1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kunci kemajuan suatu bangsa, karena mempunyai andil besar dalam menyumbangkan sumber daya manusia SDM berkualitas.
Pendidikan tidak hanya membentuk manusia unggul namun juga sebagai landasan yang kuat dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi bangsa.
Karena itu, tidaklah heran apabila semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu bangsa, maka akan berdampak pula pada semakin
baik kualitas bangsa tersebut. Sebagaimana Islam pun telah mengajarkan dalam perintah pertamanya
yaitu membaca. Secara luas diartikan bahwa manusia diperintahkan untuk senantiasa meneliti, mengkaji, memahami, melakukan proses pembelajaran
dan proses pendidikan dalam kehidupannya. Sesuai dengan firmanNya:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha mulia. Yang mengajar manusia dengan pena.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. QS. Al-Alaq 1- 5
1
“Dalam konteks SDM yang handal kita dapat mencermati hasil studi World Bank Bank Dunia terhadap 150 negara, bahwa kemajuan suatu
negara ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu: 1 innovation and creativity 45; 2 networking 25; 3 technology 20; 4 natural
resources 10.”
2
Berdasarkan hasil tersebut, tiga dari empat faktor menempatkan SDM yang handal sebagai faktor yang sangat strategis.
Dimaksudkan bahwa ke depan sumber daya manusia dituntut: 1 memiliki daya kreatif dan inovatif; 2 mampu membangun jaringan dan kerjasama; 3
mampu mengembangkan dan mendayagunakan teknologi; 4 mampu mengelola sumber daya alam yang dimiliki.
Studi Bank Dunia juga menunjukkan bahwa “investasi pendidikan sebagai kegiatan inti pengembangan SDM terbukti telah memiliki,
sumbangan yang sangat signifikan terhadap tingkat keuntungan ekonomi MC Machon dan Boediono, 1992.”
3
Negara berkembang seperti Indonesia semakin menyadari betapa penting pendidikan bagi bangsa yang terwujud dalam Program Wajib Belajar
9 Tahun. Pendidikan berkualitas akan menyediakan investasi berupa sumber daya manusia, yang pada akhirnya memberikan sumbangan terhadap
pembangunan sosial ekonomi melalui cara-cara meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap dan produktivitas.
Pemerintah memang harus lebih berani menginvestasikan dana yang cukup besar untuk sektor yang satu ini bila dibandingkan dengan sektor
lainnya. Meskipun investasi dalam sektor ini tidak menjanjikan timbal balik atau keuntungan dalam waktu cepat bahkan mungkin baru bisa diperoleh
manfaatnya dalam kurun waktu yang cukup lama.
1
DEPAG RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, h. 597.
2
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011, Cet. I, h. 93.
3
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2002, Cet. II, h. 79.
Perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan bila dibandingkan dengan negara lain memang masih jauh tertinggal. Misalnya dalam hal
anggaran pendidikan sesuai amanat UUD 1945 dan UU No.20 Tahun 2003 mensyaratkan anggaran untuk pendidikan alokasi 20 persen atau hanya
sebesar 1,4 persen dari GDP, sedangkan Malaysia sebesar 5,2 persen, Singapura 3,0 persen, Thailand 4,1 persen bahkan Australia mencapai 5,6
persen.
4
Pemerintah memang masih perlu didorong untuk lebih sungguh- sungguh berupaya melindungi serta memenuhi hak atas pendidikan bagi
warga negaranya. Dewasa ini, dunia pendidikan Indonesia perlu penataan dan inovasi
dalam rangka mewujudkan manusia-manusia unggul. Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas Bab II Pasal
3, menjelaskan bahwa: Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
5
Penyelenggaraan pendidikan dengan menghasilkan output berkualitas menjadi harapan banyak pihak namun dalam penyelenggaraan pendidikan
membutuhkan komponen-komponen yang dapat mendukung terhadap penyelenggaraan pendidikan salah satunya yaitu komponen biaya. Komponen
biaya merupakan masukan instrumental yang penting dalam menentukan terlaksananya proses belajar mengajar di sekolah bersama komponen-
komponen lainnya. Dapat dikatakan bahwa tanpa biaya, proses pendidikan di sekolah tidak akan berjalan karena hampir di setiap item kegiatan pendidikan
4
Joko Suryanto, dkk., Efisiensi Penggunaan APBN di Daerah: Tinjauan Terhadap Pelaksanaan BOS, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD, 2010, h. 2.
5
Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, Jakarta: DEPAG, 2003, h. 37.
.
dan pembelajaran yang dilakukan sekolah menuntut pembiayaan dalam jumlah yang mencukupi dan efisien penggunaannya.
Pengadaan sumber-sumber pembiayaan bagi pendidikan masih menjadi masalah yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, yang diperparah dengan
krisis ekonomi yang melanda pada tahun 1998. Syaiful Sagala menjelaskan bahwa keterpurukan ini menimbulkan masalah penganggaran, seperti 1 gaji
pendidik serta biaya operasional pendidikan tidak memadai, 2 dana pemerintah yang sudah dianggarkan untuk pendidikan digunakan untuk
membayar hutang negara yang membumbung tinggi dan kebutuhan barang- barang konsumsi, 3 masalah kritis sekolah dalam penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan, 4 kesulitan bagi para orang tua dalam memberikan dukungan finansial terhadap pendidikan anak-anak mereka.
6
Keadaan ini disadari semakin menambah deretan anak-anak putus sekolah.
Peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah pendidikan sangat diharapkan oleh masyarakat. Konsekuensi dari amanat undang-undang yang
telah ditetapkan pada Pasal 6 ayat 1 bahwa: “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan
dasar.”
7
Ditekankan pula melalui PP No. 47 Tahun 2008 Bab VI Pasal 9 Ayat 1:”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
8
Tetapi amanat konstitusi tersebut nampaknya masih terkendala dengan belum meratanya anggaran pendidikan dari pemerintah. Meski pemerintah
telah menyisihkan anggaran 20 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah APBN dan APBD untuk pendidikan tetapi itu masih
perlu dijabarkan lebih rinci.
9
6
Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: PT Rakasta Samasta, 2004, Cet. I, h. 186.
7
Arifin, op.cit., h. 39.
8
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, 2014, h. 6, www.dikdas.kemdikbud.go.id
9
Indra Bastian, Akuntansi Pendidikan, Jakarta: Erlangga, 2006, h. 162.
Program sekolah gratis bagi siswa SD, SMP dan sederajat yang mulai diselenggarakan oleh pemerintah sejak tahun 2005 nampak masih ada
keluhan. Pengertian gratis bukanlah gratis untuk segalanya, namun gratis yang terbatas.
10
Meskipun pendidikan dasar yang telah digratiskan masih ditemui sekolah-sekolah yang memungut biaya kepada peserta didik, seperti
uang pangkal, uang daftar ulang, uang ujian, dan iuran lain yang memberatkan orang tua peserta didik. Kebutuhan sekolah yang tidak sedikit,
namun dana tidak mencukupi memaksa sekolah harus mencari sumber dana lain diantaranya pungutan bagi orang tua murid. Sehingga anak didik dari
keluarga kurang mampu yang tidak sanggup membayar akhirnya memilih untuk menghentikan pendidikan anak-anak mereka.
Pemerintah sebagai pemangku kewajiban utama mengalami keterbatasan kemampuan dalam hal pembiayaan pendidikan. Oleh karena itu, diberlakukan
desentralisasi pendidikan demi mewujudkan pemerataan dan mutu pendidikan, sehingga pembiayaan menjadi tanggung jawab bersama.
Berdasarkan payung hukum Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada BAB XIII Pasal 46 ayat 1 yaitu:
“Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat”.
11
Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya dalam pembiayaan, melainkan
bersama-sama membantu penyediaan sumber dana pendidikan. Disahkannya konstitusi tersebut, mendorong beberapa pihak swasta turut
ambil bagian dalam penyelenggaraan pendidikan. Jika diperhatikan saat ini telah menjamur lembaga pendidikan yang
mengedepankan proses pembelajaran menarik, memadukan kurikulum mandiri dengan kurikulum
nasional maupun internasional, melengkapi fasilitas pendidikan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Namun, sekolah-sekolah ini hanya
dapat diakses oleh masyarakat kelas atas, sedang masyarakat kelas bawah hanya dapat mengenyam pendidikan dengan kualitas rendah. Padahal
harapan
10
Ibid., h. 166.
11
Arifin, op.cit., h. 54.
besar terhadap konstitusi tersebut, pendidikan menjadi lebih murah bahkan gratis sehingga dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa
diskriminasi. Pada dasarnya, masyarakat miskin yang menjadi korban dari
komersialisasi pendidikan. Pendidikan menjadi “barang mewah” yang sulit dijangkau masyarakat luas, khususnya masyarakat kurang mampu. Padahal
seharusnya mereka berhak mendapatkan perlindungan dari negara sesuai UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas BAB IV Pasal 12 ayat 1 berbunyi: “Setiap peserta didik berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka
yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.”
12
Dan untuk peserta didik yang berprestasi namun tidak mampu juga telah dijamin oleh
pemerintah pada Pasal 12 ayat 1:”setiap peserta didik berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikannya.”
13
Namun menjadi lain kondisinya, bila kita melihat keberadaan SD Juara yang berada di bawah naungan Rumah Zakat. SD Juara merupakan bagian
dari salah satu program Educare milik Rumah Zakat. Sekolah dasar ini membebaskan dari segala iuran atau gratis kepada peserta didiknya. Sesuatu
yang berbeda antara SD Juara dengan sekolah pada umumnya yaitu sumber pembiayaannya yang berasal dari zakat, infak, dan shodaqah. Tetapi sayang
biaya satuan siswa unit cost belum menjadi prioritas kajian dalam manajemen pembiayaannya. Padahal sebagai lembaga pendidikan dengan
sumber dana berasal dari zakat, infak, shadaqah maka pengelolaan pembiayaan dituntut harus transparansi serta dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, sumber dana pendidikan di sekolah ini hanya mengandalkan dana dari Yayasan, sehingga tidak jarang mengalami keterbatasan dana untuk
penyelenggaraan pendidikannya. Tetapi fakta menunjukkan bahwa SD Juara merupakan lembaga
pendidikan yang mampu mengelola pembiayaan pendidikannya tanpa
12
Ibid., h. 38.
13
Arifin., loc.cit.
bantuan dana pemerintah. Meskipun baru didirikan pada tahun 2007, namun SD Juara sudah tersebar dibeberapa daerah termasuk Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Medan, Surabaya dan Jakarta. Pendidikan dasar merupakan landasan awal peserta didik melanjutkan
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, dengan tidak mengesampingkan proses pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Apabila pendidikan
dasar tidak bermutu, maka sulit diharapkan penyelenggaraan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi memiliki peserta didik dengan kemampuan
memadai. memiliki peran penting sebagai landasan awal peserta didik agar dapat,
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis terdorong untuk meneliti bagaimana manajemen pembiayaan pendidikan serta kendala yang
dihadapi dalam pembiayaan di Sekolah Dasar Juara Kebagusan-Jakarta Selatan sehingga mampu mewujudkan sekolah gratis bagi seluruh siswanya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis terdorong untuk
mengadakan penelitianmembahas skripsi yang berjudul “Manajemen Pembiayaan Pendidikan di Sekolah Dasar Juara
Rumah Zakat Kebagusan-Jakarta Selatan
”.
B. Identifikasi Masalah