakan tempat bersemayamnya para dewa.

Gambar IX: Anteviks Candi

Sumber: http://nyariwatu.blogspot.com/2010/12/candi-pendem-sengi.html

b. Ornamen Non-geometris

Selain ornamen geometris juga terdapat ornamen non-geometris yaitu ornamen yang memiliki bentuk-bentuk bebas atau bentuk alam seperti motif binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda alam manusia benda-benda teknologi dan kaligrafi. Menurut Van Der Hoop dalam bukunya IndonesischeSiermotieven, Ragam-Ragam Perhisan Indonesia, Indonesia Ornamental Design (1949:274-285) menjelaskan beberapa ornamen non-geometris adalah Pohon Hayat dan beberapa turunan bentuknya yang memiliki bentuk dasar segitiga, yang kemudian akan dijelaskan untuk melihat kedekatan bentuk dengan ornamen Praba dan Tlacapan.


(36)

1) Pohon Hayat

Pohon Hayat sebagai lambang keesaan tertinggi, jumlah-kesatuan yang dapat disamakan dengan Brahman dalam agama Hindu dan Tao dalam filsafat Tionghoa, (Van der Hoop, 1949). Pohon hayat adalah sumber semua hidup kekayaan dan kemakmuran dan oleh karena itu sering dihiasi dengan permata, kain-kain dan sebagainya.

Di Indonesia khususnya Sumatera Utara, pohon hayat masih dapat dijumpai sebagai pohon keramat ditanam di tengah-tengah desa di atas sebuah panggung kecil yang diberi batu. Di atas panggung tersebut dirauh tengkorak-tengkorak kerbau yang dikorbankan. Pada waktu ada peralatan-peralatan sering juga didirikan pohon hayat, dihiasi dengan kain dan disinilah kerap kali tanduk kerbau diikatkan.

Pada beberapa suku orang Dayak dijumpai pembagian serba dua : benua atas (burung enggang), benua bawah (ular air), serta keesaan Tuhan digambarkan dengan pohon hayat (Van der Hoop, 1949:274). Sebuah ukiran kayu dari Cirebon, hampir sama yaitu konsep dunia atas digambarkan dengan burung, dunia bawah dengan ular, dan keesaan Tuhan dengan pohon hayat, yang berbeda adalah pohon hayat digambarkan sudah hampir menyerupai daun, hampir mirip dengan gunungan. Di sini digambarkan bahwa pohon hayat keluar dari sebuah bunga teratai yang berdiri di atas gunung.

Pohon Hayat atau Kalpadruma atau Kalpawreksa atau The Life Tree atau The Wishing Tree atau Pohon Surga atau Kekayon Gunungan, menunjukkan suatu elemen tentang adanya hubungan antara Indonesia dengan kebudayaan lama Asia.


(37)

Pohon Hayat dalam Islam mungkin dikenal pula dengan sebutan Syajaratul Khuldi (Tjandrasasmita, 2009).

2) Pohon hayat, Gunungan

Gunungan dalam permainan wayang kulit ditaruh di depan kelir sebelum dan sesudah permainan, juga diantara babakan-babakan. Menururt Van der Hoop (1949) menjelakan bahwa gunungan menyerupai bentuk kipas. Gunungan (pegunungan) yang disebut juga kekayon yang berasal dari kata kayu. Gunungan ini melambangkan kesatuan, keesaan, sama denga pohon hayat. Di dalam gunungan terlihat digambarkan berbagai ragam hias, tetapi ragam hias yang utama yaitu pohon yang berada di tengah-tengah.

3) Gunung

Pemujaan gunung adalah umum pada orang-orang Indonesia kuno, dan sekarang juga masih terdapat sisa-sisanya, seperti pemujaan Gunung Agung di Bali, Gunung Tengger di Jawa Timur, Gunung Merapi di Jawa Tengah, dsb. Dalam agama Hindu gunung-agung tempat kediaman dewata itu disebut Mehru. Mehru biasanya diwujudkan sebagai puncak yang tinggi dikelilingi oleh beberapa puncak yang lebih rendah. Sebagai contoh kain dodot di Yogyakarta dengan memakai gunung sebagai ragam hias utama.


(38)

Gambar X: Gunung sebagai ide bentuk segitiga

Sumber : http://zariyat.blogspot.com/sejarah-letusan-gunung-merapi.html, 2015 4) Mahameru

Van der Hoop (1949) menjelaskan bahwa Mahameru pada sebuah kain yang berasal dari Yogyakarta yang disebut dodot. Polanya terdiri dari berbagai ragam-ragam hias. Di bagian atas dan bawah, ragam hias garuda yang memiliki dua sayap dan dua ekor. Di kanan dan kiri terdapat lar, di tengah-tengahnya terdapat gunung. Pola batik majemuk yang seperti demikian disebut semen.

D.Simbol

Menurut Poespoprodjo (2004: 117), menjelaskan bahwa kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu sumballo yang berarti menghubungkan menggabungkan. Simbol dapat berupa gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan


(39)

dengan simbol-simbol yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Herusatoto (1991: 12) menerangkan mengenai simbol.

Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad. Lambang-lambang purba seperti api, air, matahari, ikan dan sebagainya mempunyai fungsi yang kadang religius, kadang-kadang seni dan kadang-kadang-kadang-kadang teknis semata-mata sebagai alat komunikasi. Sebetulnya aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dan dalam lingkungan kebudayaan kuno memang berjalan bersama-sama. Contoh: huruf hiroglif di Mesir kuno. Huruf-huruf tersebut menggambarkan sesuatu, jadi menggandung berita, tetapi tidak lewat huruh-huruf biasa, satu huruf satu bunyi misalnya, melainkan lewat lambang-lambang keagamaan kuno yang sekaligus merupakan ekspresi seni yang indah sekali.

Jadi simbol digunakan untuk menjelaskan makna, menyampaikan berita, juga sebagai peninggalan bukti sejarah. Untuk memperjelas pengertian mengenai simbol akan dijelaskan perbedaan tentang isyarat, tanda-tanda, lambang atau simbol yang selama ini masih sering bertukar pengertian. Menurut Herusatoto (1991) adapun perbedaan dari ketiganya adalah.

1) Isyarat dapat berupa bentuk-bentuk

Gerak tubuh/anggota badan, suara-suara/bunyi, sinar, asap, misalnya isyarat-isyarat morse, kibaran-kibaran bendera.

2) Tanda-tanda dapat berupa benda-benda atau bentuk-bentuk

Contoh: tugu-tugu jarak jalan (kilometer, tanda lalu lintas, tanda-tanda pangkat/jabatan). Tanda bisa berupa hal atau keadaan seperti, ada awan tanda akan hujan, ada asap tanda ada api.

3) Lambang atau simbol dapat berupa benda-benda atau bentuk

Contoh: lambang partai, palang merah, Garuda Pancalisa, salib, bulan bintang, simbol organisasi PBB, Departemen, sekolah/universitas. Lambang bisa


(40)

berupa hal atau keadaan seperti misalnya: seloka, pepatah, candra sengkala, kisah/dongeng.

Simbol dapat menjadi bagian terkecil dari sebuah isyarat dan tanda, sementara isyarat dan tanda bisa jadi mengandung makna simbolis di dalamnya. Warna dapat juga digunakan sebagai simbol. Pada tradisi masyarakat Yogyakarta warna sesuatu benda dapat dipakai untuk mengungkapkan isi hatinya, seperti di Kraton Yogyakarta. Warna digunakan sebagai simbol suatu yang ingin diungkapkan, makna dibalik suatu benda. Dalam buku yang berjudul Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976/1977: 253) menerangkan bahwa terdapat beberapa warna yang digunakan sebagai simbol oleh Kraton Yogyakarta.

1) Warna kuning adalah simbol segala sesuatu yang mengandung makna ketuhanan. Pada upacara-upacara adat sering dipakai cengkir gading. Di kraton Yogyakarta terdapat bangunan yang disebut Gedong Kuning.

2) Warna merah melambangkan keberanian. Bendera negara RI merah putih, dapat pula warna merah diartikan marah misalnya pada waktu seseorang sedang marah ia lalu berkirim surat dengan tinta merah.arti lain lagi merah sebagai tanda bergembira.

3) Warna gelap tanda berkabung. Bunga tanda bela sungkawa biasanya berwarna gelap.

4) Warna hijau gadung Mlati menurut kepercayaan masyarakat Jawa Tengah adalah warna kesukaan Nyai Roro Kidul.


(41)

6) Warna hijau lambang ramah tamah, tentrem 7) Warna hitam tanda keabadian

Menurut Sanyoto (2010: 46-51) mendeskripsikan karakter dan simbolisasi warna adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Karakter dan Simbolisasi Warna

Warna Karakter Simbol

Kuning Terang, gembira, ramah, supel, riang, cerah, hangat

Kecerahan, kehidupan, kegembiraan, kemenangan, kemeriahan, peringatan

Kuning Emas agung Keagungan, kemewahan,

kejayaan, kemegahan, kemuliaan, dan kekuatan Jingga/ Orange Dorongan, semangat, merdeka,

anugrah, bahaya

Kemerdekaan, penganugerahan,

kehangatan, keseimbangan, Merah Menaklukkan, ekspansif,

dominan (berkuasa)

Nafsu primitif, marah, berani, perselisihan, bahaya, perang, seks, kekejaman, kesadisan

Ungu Keangkuhan, kebesaran, kekayaan

Kebesaran, kejayaan, keningratan,

kebangsawanan,

kebijaksaan, pencerahan Biru Dingin, pasif, melankoli, sayu,

sendu, sedih, tenang, berkesan jauh, mendalam, tak terhingga, cerah

Keagungan, keyakinan, keteguhan iman, kesetiaan, kebenaran, kemurahan hati, kecerdasan, perdamaian, stabilitas, keharmonian, kesatuan, kepercayaan, keamanan

Hijau Segar, muda, hidup, tumbuh Kesuburan, kesetiaan, keabadian, kebangkitan, kesegaran, kemudaan, keremajaan, keyakinan, kepercayaan, keimanan, pengharapan, kealamian, lingkungan, keseimbangan, dll

Putih Positif, merangsang, cerah, tegas, mengalah

Cahaya, kesucian, kemurnian, kejujuran,


(42)

ketulusan, kedamaian, kebenaran, kesopanan, kehalusan, kelembutan, kewanitaan, kebersihan, simpel, kehormatan

Hitam Menekan, tegas, mendalam, depresive

Kesedihan, malapetaka, kesuraman, kemurungan, kegelapan, kematian, teror, kejahatan, kesalahan, rahasia, ketakutan, seksualitas, penyesalan, amarah, duka cita

Abu-abu menyenangkan Ketenangan, kebijaksanaan, keredahhatian, turun tahta, suasana kelabu, keragu-raguan

Coklat Kedekatan hati, sopan, arif bijaksana, hemat, hormat

Kesopanan, kearifan, kebijasanaan, kehormatan Sumber: Sanyoto, 2010

E.Segitiga

Bentuk segitiga yang meruncing dapat menjadi suatu penunjuk arah, untuk itu kesan yang timbul adalah pencapaian tujuan. Bentuk ini dapat menyimbolkan stabilitas namun dapat pula sebaliknya. Dalam spiritualitas bentuk ini digunakan untuk mewakili pengenalan diri, dan pencerahan, (Santoso, 2012).

Bentuk dasar segitiga pada standar rambu-rambu K3 digunakan sebagai simbol peringatan yang didukung dengan warna kuning dan garis tepi (outline) hitam. Menurut Hornung dalam Santoso (2012) menjelaskan bahwa segitiga merupakan lambang dari konsep Trinitas. Sebuah konsep religius yang mendasarkan pada tiga unsur alam semesta, yaitu Tuhan, manusia dan alam.


(43)

F. Konsep Raja dalam Kepercayaan Jawa

Negara kosmis sangat erat hubungannya dengan konsep raja yang bersifat dewa, yaitu anggapan bahwa raja adalah titisan dewa atau keturunan dewa. Konsep raja-dewa atau ratu-binathara ini pada periode kerjaan Islam tidak menempatkan raja pada kedudukannya yang sama dengan Tuhan, melainkan sebagai khalifatullah, sebagai wakil Tuhan di dunia. Namun demikian, penurunan kedudukan ini tidak mengubah kekuasaan raja terhadap rakyatnya, (Purwadi: 2003).

Kerajaan tradisional Jawa yang disebut Mataram, dalam konsep politiknya mengakui bahwa raja merupakan penguasa yang memiliki dasar sebagai dewa-raja atau kalifatullah. Raja sebagai orang yang dinilai mempunyai kharisma serta kekuatan melebihi manusia biasa, memiliki kekuasaan yang amat besar terhadap kerabat dan rakyatnya. Menurut Purwadi (2007: 524), adanya konsep dewa-raja pada masa Hindu Jawa yang memandang raja sebagai inkarnasi dewa, berlanjut pada masa Islam dalam pengertian kalifatullah yaitu wakil Allah di dunia.

Menurut Dwiyanto (2010: 23), menjelaskan bahwa salah satu cara untuk merebut kekuasaan, ialah melalui pemusatan tenaga kosmis. Namun tenaga itu tidak dapat begitu saja diambil, melainkan harus diberi. Menurut faham Jawa hal itu sering terjadi melalui semacam pengalaman panggilan. Orang yang dipanggil barangkali sedang bersemedi di puncak gunung atau di tengah hutan. Tiba-tiba ia dijatuhi wahyu ilahi, sering berbentuk cahaya biru dan bundar, melayang di langit, dan turun di atas orang yang terpanggil (ndaru, pulung).


(44)

Menururt Benedict Anderson dalam Marizar (2013: 91-92), menjelaskan bahwa wujud ideal kekuasaan jawa tercermin dalam kesatuan politis yang dikombinasikan secara terpadu dengan konsep kekuasaan jagat raya. Hal itu tampak jelas pada gelar yang digunakan raja keturuanan mataram, seperti Hamengku Buwono, Paku Buwono, mengindikasikan bahwa konsep kekuasaanya tidak terlepas dengan kekuasaan jagat raya. Di dalam kontek kekuasaan tradisional jawa terutama di Kraton Yogyakarta dapat disimak bahwa kekuasaan raja memiliki keterkaitan dengan jagat raya.

G.Makrokosmos dan Mikrokosmos

Dalam masyarakat dengan konteks budaya mitis terdapat cara berpikir yang beradasarkan kesatuan kosmos. Mikrokosmos (manusia), makrokosmos (semesta), dan metakosmos (alam lain) adalah satu keutuhan, (Sumardjo, 2000: 333). Dasar berpikir seperti ini bukan hanya monopoli kepercayaan lokal Indonesia, tetapi juga dalam agama-agama besar di dunia. Yang berbeda hanya konsep tentang mikrokosmos, makrokosmos, dan metakosmos.

Manusia sebagai mikrokosmos memiliki eksistensi lahiriah, jasmaniah, dan batiniah. Eksistensi lahiriahnya melambangkan kekacauan akibat nafsu-nafsunya, yaitu nafsu yang tak terkendali yang membuat hidup tidak teratur. Eksistensi batiniahnya melambangkan suatu kosmos atau keteraturan, sesuai dengan kosmos tertinggi yang merupakan dasar moralitas manusia.

Pandangan tentang makrokosmos mendudukan manusia hanya sebagai bagian dari semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukannya dalam


(45)

jagad raya ini (Sumardjo, 2000: 334). Manusia harus tau diri atau sadar dimana tempat dan perannya dalam tata masyarakat dan tata alam semesta.

1. Nilai keteraturan makrokosmos sejati

Untuk dapat mencapai keabadian sejati, yang dijabarkan menjadi kemapanan sejati, manusia harus hidup sesuai tatanan Tuhan yakni tatanan kosmos atau cosmic order. Dengan demikian nilai keabadian sejati amat erat kaitannya dengan nilai keteraturan makroksmos sejati. Nilai makroksmos sejati adalah nilai ketergantungan tata kosmos yang sempurnna. Keteraturan makrokosmos sejati adalah keteraturan yang utuh, menyatu atau terpadu, benar, suci, adil, angung dst.

Menurut Amir dalam bukunya yang berjudul Nilai-nilai Etis dalam Wayang (1991: 147-148), nilai keteraturan makroksmos sejati dapat dijabarkan menjadi atau dikaitkan dengan nilai-nilai :

a. Kesadaran sejati akan tata kosmos.

1) Kesadaran sejati akan alam semesta dan seisinya.

2) Kesadaran sejati akan lingkungan hidup (keluarga, masyarakat, lingkungan, dan alam).

3) Kesadaran sejati akan manusia lain (anggota keluarga, masyarakat, dan dunia). 4) Kesadaran sejati akan diri sendiri dan kaitannya dengan manusia lain,

lingkungan hidup, alam semesta dan tata kosmos.

b. Kesadaran sejati akan tempat manusia dalam tata kosmos. 1) Kesadaran sejati akan tempat manusia dalam alam semesta. 2) Kesadaran sejati akan tempat manusia dalam lingkunga hidup.


(46)

3) Kesadaran sejati akan tempat diri sendiri dalam tata kosmos alam semesta dan lingkungan hidup.

4) Kesadaran sejati akan tempat ruang dan waktu. c. Kesadaran sejati antara manusia dan tata kosmos.

1) kesadaran sejati akan manusia sebagai wakil Tuhan diatas bumi untuk menata kehidupan dalam tata kosmos.

2) kesadaran sejati akan kewajiban manusiaa untuk menjaga hubungan baik antara manusia dan alam semesta .

3) kesadaran sejati akan tugas manusia untuk menjaga kelestarian alam semesta dan lingkungan hidup.

4) kesadaran sejati akan kewajiban diri sendiri kepada alam semesta dan lingkungan hidup.

d. kesadaran sejati akan hukum alam semesta. 1) kesadaran akan hukum kesatuan alam.

2) kesadaran sejati akan hukum keseimbangan dan keselaran alam.

3) kesadaran sejati akan hukum saling ketergantungan dan saling membutuhkan. e. kesadaran sejati akan hukum lingkungan hidup (hukum internasional, regional,

nasional, lingkungan, keluarga).

f. rasa wajib sejati untuk menuruti hukum alam dan hukum lingkungan hidup. 2. Nilai keteraturan mikrokosmos sejati.

Untuk mencapai keteraturan tata kosmos manusia harus dapat mengatur dirinya sendiri dulu karena nilai keteraturan tata kosmos amat erat hubungan dengan nilai keteraturan mikrokosmos.


(47)

Nilai keteraturan tata mikrokosmos sejati adalah keteraturan mikrokosmos yang sempurna. Keteraturan mikrokosmos sejati adalah keteraturan mikrokosmos (manusia yang utuh menyatu, benar, adil, agung).

Nilai keteraturan mikrokosmos dapat dijabarkan atau dikaitkan dengan nilai-nilai: a. Keimanan, ketakwaan dan ketaatan sejati kepada kehendak Tuhan dan

kepastian Tuhan atas manusia (kodrat manusia) dan atas diri sendiri.

b. Kesadaran sejati atas fitrah manusia sebagai makhluk hidup yang amat komplek.

c. Kesadaran sejati atas keberadaan diri (kekuatan-kekuatan dan kelemahan diri). d. Rasa wajib sejati untuk menuruti kehendak Tuhan dan untuk menguasai dan

untuk mengembangkan diri.

Mikrokosmos diartikn sebagai (jagad cilik) manusia, makrokosmos adalah alam beserta isinya. Jadi kedudukan mikrokosmos manusia harus senantiasa menjaga keselarasan dengan makrokosmos alam semesta sebagai wujud kesadaran dan tanggung jawab bahwa manusia sebagai wakil Tuhan untuk menata kehidupan dalam tata kosmos.

H.Manunggaling Kawula-Gusti

Konsep Manunggaling Kawula-Gusti diperkenalkan oleh Syekh Siti Jenar. Konsep ini menjadi sangat kontroversi karena dimaknai keliru, hingga menjadikan Syekh Siti Jenar diadili oleh para wali. Filosofi Manunggaling Kawula-Gusti adalah konsep mengenal diri sama dengan mengenal Tuhan, dijelaskan dalam Al-Quran dalam surat Al A’raf/7: 172 tentang alasstu birabbikum? (Adakah Aku ini


(48)

sebagai Tuhanmu?) secara spontan seluruh roh manusia menjawab qaluu bala (benar ya Allah, engkaulah Tuhan kami), (Sholikin, 2008: 311).

Pembahasan dalam penelitian ini adalah Manunggaling Kawula-Gusti yang dipercaya oleh Kraton Yogyakarta dan dipakai sebagai konsep berdirinya bangsal Kencana. Bawasannya Manunggaling Kawula-Gusti ini diyakini dalam arti bukan secara fisik namun lebih ke dalam hati sanubari setiap manusia. Bersatunya kawula (manusia) dengan Gusti (Tuhan) merupakan ajaran penting yang diharapkan tertanam dalam hati dan setiap tindakan yang dilakukan oleh Kraton Yogyakarta.


(49)

METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif kualitatif, yaitu secara khusus data yang diperoleh bersifat deskriptif. Penelitian ini memandang fenomena di lapangan sebagai satu dari sejumlah faktor yang saling terkait dan saling tergantung. Peneliti menganalisis Makna Simbolis Ornamen Praba dan Tlacapan pada Bangunan Kraton Yogyakarta. Setelah data tersebut diolah dan dianalisis selanjutnya dideskripsikan dan disimpulkan.

B.Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian terdiri dari 2 jenis yaitu: (a) objek material adalah pola dasar segitiga. (b) objek formal adalah makna simbolis yang terkandung. Sementara adapun subjek penelitiannya adalah ornamen Kraton Yogyakarta.

C.Teknik Pengumpulan Data

Menurut Suharsimi (1999: 13), teknik pengumpulan data adalah cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mencari dan mengumpulkan data. Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah.


(50)

1. Teknik Dokumentasi

Merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang melihat berbagai dokumen berupa catatan, katalog, gambar/foto yang ada diberbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian ini. Adapun pendokumentasian dilakukan di Kraton Yogyakarta dengan mengambil beberapa gambar/ foto ornamen Praba dan Tlacapan pada tiang bangsal Kencana.

2. Studi Pustaka

Studi Pustaka dimaksudkan untuk memperoleh data yang diperlukan sebagai pendukung berupa kajian pustaka, catatan dan gambar sebagai penunjang kelengkapan data untuk kemudian dianalisis.

3. Wawancara

Melalui wawancara dapat mengumpulkan data mengenai makna ornamen Praba dan Tlacapan pada bangunan Kraton Yogyakarta. Wawancara dilakukan dengan cara mengadakan pertemuan langsung secara berulang-ulang antara peneliti dengan tokoh yang ada di keraton yang paham mengenai ornamen-ornamen yang berada di dalamnya yaitu K.R.T Jatiningrat.

Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang memungkinkan perolehan data akurat. Hal ini karena data diperoleh dari narasumber yang dapat dipercaya dan memiliki pengetahuan tentang pokok permasalahan yang sedang diteliti.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil dokumentasi dan studi pustaka kemudian dianalisis dengan cara diklasifikasikan untuk mempermudah memperoleh


(51)

pengertian dan memahami artinya. Kemudian data dari hasil wawancara dibandingkan dengan data hasil dari dokumentasi dan studi pustaka, maka analisis dari ketiga sumber data akan menghasilkan data yang lebih lengkap dan akurat. 2. Instrument Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti sendiri. Hal ini dirasa sesuai dengan pernyataan Ghony (2012: 95) yang menjelaskan mengenai human Instrument dalam penelitian kualitatif dipahami sebagai alat yang dapat mengungkapkan fakta-fakta lokasi penelitian. Tidak ada alat yang paling elastis dan tepat untuk mengungkapkan data kualitatif kecuali peneliti itu sendiri. Artinya manusia sebagai human instrument sangat memudahkan proses penelitian di lapangan karena sifat manusia yang adaptif dan dapat bersikap fleksibel dalam memaknai segala gejala yang terjadi di lapangan.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses menyusun, mengkategorikan, mencari pola atau tema, dengan maksud untuk memahami maknanya (Nasution, 2003: 142). Analisis data dalam metode penelitian kaualitatif dilakukan secara terus-menerus dari awal hingga akhir penelitian dengan induktif, dan mencari pola, model, tema dan teori. Menurut Sugiyono, (2011: 245) menjelaskan bahwa suatu analisis data penelitian dilakukan semenjak peneliti merumuskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, selama di lapangan dan sampai penulisan hasil penelitian.


(52)

Adapun analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Klasifikasi Data

Klasifikasi data merupakan kegiatan penyusunan data secara bersistem dalam kelompok/ golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan. Data yang diperoleh akan dikelompokkan untuk mempermudah analisa data.

b. Analisis Data

Analisis data adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaah bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

c. Interpretasi Data

Pandangan teoritis terhadap sesuatu, tafsiran, pemberian kesan. Interpretasi menurut filsuf Paul Ricoeur dalam Poepoprodjo (2004: 120) adalah kerja pikiran yang terdiri dari menguraikan arti tersembunyi di dalam arti yang tampak, mengungkap aras-aras pengertian yang tercakup di dalam pengertian harfiah. Di dalam interpretasi, kemajemukan arti dibuat tampak.

d. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data adalah ketekunan pengamatan. Ketekunan pengamatan dilakukan guna menjaga kevalidan data. Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan triangulasi yaitu dengan pengecekan atau pembahasan yang lebih mendalam antara peneliti, objek penelitian, dan sumber ahli. Langkah ini akan membantu memberi informasi yang mendukung, dengan tujuan untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran data.


(53)

Adapun gambaran tentang proses jalannya penelitian dapat digambarkan sperti pada bagan di bawah ini.

Latar Belakang Masalah

Dokumentasi, Studi Pustaka DATA Wawancara

Analisis

Bagan 1. Skema Penelitian


(54)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

1. Sejarah Kraton Yogyakarta

Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, tepatnya pada hari Sabtu Pahing 15 Februari 1755, diadakan pertemuan antara Sunan Paku Buwana III dengan Sultan Hamengku Buwana I di desa Lebak Jatisari. Sebulan kemudian pada hari Kamis Pon, 29 Jumadilawal, Be 1680 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 13 Maret 1755 Sultan Hamengku Buwono I memproklamirkan bahwa separuh dari Negara Mataram yang dikuasainya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta. Tanggal ini (khususnya tanggal, bulan dan tahun Jawa) dinyatakan sebagai Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram - Ngayogyakarta.

Menurut K.R.T Jatiningrat (wawancara 17 Maret 2015), menjelaskan bahwa pada hari Kamis Pon tanggal 3 Sura, Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 9 Oktober 1755 M Sri Sultan Hamengku Buwana I mesanggrah di Ambar Ketawang dan memerintahkan untuk membangun Kraton Ngayogyakarta di desa Pacethokan dalam hutan Beringan. Kemudian Sultan jumeneng nata atau diangkat sebagai raja pada tanggal 11 Oktober 1755. Setelah itu Sultan memerintahkan salah satu tumenggung untuk membuat Kraton di hutan Beringan Desa Pachetokan dan diberi waktu satu tahun.

Ketika dilakukan proses pembangunan kemudian Sultan masuk kraton pada tanggal 7 Oktober 1756 dari arah selatan (panggung Krapyak) menuju ke


(55)

utara. Yang menurut Purwadi (2003) ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal, yang menunjukkan tahun 1682 Jawa dan yang mengungkapkan makna yang tersirat: Sari-Rasa-Tunggal (artinya: Hakikat Kesatuan) dan Sarira-Satunggal (yang berarti: Kepribadian).

Selama pembangunan berjalan sang Sultan tinggal di Gedong Sedahan (sebelah barat sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal-regol kemagangan) sebelah selatan bangsal Manis selama 13 tahun. Sementara Gedong Jene (tempat tinggal Sultan) sendiri baru dibangun pada masa Sultan HB VIII dengan sengkalan sekar sinaut naga raja atau tahun 1869 Jawa.

2. Arsitektur Bangunan Kraton Yogyakarta

Arsitek atau perancang utama bangunan Kraton Yogyakarta adalah tidak lain Sultan Hamengku Buwono I. Sebagian besar bangunan yang berada di dalam Kraton Yogyakarta bergaya arsietktur tradisional Jawa. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.

Pada penelitian kali ini pembahasan hanya akan difokuskan pada bangunan Bangsal Kencono karena tempat ini menjadi salah satu tempat terpenting dalam lingkup Kraton Yogyakarta. Dan selain Bangsal Kencono yang akan dikaji ornamen-ornamennya juga pembahasan mengenai arsitektur Bangsal


(56)

Tamanan. Menurut K.R.T Jatiningrat (wawancara 17 Maret 2015) sebagian besar ornamen pokok yang berada pada Bangsal Kencana diambil dari ornamen tiang yang berada di dalam Bangsal Tamanan yang juga diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit.

a. Bangsal Kencana

Bangsal Kencana terletak di tengah komplek Kedhaton Kraton Yogyakarta, yang dulunya bernama bangsal Alus ketika pertama kali didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kemudian Bangsal Kencana dibangun total oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, menurut keterangan dari K.R.T Jatiningrat ( wawancara 15 April 2015) dengan sengkalan yang berbunyi Trus Manunggal Panditaning Rat dibaca Trus = 9, Manunggal = 1, Pandita = 7, Rat = 1 atau 1719 tahun Jawa sama dengan 1793 M. Dikisahkan setelah proses pembangunan bangsal Kencana oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II sempat terjadi perdebatan dengan ayahnya yaitu Sultan Hamengku Buwono I, kemudian HB I memindahkan bangsal Kencana yang baru dibangun tersebut ke sebelah barat bangsal Manis menjadi bangsal Pengapit.

Selain dipergunakan untuk pentas wayang orang dan tari bedhaya semang, fungsi utama bangsal Kencana adalah sebagai tempat menerima tamu agung Kraton. Di samping itu juga untuk menyelenggarakan upacara pernikahan, upacara khitanan, serta yang tidak kalah penting adalah kegiatan Ngabekten Syawal yang dilaksanakan setiap tahunnya. Kegiatan ini berupa perayaan Hari Raya Idul Fitri yang dilakukan dari para abdi dalem, pejabat, dan kerabat Kraton menghaturkan sembah dan saling memohon maaf.


(57)

Gambar XI: Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Bangsal Kencana berbentuk joglo mangkurat lambang gantung dengan empat susun atap dan atap kedua atau penanggap menggantung pada atap di atasnya, sementara atap ketiga menempel dengan sambungan lambangsari pada atap kedua. Pada bangsal ini memiliki tiga tingkatan lantai, lantai yang paling tingggi yang letaknya ditengah-tengah pendopo biasanya dipergunakan sebagai singgasana sang Sultan. Tiang pada bangsal Kencana terdiri dari 4 saka guru, 16 saka penanggap, 23 saka penitih serta 8 saka santen berbentuk bulat, dan 8 saka tambahan yang tidak memiliki ukiran ragam hias. Di sekeliling bangsal Kencono dihiasi tumbuhan paku yang potnya terbuat dari keramik dan memiliki gambar atau hiasan lukisan ala Tiongkok.


(58)

Gambar XII: Pelataran Bangsal Kencana Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Beberapa cerita menyebutkan bahwa ketika Sultan duduk di Bangsal Kencana berada ditengah atau dibawah persilangan tumpangsari yang terbagi menjadi empat sesuai pola kiblat-papat-lima-pancer, Sultan selalu menghadap ke timur atau ke arah matahari terbit sama seperti letak bangsal Kencana, Prabayeksa, dan Gedong Jene yang menghadap ke timur. Hal tersebut sebagai simbol bahwa arah timur sebagai awal kehidupan atau sesuai dengan pola rotasi matahari yang terbit dari timur dan tenggelam di barat. Simbol ini mengingatkan manusia bahwa setiap kehidupan pasti ada awal dan ada akhir. Selaras dengan kepercayaan tersebut selain posisi duduk Sultan, hal lain yang juga memiliki konsep yang sama yaitu ketika proses mengkhitan putra mahkota dilakukan pada pagi hari ketika matahari mulai merekah dan dengan posisi menghadap ke timur.

Bangsal Kencana sendiri diapit oleh dua bangunan limasan memanjang yakni Tratag Bangsal Kencana di sisi timur yang semula dipergunakan


(59)

untuk pentas wayang orang kolosal khususnya pada masa Hamengku Buwana VIII (1921-1939) dan Tratag Prabayeksa di sisi barat yang biasa dipergunakan oleh para penari bedhaya sebelum berpentas di Bangsal Kencana. Dalam ensiklopedi Kraton Yogyakarta oleh Dinas Kebudayaan D.I.Y (2009) dijelaskan pada masa Hamengku Buwana VII (1877-1921) semua tratag ini dibangun ulang dengan tiang-tiang besi tuang impor yang serupa kolom klasik Eropa dengan hiasan sulur berbunga yang melilit dan atap metal bergelombang.

Sebagian besar warna yang digunakan sebagai latar bangsal Kencana adalah warna merah kecoklatan, sementara sebagai latar ragam hiasnya adalah warna merah. Lingkungan Kraton menyebutnya dengan warna merah darah sapi, konon dulu ketika pewarnaannya menggunakan cat dengan campuran darah sapi. Dikisahkan pula bahwa pada masa penjajahan Belanda dan ketika itu kaum penjajah memasuki Kraton merasa gelisah, cemas, dan takut. Orang percaya bahwa hal tersebut terjadi karena pengaruh darah sapi yang digunakan sebagai campuran catnya. Pada masa sekarang hal tersebut tidak dilakukan lagi, karena Kraton sudah terbuka untuk umum dan menggunakan cat biasa agar tidak memiliki dampak seperti dulu.

Warna merah digunakan sebagai latar dan warna kuning emas (prada) digunakan sebagai warna utama ragam hias di bangsal Kencana. Warna merah pada bangsal Kencono megisyaratkan sifat yang dominan (berkuasa) karakternya sangat kuat sebagai warna untuk menonjolkan ragam hiasnya dan cocok untuk mewakili karakter Kraton yang identik dengan kekuasaan. Warna kuning emas (prada) yang mengisi hampir sebagian besar ragam hias di bangsal ini sangat


(60)

kontras dengan warna merah sebagai latarnya, membuat banngunan ini nampak berkilauan, megah dan mewah.

Ragam hias yang terdapat pada Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta ada berbagai macam jenisnya, ada yang terdapat pada langit-langit atau tumpangsari dan ada yang berada pada tiang atau saka penyangga bangunan. Adapun ornamen yang terdapat pada tiang Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta adalah diantaranya Saton, Praba, Sorotan, Mirong, Tlacapan, hiasan umpak. Penelitian selanjutnya difokuskan pada ornamen yang memiliki bentuk dasar segitiga yaitu Praba dan Tlacapan.

b. Bangsal Tamanan

Bangsal Tamanan berada di sebelah barat Bangsal Srimanganthi, tepatnya dibelakang gedung kesehatan Kraton Yogyakarta daerah ini tertutup untuk umum. Bangsal Tamanan ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VII sempat digunakan sebagai arena sabung ayam dan jangkrik. Menurut K.R.T Jatingrat (wawancara 15 April 2015) pada sekitar tahun 1757 berdiri sekolah Tamanan, diceritakan bahwa salah satu kegiatan belajarnya adalah kegiatan menari untuk putra dan putri. Yang jelas keberadaan sekolah tamanan ini dibuktikan dengan sengkalan berwujud Bethara Gana atau Ganesha pada bagian pintu masuk hampir berbentuk Kori agung sementara di dalamnya berbentuk sengkalan ular

Bangsal Tamanan kini difungsikan untuk meyimpan gamelan, sementara di bagian teras depan dipergunakan untuk ibu-ibu melakukan kegiatan membatik. Selain digunakan untuk menyimpan gamelan ada yang menarik di dalam bangsal


(61)

ini, yaitu terdapat ukiran kayu yang terdiri dari tumpangsari hingga tiang atau saka yang dipercaya merupakan peninggalan kerajaan Majapahit.

Menurut Ismunandar (1990) menjelaskan bahwa bangsal Tamanan sendiri merupakan peninggalan Kyai Ageng Paker dan tanahnya hadiah dari raja Majapahit. Kemungkinan dari kenyataan tersebut warga Kraton berpendapat bahwa ukiran yang terdapat di dalam Bangsal Tamanan merupakan peninggalan kerajaan Majapahit. Jika dilihat dari beberapa ornamen yang digambarkan mengisyaratkan bahwa ikuran ini bukan berasal dari masa Kraton Yogyakarta yang sekarang ini.

Beberapa ukiran diantaranya di bagian barat daya menggambarkan rusa, bagian barat laut menggambarkan burung hong, di bagian timur laut burung hong, dan di bagian tenggara terdapat ukiran kepala naga. Ornamen penggambaran seperti yang terdapat di dalam Bangsal Tamanan tersebut hampir sudah tidak ada ketika masa Kraton Yogyakarta ataupun Mataram Islam yang melarang penggambaran binatang secara nyata. Beberapa kedekatan bentuk dan warna yang digunakan ornamen di Bangsal Tamanan ini hampir mirip dengan bentuk-bentuk yang ada di Bali. Namun dalam penelitian ini tidak akan dibahas lebih jauh mengenai asal-asul ukiran yang terdapat di Bangsal Tamanan, hanya sebatas sebagai tolak ukur perbandingan dengan ornamen Praba dan tlacapan yang berada pada tiang Bangsal Kencana saja.


(62)

Gambar XIII : Bagian dalam Bangsal Tamanan Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

3. Ornamen atau Ragam Hias pada tiang Bangsal Kencana a. Saton

Saton berasal dari kata satu (bahasa Jawa), yang berarti kue (K.R.T Jatiningrat, wawancara 17 Maret 2015). Nama ini diambil karena bentuk ragam hias saton yang mirip dengan bentuk kue satu bujur sangkar. Untuk ornamen saton yang berada di Bangsal Kencono Kraton Yogyakarta bentuknya serupa bujur sangkar yang dipotong pada bagian atas dan bawahnya. Hiasan saton tersebut digunakan mungkin ada kaitannya dengan perwujudan konsep manunggaling kawula lan gusti, atau menurut Dorno sebagai simbol persatuan semua kalangan di dalam kasultanan Yogyakarta.


(63)

Gambar XIV : Ornamen Saton pada tiang Bangsal Kencono Sumber : Dokumentasi Trusti , Maret 2015

Warnanya menggunakan warna kuning emas (prada) dan diantaranya sebagai latar menggunakan warna merah. Pewarnaanya dengan cara teknik blok yaitu menutup seluruh permukaan ukiran. Warna kuning emas digunakan untuk hampir semua ornamen yang berada di Bangsal Kencana. Semetara untuk isen-isennya berupa daun-daunan dan bunga yang distilisasi. Hiasan saton ini berada pada saka guru, penanggap, dan penitih posisinya berada dibagian bawah menempel dengan ornamen praba yang menghadap ke atas.


(64)

b. Praba

Dalam Kamus Jawa Kawi menurut asal katanya praba berarti sinar, cahaya, semarak, kemegahan. Menurut K.R.T Jatiningrat (wawancara 17 Maret 2015) praba atau praban memiliki arti cahaya, nimbus, aura atau cahaya di atas kepala (hallo). Praba dalam agama Budha digambarkan pada patung Budha ketika sedang duduk bermeditasi, penggambaran praba berada di belakang punggung Budha berbentuk segitiga dengan ujung melengkung runcing.

Gambar XV : Ornamen Praba pada tiang Bangsal Kencono Sumber : Dokumentasi Trusti , Maret 2015

Setiap orang memiliki cahaya praba masing-masing namun kuantitas atau kekuatannya yang berbeda-beda. Hal ini berkaitan dengan tingkat konsentrasi masing-masing orang yang berbeda-beda. Semakin tinggi tingkat konsentrasi seseorang maka semakin kuat cahaya praba yang dipancarkan. Biasanya orang yang sering melakukan kegiatan bermeditasi serupa biksu, pemuka agama, atau raja.


(65)

c. Mirong

Ragam hias mirong atau putri mirong yang berada di Bangsal Kencana Kraton Yogyakarta posisinya berada di tengah tiang tepatnya dibawah ornamen sorotan dan di atas ornamen praba. Warna garis kuning emas dan latar tiang berwarna merah tua kecoklatan. Dipahatkan pada tiang utama dan tiang penyangga.

Menurut K.R.T Jatiningrat (wawancara 17 Maret 2015) mirong merupakan stilisasi huruf arab mim hak mim dal, ra sin wau, lam, alif, lam, lam dan ta simpul dibaca Muhammad Rasul Allah. Ada juga yang mengartikan hiasan mirong sebagai perwujudan Kanjeng Ratu Kidul yang datang untuk menyaksikan tari Bedoyo Semang. Tari ini konon mengisahkan adegan antara Kanjeng Senopati dan sang Ratu penguasa laut selatan tersebut. Maka ketika tarian tersebut dipentaskan menurut kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul datang dan menyaksikan namun tidak ada yang dapat melihat penampakannya. Sehingga digambarkan sang Ratu hanya mengintai dari balik tiang dan hanya separuh badan yang diwujudkan (bersembunyi).


(66)

Gambar XVI : Ornamen Putri Mirong sebagai stilisasi Muhammad Rasul Allah

Sumber : Dokumentasi Trusti, Maret 2015

Ragam hias putri mirong biasanya hanya dipahatkan pada tiang bangunan utama yang disinggahi raja seperti Gedhong Kuning, Bangsal Kencono, Bangsal Pancaniti, dan Bangsal Witana. Terlepas dari maknanya yang berkaitan dengan mitos Kanjeng Ratu Kidul ataukah artinya yang dibaca sebagai tulisan arab Muhammad Rasul Allah menempatkan mirong sebagai salah satu ornamen penting di lingkungan Kraton Yogyakarta.

d. Sorotan

Ragam hias sorotan biasanya berada di bawah ornamen praba yang menghadap ke bawah dan di atas hiasan putri mirong. Bentuknya hampir seperti tombak yang memiliki tiga ujung runcing. Sorotan sendiri berasal dari kata sorot, sesuatu yang berhubungan dengan kata sorot adalah sinar atau cahaya.


(1)

PEMERINTAH OAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SEKRETARIAT DAERAH

.

Kompleks Kepatihan., DanureJ n Telepon (0274) 562811 -

562814

(Hun ing)

YOGYAKARTA 55213

su

t

embiotca Sural :

KASUBBAG PENDIDIKAN FBS

Tanggal :

17

FEBRUARI

2015

ornor

PerlfHlI

:

209C/UN.34.12/DT/lI/2015

: lJIN

PENELITIAN/RISET

Judul

Lokasi

w。セオ

r,.

ongingal:

1,

PeraturanPemerintah Nomor41 Tahun

2006, Ie

ang Perizi an

bag!

Pef .ur\Jan Tlnggl

Ming.

LembagaPenetHiarl

dan

Pengembangsn

A

'ng,lBada

Usaha A

'0 dafl Orgng

A

'I\g dalammelalQJkanKegilan Pe eliliafldan

Peng mbnn an

di

Indon sa;

2. Peraturan Mentel1.DalamNegeri Nomor.20Tahon2011,lentangi Pedoman Pen,elitian dan Pengemb'angan dllll'lgNJngrlfl

Kemenlrian

Dalam

Negen

dan

Pemerinlah Daomh;

3. Peraluran Gubemvr Daetah ISlimowaYogyakartEl Nomor

37

Ta un

2008,

lenlang

runcian Tugas

dan Fur-gs

Sat an

Organisasi dilゥョァャセLjョァ。ョ Sekretariat Daerah an Se elanal Dewan Per. alQlan Rakyat IDElerBh.

4. Peraluran Gubemur Daerah ISlimewaYogYEl rtaNomor 18 Tahun 2009 IElnlang PGdoman PclayananPenzinan.

Re mendas Pela!lsanaan Survel. Penall 'an, Pemlnlaan, Pengemban{lan, Pengkajian, dan Sludl Lapang3n di '!emh

Istimew8 YogYClkarta.

OIlJINKAN untuk mela kan l<Dgialan SJrvei/penelitian/pendalaan/pengembanganJpengkajiaofst.udllapanganォ・ー。、。セ

. ama

:TRUSTI WARNI

NIP' lM;

11206241016

Alam<lt :

FAKULTAS BAHASA DAN SENl,PENDIDIKAN SENI: RUPA. UNIVERSITAS NEGERI

YOGYAKARTA

: POLA

DASAR SEGITIGA

PADA ORNAMEN BANGUNAN KERATON YOGYAKARTA

: DINAS KEBUDAYAAN DIY, KERATON YOGYAKARTA

:18

FEBRUARI

2015

sid

18 M

EJ

2015

Dengan Kolontuan セ

1. ro.'18Jlyerahkansuralblternnganllj(n wrveilpenelilian/penda aan/pengembanganJpengkajian/s dilapa gan")datiPem8nnlahDaerali

DIYセー。、。 BupatllWalJlQ:lla melalui instih..lsi

yang

be/'INenangュ・ョァ・ャオ。セョ ljin dimaksJd;

2,

Menyerahkan

soft copy

has]penelitiannyabalk i'iilpada GubemUf Daerah Istime ...

a Yogya

rta

melal i Biroa、ュゥョゥウエイ。セ

Pembang

nan

SetdaDIYdalamcomp,act

disk (CD) rna

pun

mengunggah (upload) melalul webSl!l adbang.jogjapro.... go.ld dan

mIn

njlJldt.an」・エ。セZ。ョ

a Iye.ngセ、。ィ dlsahkan dan dibubul:1iC<lpins<1 s; - . • セ I .

-J.

Ijin ini hanya dipergunakan untukkepGrluan ilmiah, dan pemeganglijlt), \ jib ffinntaall kelentuan yang bena di lokasi kl39i3ton;

4. Ijin penelillandapatdlperpanjang maksimal 2 (dUe.) !<all dengan men njukkan rat ii'll kembe.11 bel IIIberal¢!ir o'akilJnya sel

Ian

mens,ajukan perpanjangan melalui website ad ang.jogjaprov.go.id;

5. Ijin yangdibenl<an dapat dibalalkan waklu·walduapa ilapemegangi'in Ini

It

akmemenuhi kclenluan yangberla ,

Di;: I arkan dj Yogya rta

a

tanggal

18

FEBRUARI

2015

セZZZ]]]セBGMM

.11Sekte al'isDacmh

セ omian dan

F'e

,1m

unal

U

u.

セNLゥNNNセjセャGBGbtゥv セB、||QゥョゥセイM。ャヲゥ Pembangun 11

1. ,GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKART.A (SE,BAGA

AF'ORAN)

2.

OINAS KEBUDAYAAN DIY

KERATON YOG,YAKARTA

セ\asubsag

PENDIDIKAN FBS, UNIVERSI -AS NEGERI YOGYAKARTA

5. YANG B RSANGKUTAN


(2)

セ|QQQQ \1"

1.,1111

pi

1'.111

II,tl

LセHQセGiGOQQ

.,/1.1

:"/')'''/11/201.

I 13

ᄋイQセNiセ

Prnp0l>,LI

p

I'l11oholl.1U

Izi

n P n

-Ii

ti.

II

I 'p'lda

Yll"

I GPIlI-t'ldi"vinoto

p

iャァエャGャァセョ

I{PI-l V

allOll

ウセwャ

I,ri () I

I'atoll

Yog .1Iwrla

I

;wli

rjL.lhukali d

ngilll

h

rIll,ll

h,ll1w;,

ャQQ。ャQ。ウャセキ[ャ 1\.11111

dill'

1:"kIJILas I

al1, ,)

t!;lll

SClii Ulljver:iWs

1\'('

,NI )

19yakar

セャ

1)('1'11<11,:-110

Jlll'llg;)

labll P

lIt'litiL

Jl I

nluk

111f'I11Jlt'J'l

lell

!l:II.

gU1a

11 'Ill lt5Ull

Tllg.IS

I\J,llit,

:Iml .... CIA)

/TlI?:lS

i\khir

1\.11'

'a

SCI ,{tO|i|sIOtャiセZャLG[

Akllir

Bukall

SkrilJ,S1

(T1\1}'s).

d

ng'lI

Jlldu!

POL

ASAU

EGITI./\ P

'1.

h

Lセ{

wa

eli

Ill,

Ii,sud

adal,

h

OR,

1\

1E

UI\ GIJ

ll\i

I F,R TO

yoHセ

[\1\1'

N'1l11'1

f\I[[\)

jlll'll:> 111/

II

·ogr.ltll

Studi

Wak

II J\1.1k·;;tn.I,111

I.nl"l.si

PCI1"[11Jdll

; TRUST] W

R

I

U0624H11

I

. PI'n-lll

ikan

SPlli iセオーセ

; lor-I

ru,lI'I - I\pn

I

セャI

1:-: 1\1'1"1

LUll Yog

',1l\an

,I


(3)

MM⦅N⦅MセMLM

• • '" -II" .. I I I I " . , II

FAKU

.' I.:'

IE

\1

]"[·:1.:

1/\

I

ャセ

1)11 >IK;\

D/'\

K

'.I

l:

1\

y

t\

1

GE

I

YOGYAJ<ARTA

AS SA ASA DAN

SEN I

.l,'...,(jf J('Jf;UhGiGHLッ[NセBャjイBBjLBiiL 'II," :J!l:?81 :;" to?7.1) Z[GセSj 3, ;).;tl"07hI (0 .:)!JJ8 7

11/:"

/I·/\'.w

r.'l.,

Im,',]C'1(/

I

fiセ

'i:F8S/3

'·0

o

Ja 12 II

-j I

I···· ,

lI'IOnal

1'1

P

'11'iiセiGi

"',

.I

J '

I .. Irャセ

.. I •セ '."

: II セ・ャャG

-I ., . t,11 - j-Jlll'! ,I I NQセᄋNQiNGᄋャッゥNB iセセセ liJ . . . . I Ii I I II" 1,1

1 ,.'

,

-

" "10" 01 I I 'III'" Ill" II - . : . 1111 I' ' . .1111,111 11111', i....セQQQ

I,

II

...セj - " -.

.

セG

.

-- ,

; '_ ILcll1'

'11'

III, "I

I ' , '

,I

:.t'I),I: I' , II •

I

"

; I

I:'

II

S.

NNNャャセャ

• ';,,: , セャヲセャQ] III '1

II )...0(,ZセLNャャャ

0

I\r)

セセヲャ、ャj[ォッNイ

sGセi

P-uF!

\/elld

ciセ

RiJpCl

l

イ。Hャセュc|ャッHャゥ

Dr

Iセ

f\1 CHI -

'1

dセNZェq

larlt:j

l-<-

tltof\

't

セッサN。イヲッ

. UC\lrt -

Maret

rn

eo.curi

cia"(J

P

c(Q

c「Nセイ \[セゥエエセq

fUclo

Orf'om"

[<tt.-w

Gゥセ

tukCA,ta

Drs

«ap!'

セchャGicャ、ィゥ

ill)

A (

00\;)

V-'lU<' ' __

Mセ

iセ

I.

''It

I ,.J" I ',:

r'I'

r

111)

ZNセ

JU",

セiZ ャセ|

J

1

Hャoセ


(4)

, II 'II I

, I:," ",

'l'0pp:"

h'i'1IlOhUJ anl'l.ill :'CII ili'lIl

l"I' 1,ld.1 ,

,I"

l:lllu

I IUtr 1',I!'I',lI,

I..,l

i

1111'\\,;1yiiZセL|L[LQ

.11"1:1

,',q.

ィエGセ

,,1;,

Hinl

,'\dn

IIdsu'asi

1'l'lllh:lllgunall

0..,1' ,( I l'[,11"i

al

1),1('

r-;lI,

1'1'0

l

!lSi

III

Y

1\(1 11pi Gォセ [-(I'p,11 ill,llI J);1I1urcjan,

YOj'Y.ll(;lI'la

セ[ZMN

1:1

,1'

101

II"

,111.

1-.111 QQGLGiQセZLャョ !lol"m.ll 1.1

1'.\'"

IlI.lil,I:;I.'W,1 1',II1li QセQAGQ

1;"lmllllS

ャセゥLiiBZsLQ d,lIl :-1"111 (1IIIV,'1 I ,I',

GjHGセセャAG "I AセLLBL、G 11"1,1 I II l,IkSI

d

II ( ャZセNャ、L、GZQQQ

IJ

'11 'lili;1I1 Ulllllk IIh'l

'Ill'!'1 holl

d,ll,1 gUll., I

Ill'Il\'W;L11

I ,I'

.\1-::111

I

I-:

"II""'! ,\

1/'1'

I

J,I"

\I..JIII I'.JI'\'.I

"I'ILI

(TI

1":'J/J'llg"S

ャ|ャ、ャャャBiセlQi|LiiG

";ITIJlsi

(Ti\n ....

l.

d,

iIセGBャャャ

1,1,1111

I'!)!..\

II.-\,',\H SI':(;I'I'I :,\

]',.\1)/\

[ll{

1\

II·:

Ili\.

Cali\',

I HUlTON

\,o;v

I I\HT,\

JIll. 1'1

lUll. ,I.I t' ,j I 1111 :->ILi. I

'... I

LIl I""

I

II., "II) .1.111 I II·: ',I I''i, ' 111,111

. '1IHlS'1

\

GL|iセQ

JI

iャセihL⦅ャャoャャャ

1'1'1 1111 Ik,II1 "I'll'

I'llll,'

1-\

-1"'11 II , .

prj

I

Iセ( ) セセ

l'I'r,ll'lIl

yャャNZセ|BiN|BイエLQ


(5)

1. III

r

Lamp.

Pc 'hnl

0/0/

1/(8

/lin PelleHtiau

cpada Y h. :

ala Biro

dmin.i

lrasi

Pel

ャ「セョァオョ。ャャ

• eLcla

TY

Di

Memperhalih.,lU

llf

t

T mbu

all

yan -, kami

lerillla

dari P mda

Dr

urnur

rr

-

6/2/_015 tanggal 18 Februari

セo

15 P rihal Ijin renelltian bagi

auuard :

ama

1T

- lamat

./udul

L k i

aklu

)gv kana

r

• \;hubungan

engan

hal

t -

buL

karni

III

mberi "an

ij

in

m n

atlakan

pcnclitian.

denban k

t

ntuan

ijin

ini hanya dip

nlUn

kan un:uk

kep rluan.

ilmiah.

klah

clc ai P ]llitian. \v

セゥ「

1111;:11

erahkan ha

il

pcncl.itian

Dinas

K bud

ya

11

DIY,

Dt.:/nikiUI

ata -

J

セイィ

ian dan

k

J

sarmul 'I

kami

llC'

pk'

n

!t,;rillu

Kusih.

/


(6)

..

leセibar

PERNYATAAN

Yang hertanda tangan di bawah ini saya,

nama

:

K.R.T

Jatiningrat

alamat

: Kraton Yogyakarta

pekerjaan

: Penghageng Tcpas Dwarapura Kraton Yogyakarta

menyatakan bahwa mahasiswa,

nama

: Trusti Wami

alamat

: Malang

Universitas

egeri Yogyakarta

benar-benar telah melaksanakan wawancara sebagai metode pengambilan data

dalam penelitian Tugas Akhir Skipsi yang berjudul

Makna Simbo/is Ornamen

Praba dan Tlacapon pada Bangllnan Kralon

Yogyakana.

Demikian

sural

pcrnyataan ini semoga dapat dib'1lnakan sebagaimana