MAKNA SIMBOLIS DEKORASI DI GEREJA GANJURAN KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

(1)

i

MAKNA SIMBOLIS DEKORASI DI KOMPLEK GEREJA

GANJURAN KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Yonas Arya Kurnianto 11206241023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

JANUARI 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Where there`s a will, there`s a way”

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu, carilah, maka kamu akan mdendapat, ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Matius 7: 7)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Saya persembahkan tugas akhir ini untuk kedua orang tua saya, Andreas Aris Purwanto danYani Tri Artiningsih.

Terimakasih telah memberikan kasih sayang, dukungan, dan cinta kasih yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas bertuliskan kata

cinta dan persembahan ini.

Terimakasih juga untuk kedua kakak saya, Dhaniel Andhika Haris Saptono, Agnesia Bingar Utari,

adik saya, Evarista Dian Fridayani, dan partner saya Eka Ayu Wulandari, serta seluruh teman dan sahabat saya.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas segala rahmat dan kasih-Nya yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kesabaran sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana.

Penulisan laporan ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu saya menyampaikan terimakasih setulus-tulusnya kepada:

1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. selaku Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dr. Widyastuti Purbani, M.A. selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Dwi Retno Sri Ambarwati, M.Sn. selaku Pembimbing Akademik dan Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta.

4. Drs. Kuncoro Wulan Dewojati, M.Sn. selaku Ketua Prodi Pendidikan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

5. Drs. Bambang Prihadi, M.pd. selaku dosen pembimbing yang tidak pernah lelah dan sabar memberikan bimbingan dan arahan.

6. Segenap dosen dan karyawan jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang sangat berguna.

7. Kedua orang tua saya, ayah dan ibu atas segala dukungan dan kasih sayang yang telah mereka berikan selama ini.

8. Kakak dan adik atas doa dan bantuannya.

9. Para sahabat, dan teman-teman mahasiswa Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam mengerjakan Tugas Akhir Skripsi ini.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan Tugas Akhir Skripsi, yang tidakbisa saya tulis satu persatu.


(8)

viii

Semoga segala kebaikan dan upaya yang telah mereka berikan kepada penulis dibalas oleh Tuhan Yang Mahaesa, Amin.Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Tugas Akhir Skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan Tugas Akhir Skripsi ini.Akhir kata, semoga Tugas Akhir Skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Yogyakarta, 18Januari 2016


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN………... ii

HALAMAN PENGESAHAN.………... iii

HALAMAN PERNYATAAN………... iv

MOTTO……….. v

PERSEMBAHAN……….. vi

KATA PENGANTAR……… vii

DAFTAR ISI……….. ix

DAFTAR GAMBAR………... xii

DAFTAR LAMPIRAN………..…… xv

ABSTRAK……….. xvi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Identifikasi Masalah………….………..… 5

C. Batasan Masalah... 6

D.Tujuan ………. 7

E. Manfaat……… 7

BAB II KAJIAN TEORI A.Kajian Teori...……… 8

1. Pengertian Gereja……….. 8

2. Pengertian Joglo……… 9

3. Struktur dan Tata Letak Perlengkapan Gereja Ganjuran………... 10

4. Arsitektur Gereja……….. 12

5. Interior Gereja...……… 14

6. Dekorasi Pada Bangunan Tradisional Jawa………. 15

7. Unsur-Unsur Dekorasi Candi Hinduisme di Jawa….………….. 17


(10)

x

B. Pertanyaan Penelitian... 28

BAB IIICARA PENELITIAN A.Jenis Penelitian………….………..…………. 29 B.Sumber Data………..………...…………... 29 C.Teknik Pengumpulan Data………..………..………... 26

D.Validitas Data……….. 30

E. Teknis Analisis Data……… 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Lokasi Gereja Ganjuran……… 34

B.Latar Belakang Sejarah Dibangunnya Komplek Gereja Ganjuran… 51

1. Pendiri Gereja Ganjuran……….……….………. 51

2. Awal Berdirinya Gereja Ganjuran.……….. 51

3. Gereja Ganjuran Pasca Gempa tahun 2006………. 53

4. Dibangunnya Candi dan Berkat Tirta Perwitasari………....…… 54

C. Bentuk Dekorasi di Komplek Gereja Ganjuran... 55

1. Bentuk Dekorasi pada Bangunan Gereja Ganjuran... 55

2. Bentuk Dekorasi Candi Bagian Luar... 62

3. Bentuk Dekorasi Candi Bagian Dalam... 64

a. Bentuk Patung Yesus di Dalam Candi... 64

b. Bentuk Ukiran di Dalam Candi... 65

5. Bentuk Berkat Tirta Perwitasari... 66

6. Bentuk gapura dan relief di komplek Gereja Ganjuran... 65

7. Bentuk patung Bunda Maria... 69

D. Makna Simbolis Dekorasi di Komplek Gereja Ganjuran... 71

1. Makna Simbolis Bangunan dan Dekorasi di Dalam Gereja Ganjuran... 72

a. Makna Simbolis Bangunan Gereja Ganjuran... 72

b. Makna Simbolis Dekorasi di Dalam Gereja Ganjuran... 74


(11)

xi

2) Makna Simbolis Dekorasi Ukiran Motif Tumbuhan... 77

3) Makna Simbolis Ukiran Motif Burung Merpati di Dalam Bangunan Gereja... 78

4) Makna Simbolis Ukiran Motif Anggur dan Tangkai Gandum... 80

2. Makna Simbolis Bangunan dan Dekorasi Candi... 81

3. Makna Simbolis Patung Yesus di Dalam Candi... 84

4. Makna Simbolis Berkat Tirta Perwitasari... 86

5. Makna Simbolis Gapura dan Relief... 87

6. Makna Simbolis Patung Bunda Maria... 94

BAB VSIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 96

B. Saran... 99

DAFTAR PUSTAKA……….……….. 100


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1: Tata letak perlengkapan Gereja Ganjura…….………. 11

Gambar 2: Lung-lungan ………. 21

Gambar 3 : Saton………..………... 22

Gambar 4: Tlacapan……… 22

Gambar 5: Wajikan …….………... 23

Gambar 6: Peksi garudha……….………..…. 24

Gambar 7: Jago ……….. 25

Gambar 8: Gunungan ………. 26

Gambar 9: Praba ………….……… 26

Gambar 10:Mega mendhung………... 27

Gambar 11 : Kaligrafi pada dekorasi ragam hias Jawa………..…... 27

Gambar 12 :Lokasi Gereja Ganjuran di Yogyakarta... 35

Gambar 13 :Denah komplek Gereja... 36

Gambar 14: Papan nama Gereja Ganjuran... 37

Gambar 15 :Pendopo Paseban... 38

Gambar 16:Sekertariat Gereja Ganjuran... 39

Gambar 17 :Pendopo utama di komplek Gereja... 40

Gambar 18 :Pemandian rohani Siloam... 41

Gambar 19 :Biara Carolus Borromeus... 41

Gambar 20 :Panti Asuhan Santa Maria... 42

Gambar 21 :Rumah sakit Santa Elisabeth... 44

Gambar 22 :Gereja Mandala Hati Kudus Yesus tampak depan... 44

Gambar 23 :Candi Hati Kudus Yesus... 45

Gambar 24 :Patung Bunda Maria... 46

Gambar 25 :Gapura komplek Gereja Ganjuran... 47

Gambar 26 :Gedung Pasturan... 48

Gambar 27 :Ruang adorasi... 49


(13)

xiii

Gambar 29 :Bentuk awal Gereja Ganjuran pada masa kolonial Belanda... 52

Gambar 30 :Pengambilan air dari Berkat Tirta Perwitasari oleh umat... 55

Gambar 31:Ukiran di dalam bangunan Gereja... 56

Gambar 32:Perbandingansoko guru di dalam bangunan utama Gereja dengan Kraton Yogyakarta... . 57

Gambar 33:Keterbukaan ruang yang dominan di dalam bangunan utama Gereja dengan Kraton Yogyakarta... 58

Gambar 34:Perbandingan bentuk bangunan utama Gereja dengan Kraton Yogyakarta... 59

Gambar 35 : Altar di dalam Gereja Ganjuran... 60

Gambar 36 : Tabernakel di dalam Gereja Ganjuran... 61

Gambar37 : Prasasti pendirian Gereja Mandala Hati Kudus Yesus... 61

Gambar 38 : Bangunan Candi Hati Kudus Yesus... 62

Gambar 39 : Pembagian bagian candi bercorak Hindu pada candi Hati Kudus Yesus... 63

Gambar 40 : Patung Yesus di dalam candi... 65

Gambar 41 : Ukiran aksara Jawa di atas patung Yesus... 66

Gambar 42: Langit-langit candi dan ukiran pada pintu masuk candi... 66

Gambar 43 :Langit-langit candi dan ukiran pada pintu masuk candi... 66

Gambar 44 :Berkat Tirta Perwitasari yang berada di sekeliling candi... 67

Gambar 45 :Berkat Tirta Perwita Sari saat ini... 68

Gambar 46 : Berkat Tirta Perwita Sari saat ini... 68

Gambar 47: Gapura sebagai gerbang masuk ke dalam komplek Gereja Ganjuran... 70

Gambar 48: Jalan Salib di halaman candi... 71

Gambar 49 : Patung Bunda Maria sebelum terjadi gempa pada tahun 2006... 72

Gambar 50 :Soko guru di dalam bangunan Gereja Ganjuran... 73

Gambar 51: Salib dan lilin di altar Gereja... 74

Gambar 52: Dekorasi ukiran berbentuk lidah api di atas tabernakel... 76

Gambar 53 : Simbol X dan P di dekat altar Gereja……… 77


(14)

xiv

Gambar 55 : Salah satu dekorasi ukiran anggur dan tangkai gandum... 80

Gambar 56: Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran... 82

Gambar 57:Dekorasi ukiran symbol Trinitas di langit-langit candi... 83

Gambar 58: Patung Yesus di dalam Candi... 85

Gambar 59: Relief di atas gapura dan setelah memasuki gapura... 88

Gambar 60: Relief di atas gapura dan setelah memasuki gapura... 88

Gambar 61: Dekorasi relief kepala manusia, simbol Santo Matius... 89

Gambar 62: Dekorasi relief kepala rajawali, simbol Santo Yohanes... 90

Gambar 63 : Dekorasi relief kepala lembu, simbol Santo Lukas... 91

Gambar 64: Dekorasi relief kepala singa, simbol Santo Markus... 92

Gambar 65 :Salah satu panel jalan salib di halaman candi... 94

Gambar 66 : Salah satu panel jalan salib di halaman candi... 94


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 :Surat Ijin Penelitian……….. 102

Lampiran 2 : Surat Keterangan……….. 103


(16)

xvi

MAKNA SIMBOLIS DEKORASI DI GEREJA GANJURAN

KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA

Oleh Yonas Arya Kurnianto

NIM: 11206241023

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui;(1) latar belakang sejarah awal dan bentuk bangunan Gereja Ganjuran, (2) latar belakang bangunan dan bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006, (3)jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran, (4) bagaimana bentuk dekorasi yang ada di gereja Ganjuran, (5) makna simbolik dekorasi di Gereja Ganjuran.

Metode Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif deskriptif,dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi, dan kepustakaan.Validitas data menggunakan triangulasi data ataumultiple source of evidence.Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data mengalir atau flow modelof analysis yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Karena bentuk penelitian ini adalah studi kasus tunggal, maka studi ini berusaha menerangkan, dan membahas simbol–simbol yang ada pada dekorasi Gereja Ganjuran, kaitannya sebagai sumber belajar mahasiswa seni rupa.Pengumpulan datanya terarah pada berbagai aspek fokus / variabel.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Gereja Ganjuran Pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19, tepatnya tanggal 16 April 1924 oleh keluarga Schmutzer karena rasa syukur atas perkembangan pabrik Gondanglipuro dan prakarsa seorang Pastur bernama Pastur Van Driessche. SJ, gereja didirikan dengan menerapkan ajaran sosial Gereja (rerun novarum), (2) Gereja Ganjuran rusak setelah gempa tahun 2006 dan dibangun serta diresmikan kembali pada tahun 2009, (3) setiap bangunan di komplek Gereja Ganjuran memiliki fungsinya masing-masing, (4) bentuk dekorasi yang ada di komplek Gereja Ganjuran memiliki corak Hinduistik dan Jawa tradisional, meliputi ukiran, perlengkapan ibadah, patung, serta relief yang terdapat di dalam bangunan Gereja, dan candi, (5) makna simbolis dekorasi yang ada di komplek Gereja Ganjuran terdapat di dalam bangunan Gereja terkait dengan ajaran Katolik, candi, Berkat Tirta Perwitasari, relief jalan salib dan gapura gerbang masuk ke dalam komplek Gereja Ganjuran.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolik diharapkan mampu menyesuaikan dengan kebudayaan setempat melalui proses inkulturasi, memperkaya diri dengan nilai-nilai kebudayaan setempat, tidak hanya mengikuti kebudayaan barat. Dalam konsili Vatikan II, dibentuk undang-undang gereja yang baru, agar gereja melibatkan peran aktif umat melalui liturgi yang dimengerti dan dihayati umat dengan mengangkat kebudayaan setempat. Dengan semangat inkulturasi ini Gereja Ganjuran dibangun pada tahun 2009. Berawal dari sebuah gereja kecil yang dibangun pada tahun 1924 oleh pemilik pabrik gula Gondanglipuro, keluarga Schmutzer. Bentuk awal gereja berarsitektur Eropa, menyesuaikan aturan dari Roma dengan bentuk serba simetris dan letak pintu yang berada di sebelah barat, sehingga Imam menghadap ke barat, sedangkan umat menghadap ke timur. Gereja dibangun sebagai ungkapan rasa syukur atas perkembangan pesat pabrik dan sebagai bentuk pelaksanaan ajaran sosial gereja (rerum novarum) dengan memperlakukan pekerja pabrik gula dengan baik, dan menyediakan fasilitas bagi mereka.

Bentuk awal bangunan gereja mengacu pada bentuk arsitektur gereja di Eropa barat. Seiring dengan perkembangan umat, perluasan dan pengembangan bangunan sudah direncanakan sebelumnya, namun sebelum rencana tersebut terealisasi bangunan gereja rusak total setelah gempa bumi yang melanda Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya dengan kekuatan 5,6 SR pada 27 Mei 2006,


(18)

yang berpusat di pantai selatan. Gempa tersebut merobohkan bangunan utama gereja, namun candi, pasturan, pendopo dan bangunan pendukung lainnya tetap tegak berdiri. Dengan bantuan yang diterima dari berbagai pihak, umat Katolik Paroki Ganjuran bersama masyarakat mulai memperbaiki rumah tinggal yang rusak akibat gempa. Setelah umat dan masyarakat mulai berbenah, kapel-ka pel wilayah juga diperbaiki dan dibangun kembali. Bersamaan dengan itu, persiapan pembangunan kembali Gereja Ganjuran juga telah disiapkan, dan akan dilaksanakan setelah kondisi sosial ekonomi masyarakat mulai pulih. Pada tahun 2008, Rencana pembangunan kembali Gerja Ganjuran mendapat persetujuan dari Keuskupan Agung Semarang, dan pada tanggal 22 Juni 2008, bersamaan dengan Prosesi 2008 Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo berkenan meletakkan batu pertama pembangunan kembali Gereja Ganjuran. Pembangunan kembali Gereja Ganjuran ini dilaksanakan oleh umat paroki Gereja Ganjuran. Pada tanggal 29 Agustus 2009, Gereja Ganjuran yang baru telah selesai dibangun dan diresmikan oleh Paduka Sri Sultan Hamengku Buwono X, dengan ditandai perayaan Misa Ekaristi Agung oleh Rm Prof. Mgr. Ign. Suharyo, Pr.

Keunikan Gereja Ganjuran terletak pada bentuk bangunan yang menggunakan konstruksi bangunan joglo tumpangsari yang merupakan wujud inkulturasi gereja dengan kebudayaan setempat. Bangunan gereja dengan luas kurang lebih mencapai 1300 meter persegi dan tinggi mencapai hampir 10 meter ini memiliki konstruksi baja dan empat buah soko guru penuh dengan dekorasi ukiran tradisional Jawa yang berfungsi sebagai tiang utama. Langit-langit gereja juga dihiasi dengan ukiran tradisional Jawa dengan luas keseluruhan ukiran


(19)

mencapai 600 meter persegi. Gereja Ganjuran ini mampu menampung hingga lebih dari 900 umat. Dekorasi ukiran yang terdapat di dalam gereja merupakan perpaduan dari ukiran tradisional Jawa dengan beberapa simbol liturgial dalam gereja seperti burung merpati, salib, anggur, dan tangkai gandum, meliputi dekorasi bangunan gereja serta dekorasi pada interior gereja seperti altar dan tabernakel. Di antara tabernakel juga terdapat 2 buah patung malaikat penjaga “Keraf dan Kerafin” yang merupakan representasi kinara dan kinari dalam budaya Hindu Budha. Bangunan gereja yang memiliki bentuk dekorasi tradisional Jawa bukan satu-satunya keunikan yang dimiliki oleh komplek Gereja Ganjuran, terdapat sebuah candi bercorak Hindu Jawa di sebelah timur bangunan gereja dengan patung Yesus dengan pakaian kebesaran raja Jawa di dalamnya. Candi tersebut dibangun pada tahun 1927 dengan nama Candi Hati Kudus Yesus. Di halaman candi terdapat relief jalan salib yang membujur dari selatan sampai utara sisi timur gereja, selain itu terdapat Berkat Tirta Perwitasari yang merupakan sumber air di komplek Gereja Ganjuran. Berkat Tirta Perwitasari ini berada di sisi timur dan barat bangunan candi. Gapura pintu masuk menuju komplek Gereja Ganjuran juga memiliki keunikan dari segi visualnya, dengan mengadopsi bentuk gapura bercorak Hindu. gapura tersebut mentransformasikan bentuk kala menjadi simbol trinitas dalam Katolik, selain itu penjaga gerbang direpresentasikan dalam wujud relief kepala manusia, lembu, singa, dan rajawali yang merupakan simbol dari ke empat penginjil.

Semangat yang dihadirkan dan dihidupkan kembali oleh Romo Gregorius Utomo, Pr dalam menerapkan nilai-nilai budaya yang telah mengakar dalam


(20)

masyarakat setempat, menjadi dasar bentuk perancangan bangunan Gereja Ganjuran yang baru. Selain menerapkan dan mengadopsi arsitektur setempat, seni musik, lagu dan tarian setempat juga dikembangkan dan digunakan dalam kegiatan liturgial gereja. Sebagai salah satu unsur kebudayaan Jawa, Yogyakarta memiliki bangunan tradisional Jawa yang berfungsi sebagai tempat kediaman sultan Yogyakarta atau dikenal sebagai keraton Yogya. Bangunan keraton dengan bentuk pendopo joglo inilah yang menjadi dasar dalam perancangan bangunan Gereja Ganjuran. Secara visual sangat terlihat bentuk dan dekorasi dari arsitektur tradisional Jawa yang dominan.

Dengan arsitektur dan dekorasi gereja yang sedemikian rupa, Gereja Ganjuran memiliki banyak sekali makna simbolis dibaliknya. Dalam pemikiran dan praktik keagamaan, simbol biasa dianggap sebagai gambaran dari realitas transenden atau realitas yang berada di luar kesanggupan manusia. Simbol paling umum ialah tulisan, yang merupakan simbol kata-kata dan suara. Namun simbol bisa merupakan benda sesungguhnya, seperti salib yang sudah menjadi simbol agama Kristen. Berkaitan dengan berbagai keunikan, keberagaman arsitektur dan dekorasi yang terdapat di dalam komplek Gereja Ganjuran serta kaitannya yang erat dengan budaya liturgial gereja dan inkulturasi yang ada, tentunya terdapat berbagai hal menarik dari keomplek Gereja Ganjuran untuk diteliti. Terutama dalam makna simbolis berbagai dekorasi yang ada di komplek Gereja Ganjuran.


(21)

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dapat diambil beberapa identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Inkulturasi bangunan gereja yang mengadopsi bentuk joglo tumpangsari 2. Bentuk gerbang Gapura masuk ke dalam komplek Gereja Ganjuran. 3. Empat bejana air di sisi kiri dan kanan sebagai simbol empat penginjil. 4. Dekorasi di dalam gereja berupa ukiran simbolik Alkitabiah pada soko guru. 5. Dekorasi di dalam gereja berupa ukiran simbolik Alkitabiah pada molo. 6. Dekorasi di dalam gereja berupa ukiran simbolik Alkitabiah pada blandar. 7. Patung malaikat penjaga tabernakel, “Keraf dan Kerafin”.

8. Tabernakel sebagai tempat sakramen Maha Kudus lambang Kristus.

9. Altar tempat persembahan dengan ukiran anggur dan tangkai gandum, lambang penyerahan hidup abadi.

10. Altar yang dibuat lebih tinggi dari tempat umat.

11. Patung Bunda Maria inkulturasi Hindu Jawa sebagai tempat devosi jalan perantara berkah Tuhan.

12. Bentuk Patung Bunda Maria di luar bangunan gereja sebelum gempa tahun 2006.

13. Bentuk Patung Bunda Maria di luar bangunan gereja pasca gempa tahun 2006. 14. Relief jalan salib sebagai tempat devosi mengenang sengsara dan wafat

Kristus, lambang perjalanan hidup Kristiani.

15. Bentuk Candi Hati Kudus Yesus sebagai inkulturasi Hindu Jawa di komplek gereja.


(22)

16. Candi Hati Kudus Yesus tempat bertahta patung Yesus dengan busana kebesaran seorang Raja Jawa.

17. Bentuk Berkat Tirta Perwitasari di sekeliling candi 18. Bentuk Berkat Tirta Perwitasari pasca gempa tahun 2006 19. Berkat Tirta Perwitasari di barat dan timur bangunan candi. 20. Dekorasi ukiran motif tumbuhan.

21. Dekorasi ukiran motif burung merpati. 22. Dekorasi relief pada gapura dan jalan salib.

23. Patung Yesus di dalam candi yang dibuat dari batu yang diambil dari Gunung Merapi.

C.Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah terkait dengan makna simbolis dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran, maka batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk awal Gereja Ganjuran pada tahun 1924? 2. Bagaimana bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006?

3. Apa saja jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran? 4. Bagaimana bentuk dekorasi di komplek Gereja Ganjuran?

5. Apa makna simbolis dekorasi di komplek Gereja Ganjuran?


(23)

Berdasarkan uraian batasan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal berikut:

1. Latar belakang sejarah dan bentuk bangunan Gereja Ganjuran pada tahun 1924.

2. Bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006.

3. Jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran. 4. Bentuk dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran.

5. Makna simbolis dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoretis hasil penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan pengetahuan seni rupa pada umumnya dan dekorasi seni bangun religius khususnya.

2. Secara praktis, diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya dan dapat menjadi sumbangan pembelajaran dan pengetahuan tentang dekorasi bangunan Gereja.


(24)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

Dalam kajian teori akan dibahas mengenai teori-teori yang akan digunakan sebagai acuan ilmiah dalam penelitian.

1. Pengertian Gereja

Kata gereja berasal bahasa Portugis igreja dan bahasa Yunani ε ησία (ekklêsia)). Istilah Yunani ἐ ησία, yang muncul dalam Perjanjian Baru di Alkitab Kristen diterjemahkan sebagai "jemaat". Istilah ini muncul dalam 2 ayat dari Injil Matius, 24 ayat dari Kisah Para Rasul, 58 ayat dari surat Rasul Paulus, 2 ayat dari Surat kepada Orang Ibrani, 1 ayat dari Surat Yakobus, 3 ayat dari Surat Yohanes yang Ketiga, dan 19 ayat dari Kitab Wahyu. Gereja bagi umat Kristen bukanlah semata-mata merujuk pada bangunan tempat beribadah, gereja dimaknai sebagai persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kristus.

Gereja lahir seiring kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus di dunia. Dalam Kisah Para Rasul 1: 8, dituliskan mengenai gereja perdana, yang disebut gereja perdana adalah persekutuan para murid Yesus, ditambah dengan beberapa orang lain yang telah mengakui Yesus sebagai Tuhan dan menjadi saksi atas kebangkitan-Nya. Gereja perdana memiliki semangat persekutuan, pelayanan, dan kesaksian yang kuat dan menjadi awal iman Kristen mulai menyebar dari Yerusalem, seluruh daerah Yudea, Samaria, hingga sampai ke ujung dunia. Menurut Alkitab, gereja adalah Tubuh Kristus, mereka yang telah menempatkan


(25)

iman kepada Yesus Kristus untuk keselamatannya (Yohanes 3: 16; 1 Korintus 12: 13).

Gereja dapat dipandang dari berbagai macam sudut pandang dan pengertian, selain secara historis seperti dijelaskan sebelumnya, secara sosiologis gereja dapat dilihat sebagai persekutuan keagamaan umat Kristiani yang terorganisasi, berkembang, dan berperan dalam masyarakat. Gereja dipandang dari sudut pengertian dirinya yaitu dari sudut ajaran gereja sebagai sarana mengembangkan Kerajaan Allah. Gereja harus selalu memperbaharui diri, supaya dapat menjalankan peranannya dalam situasi yang selamanya berubah (Heuken, 1991: 344). Berkaitan dengan penelitian ini, maka yang dimaksud dengan gereja adalah rumah ibadat untuk umat Kristen Katolik yang mempunyai aturan, struktur, dan symbol-simbol universal di seluruh dunia.

2. Pengertian Joglo

Menurut Tim Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982), rumah joglo merupakan bangunan arsitektur tradisional jawa tengah, rumah joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang utama penyangga struktur bangunan serta tumpangsari yang berupa susunan balok yang disangga soko guru. Susunan ruangan pada joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri, senthong tengah dan senthong kanan. Susunan


(26)

ruangan seperti ini juga diterapkan di dalam bangunan utama gereja yang mengadopsi bentuk joglo. Senthong kanan digunakan sebagai ruang pengampunan dosa, senthong tengah merupakan sisi dalam gereja yang lebih tinggi sebagai tempat altar, sedangkan senthong kiri di dalam gereja digunakan sebagai tempat gamelan sebagai instrumen pengiring ibadat.

3. Struktur dan Tata Letak Perlengkapan Gereja Ganjuran

Seperti gereja pada umumnya, di dalam Gereja Mandala Hati Kudus Yesus terdapat berbagai macam perlengkapan ibadat. Perlengkapan ibadat tersebut terwujud dalam interior di dalam gereja yang berupa altar, tabernakel, mimbar, dan tempat air suci. Altar berarti meja perjamuan suci, menurut tradisi kuno gereja, altar tetap ada secara permanen dan tidak dapat dipindah-pindah. Letak altar utama hendaknya terpisah dari dinding gereja (Heuken, 1991: 101). Tabernakel adalah sebuah lemari kecil tempat menyimpan sakramen Maha Kudus, maka hendaknya terletak di bagian gereja yang layak dan mencolok, selalu dihias dan ddibuat dengan bahan yang kuat. Bentuk tabernakel dapat berupa persegi panjang dan dibuat dari kayu, batu, dan logam (Heuken, 1994: 335). Dalam setiap gereja terdapat ruang yang dibuat lebih tinggi dari ruang umat, yang disebut panti Imam. Panti Imam sendiri diisi dengan altar, mimbar, meja persembahan, kotak kolekte, kursi untuk misdinar dan imam (Heuken, 1993: 266). Bentuk bangunan gereja yang mangadaptasi bentuk joglo tidak membuat perubahan pada tata letak perlengkapan ibadat tersebut. Struktur dan tata letak perlengkapan Gereja Ganjuran secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1.


(27)

1

2

3

4 5

6

6

6

7 7

7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8

9

10 11 12 13 14

15

17

8 11 14 14 14 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

16 16 16 16

16 16 16 16

16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16

Gambar 1: Tata Letak Perlengkapan Gereja Ganjuran Keterangan:

1. Altar 2. Tabernakel 3. Panti Imam

4. Mimbar khotbah (homili) 5. Mimbar lector

6. Tempat koor 7. Tempat umat 8. Tempat devosi 9. Tempat persembahan 10. Sangkristi

11. Kursi misdinar 12. Patung Yesus

13. Patung Bunda Maria 14. Soko guru

15. Ruang pengakuan dosa 16. Soko


(28)

Dalam pertemuan para uskup, Sinode, di Vatikan Roma pada tahun 1977 tentang katakese telah dikeluarkan naskah terakhir “Pesan kepada Umat Allah” yang intinya menekankan pada kebudayaan setempat. Dalam konstitusi tentang konstitusi mengenai liturgi sendiri menegaskan bahwa gereja tidak ingin memasukkan satu bentuk sama atau seragam. Gereja memajukan dan mengembangkan keindahan kekayaan serta keindahan jiwa bangsa. Apa saja yang terdapat dalam adat istiadat bangsa yang tidak terikat erat dengan takhayul atau kesesatan, dapat dipertimbangkan dengan seutuh–utuhnya. Oleh karena itu, istilah-istilah dipakai oleh teolog misiolog maupun para liturgis untuk menjelaskan bahwa terjalinnya kontak antara gereja Katolik khususnya dengan budaya-budaya bangsa-bangsa di dunia. Misalnya: istilah indigesation, yang bersal dari kata indigenous, yaitu menunjuk pada proses yang memperhatikan suatu liturgi budaya yang asli atau pribumi dari komunitas lokal (Jacobs, dalam Sumandiyo, 2000: 244-245). Sehingga arsitektur seni bangunan gereja tidak monoton dan tidak harus seragam, melainkan boleh dengan inkulturasi budaya setempat asal tidak meninggalkan semangat, cirri, kehidupan, dan liturgi gerejawi. Selain seni arsitektur, gereja tidak tertutup untuk cabang seni yang lain, seperti seni rupa, tari maupun musik.

Pada awal dibangunnya gereja Katolik di Indonesia, bentuk bangunan gereja merujuk pada bentuk arsitektur Romanesk, Gotik pada abad ke 12 di Eropa Barat dan Tengah. Arsitektur Gotik telah menjadi bagian dalam estetika arsitektur dunia sejak berabad-abad dan dianggap sebagai simbol kesakralan, karena pada masa itu gereja Katolik mencapai puncak kebesarannya secara lembaga,


(29)

kekuasaan atas struktur sosial maupun arsitektur. Namun, dalam perkembangannya, gereja Katolik melalui proses inkulturasi, dituntut untuk tidak hanya berkontribusi pada kebudayaan setempat, melainkan belajar dari budaya setempat dan memperkaya diri dengan nilai-nilai setempat. Inkulturasi dalam konteks agama Kristen dan budaya setempat kemudian menjadi perhatian utama gereja Katolik, seperti tercantum pada dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, 1962-1965 (Schineller, 1990).

Ciri arsitektur Gotik semakin ditinggalkan dan arsitektur gereja Katolik semakin bernafaskan arsitektur setempat. Gereja ditujukan untuk mengantarkan kebenaran, keyakinan dan membawa para penganutnya kepada tindakan yang diharapkan sesuai ajaran agama Katolik, sehingga arsitektur gereja selalu menjadi simbol kesakralan, membawa makna atau berperan langsung dalam pembentukan sebuah makna bagi komunitas Kristen. Makna-makna ini tertuang baik dalam wujud arsitekturnya secara keseluruhan, maupun dalam elemen-elemen simbolik yang ada pada objek arsitekturnya (Sutrisno, 1983).

Arsitektur gereja harus mampu membawa umat pada keyakinan bahwa mereka memasuki sebuah tempat yang istimewa, yang menyadarkan orang pada kenyataan bahwa mereka memasuki area sakral, di mana Tuhan tinggal (rumah Tuhan), bukan memasuki rumah tinggal biasa, melainkan ruang yang memiliki nilai kosmologis berupa titik pusat yang berkaitan dengan pengalaman religius, mengandung nilai spiritual, kesucian dan ritual. Bangunan gereja berperan membawa penggunanya menjalani pengalaman religius, mempengaruhi


(30)

perilakunya dalam ruang sakral, membentuk respon emosionalnya (Thomas, 1994).

5. Interior Gereja

Mikke Susanto (2012: 102) menjelaskan bahwa interior merupakan desain, dekorasi dan penyelenggara alat-alat atau perlengkapan sebuah ruang dari sebuah ruang. Seperti halnya bangunan pada umumnya, interior gereja juga menjadi dekorasi, alat, maupun perlengkapan yang bersifat fungsional maupun simbolik. Setiap gereja memiliki sebuah meja bernama altar yang ditempatkan langsung di depan atau di bawah mimbar untuk menekankan kesatuan antara sakramen (perjamuan kudus atau altar) dan firman (khotbah atau mimbar). Altar gereja mengingatkan baik pada tempat persembahan kurban dalam Perjanjian Lama maupun pada meja perjamuan Paskah Yesus dengan murid-muridnya pada malam sebelum ia disalibkan. Penggunaan altar baik sebagai meja perjamuan kudus maupun sebagai tempat persembahan (kolekte) masih mencerminkan makna ganda tersebut. Selain itu, altar biasanya dihias dengan simbol-simbol lain seperti salib, alkitab, lilin, dan bunga (Heuken, 1995).

Interior khas lain yang dimiliki gereja selain altar adalah adanya tabernakel. Tabernakel adalah sebuah lemari kecil, tempat menyimpan sakramen Maha Kudus. Letak tabernakel berada di bagian gereja yang layak dan mencolok, selalu dihias dan dibuat dari bahan yang kuat. Tabernakel dapat berbentuk lonjong atau persegi panjang, dan dibuat dari kayu, batu, atau logam. Dinding-dinding tabernakel biasanya dilapisi logam mulia dan dihiasi sutera serta dipasang lampu


(31)

suci (Heuken, 1995). Selain altar dan tabernakel, dekorasi interior yang paling nampak dalam bangunan gereja adalah adanya salib, baik itu dua dimensi yang dapat berupa lukisan dan mozaik pada kaca, maupun tiga dimensi yang berupa dekorasi eksterior ataupun interior gereja.

Pada masa awal kekristenan, umat sering menggunakan ayam jago (Matius 26: 74-75) dan ikan sebagai simbol. Ada dua hal yang dilambangkan dengan ikan. Pertama, dalam bahasa Yunani kata “ikan” ditulis dengan huruf-huruf: I-KH-TH-U-S. huruf tersebut ditafsirkan oleh umat Kristen sebagai akronim dari Iesous (Yesus), Khristos (Kristus), Theou (Allah), huios (Anak), Soter (Juru selamat), yang artinya: Yesus Kristus Anak Allah Juru selamat. Kedua, ikan juga melambangkan kisah Yunus, yang selama tiga hari berada di dalam perut ikan.Peristiwa ini dianggap menunjuk pada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (Matius 12: 40) (Kelompok Kerja PAK-PGI, 2009).

6. Dekorasi Pada Bangunan Tradisional Jawa

Dekorasi berkaitan dengan banyak istilah, antara lain ornamen dan ragam hias. Masing-masing memiliki arti yang hampir sama. Dekorasi berasal dari kata benda decoration yang berarti “sesuatu yang digunakan untuk menghias” (Hornby, dalam Sunarmi, Guntur, dan Tri, 2007: 129).

Sunarni, Guntur, dan Tri Prasetyo Utomo (2007) menjelaskan perbedaan dekorasi dan ornamen dengan mengacu pada pendapat Meyer (1957) bahwa yang disebut ornamen adalah sekedar gambar di atas kertas dan tidak diterapkan. Elemen-elemen tersebut secara abstrak dianggap sebagai ornamen, sedangkan jika


(32)

diterapkan untuk menghias atau memperindah suatu objek disebut elemen dekorasi. Ornamen tidak terbatas pada penggambaran elemen-elemen hias yang bersifat dua dimensi, tetapi juga mencakup penerapannya pada benda-benda yang bersifat tiga dimensi.

Menurut Tim Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982), dekorasi atau hiasan pada bangunan rumah jawa tradisional pada dasarnya ada dua macam, yaitu dekorasi konstruksional dan dekorasi yang tidak konstruksional. Maksud dari dekorasi konstruksional adalah dekorasi yang menjadi satu dengan bangunan, jadi tidak dapat dilepaskan dari bangunannya, sedangkan dekorasi yang tidak konstruksional ialah dekorasi bangunan yang dapat terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap konstruksi bangunannya. Dekorasi yang terdapat pada bangunan rumah Jawa tradisional pada umumnya bersifat konstruksional.

Bangunan rumah Jawa tradisional pada umumnya menggunakan bahan kayu, bambu, tembikar, batu dan logam. Fungsi dekorasi pada suatu bangunan adalah untuk memberi keindahan pada bangunan. Keindahan yang terdapat pada bangunan itu diharapkan dapat memberikan ketentraman dan kesejukan. Ketentraman abadi hanya terdapat di surga, berdasarkan pernyataan tersebut dekorasi yang dipakai juga menggunakan dekorasi yang dapat menggambarkan surga, yang pada umumnya bersifat fantasi atau benda dunia yang diperindah dari bentuk aslinya. Kiblat dekorasi yang menggambarkan surga bagi masyarakat Jawa adalah dekorasi yang terdapat pada bangunan candi, yang merupakan bangunan yang dipergunakan untuk menempatkan patung-patung para dewa.


(33)

7. Unsur-Unsur Dekorasi Candi Hinduisme di Jawa

Di Jawa, banyak terdapat peninggalan-peninggalan sejarah pada masa kerajaan Hindu Buddha, yang tentunya memiliki unsur-unsur Budhisme dan Hinduisme khususnya dalam arsitektur bangunan dan elemen hias atau dekorasinya. Candi merupakan salah satu karya arsitektur Hinduistik dan Budhistik yang sampai sekarang masih banyak terdapat di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa. Istilah candi merujuk pada bangunan suci peninggalan zaman Hindu Buddha di Indonesia. Candi merupakan bangunan kuno yang tersusun dari batu. Di India candi disebut dewa graha yang berarti rumah dewa dimana menurut kepercayaan bangsa India pada waktu dulu gunung kosmis adalah Mahameru, dan candi merupakan semacam pencerminan dari tempat tinggal para dewa, oleh karena itu candi juga berfungsi sebagai tempat pemujaan (Arifin, 1986: 52).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, candi diartikan sebagai bangunan kuno yang dibuat dari batu, berupa tempat pemujaan atau tempat penyimpanan abu jenazah raja-raja atau pendeta-pendeta Hindu atau Buddha. Dalam bahasa Sanskerta, candi berasal dari kata candika yang merupakan nama salah satu dewi, yaitu Dewi Durga yang merupakan dewi maut atau dewi kematian. Candi dihubungkan dengan kematian yaitu makam, lebih tepatnya sebagai tempat menyimpan abu jenasah para raja pada masa lalu. Dalam bahasa Jawa kuno, candi atau cinandi atau sucandi berarti „yang dikuburkan‟ (Mukhlis, 2009: 165).


(34)

Relief menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pahatan yang menampilkan perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata di sekitarnya; gambar timbul (pada candi). Bentuk ukiran tersebut biasanya dijumpai pada bangunan candi, kuil, monumen dan tempat bersejarah kuno. Di Indonesia, relief pada dinding Candi Borobudur merupakan salah satu contoh yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan sang Buddha dan ajaran-ajarannya. Di Eropa, ukiran pada kuil kuno Parthenon juga masih bisa dilihat sampai sekarang sebagai peninggalan sejarah Yunani Kuno.

Relief ini bisa merupakan ukiran yang berdiri sendiri, maupun sebagai bagian dari panel relief yang lain, membentuk suatu seri cerita atau ajaran. Pada Candi Borobudur misalkan, ada lebih dari 1400 buah panel relief yang dipakai untuk menceritakan semua ajaran sang Buddha Gautama. Selain relief, banyak juga ditemui patung dewa dan dewi maupun figur penting lain dalam agama Hindu dan Budha. Patung sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan tiruan bentuk orang, hewan, yang dibuat dari batu, kayu, dan sebagainya. Patung tidak dapat lepas dari perlengkapan ataupun hiasan pada bangunan gereja. Karena patung pada gereja digunakan untuk simbolisasi pemujaan.

Pengertian patung menurut Mikke Susanto (2012 : 296) adalah tipe karya tiga dimensi yang bentuknya dibuat dengan beberapa metode, yang pertama adalah metode subtraktif, yaitu mengurangi bahan seperti memotong, menatah, dan lain-lain. Metode selanjutnya adalah metode aditif, yaitu membuat modeling terlebih dahulu, seperti mengecor dan mencetak.


(35)

Jenis-jenis patung yang telah dihasilkan memiliki berbagai macam rupa dan wujud. Jenis-jenis patung yang ada di dalam komplek Ganjuran adalah free-standing sculpture, portrait sculpture, relief sculpture. Free-standing sculpture bisa disebut juga dengan patung berdiri yang sangat umum menggambarkan manusia atau objek lainnya. Portrait sculpture disebut juga dengan patung dada atau potret yang hanya memunculkan figur kepala manusia atau penjelmaan dewa. Relief sculpture secara sederhana disebut relief yang memiliki background flat.

8. Bentuk dan Makna Dekorasi Ragam Hias Jawa

Bentuk dan makna dekorasi Jawa sebelumnya sudah sedikit disinggung dalam kajian dekorasi bangunan tradisional Jawa, dimana dijelaskan oleh Tim Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah (1982) bahwa fungsi dekorasi pada suatu bangunan tradisional Jawa adalah untuk memberi keindahan pada bangunan dan keindahan yang terdapat pada bangunan itu diharapkan dapat memberikan ketentraman dan kesejukan, dan ketentraman abadi hanya terdapat di surga, maka dekorasi yang dipakai juga menggunakan dekorasi yang dapat menggambarkan surga, yang pada umumnya bersifat fantasi atau benda dunia yang diperindah dari bentuk aslinya. Kiblat dekorasi yang menggambarkan surga bagi masyarakat Jawa adalah dekorasi yang terdapat pada bangunan candi, yang merupakan bangunan yang dipergunakan untuk menempatkan patung-patung para dewa.

Ragam hias muncul dalam bentuk-bentuk dasar yang sama namun dengan variasi yang khas untuk setiap daerah. Dalam karya kerajinan atau seni Nusantara


(36)

tradisional, sering kali terdapat makna spiritual yang dituangkan dalam stilisasi ragam hias. Ragam hias Nusantara biasanya merupakan stilisasi dari bentuk alam atau makhluk hidup (termasuk manusia), dan ada pula ragam hias adaptasi pengaruh budaya luar, seperti dari Tiongkok, India, dan Persia.

Motif dalam ragam hias diambil dari bentuk-bentuk flora, fauna, figuratif, dan bentuk geometris. Ragam hias tersebut dapat diterapkan pada media dua dan tiga dimensi. Motif ragam hias daerah di Indonesia banyak menggunakan tumbuhan dan hewan sebagai objek ragam hias. Motif ragam hias tersebut dapat dijumpai pada hasil karya batik, ukiran, anyaman, dan tenun. Selain motif flora dan fauna, terdapat motif ragam hias geometris. Motif hias geometris dikembangkan dari bentuk-bentuk geometris dan kemudian digayakan sesuai dengan selera dan imajinasi pembuatnya. Gaya ragam hias geometris dapat dibuat dengan menggabungkan bentuk-bentuk geometris ke dalam satu motif ragam hias. Bentuk ragam hias umumnya memiliki pola atau susunan yang diulang-ulang. Pada bentuk ragam hias yang lain, pola yang ditampilkan dapat berupa pola ragam hias yang teratur, terukur, dan memiliki keseimbangan. Pola ragam hias geometris dapat ditandai dari bentuknya seperti persegi empat, zigzag, garis silang, segitiga, dan lingkaran. Pola bidang tersebut merupakan pola geometris yang bentuknya teratur. Bentuk lain dari pola geometris adalah dengan mengubah susunan pola ragam hias tak beraturan dan tetap memperhatikan segi keindahan (Purnomo, 2013: 14-17).

Ragam hias dalam dekorasi bangunan tradisional Jawa dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu kelompok flora, fauna, alam, agama dan


(37)

kepercayaan, dan kelompok lain-lain. Kelompok flora yang banyak didapati pada dekorasi bangunan tradisional Jawa adalah macam flora yang memiliki makna suci, berwarna indah, berbentuk simetris, dan serba estetis meliputi batang, daun, bunga, buah, dan ujung pohon-pohonan. Contoh ragam hias flora yang sering dijumpai adalah lung-lungan, saton, tlacapan, dan wajikan.

Pada gambar 2, digambarkan ragam hias lung-lungan yang berwujud pohon atau tumbuhan yang biasanya kita jumpai, seperti teratai, melati, daun markisa, atau tanaman yang bersifat melata, berfungsi untuk memberikan keindahan dan kesan ketentraman pada suatu bangunan.

Gambar 2: Lung-lungan

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 126)

Ragam hias saton pada gambar 3 berbentuk mirip makanan bernama satu, yang berbentuk bujur sangkar dengan hiasan dedaunan atau bunga di dalamnya. Saton ini berfungsi sebagai landasan dan pelengkap ornamen lain seperti tlacapan.


(38)

Gambar 3: Saton

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 129)

Tlacapan pada gambar 4 berbentuk segi tiga sama kaki yang dapat diisi dengan lung lungan, dedaunan, maupun bunga yang distilisasikan. Tlacapan memiliki maksud kecerahan atau keagungan, sehingga digambarkan sebagai cahaya sorot atau menggambarkan sinar matahari.

Gambar 4: Tlacapan

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 135)

Wajikan memiliki nama yang berasal dari kata wajik yang juga merupakan nama makanan di Jawa terbuat dari beras ketan berbentuk belah ketupat sama sisi (lihat gambar 5). Wajikan selain memiliki fungsi keindahan, juga berfungsi mengurangi kesan tinggi pada tiang bangunan.


(39)

Gambar 5: Wajikan

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 131)

Macam ragam hias fauna yang didapati pada bangunan tradisioanl Jawa tidak sebanyak seperti dekorasi flora. Macam fauna yang berupa dekorasi selalu dalam bentuk yang telah distilisasi, seperti yang banyak ditemukan dalam candi dan pewayangan, misalkan garuda, kala, makara, ular, harimau, gajah, dan sebagainya. Dalam penggambaran dan perwujudannya pun ada yang utuh, hanya sebagian, dan ada pula yang hanya karakteristiknya saja, misalkan pada bentuk burung hanya sayapnya saja yang diwujudkan. Sayap tersebut biasa dikenal dengan istilah :lar. Bentuk ragam hias fauna yang biasa dijumpai antara lain Peksi garudha dan jago.

Ragam hias peksi garudha pada gambar 6 menunjukkan bentuk garuda, dimana burung ini adalah burung terbesar yang menjadi kendaraan Batara Wisnu dan sebagai lambang pemberantas kejahatan.


(40)

Gambar 6: peksi garudha

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 147-148)

Jago yang dimaksud dalam ragam hias ini adalah bentuk ayam jantan yang dapat dilihat pada gambar 7, dimaksudkan agar penghuni rumah memiliki andalan pada berbagai bidang berkaitan dengan kata jago itu sendiri.


(41)

Gambar 7: jago

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 152)

Macam ragam hias alam yang didapati pada bangunan tradisional Jawa tidak sebanyak seperti dekorasi flora dan fauna. Perwujudan dekorasi alam inipun juga secara stilisasi. Kelompok alam ini perwujudannya antara lain berupa gunung, matahari, bulan, hujan petir, air, api, dan lain sebagainya. Contoh ragam hias yang biasa dijumpai antara lain gunungan, praba, dan mega mendung.

Gambar 8 menunjukkan bentuk dekorasi gunungan atau yang juga disebut dengan kayon. Gunungan atau kayon ini merupakan lambang alam semesta dengan puncaknya yang melambangkan keagungan dan keesaan. Sehingga diharapkan penghuni mendapatkan ketentraman dan keselamatan dari Tuhan Yang Mahaesa.


(42)

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 157-158)

Praba dalam bahasa sansekerta memiliki arti cahaya atau sinar, dimaksudkan agar dapat memberi cahaya atau sinar pada tiang bangunan karena memang penempatan praba terdapat pada tiang bangunan baik saka guru, saka pananggap, maupun saka panitih. Contoh pengaplikasian praba dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9: praba

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 163)

Gambar 10 menunjukkan ragam hias dekorasi mega mendhung yang memiliki bentuk menyerupai awan berbentuk bolak balik dan bersifat gelap terang, melambangkan sifat saling bertolak belakang seperti hidup mati, siang malam, laki-laki perempuan, baik buruk yang merupakan sifat hakiki dunia.


(43)

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 169)

Macam ragam hias yang mengandung unsur agama dan kepercayaan pada bangunan rumah Jawa tradisional, kita dasarkan pada bangunan rumah sejak jaman mataram islam hingga sekarang, yang memiliki unsur kepercayaan peradaban Hindu dan Buddha maupun unsur kepercayaan masyarakat Jawa jaman prasejarah. Perwujudannya dapat berupa tulisan seperti kaligrafi pada gambar 11 sebagai contohnya, lambang ataupun gambar lain yang mengandung makna keagamaan atau kepercayaan.

Gambar 11: kaligrafi pada dekorasi ragam hias Jawa

(Sumber: Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982: 177)

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana latar belakang sejarah awal dan bentuk bangunan Gereja Ganjuran?

b. Bagaimana latar belakang bangunan dan bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006?


(44)

c. Bagaimana karakteristik arsitektur joglo tumpangsari beralih fungsi menjadi tempat ibadah?

d. Apa jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran? e. Bagaimana bentuk dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran?


(45)

BAB III

CARA PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kualitatif deskriptif, artinya pendekatan ini mampu mengungkap berbagai informasi kuantitatif, menjelaskan sesuatu yang ada lebih terinci. Metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Prastowo Andi, 2012: 186). Ditegaskan bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan (Suharsimi Arikunto, 2003: 310, dalam Prastowo Andi, 2012: 186).

Karena bentuk penelitian ini adalah studi kasus tunggal, maka studi ini akan berusaha melakukan evaluasi, menerangkan, dan membahas simbol–simbol yang ada pada dekorasi Gereja Ganjuran. Pengumpulan datanya terarah pada berbagai aspek fokus atau variabel.

B.Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diambil dari Informan utama, yakni Romo FX Wiyono Pr, dan petugas sekertariat Ganjuran serta arsip dan dokumen yang berkaitan dengan sejarah gereja, serta foto–foto yang berkaitan dengan simbol dan dekorasi di Gereja Ganjuran. Tempat meliputi Gereja Ganjuran, lingkungan Gereja Ganjuran, dan masyarakat di sekitar gereja.


(46)

C.Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang akan digunakan sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara secara umum adalah proses memperoleh keterangan dan data yang dibutuhkan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, teknik wawancara ini dilakukan dengan cara luwes, akrab, dan terbuka. Dengan cara ini diharapkan dapat menangkap informasi secara lengkap, detail, dan menyeluruh. Teknik ini digunakan untuk menjaring data tentang sejarah berdirinya gereja, termasuk pendiri dan latar belakangnya, bagaimana dekorasi yang ada di gereja, dan pandangan–pandangan informan tentang simbolisme dekorasi yang ada di gereja serta makna yang berkaitan dengan ajaran Nasrani khususnya Katolik. Narasumber wawancara dalam penelitian ini adalah Romo FX Wiyono Pr, yang dulunya merupakan Romo Paroki Ganjuran ketika pembangunan gereja pasca gempa tahun 2006.

2. Observasi

Berkaitan dengan objek penelitian yang meliputi berbagai dekorasi yang ada di komplek Gereja Ganjuran, maka observasi yang akan digunakan adalah observasi alami atau observasi terhadap objek selain manusia. Sesuai dengan pendapat Sutrisno Hadi dalam Prastowo (2012: 220), observasi merupakan


(47)

pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap suatu gejala yang tampak pada objek penelitian, maka pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap berbagai dekorasi yang ada di Gereja Ganjuran, meliputi gapura, bangunan gereja, candi, Berkat Tirta Perwitasari, relief, dan patung. Pengamatan dan pencatatan tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk setiap dekorasi yang ada di Gereja Ganjuran dan makna simbolisnya.

3. Kepustakaan

Berkaitan dengan sejarah komplek Gereja Ganjuran, maka selain wawancara dan observasi teknik kepustakaan ini juga dibutuhkan, terlebih untuk mengetahui kronologis perkembangan gereja dari awal berdiri hingga saat ini. Metode ini merupakan metode penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan melalui tempat–tempat penyimpanan hasil penelitian, yaitu perpustakaan. (Kutha Ratna, 2010: 196, dalam Prastowo Andi, 2012: 190). Teknik ini disamping untuk mencatat semua data yang terdapat dalam arsip dan dokumen, juga untuk memperoleh gambaran yang lengkap tentang kondisi dokumen dan arsip tersebut, termasuk di dalamnya hal–hal yang tersirat.

D.Validitas Data

Guna menjaga validitas data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, maka validitas datanya akan dilakukan dengan cara triangulasi data, yaitu pengumpulan data sejenis dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda. Dalam penelitian ini pengumpulan datanya diambil dari wawancara langsung dengan Romo FX Wiyono Pr, petugas sekertariat gereja dan arsip serta


(48)

dokumen yang berada di sekertariat Gereja. Langkah triangulasi data disebut dengan multiple source of evidence yaitu semua data yang sudah diperoleh kemudian diperiksa kembali, apakah sudah sesuai dengan keadaan di lapangan.

E.Teknik Analisis Data

Setelah data dari berbagai sumber terkumpul, selanjutnya adalah analisis data, analisis data sendiri merupakan proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan, dengan kata lain pengorganisasian, dan pengurutan data ke dalam kategori satuan uraian dasar sehingga dapat diketemukan kesimpulan.

Adapun teknik yang digunakan, menggunakan teknik analisis data mengalir atau flow model of analysis yang diadaptasi dari model Miles dan Huberman (Prastowo Andi, 2012: 241-242). Dalam teknik analisis ini, harus diketahui tiga komponen pokok sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dan berlangsung sejak menetapkan pokok masalah, menyusun masalah, dan juga teknik pengumpulan data yang digunakan.

2. Penyajian Data

Pada langkah ini, data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh deskripsi tentang tujuan penelitian, yaitu meliputi:


(49)

latar belakang sejarah awal dan bentuk bangunan Gereja Ganjuran, latar belakang bangunan dan bentuk Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006, jenis dan fungsi berbagai bangunan di komplek Gereja Ganjuran, bentuk dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran dan makna simbolis dekorasi pada komplek Gereja Ganjuran. 3. Penarikan Simpulan atau Verifikasi

Pada tahap ini dibuat kesimpulan tentang hasil dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Kesimpulan ini masih memerlukan adanya verifikasi (penelitian kembali tentang kebenaran laporan) sehingga hasil yang diperoleh benar-benar valid. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan dilakukan secara terus-menerus mulai dari awal, saat penelitian berlangsung, sampai akhir laporan.


(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Deskripsi Lokasi Gereja Ganjuran

Gereja Ganjuran berada di desa Ganjuran, Sumbermulyo, kecamatan Bambanglipuro, kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gereja Ganjuran terletak di sebelah selatan kota Yogyakarta, dan berjarak kurang lebih 20 kilometer ke arah selatan dari kota Yogyakarta. Gereja Ganjuran dapat ditempuh melalui rute jalan menuju obyek wisata Pantai Parangtritis, melalui Jalan Parangtritis dan jalan ke arah barat menuju kecamatan Bambanglipuro atau dapat ditempuh melalui Kota Bantul melalui jalan Samas ke arah selatan sampai papan penunjuk arah ke Gereja Ganjuran di timur jalan (lihat gambar 13). Gereja Ganjuran seperti layaknya gereja lain pada umumnya berfungsi sebagai tempat berdoa dan ritual keagamaan bagi umat Katolik. Pengunjung dan umat yang datang tidak hanya berasal dari wilayah Yogyakarta dan sekitarnya saja, namun datang dari kota-kota lain, luar Jawa, dan bahkan turis mancanegara. Selain bangunan Gereja Ganjuran itu sendiri terdapat pula candi yang diberi nama Candi Hati Kudus Yesus dan mata air Berkat Tirta Perwitasari yang menjadi cirri khas Gereja Ganjuran dan membedakannya dari gereja-gereja lain yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Di dalam komplek Gereja Ganjuran juga terdapat asrama Pastur yang biasa disebut dengan nama Pasturan, biara, pemandian rohani, panti asuhan, rumah sakit dan makam dengan luas keseluruhan komplek gereja yang kurang lebih mencapai tujuh hektar. Keunikan Gereja Ganjuran ini selain memiliki sebuah candi bercorak


(51)

Hindu-Jawa, juga nampak dari corak bangunan utama Gereja yang merupakan inkulturasi dari budaya Jawa. Inkulturasi dalam Katolik sendiri merupakan istilah yang digunakan gereja Katolik Roma yang merujuk pada adaptasi ajaran gereja dengan kebudayaan non-Kristiani. Secara umum inkulturasi adalah penyesuaian dan adaptasi terhadap kelompok, umat, kebiasaan, bahasa maupun perilaku di suatu tempat. Inkulturasi dengan kebudayaan Jawa dalam Gereja Ganjuran diwujudkan dalam bentuk pendopo joglo, dekorasi ukiran dan patung Yesus mengenakan pakaian raja Jawa yang terdapat di dalam candi serta huruf Jawa yang terdapat pada relief di sekitar candi.

Gambar 12: Lokasi Gereja Ganjuran di Yogyakarta (Sumber: Google Map)


(52)

Gambar 13: Denah Komplek Gereja Ganjuran Keterangan :

1. Papan nama Gereja Ganjuran 2. Pendopo Paseban

3. Sekertariat Gereja 4. Pendopo utama

5. Toilet dan pemandian Siloam 6. Biara Carrolus Borromeus 7. Panti asuhan Santa Maria 8. Rumah sakit Santa Elisabeth 9. Gereja Mandala Hati Kudus Yesus 10. Candi Hati Kudus Yesus

11. Patung Bunda Maria

12. Gapura gerbang masuk komplek Gereja 13. Pasturan

14. Ruang adorasi 15. Tempat parkir


(53)

Gambar 14: Papan nama Gereja Ganjuran

Gambar 14 menunjukkan papan nama Gereja Ganjuran sebagai penanda utama komplek Gereja, dalam denah pada gambar 13, letak papan nama ini ditandai dengan angka 1. Secara visual papan nama ini memiliki bentuk yang simetris dengan didominasi warna hitam yang terdiri dari dua unsur penyusun utama, yaitu berupa batu dan marmer pada bagian nama gereja. Memiliki letak yang cukup strategis karena berada di tepi jalan Ganjuran, sehingga memudahkan pengunjung untuk menemukan lokasi komplek Gereja Ganjuran. Papan nama ini berada di sudut barat daya komplek Gereja Ganjuran. Unsur dekorasi yang terdapat pada papan nama Gereja Ganjuran ini tidak mendominasi bentuk keseluruhannya, hanya terdapat sebuah salib dan bentuk batu yang menyudut pada bagian atas papan nama gereja.


(54)

Gambar 15: Pendopo Paseban

Pendopo Paseban pada gambar 15 ini berada di sisi barat komplek Gereja Ganjuran. Pada denah di gambar 13, Pendopo Paseban ini ditandai dengan angka 2. Setelah masuk ke komplek gereja pengunjung dapat langsung melihat pendopo tersebut di sebelah utara gerbang atau gapura. Pendopo Paseban ini sering dijadikan tempat untuk umat ataupun pengunjung mengadakan pertemuan skala kecil, karena itu di Pendopo Paseban ini disediakan meja dan kursi untuk keperluan tersebut. Berbeda dengan bangunan pendopo utama di depan bangunan gereja yang lapang dan kosong tanpa ada meja dan kursi maupun perabotan lain. Tidak ada unsur dekorasi yang ditemukan dalam pendopo ini.


(55)

Gambar 16: Sekertariat Gereja Ganjuran

Sekertariat gereja yang ditunjukkan oleh gambar 16 ini berada di sebelah barat bangunan utama Gereja. Pada denah di gambar 13, letak sekertariat gereja ditandai dengan angka 3. Memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan administratif gereja, serta mengelola kearsipan dan kepustakaan serta dokumentasi Gereja. Terdapat unsur dekorasi banyu netes pada bagian bawah atap bangunan sekertariat.

Gambar 17 merupakan pendopo yang berada di seberang bangunan utama gereja, di sisi selatan komplek Gereja Ganjuran. Pada denah di gambar 13, letak pendopo ini ditandai dengan angka 4. Pendopo ini memiliki fungsi sebagai tempat beristirahat bagi para umat maupun pengunjung gereja selain itu beberapa pengunjung memilih pendopo tersebut sebagai tempat bermalam jika ingin


(56)

bermalam di komplek gereja. Tidak ada unsur dekorasi pada pendopo utama gereja.

Gambar 17: Pendopo utama di komplek Gereja Ganjuran

Gambar 18 menunjukkan pemandian yang berada di dalam komplek Gereja Ganjuran, pada denah di gambar 13, lokasi pemandian ini ditandai dengan angka 5. Pemandian tersebut memiliki fungsi sebagai tempat untuk mandi para umat maupun pengunjung gereja. Nama Siloam diambil dari nama kolam tempat Yesus melakukan mukzizat dengan menyembuhkan orang yang buta (Yohanes 9: 1-41). Tidak ada unsur dekorasi pada bangunan pemandian rohani Siloam.


(57)


(58)

Gambar 19: Biara Carolus Borromeu

Gambar 20 menunjukkan biara yang ada di komplek Gereja Ganjuran, berada di sebelah utara bangunan utama gereja, tepatnya dibelakang bangunan utama gereja. Pada denah di gambar 13, lokasi biara ini ditandai dengan angka 6. Biara sendiri merupakan tempat bagi para suster dan frater yang memberikan pelayanan bagi suatu paroki atau lingkungan gereja, dalam hal ini khususnya bagi lingkungan Gereja Ganjuran. Nama Carolus Borromeus diambil dari nama seorang santo dari Arona, Lombardia yang terkenal dengan kepeduliannya terhadap para korban wabah pes pada tahun 1576. Tidak ada unsur dekorasi pada bangunan Biara Carolus Borromeus.


(59)

Panti asuhan yang ada di komplek Gereja Ganjuran dapat dilihat pada gambar 20. Letaknya berada di sebelah timur biara Carolus Borromeus, dan memanjang hingga ke belakang Candi Hati Kudus Yesus di sisi utara komplek gereja, pada denah di gambar 13, ditandai dengan angka 7. Panti asuhan ini berdiri sejak 1 Januari 1936 dan dikelola langsung oleh para suster Carolus Borromeus. Tidak ada unsur dekorasi pada bangunan panti asuhan Santa Maria.

Rumah Sakit Santa Elisabeth yang ditunjukkan gambar 21 pada awalnya merupakan sebuah poliklinik pada tahun 1921. Rumah Sakit Santa Elisabeth merupakan wujud dari perhatian Caroline Theresia Maria Van Rijckevorsel, istri dari Julius Schmutzer yang merupakan seorang perawat dan pekerja sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan penduduk sekitar pabrik pada saat itu. Bangunan rumah sakit sendiri berada di barat biara Carolus Borromeus dan memiliki akses jalan sendiri dari komplek Gereja Ganjuran. Pada denah di gambar 13, Rumah Sakit Santa Elisabeth ditandai dengan angka 8. Tidak ada unsur dekorasi pada bangunan rumah sakit tersebut.


(60)

Gambar 21: Rumah sakit Santa Elisabeth


(61)

Bangunan Gereja Mandala Hati Kudus Yesus pada gambar 22 bisa dikatakan berada di pusat komplek Gereja Ganjuran. Bangunan gereja ini berada di sebelah barat candi Hati Kudus Yesus tepat di selatan biara Carollus Borromeus. Pada denah di gambar 13, Gereja Mandala Hati Kudus Yesus ditandai dengan angka 9. Unsur dekorasi yang terdapat pada bangunan Gereja Mandala Hati kudus Yesus sangat beragam, khususnya di dalam bangunan gereja. Untuk penjelasan lebih lanjut ada dalam sub bab bentuk dekorasi bangunan gereja.

Gambar 23: Candi Hati Kudus Yesus

Candi Hati Kudus Yesus yang ditunjukkan oleh gambar 23 ini terletak di sebelah timur bangunan Gereja Mandala Hati Kudus Yesus dan tepat di sebelah utara candi terdapat panti asuhan Santa Maria. Pada denah di gambar 13, letak Candi Hati Kudus Yesus ditandai dengan angka 10. Candi ini merupakan ciri khas


(62)

dari Gereja Ganjuran yang tidak dimiliki oleh gereja lain. Candi bercorak Hindu ini mengalami beberapa penyesuaian bentuk terkait dengan inkulturasi gereja dengan kebudayaan setempat, diantaranya adanya bentuk salib di atas atap candi. Terdapat beberapa unsur dekorasi pada bangunan candi, di dalam dan di luar bangunan candi. Untuk penjelasan lebih lanjut ada dalam sub bab bentuk dekorasi bangunan candi.

Gambar 24: Patung Bunda Maria

Gambar 24 menunjukkan patung Bunda Maria yang terletak di ujung selatan halaman Candi Hati Kudus Yesus dan di sebelah timur pemandian rohani Siloam. Pada denah di gambar 13, pemandian rohani Siloam ini ditandai dengan angka 11. Umat dan pengunjung yang secara khusus ingin melakukan devosi maupun berdoa kepada Bunda Maria bisa melakukannya di tempat ini. Pada bulan


(63)

Mei dan Oktober, banyak pengunjung maupun umat yang datang untuk berdoa Rosario karena bulan tersebut merupakan bulan yang secara khusus diberikan gereja untuk menghormati Bunda Maria. Dekorasi yang terdapat pada tempat ini adalah patung Bunda Maria itu sendiri. Pembahasan lebih lanjut ada pada sub bab bentuk patung Bunda Maria.

Gambar 25: Gapura komplek Gereja Ganjuran

Gapura yang ditunjukkan oleh gambar 25 ini berfungsi sebagai pintu masuk utama ke komplek Gereja Ganjuran ini terletak di sisi barat dan tepat di sebelah utara papan nama komplek Gereja Ganjuran. Letak gapura mengarah langsung ke area parkir, sehingga memudahkan akses pengunjung yang datang maupun pergi. Pada denah di gambar 13, letak gapura ini ditandai dengan angka 12. Bentuk gapura menunjukkan inkulturasi gereja dengan kebudayaan Hindu Jawa, terdapat pula 4 bejana air di sisi kanan dan kiri gapura dengan arca kepala


(64)

manusia, singa, rajawali dan lembu. Keseluruhan bentuk gapura selain memiliki fungsi estetis juga terdapat makna-makna simbolis yang secara lengkap dibahas pada sub bab bentuk gapura dan makna simbolis gapura.

Gambar 26: Gedung Pasturan

Gambar 26 menunjukkan gedung pasturan yang terletak di dekat bangunan utama Gereja Mandala Hati Kudus Yesus, tepatnya di tenggara bangunan utama gereja. Pada denah di gambar 13, lokasi gedung pasturan ini ditandai dengan angka 13. Gedung pasturan berfungsi sebagai kantor dan tempat kegiatan dewan harian paroki, tempat kerja Romo, tempat hunian Romo dan tempat hunian tamu Gereja Ganjuran. Dalam bangunan pasturan tidak terdapat unsur dekorasi.


(65)

Gambar 27: Ruang adorasi

Ruang adorasi yang ditunjukkan oleh gambar 27 ini terletak tepat di sisi barat bangunan Gereja Mandala Hati Kudus Yesus dan tepat di belakang gedung pasturan. Pada denah di gambar 13, lokasi ruang adorasi ini ditandai dengan angka 14. Kata adorasi berasal bahasa latin adore yang memiliki arti menyembah. Ruang adorasi sendiri merupakan tempat dimana umat maupun pengunjung yang ingin berdoa secara lebih pribadi, karena ruang adorasi adalah tempat yang sangat nyaman dan tenang. Tidak terdapat unsur dekorasi di ruang adorasi.


(66)

Gambar 28: Area parkir

Area parkir komplek Gereja Ganjuran yang ditunjukkan oleh gambar 28 ini berada di sebelah barat gapura, di sisi selatan area parkir ini juga terdapat lapak-lapak para pedagang souvenir dan pernak-pernik rohani. Pada denah di gambar 13, lokasi area parkir ini ditandai dengan angka 15. Di area parkir tidak terdapat unsur dekorasi apapun.

B.Latar Belakang Sejarah Dibangunnya Komplek Gereja Ganjuran 1. Pendiri Gereja Ganjuran


(67)

Pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19, keluarga Schmutzer yang berawal dari pasangan Stefanus Barends dan Ellise Fransisca Wihelmia Kathaus datang ke Ganjuran untuk membeli perkebunan tebu pada tanggal 1 September 1862. Barends meninggal pada tahun 1876 dan Elisse menjanda selama empat tahun hingga pada akhirnya bertemu dengan Gottried Schmutzer dan memiliki empat orang anak, yaitu Elisse Anna Maria Antonia Schmutzer, Josef Ignas Julius Schmutzer, Julius Anton Maria Schmutzer, dan Eduard Milheim. Keluarga Schmutzer mendirikan pabrik gula yang diberi nama Gondanglipuro karena lokasinya yang berada di desa Kaligondang, dusun Lipuro. Pabrik Gondanglipuro pun berkembang pesat hingga meluas fungsinya menjadi sebuah kawasan pusat berbagai kegiatan di daerah Ganjuran.

2. Awal Berdirinya Gereja Ganjuran

Setelah Gottried Schmutzer meninggal, pabrik Gondanglipuro diserahkan kepada anaknya Josef Ignas Julius Schmutzer. Kepedulian Josef dalam melindungi hak-hak buruh yang tidak diperhatikan oleh pengusaha Belanda yang lain menjadi penunjang kemajuan pabrik Gondanglipuro. Berangkat dari hal tersebut, serta prakarsa seorang Pastur bernama Pastur Van Driessche. SJ yang melihat perkembangan jumlah umat yang sangat pesat, Josef mulai mendirikan gereja, dimana hal tersebut diabaikan oleh pengusaha-pengusaha Belanda lain yang hanya mementingkan keuntungan dan mengabaikan nasib buruh. Hal tersebut menerapkan ajaran sosial gereja (rerun novarum), guna mengatur


(68)

kesejahteraan buruh dan dan menjaga hubungan baik antara buruh dan pemilik pabrik.

Ditambahkan oleh Romo FX Wiyono Pr, bahwa Josef membangun gereja karena rasa syukur atas perkembangan pabrik Gondanglipuro. Sebelum dibangunnya Gereja Ganjuran, kegiatan perayaan Misa Ekaristi biasa diadakan dengan menumpang di salah satu rumah keluarga Schmutzer. Seiring berjalannya waktu, umat yang mengikuti perayaan Misa Ekaristi semakin bertambah banyak maka dibangunlah Gereja Ganjuran pada tanggal 16 April 1924.

Gambar 29: Bentuk awal Gereja Ganjuran pada masa kolonial Belanda

3. Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006

Pada tahun 2006, tepatnya pada hari Sabtu 27 Mei, gempa bumi dengan kekuatan 5,6 SR melanda Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Gereja


(69)

Ganjuran runtuh dan lebih dari 80 umat Katolik menjadi korban, mereka adalah para umat yang mengikuti misa pagi yang berlangsung pada saat itu dan lima orang meninggal atas insiden tersebut. Meskipun bangunan utama runtuh, namun candi, pasturan, dan pendopo tetap tegak berdiri. Posko Karina sebagai respon kepada para korban dibuka di Gereja Ganjuran. Melalui posko ini seluruh bantuan sosial dari mereka yang menyalurkan kepeduliannya ditampung dan diteruskan kepada masyarakat yang membutuhkan. Romo Jarot Kusnopriono Pr, menjadi koordinator langsung pengelolaan Posko Karina ini.

Pada tahun 2007, dengan bantuan yang diterima dari berbagai pihak, umat Katolik Paroki Ganjuran bersama masyarakat mulai memperbaiki tempat tinggal dan infrastruktur yang rusak akibat gempa. Setelah umat dan masyarakat mulai berbenah pasca gempa, kapel-kapel wilayah mulai diperbaiki dan dibangun kembali. Bersamaan dengan itu, pembangunan kembali Gereja Ganjuran mulai dipersiapkan, dan dilaksanakan setelah kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Gereja Ganjuran mulai pulih. Pada tahun 2008, rencana pembangunan kembali Gerja Ganjuran mendapat persetujuan dari Keuskupan Agung Semarang. Pada tanggal 22 Juni 2008, Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo berkenan meletakkan batu pertama pembangunan kembali Gereja Ganjuran. Pembangunan kembali Gereja Ganjuran ini dilaksanakan oleh umat Paroki Ganjuran dan masyarakat sekitar. Pada tanggal 29 Agustus 2009, Gereja Ganjuran yang baru telah selesai dibangun dan diresmikan oleh Paduka Sri Sultan Hamengku Buwono X, dengan ditandai perayaan Misa Ekaristi Agung oleh Rm Prof. Mgr. Ign. Suharyo, Pr.


(70)

4. Dibangunnya Candi dan Berkat Tirta Perwitasari

Setelah pembangunan gereja, untuk memvisualkan penyertaan dan kehadiran Tuhan Yesus, keluarga Schmutzer ingin membangun sebuah monumen yang diharapkan dapat menarik perhatian umat untuk berbakti kepada Kristus yang selalu mengasihi dengan hati kudusnya. Berkenaan dengan kebudayaan Jawa pada saat itu yang masih banyak didominasi kebudayaan Hindu menggunakan candi sebagai tempat pemujaan, maka dipilihlah bentuk candi yang akrab dengan masyarakat pada saat itu. Di dalam candi terdapat sebuah patung yang memvisualisasikan Yesus dalam busana kebesaran seorang raja Jawa. Patung tersebut memiliki tinggi sekitar 75cm.

Ketika pembangunan candi berlangsung tanpa diduga di sekitar candi tersebut muncul mata air yang terus mengalirkan air, maka dibuatlah Berkat Tirta Perwitasari. Selain digunakan dan diambil oleh para peziarah, air dari Berkat Tirta Perwitasari ini digunakan untuk pemberkatan umat dan untuk air pembaptisan yang merupakan upacara pemberkatan seseorang yang akan menjadi seorang Katolik.


(71)

Gambar 30: Pengambilan air dari Berkat Tirta Perwitasari oleh umat C.Bentuk Dekorasi di Komplek Gereja Ganjuran

Pada sub bab ini akan dibahas mengenai berbagai macam bentuk dekorasi yang berada di komplek Gereja Ganjuran.

1. Bentuk Dekorasi pada Bangunan Gereja Ganjuran

Bangunan Gereja Ganjuran yang memiliki nama Gereja Mandala Hati Kudus Yesus merupakan gereja yang terdapat di dalam komplek Gereja Ganjuran. Gereja Mandala Hati Kudus Yesus memiliki fungsi layaknya tempat ibadat pada umumnya, layaknya gereja bagi para umat Katolik untuk perayaan Misa Ekaristi dan perayaan lain dalam tradisi umat Katolik, namun bentuk fisik bangunan dan arsitektur bangunan Gereja Ganjuran sangat unik dan estetis serta berbeda dengan gereja-gereja lain pada umumnya.

Bentuk bangunan Gereja Ganjuran mengambil wujud pendopo Joglo yang merupakan bangunan adat Daerah Istimewa Yogyakarta, lengkap dengan ukiran-ukiran khas Yogyakarta dengan warna hijau dan kuning pada setiap ukiran-ukiran yang menjadi dekorasi bangunan dalam gereja (lihat gambar 31) serta adanya ukiran-ukiran khas yang hanya dapat di temukan di dalam Gereja Ganjuran, yaitu berbentuk burung merpati, tangkai gandum dan anggur yang menjadi simbol liturgial dalam Katolik. Sebelum memiliki wujud bangunan seperti saat ini, Gereja Ganjuran melalui banyak pemugaran. Romo FX Wiyono Pr, mengatakan bahwa pada awal dibangunnya Gereja Ganjuran hanya berbentuk persegi panjang dengan istilah “brak”. Bangunan gereja tersebut telah rusak akibat gempa Yogyakarta pada tahun 2006.


(72)

Gambar 31: ukiran di dalam bangunan gereja

Romo FX Wiyono Pr juga menambahkan bahwa bangunan utama Gereja Ganjuran terinspirasi oleh bentuk dan dekorasi yang ada di Keraton Yogyakarta sehingga memiliki banyak kesamaan. Beberapa kesamaan yang sangat Nampak diantaranya adalah pada bentuk bangunan utama yang mengadaptasi bentuk Joglo Tumpangsari yang merupakan bentuk joglo dengan sistem konstruksi atap menerus. Bentuk ini paling banyak di pakai pada bangunan tradisional Jawa. Bentuk bangunan memiliki keterbukaan ruang yang dominan dan tidak memiliki pintu masuk secara fisik. Terdapat empat soko guru yang menahan atap di tengah bangunan joglo.langit-langit juga memiliki kemiripan dengan mengikuti kemiringan atap pada sisi bawah dan datar pada bagian tengah di atas soko guru.


(73)

Gambar 32: Perbandingan soko guru di dalam bangunan utama Gereja (kiri) dengan Kraton Yogyakarta (kanan)

Gambar 32 menunjukkan perbandingan bangunan gereja dengan Kraton Yogyakarta. Keduanya memiliki empat soko guru yang menahan atap di tengah bangunan joglo. langit-langit juga memiliki kemiripan dengan mengikuti kemiringan atap pada sisi bawah dan datar pada bagian tengah di atas soko guru. Penempatan dekorasi praba dan wajikan pada soko guru juga sama. Pola pengulangan teratur pada dekorasi yang terdapat pada kedua soko guru juga memiliki kemiripan.


(74)

Gambar 33: keterbukaan ruang yang dominan di dalam bangunan utama Gereja (kiri) dengan Kraton Yogyakarta (kanan)

Bentuk bangunan joglo didominasi dengan keterbukaan ruang tanpa dinding maupun pintu masuk secara fisik terlihat pada gambar 33. Bangunan joglo dikelilingi oleh soko-soko yang juga berfungsi sebagai pondasi bangunan.


(75)

Gambar 34: Perbandingan bentuk bangunan utama Gereja (atas) dengan Kraton Yogyakarta (bawah)

Bentuk bangunan utama yang mengadaptasi bentuk joglo tumpangsari yang merupakan bentuk joglo dengan sistem konstruksi atap menerus dapat dilihat pada gambar 34. Bentuk ini paling banyak di pakai pada bangunan tradisional jawa. Bentuk bangunan memiliki keterbukaan ruang yang dominan dan tidak memiliki pintu masuk secara fisik.

Pada bagian dalam Gereja, terdapat altar yang megah dengan ukiran-ukiran khas (lihat gambar 35). Di belakang meja altar terdapat meja marmer yang berfungsi sebagai tempat tabernakel (lihat gambar 36). Tabernakel adalah sebuah


(76)

lemari kecil, tempat menyimpan Sakramen Maha kudus. Letak tabernakel berada di bagian gereja yang layak dan mencolok, selalu dihias dan dibuat dari bahan yang kuat. Di samping kanan dan kiri tabernakel terdapat dua buah patung malaikat dengan pakaian adat Jawa lengkap dengan sayapnya. Selain itu di sayap kanan dan kiri bangunan gereja terdapat patung Bunda Maria yang sedang memangku Yesus, di sayap kiri bangunan gereja juga terdapat prasasti pendirian Gereja Mandala Hati Kudus Yesus Ganjuran yang berisi tanggal, tahun, dan pendiri gereja. Prasasti tersebut dipahat di atas batu marmer yang ditulis dalam bahasa Belanda (lihat gambar 38).


(77)

Gambar 36: Tabernakel di dalam Gereja Ganjuran


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Andi, Prastowo. 2012. Metode Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Arifin, Djauhar. 1986. Sejarah Seni Rupa. Bandung: CV. Rosda.

C., Kiswara. 1988. Gereja Memasyarakat Belajar Dari Para Rasul. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. 2000. ALKITAB. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia

Dillistone, F.W. 1986. The Power of Symbols, Terj. A. Widyamartaya, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Ching, Francis. D.K, 2011. Ilustrasi Desain Interior. Jakarta: Erlangga.

J.A., Thomas. 1994. “Theory, Meaning & Experience In Church Architecture.” PhD.Thesis. School of Architectural Studies, University of Sheffield. http://www.etheses.whiteroses.ac.uk/3004/ . Diakses pada tanggal 3 Juni 2015.

Kartiko, Widi Restu. 2010. Asas Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kelompok Kerja PAK-PGI.2009. Suluh Siswa 3 Berkarya Dalam Kristus. Jakarta:

BPK Gunung Mulia.

Lorens, Bagus. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mukhlis, PaEni. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia Arsitektur. Jakarta: Rajawali Pers.

Mukhlis, PaEni. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia Seni Rupa dan Desain. Jakarta: Rajawali Pers.

Munny Ardhie, Bonyong. 1995. Makna Simbolis pada Candi Sukuh. Laporan Penelitian Kelompok Nomer 072. A/OPF. STSI/1994. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan. Surakarta: STSI


(2)

Schineller, P., 1990. A Handbook on Inculturation. Paulist Press, New York.

Purnomo, Eko. 2013. Seni Budaya. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Heuken, SJ. A. 1995. Ensiklopedi Gereja. Jakarta: CLC.

Susanto, Mike. 2012. Diksi Rupa Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa (Edisi Revisi). Yogyakarta: DictiArt Lab dan Djagad Art House.

Sunarmi, Guntur, Tri Prasetyo Utomo. 2007. Arsitektur & Interior Nusantara Seri Jawa. Surakarta: UNS Press.

Sutopo HB. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Sutrisno, S. dan Verhaak, G. 1983. Estetika, Filsafat Keindahan. Kanisius, Yogyakarta: Kanisius.

The Liang Gie. 1976. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Penerbit Karya.

Tim Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan.

Tim PUSPAR UGM. 2004. Wawasan Budaya untuk Pembangunan: Menoleh Kearifan Lokal. Yogyakarta: PUSPAR UGM.

Y. Sumandiyo Hadi. (2000). Pembentukan Simbol Ekspresif Cagar Ritual Agama. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya: Universitas Airlangga Press.


(3)

LAMPIRAN 1


(4)

(5)

LAMPIRAN 3

TRANSKRIP WAWANCARA Nama narasumber : Romo FX Wiyono Pr

Waktu : Jumat, 18 September 2015

Tempat : Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran

Pertanyaan dan Jawaban:

1. Kapankah gereja ganjuran didirikan?

Jawab: Gereja ganjuran didirikan pada tanggal 16 April 1924. 2. Siapakah pendiri gereja Ganjuran?

Jawab: Pendiri Gereja Ganjuran adalah mister Schmutzer, seorang pemilik pabrik gula yang bernama Gondanglipuro.

3. Bagaimana latar belakang pendiri Gereja Ganjuran?

Jawab: Mister Schmutzer adalah seorang Belanda pemilik pabrik gula yang peduli dengan para karyawannya, dengan cara membangun sekolah, klinik, dan tempat ibadah. Selain itu para karyawan juga belajar agama dari para misionaris dan banyak yang akhirnya dibaptis.

4. Bagaimana sejarah singkat berdirinya Gereja Ganjuran?

Jawab: Gereja Ganjuran dibangun karena rasa syukur atas perkembangan pabrik Gondanglipuro yang sangat pesat. Sebelum dibangunnya Gereja Ganjuran, kegiatan perayaan Misa Ekaristi biasa diadakan dengan menumpang di salah satu rumah keluarga Schmutzer. Seiring berjalannya waktu, umat yang mengikuti perayaan Misa Ekaristi semakin bertambah banyak dan dibangunlah Gereja Ganjuran.

5. Bagaimana dengan candi yang ada di dalam komplek Gereja Ganjuran? adakah makna simbolisnya?

Jawab: Adanya candi karena mister Schmutzer ingin memvisualisasikan Tuhan agak sulit. Hanya bisa terlihat dalam diri Yesus, Tuhan yang hadir di dunia dalam


(6)

karena pada saat itu masih terdapat banyak peninggalan candi, khususnya di daerah sekitar Prambanan. Patung Yesus dalam sosok raja diletakkan di dalam candi, dikatakan Hati Kudus Yesus, hati yang menggambarkan kepedulian, kasih, dan perhatian.

6. Apakah bangunan Gereja Ganjuran juga memiliki makna simbolis?

Jawab: Gereja di timur adalah gambaran dari terang dunia, dunia terang karena matahari terbit dari timur, bentuk joglo pada bangunan gereja adalah bentuk inkulturasi. Iman yang diwujudkan dalam simbol budaya setempat. Ukiran dan konstruksi bangunan joglo diambil dari kraton, karena ada seorang Katolik yang juga mempelajari konstruksi bangunan kraton ikut dalam pembangunan Gereja Ganjuran. Bangunan gereja dan candi menghadap ke selatan karena menghadap ke arah laut selatan, yang dimitoskan sebagai Kraton Nyi Roro Kidul yang merupakan simbol ibu. Ibu sebagai lambang kasih dan warna laut yang biru merupakan warna kasih yang abadi, simbol kasih Allah yang abadi.

7. Bagaimana dengan Berkat Tirta Perwitasari? Apakah juga memiliki makna simbolis?

Jawab: Mata air Berkat Tirta Perwitasari ini ditemukan secara tidak sengaja ketika pembangunan candi. Ketika digali, keluar air di dekat candi, seperti mata air, sumber kehidupan. Air dibutuhkan semua makhluk hidup, Yesus sendiri adalah sumber kehidupan. Berkat Tirta Perwitasari ini dipopulerkan oleh Romo Utomo, nama Perwitasari berarti inti kehidupan, perlambang berkat Allah sendiri yang dibutuhkan seluruh makhluk hidup. Dipercayai sebagai berkat, dan secara ilmiah memang kadar mineralnya lebih tinggi dibanding dengan air biasa pada umumnya.