keluarga pasien. Pekerjaan yang hanya akan sukses bila dikerjakan secara kolektif, akan sangat mengganggu bila salah satu unsur dari bagian tersebut tidak
dapat bekerjasama atau tindakan yang di tampilkan tidak sesuai harapan, bila hal tersebut ditemukan maka akan timbul streskerja.
b. Stres fisik
Dampak stressor yang dimanifestasikan dengan gangguan fisik seperti letih, otot kaku kaku leher selama dan setelah menyelesaikan pekerjaan
mean=1,91, sd=0,59, merasa ada gangguan tidur setelah pulang dari bekerja mean=1,64, sd=0,43, selalu mengalami sakit kepala saat bekerja mean=1,62,
sd=0,53, mudah lupa serta sulit konsentrasi mean=1,55, sd=0,45, merasa tegang, gemetar dan keringat dingin saat menghadapi pasien kritis mean=1,40,
sd=0,49 merupakan stres fisik yang berikutnya setelah stres sosial yang dialami perawat di ruang Instalasi Gawat darurat Rumah Sakit kota Langsa. Keadaan ini
diakibatkan karena tugas yang dilakukan umumnya menuntut kecepatan dan ketepatan dalam mengantisipasi kondisi pasien agar mampu melalui kondisi kritis
sebelum mendapat pertolongan selanjutnya atau terhindar dari kecacatan yang lebih buruk lagi. Intensitas kerja yang demikian tinggi lama kelamaan akan
berdampak pada kondisi fisik perawat seperti keletihan yangberlebihan, kekakuan otot seluruh tubuh dan lain sebagainya. Jennngs 2005, mencatat bahwa perawat
beresikomenderita keletihan fisik kronis terutama yang dituntut untuk selalu bekerja dengan standard an beban kerja tinggi. Fakta penelitian ini menunjukan
bahwa stres fisik merupakan stress kerja yang memiliki nilai skor mean tinggi kedua setelah stres sosial.
Universitas Sumatera Utara
c. Stres psikologi
Dampak lain dari stressor kerja perawat yang bertugas di ruang IGD yang dimanfestasikan ke dalam gejala psikologis adalah perasaan tertekan dengan
ketatnya peraturan yang harus dipatuhi mean=1,71, sd=0,45, adalah stres kerja yang tergolong sering dikeluhkan perawat di ruang Instalasi Gawat Darurat
RumahSakit Kota Langsa. Peraturan yang ditetapkan meskipun bertujuan baik untuk meningkatkan kedisiplinan dankinerja perawat namun terkadang dapat
menimbulkan konflik dalam bekerja. Konflik dengan pasien menyebabkan perawat tidak hanya harus mempunyai keahlian dalam melakukan tugasnya
namun harus mampu melakukan negosiasi agar tercapai keputusan yang menyenangkan bagi kedua belah pihak. Sementara itu, Jennings 2005
menyatakan bahwa perasaan mempunyai wewenang empowerment di tempat pekerjaandimana perawat diberi andil untuk memutuskan hal-hal yang terait
dengan peraturan dengan memperhaika efek positif dan negatif keputusan yang diambil serta mempertimbangkan sisi kemanusiaan berdampak pada peningkatan
perasaan autonomi dan kepercayaan diri sehingga kepuasan kerja meningkat dan berkurangnya ketegangan akibat kerja job strain. Sedangkan bila perawat tidak
memiliki hal tersebut, akan mudah mengalami keletihan mental, depersonalization dan tidak dapat berprestasi dalam bekerja dimana keadaan ini
merupakan alas an sebagian besar perawat di Inggris memutuskan burnout dari tempat kerja di negara seperti Amerika.
Pernyataan sering marah dan mengomel pada saat bekerja mean=1,64, sd=0,43, rasa frustasi bila bertugas pada shiff malam mean=1,55, sd= 0,75,
Universitas Sumatera Utara
merasa jenuh dan malas masuk kerja mean=1,35 sd=0,62, mudah tersinggung pada saat bekerja mean=1,46 sd=0,78 merupakan gejala dari stres kerja lain
yang dialami perawat krena selalu merasa tertekan dan tidak nyaman dengan kondiai kerja. Tekanan yang berlebihan dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan sebagian perawat mengalami penurunan motivasi kerja, stres psikis yangdialihkan kedalam bentuk gejala fisik, serta tidak mampu bersosialisasi
dengan baik sehingga kinerja yang ditampilkan di tempat kerja sebatas menjalankan kewajiban tanpa ada usaha untuk memberi kemampuan optimal
sebagai seorang perawat. Fitzgibbon 2006, mencatat hal yang sama juga dialami perawat di
Ontario Kanada. Stres fisik dirasakan oleh perawat meningkat seiring oleh usia sedangkan stres psikologi seperti perasaan tertekan, frustasi dan lain-lain lebih
banyak dirasakan perawat yang berusia muda, dan wanita memiliki skor stres psikologi lebih tinggi di bandingkan dengan pria, hal ini berkaitan dengan
karakteristik jenis kelamin responden dalam penelitian ini, dimana jumlah perawat perempuan 42,22 lebh sedkit daripada perawat laki-laki 57,78
olehsebab itu, stres psikolog memliki nilai skor mean lebih rendah dibandngkan stres kerja lain.
2.2. Pembahasan strategi koping a. Koping berfokus pada masalah