29 I
1
I 1
1
2
− s
R
2
R
1
V
1
E
1
R
2
jX
1
jX
m
jX
2
I +
-
Gambar 2.16. Rangkaian Ekivalen per-Fasa Motor Induksi dengan
Mengabaikan Rugi Inti
2.7 Aliran Daya dan Efisiensi Motor Induksi Tiga Fasa
2.7.1 Aliran Daya
Untuk melihat dan memahami bagaimana energi listrik dikonversikan menjadi energi mekanik pada motor induksi tiga fasa, akanlah lebih mudah jika
kita merunut aliran daya aktif yang mengalir pada mesin tersebut. Dari gambar 2.17 dapat kita lihat bahwa, sebelum akhirnya daya masukan Pi
n
dikonversikan menjadi daya keluaran P
out
dalam bentuk daya mekanik, terdapat bannyak rugi- rugi pada motor yang akan mengurangi besar daya masukan yang akan
dikonversikan menjadi daya keluaran mekanik. Rugi-rugi losses tersebut ialah :
1. Rugi-rugi tetap fixed losses Rugi-rugi ini terdiri dari :
Rugi-rugi inti stator stator core losses
P
core
= = 3
……………………………………………… 2.23
Rugi-rugi gesek dan angin friction and windage losses, P
FW
Universitas Sumatera Utara
30
2. Rugi-rugi variabel variable losses Rugi-rugi ini terdiri dari :
Rugi-rugi tembaga stator stator coper losses
P
SCL
= ………………………………………………………. 2.24
Rugi-rugi tembaga rotor rotor coper losses
P
RCL
= ………………………………………………………. 2.25
Gambar 2.17. Diagram Aliran Daya Aktif Motor Induksi Tiga Fasa
dimana : P
in
= daya aktif masukan ke stator Watt P
SCL
= rugi-rugi tembaga stator Watt P
core
= rugi-rugi inti stator Watt P
AG
= daya celah udara Watt P
RCL
= rugi-rugi tembaga rotor Watt P
m
= daya yang dikonversikan dari bentuk listrik ke mekanik Watt P
FW
= rugi-rugi gesek dan angin Watt P
out
= daya poroskeluaran Watt Daya masukan tiga fasa disuplai ke stator melalui terminal tiga fasa.
Dikarenakan rugi-rugi tembaga stator, maka daya sebesar P
SCL
didisipasikan sebagai panas pada belitan. Bagian lainnya P
core
didisipasikan sebagai panas pada
Universitas Sumatera Utara
31
inti stator, yaitu sebagai rugi-rugi inti besi. Daya aktif sisa P
AG
ditransfer ke rotor melalui celah udara dengan induksi elektromagnetik. Sehingga daya celah udara
dapat ditentukan sebagai berikut : P
AG
= P
in
– P
SCL
– P
core
……………………………………………… 2.26 Dengan memperhatikan secara cermat rangkaian ekivalen pada rotor
gambar 2.15a, satu-satunya elemen yang dapat mengkonsumsi daya celah- udara P
AG
adalah tahanan . Untuk itu daya celah udara dapat kita tuliskan
dengan persamaan : ……………………………………………………… 2.27
Dengan adanya rugi-rugi I
2
R pada rotor, maka bagian daya P
RCL
didisipasikan sebagai panas, dan sisanya akhirnya terdapat dalam bentuk daya mekanik P
m
. Adapun rugi-rugi tahanan aktual rangkaian rotor gambar 2.13. diberikan oleh persamaan :
……………………………………………………… 2.28 Karena daya tidak berubah besarnya ketika rangkaian rotor dinyatakan
terhadap sisi stator, dalam bentuk rangkaian ekivalen transformator ideal, maka rugi-rugi tembaga rotor dapat juga dinyatakan dengan :
……………………………………………………. 2.29 Setelah rugi-rugi tembaga stator, rugi-rugi inti stator, dan rugi-rugi
tembaga rotor dikurangi dengan daya masukan motor, maka daya yang tertinggal adalah yang dikonversikan kebentuk mekanik. Daya mekanik yang dibangun ini
diberikan oleh persamaan : P
m
= P
AG
– P
RCL
…………………………………………………… 2.30 =
–
Universitas Sumatera Utara
32
P
m
=
−1
1 s
……………………………………………… 2.31 Dari persamaan 2.27 dan 2.29 dapat dilihat bahwa rugi-rugi tembaga
rotor P
RCL
dan daya celah udara P
AG
memiliki hubungan sebagai berikut : P
RCL
= s.P
AG
………………………………………………………. 2.32 Untuk itu, semakin kecil slip motor, semakin kecil juga rugi-rugi pada
rotor. Perhatikan juga, bahwa, jika rotor tidak berputar slip s = 1 dan daya celah udara seluruhnya dipakai pada rotor. Karena P
m
= P
AG
– P
RCL
, ini juga memberikan hubungan yang lainnya diantara daya celah udara dan daya yang
dikonversikan dari bentuk listrik ke mekanik : P
m
= P
AG
– P
RCL
…………………………………………………… 2.33 P
m
= P
AG
– s.P
AG
P
m
= 1 – s P
AG
…………………………………………………… 2.34 Sehingga jika rugi-rugi gesekan dan angin P
FW
dan rugi-rugi lainnya P
misc
stray load losses diketahui, dan dikurangi dengan daya mekanik P
m
, maka akan didapat daya keluaran P
out
atau daya yang memutar poros. P
out
= P
m
– P
FW
– P
misc
……………………………………………… 2.35
2.7.2 Efisiensi