Identitas Keluarga Korban PANDANGAN ISLAM MENYIKAPI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

39 BAB IV GAMBARAN UMUM PELAKU DAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA

A. Identitas Keluarga Korban

Gambaran Identitas korban kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak sangat penting diketahui. Hal ini untuk melihat sejauh mana perbedaan dan persamaan identitas pada masing-masing kasus berangkat dari pengetahuan identitas masing-masing kasus, penelitian akan semakin utuh dalam menjelaskan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak kasusunya, pada tabel 3 di bawah ini dijelaskan identitas keluarga korban pada masing-masing rumah tangga. Tabel 1. Identitas Keluaraga Korban Informan Agama Etnis Jumlah Anak Kasus 1 Islam Betawi 2 orang laki-laki Kasus 2 Islam Sunda 1 Orang anak Perempuan Kasus 3 Islam Betawi 2 Orang Anak Perempuan Kasus 4 Islam Jawa 1 Orang Anak Laki-laki Kasus 5 Islam Jawa 1 Orang Anak Perempuan Data di proses dari hasil wawancara. 40 Berdasakan karakteristik agama, pelaku dan korban kekerasan semuanya beragama Islam. Sejak lahir mereka sudah memeluk agama Islam. Para orang tua mereka semuanya, menganut agama Islam jadi memeluk agama Islam berdasarkan keturunan. Sedangakan berdasarkan etnis pelaku dan korban dari etnis dan berbeda- beda. Pada etnis betawi, sunda, jawa, masing-masing ada yang menjadi pelaku tindak kekerasan rumah tangga terhadap anak dan sekaligus korban kekerasan rumah tangga. Atas dasar tersebut walapun dalam penelitian ini hanya tiga etnis yang menjadi subjek penelitian yaitu: Betawi, Sunda dan Jawa, kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dapat terjadi setiap hari di setiap etnis apapun. Karateristik keluarga berdasarkan jumlah anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga berbeda-beda, ada yang dua orang di setiap etnis misalnya pada kasus ketiga terjadi pula tindak kekerasan. Hal serupa juga terjadi pada keluarga yang memiliki satu orang anak misalnya pada kasus pertama memiliki dua orang anak. Berdasakan fakta tersebut , hal ini menunjukan bahwa pelaku dan korban kekerasan anak dalam rumah tangga dapat menimpa setiap keluarga yang memiliki jumlah anak yang berbeda-beda anak laki-laki maupun perempuan. oleh karena itu jumlah anak dalam keluarga tidak dapat mengerem tindakan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga. 41 Karena sistem perlindungan untuk anak masih lemah dan advokasi masalah 41 Tangerang 10 Februari 2008, Komnas HAM Dan Perlindungan Anak Dalam Rumah Tangga Dan Masyarakat, Riset, Wawancara, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Desa Gandaria Rt5 Kecamatan Mekar Baru Tangerang Banten 2008. 39 41 tersebut seolah jalan ditempat, maka kita perlu berpikir kreatif. Antara lain, kita perlu memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan para pelaku kekerasan untuk memberikan pendidikan masyarakat. Kiat ini tentunya akan menuai kontroversi. Bagi saya pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang yang sering kali tidak mampu mengatasi nasibnya sendiri untuk menjadi warga masyarakat yang baik. Mereka, sebagaimana kriminal yang lain juga. Dalam perjalanan hidupnya kemungkinan besar pernah menjadi korban. Pada saat itu tak seorangpun datang untuk menolong mereka sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan keyakinan bahwa kemalangan itu dan segala kekerasaan yang diterimanya memang menjadi bagian dan hidupnya. Bantuan sosial-psikologis terhadap pelaku kekerasan dalam persoalan KDRT, seharusnya menjadi bagian integral dalam prevensi primer dan sekunder. Melalui bantuan seperti itu, kita mencegab mereka mengulang tindakannya. Selain itu, beberapa di antaranya mungkin dapat diberdayakan untuk keluar dari stigmatisasi masyarakat dan siksaan batinnya untuk membantu orang lain agar tidak melakukan kekerasan pada anak. Mereka adalah sumber yang dapat dipercaya karena mereka pernah dalam keadaan emosional dan mental yang menjadikan mereka tidak lebih baik dari binatang. Mereka adalah manusia-manusia yang pernah bersentuhan dengan bagian yang paling gelap dan sifat kemanusiaan mereka. Jika pengalaman mereka dapat direkonstruksi menjadi energi positif untuk mengatasi masalah yang amat kompleks dan sulit ini, bukankah ini jauh lebih baik dari pada tenggelam dalam lingkaran setan hukuman dan kekerasan. Jika rasa bersalah atau kemarahan yang ada 42 pada pelaku kekerasan dapat kita kemas ulang menjadi kepedulian dan tanggung jawab, yang Iebih dari cukup dari kekejamannya. Bersamaan dengan itu, kita jelas harus membangun sistem perlindungan yang betul-betul Mari kita renungkan bersama. 42 . Berkat dan anugerah Tuhan yang dititipkan kepada kita. Dan semestinya negara dalam tanggung jawabnya secara politis dan yuridis yang diamanatkan konstitusi dasar, tidak membiarkan dan menyerahkan begitu saja tanggung jawab perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak anak terhadap masyarakat dan keluarga. Sementara negara masih enggan menempatkan posisi anak-anak dalam kebijakan pembangunan sejajar dengan isu politik dan ekonomi. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menjawab derita anak-anak, khususnya anak yang membutuhkan perlindungan khusus, sering kali menempatkan anak sebagai persoalan domestic 43 . Padahal Persoalannya bukan menyangkut kondisi saat ini saja yang menyakitkan, tetapi juga penderitaan anak yang menjadi korban kekerasan itu kerap berkepanjangan. Ada yang menderita tekanan fisik dan cacat, juga ada yang terbawa sepanjang hidupnya yang menjelma menjadi trauma. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan akan mengalami nasa ketidaksadaran dan konflik batin yang hebat.Dalam kompleksitas kehidupan sosial, bisa dipastikan ada banyak hal yang mempengaruhi terjadi berbagai bentuk dan jenis kekerasan pada anak-anak. Di satu sisi ada yang berkaitan dengan budaya, yang kemudian memunculkan istilah budaya kekerasan, di 42 Hasan Hanafi. “ Agama Kekerasan Dan Islam Kontemporer”. Jakarta: Jendela, 2001. H. 7. 43 LBH. Apik Lembaga Bantuan Hukum , Perlindungan Anak Sebagai Upaya Menghapus Tindak Kekerasan Atas Anak . Jakarta: LBH 2004. H.1 43 sisi lain ada yang bertalian dengan struktur dan relasi kekuasaan. 44 Fakta dan data di atas dan untuk menghadapi persoalan pelanggaran hak anak, semua pihak sebagai tanggung jawab berbangsa dan bernegara patut terus mendorong pemerintah sebagai penyelenggara mengambil langkah- langkah dalam upaya menimalisir tindak kekerasan terhadap anak, Pertama, menjauhkan budaya kekerasan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua, menjadikan program perlindungan Anak di Indonesia sebuah program prioritas bagi pemerintah dalam menjawab komitmen negara sebagai negara peserta yang meratifikasi Konvensi Hak Anak dan pelaksanaan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketiga, mengeluarkan kebijakan Negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak dari segala bentuk tindak kekerasan , diskriminasi, dan perlakuan. 45

B. Identitas Pelaku Tindak Kekerasan Terhadap Anak