Pengaruh Pelatihan HIV Dan AIDS Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Siswa Tentang HIV Dan AIDS Pada Siswa SMU 4 Wira Bangsa Dan Man Meulaboh 1 Kabupaten Aceh Barat
PENGARUH PELATIHAN HIV DAN AIDS TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA TENTANG HIV DAN AIDS PADA SISWA SMU 4
WIRA BANGSA DAN MAN MEULABOH 1 KABUPATEN ACEH BARAT
T E S I S
Oleh
KARTINI
087033027/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PENGARUH PELATIHAN HIV DAN AIDS TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA TENTANG HIV DAN AIDS PADA SISWA SMU 4 WIRA
BANGSA DAN MAN MEULABOH 1 KABUPATEN ACEH BARAT
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh KARTINI 087033027/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : PENGARUH PELATIHAN HIV DAN AIDS TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA TENTANG HIV DAN AIDS PADA SISWA SMU 4 WIRA BANGSA DAN MAN MEULABOH 1 KABUPATEN ACEH BARAT Nama Mahasiswa : Kartini
Nomor Induk Mahasiswa : 087033027
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi pembimbing
(Dr.Drs. R.Kintoko Rochadi, M.K.M ) ( Andi Ilham Lubis, S.K.M.M, Epid)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Dr.Drs. Surya Utama, M.S) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(4)
Telah diuji
Pada tanggal : 19 Juli 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi,M.K.M Anggota : 1. Andi Ilham Lubis,S.K.M,M.Epid
2. dr.Jamaluddin,M.A.R.S 3. Lodyana Ayu,S.Psi,M.Psi
(5)
PERNYATAAN
PENGARUH PELATIHAN HIV DAN AIDS TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA TENTANG HIV DAN AIDS PADA SISWA SMU 4
WIRA BANGSA DAN MAN MEULABOH 1 KABUPATEN ACEH BARAT
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditukis atau diterbitkan oleh orang lain,kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2010
(6)
ABSTRAK
Saat ini HIV/AIDS merupakan penyakit yang sudah ditemukan di hampir semua daerah di Indonesia termasuk di kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. Remaja merupakan salah satu kelompok yang berisiko tinggi terjangkit HIV/AIDS, yang perlu ditingkatkan pemahamannya tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS melalui pelatihan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pelatihan HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I. Jenis penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental.
Populasi dalam penelitian adalah semua siswa yang menjadi pengurus OSIS pada SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I di Kota Meulaboh berjumlah 60 orang dan sekaligus menjadi sampel penelitian. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data dianalisis dengan menggunakan Uji Regresi linear berganda pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS adalah komunikator (p=0,012), pesan (p = 0,036) dan media (p=0,024). Variabel yang berpengaruh terhadap sikap siswa tentang HIV/AIDS adalah komunikator (p=0,018) dan pesan (p=0,049). Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pengetahuan adalah komunikator dan media sedangkan untuk variabel sikap yang paling berpengaruh adalah komunikator.
Diharapkan kepada sekolah untuk melakukan peningkatan dan perbaikan serta evaluasi terhadap pelatihan HIV/AIDS baik dari segi komunikator, pesan yang disampaikan dan media yang digunakan, serta menyediakan suatu tempat untuk menjadi sumber informasi mengenai HIV/AIDS, dan kepada siswa yang telah mengikuti pelatihan HIV/AIDS dapat menjadi pendidik sebaya bagi rekan-rekan lainnya.
(7)
ABSTRACT
The HIV/AIDS disease today almost found throughout Indonesia including on Meulaboh City Aceh Barat District. Teenager is one of groups which highly risks infected with HIV/AIDS. The knowledge about prevention of HIV/AIDS of the teenager need to be improved by training.
The objective of this study was to analyze the influence of training ofHIV/AIDS on the knowledge and attitude of students about HIV/AIDS at SMU N 4 Wira Bangsa and MAN Meulaboh I. This research was conducted in quasi experiment. The population were all students as OSlS-Students Fellowship committee totally 60 persons, at once involved them as sample of the research. The data were obtained by using structured questionnaire. The data were analyzed using Multiple Regression test with the confidence rate of 95%.
The result of study showed that the variable which had influence on the knowledge about HIV/AIDS were communicator (p = 0.012), message (p = 0.036) and media (p = 0,024). The influential variable on their attitude about HIV/AIDS were communicator (p = 0.018) and message (p = 0.049). The dominant influenced variables on their knowledge were communicator and media, whereas for the most influential in attitude was communicator.
It is recommended to school to improve and evaluate the training of HIV/AIDS either from communicator, the message and the media to provide a special space to be the source of information regarding HIV/AIDS and to students who has ever attended and take part actively on the HIV/AIDS training become a trainer to others as fellowship and also for the school itself.
(8)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang membebaskan kita dari rasa gundah dan sedih,yang maha menjawab doa orang-orang yang tertindas,syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,atas segala berkah dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Pelatihan HIV dan AIDS terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa SMU 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh 1 Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010”
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini banyak kekurangan-kekurangan, namun demikian penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis banyak menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang terlibat didalam penyusunan Tesis ini terutama kepada:
1. Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr.Drs.Surya Utama, M.S, selaku Dekan dan Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(9)
4. Dr.Drs. R.Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Sekretaris Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
5. Andi Ilham Lubis, S.K.M, M.Epid selaku pembimbing kedua.
6. dr.Jamaluddin, M.A.R.S dan Lodyana Ayu S.Psi, M.Psi selaku dosen pembanding yang telah banyak memberi masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
7. Seluruh staf pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, yang telah banyak memberikan bantuan yang sangat berarti dalam penulisan mengikuti pendidikan
8. Seluruh teman-teman satu angkatan yang telah menyumbangkan masukan dan saran serta kritikan untuk kesempurnaan tesis ini.
Teristimewa buat Ayahanda, Ibunda dan Suami tercinta serta buah hati ananda Aulia Kurnia Hady dan Adinda Kartika Puteri ,pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga karena berkat doa restu dan motivasi mereka, penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita berserah dan mohon ampunanNya,semoga apa yang kita perbuat selama ini mendapat ridhaNya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Medan, September 2010
(10)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Kartini dilahirkan di Meulaboh Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat,pada tanggal 27 Agustus 1970 , beragama Islam anak pertama dari lima bersaudara dari bapak H.Hamzani, HI dan Hj.Suarni
Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada Tahun 1983 di Sekolah Dasar Negeri 4 Meulaboh, pada tahun 1986, menamatkan Sekolah Menengah Pertama di Sekolah Menengah Pertama Negeri Nomor 1 Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Tahun 1989 penulis menamatkan pendidikan pada Sekolah Menengah Farmasi di Banda Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tahun 2004 penulis menamatkan pendidikan pada Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Indonesia (STIMI) di Meulaboh Kabupaten Aceh Barat.
Penulis menikah pada tahun 1991 dan dikaruniai seorang puteri dan seorang putera. Pada tahun 1991 s/d 2003 penulis menjadi Pegawai Negeri Sipil di Puskesmas Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat, Pada tahun 2003 s/d 2004 penulis menjadi staf di Gudang Farmasi (GFK) Kabupaten Aceh Barat dan 2004 s/d 2005 menjadi pengelola pengadaan obat di bagian Pelayanan Kesehatan dan pada tahun 2005 s/d Juli 2008 menjadi Pengelola Program Surveilans di Program Pemberantasan Penyakit Menular pada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... iv
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Hipotesis ... 9
1.5. Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 11
2.1. Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Educatio... 11
2.1.1.Definisi Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education)... 11
2.1.2.Tujuan Pendidikan Kecakapan Hidup ... 11
2.1.3.Manfaat Pendidikan Kecakapan Hidup ... 12
2.1.4.Metode Pelatihan Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education)... 13
2.1.5.Materi Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education)... 15
2.2. Komunikasi ... 16
2.2.1.Definisi Komunikasi ... 16
2.2.2.Komponen Komunikasi... 18
2.2.3.Komunikasi Efektif ... 26
2.3. Motivasi ... 34
2.4. HIV/AIDS... 39
2.4.1.Pengertian AIDS... 39
2.4.2.Sejarah Perkembangan Penyakit AIDS ... 43
(12)
2.4.4.Pendidikan Kesehatan HIV/AIDS melalui
Pendidikan Kelompok Sebaya ... 47
2.4.5.Beberapa Model Pendidikan Kesehatan HIV/AIDS ... 50
2.5. Pengetahuan ... 52
2.6. Sikap ... 54
2.6.1 Komponen Pokok Sikap ... 56
2.6.2 Berbagai Tindakan Sikap ... 56
2.6.3 Fungsi Sikap ... 57
2.6.4 Pembentukan Sikap ... 59
2.6.5 Faktor-faktor yang menyebabkan Perubahan Sikap... 60
2.7. Landasan Teori ... 60
2.8. Kerangka Konsep ... 61
BAB 3 METODE PENELITIAN... 63
3.1. Jenis Penelitian ... 63
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 64
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 64
3.2.2 Waktu Penelitian ... 65
3.3. Populasi dan Sampel... 65
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 67
3.4.1.Alat Pengumpul Data ... 67
3.4.2.Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 67
3.4.3.Uji Validitas dan Reliabilitas... 68
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 69
3.6. Metode Pengukuran... 70
3.7. Metode Analisis Data ... 72
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 73
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 73
4.1.1 Gambaran Umum SMU 4 Wira Bangsa... 73
4.1.2 Gambaran Umum MAN Meulaboh I ... 75
4.2. Gambaran Karakteristik SMU 4 Wira Bangsa Dan MAN Meulaboh I... 76
4.3 Analisis Univariat... 77
4.3.1.Gambaran Pelatihan HIV Dan AIDS di SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan Man Meulaboh I Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 ... 77
4.3.2.Tingkat Pengetahuan Siswa Sebelum Dan Sesudah Di berikan Pelatihan HIV Dan AIDS SMU Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan MAN Meulaboh I di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 ... 78
(13)
4.3.3.Tingkat Sikap Siswa Sebelum dan Sesudah Di berikan Pelatihan HIV dan AIDS pada SMA Negeri 4
Wira Bangsa Meulaboh dan MAN Meulaboh-I di
Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 ... 79 4.4. Analisis Bivariat ... 80
4.4.1. Hubungan Pelatihan HIV dan AIDS Dengan Pengetahun Siswa SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh
dan MAN Meulaboh I di Kabupaten Aceh
Barat Tahun 2010 ... 81 4.4.2. Hubungan Pelatihan HIV AIDS dengan Sikap
Siswa Siswa SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan Man Meulaboh-I di Kabupaten Aceh Barat
Tahun 2010 ... 83 4.5 Gambaran Pengetahuan dan Sikap Sebelum (Pretest) Dan
Sesudah diberi Perlakuan (Postest) pada Siswa SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan Man Meulaboh I di Kabupaten
Aceh Barat Tahun 2010... 84 4.5.1 Kelompok Perlakuan ... 85 4.5.2 Kelompok Kontrol... 85 4.6 Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Pada Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pretest) dan Sesudah
Diberi Perlakuan (Postest) ... 86 4.7. Analisis Multivariat ... 87
BAB 5 PEMBAHASAN ... 90
5.1. Pengetahuan Siswa Sebelum dan Sesudah Dilakukan
Intervensi Pelatihan HIV/AIDS... 90 5.2. Sikap Siswa Sebelum dan Sesudah Dilakukan Intervensi
Pelatihan HIV/AIDS... 92 5.3 Pengaruh Komunikator Pelatihan Terhadap Pengetahuan
dan Sikap Siswa... 95 5.4 Pengaruh Pesan Pelatihan Terhadap Pengetahuan
dan Sikap Siswa... 97 5.5 Pengaruh Media Pelatihan Terhadap Pengetahuan
dan Sikap Siswa... 99 5.6 Pengaruh Komunikan Pelatihan Terhadap Pengetahuan
dan Sikap Siswa ... 100 5.7 Pengaruh Umpan Balik Pelatihan Terhadap Pengetahuan dan
Sikap Siswa ... 101 5.8 Keterbatasan Penelitian... .. 101
(14)
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 103
6.1. Kesimpulan ... 103
6.2 Saran ... 103
(15)
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
3.1 Rancangan Penelitian 63
3.2 Definisi Operasional dan Metode Pengukuran 70
4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Siswa di SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan MAN Meulaboh I Kabupaten Aceh Barat
Tahun 2010 ...76 4.2 Distribusi Frekuensi Pelatihan Motivator HIV/AIDS di SMU Negeri 4 Wira
Bangsa Meulaboh dan MAN Meulaboh I Kabupaten...78 4.3. Distribusi Tingkat Pengetahuan Siswa SMA Negeri 4 Wira Bangsa
Meulaboh dan MAN Meulaboh I Sebelum Dan Sesudah Diberikan Pelatihan di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010...79 4.4. Distribusi Tingkat Sikap Siswa SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan
MAN Meulaboh I Sebelum Dan Sesudah Diberikan Pelatihan Tahun 2010 ...80 4.5. Hubungan Pelatihan Motivator HIV Dan AIDS Dengan Pengetahuan Siswa
SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan MAN Meulaboh I Di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 ...82 4.6. Hubungan Pelatihan Motivator HIV Dan AIDS Dengan Sikap SiswaSMA
Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan MANMeulaboh I Di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010...84 4.7. Perbedaan Rerata Nilai Pretest Dan Postest Pengetahuan Dan Sikap
Kelompok Perlakuan SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan Man Meulaboh-I Di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 ...86
4.8. Perbedaan Rerata Nilai Pretest dan Postest Pengetahuan dan Sikap Kelompok Kontrol SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan MAN Meulaboh I Di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 ...86
(16)
4.9. Perbandingan Rerata Nilai Pretest dan Postest Pengetahuan Kelompok Perlakuan dengan Kontrol SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan MAN Meulaboh I di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 ...87 4.10 Perbandingan Rerata Nilai Pretest dan Postest Sikap Kelompok Perlakuan
dengan Kontrol SMA Negeri 4 Wira Bangsa Meulaboh dan MAN
(17)
DAFTAR GAMBAR
Halaman No Judul
2.1 Model Lasswell...17
2.2 Komunikator dan Media...19
2.3 Dimensi Pesan ...21
2.4 Komunikan ...22
2.5 Efek Komunikasi ...25
2.6 Umpan Balik...26
2.7 Proses komunikasi ...28
2.8 Model Herarki Piramida Maslow ...36
2.9 Skema Proses Kegiatan Belajar...48
2.10 Skema Teori Stimulus –Organisme-Respon...49
2.11 Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi...55
2.12 Kerangka Konsep ...62
(18)
DAFTAR GAMBAR
Halaman No Judul
2.1 Model Lasswell...17
2.2 Komunikator dan Media...19
2.3 Dimensi Pesan ...21
2.4 Komunikan ...22
2.5 Efek Komunikasi ...25
2.6 Umpan Balik...26
2.7 Proses komunikasi ...28
2.8 Model Herarki Piramida Maslow ...36
2.9 Skema Proses Kegiatan Belajar...48
2.10 Skema Teori Stimulus –Organisme-Respon...49
2.11 Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi...55
2.12 Kerangka Konsep ...62
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
No Judul
1 Kuesioner ... 106
2 Hasil Uji Validitas dan Reabilitas... 117
3 Hasil Output Analisa Data ... 118
4 Modul Pelatihan Motivator HIV dan AIDS... 134
5 Izin Penelitian ... 142
(20)
ABSTRAK
Saat ini HIV/AIDS merupakan penyakit yang sudah ditemukan di hampir semua daerah di Indonesia termasuk di kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. Remaja merupakan salah satu kelompok yang berisiko tinggi terjangkit HIV/AIDS, yang perlu ditingkatkan pemahamannya tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS melalui pelatihan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pelatihan HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I. Jenis penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimental.
Populasi dalam penelitian adalah semua siswa yang menjadi pengurus OSIS pada SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I di Kota Meulaboh berjumlah 60 orang dan sekaligus menjadi sampel penelitian. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data dianalisis dengan menggunakan Uji Regresi linear berganda pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap pengetahuan siswa tentang HIV/AIDS adalah komunikator (p=0,012), pesan (p = 0,036) dan media (p=0,024). Variabel yang berpengaruh terhadap sikap siswa tentang HIV/AIDS adalah komunikator (p=0,018) dan pesan (p=0,049). Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pengetahuan adalah komunikator dan media sedangkan untuk variabel sikap yang paling berpengaruh adalah komunikator.
Diharapkan kepada sekolah untuk melakukan peningkatan dan perbaikan serta evaluasi terhadap pelatihan HIV/AIDS baik dari segi komunikator, pesan yang disampaikan dan media yang digunakan, serta menyediakan suatu tempat untuk menjadi sumber informasi mengenai HIV/AIDS, dan kepada siswa yang telah mengikuti pelatihan HIV/AIDS dapat menjadi pendidik sebaya bagi rekan-rekan lainnya.
(21)
ABSTRACT
The HIV/AIDS disease today almost found throughout Indonesia including on Meulaboh City Aceh Barat District. Teenager is one of groups which highly risks infected with HIV/AIDS. The knowledge about prevention of HIV/AIDS of the teenager need to be improved by training.
The objective of this study was to analyze the influence of training ofHIV/AIDS on the knowledge and attitude of students about HIV/AIDS at SMU N 4 Wira Bangsa and MAN Meulaboh I. This research was conducted in quasi experiment. The population were all students as OSlS-Students Fellowship committee totally 60 persons, at once involved them as sample of the research. The data were obtained by using structured questionnaire. The data were analyzed using Multiple Regression test with the confidence rate of 95%.
The result of study showed that the variable which had influence on the knowledge about HIV/AIDS were communicator (p = 0.012), message (p = 0.036) and media (p = 0,024). The influential variable on their attitude about HIV/AIDS were communicator (p = 0.018) and message (p = 0.049). The dominant influenced variables on their knowledge were communicator and media, whereas for the most influential in attitude was communicator.
It is recommended to school to improve and evaluate the training of HIV/AIDS either from communicator, the message and the media to provide a special space to be the source of information regarding HIV/AIDS and to students who has ever attended and take part actively on the HIV/AIDS training become a trainer to others as fellowship and also for the school itself.
(22)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia sehingga daya tahan tubuh makin melemah dan mudah terjangkit penyakit infeksi. Sampai saat ini HIV/AIDS menjadi persoalan serius bagi negara berkembang karena secara langsung sudah menyentuh persoalan politik dan bahkan ekonomi yang berujung kepada persoalan kemiskinan (KPAN, 2007).
Di Indonesia HIV telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Pada 10 tahun pertama periode ini peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS masih rendah. Pada akhir tahun 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif 153 kasus dan HIV positif baru 486 kasus yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel serta penularan 70% melalui hubungan seksual berisiko.Pada akhir abad ke 20 terjadi kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus AIDS dan di beberapa daerah pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah mencapai 5% yaitu pada pengguna Napza suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap concentrated epidemic. (KPAN, 2007).
(23)
Sejak awal abad ke 21 peningkatan jumlah kasus semakin mencemaskan. Pada akhir tahun 2003 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan meningkat menjadi 1371 kasus, semantara jumlah kasus HIV positif mejadi 2720 kasus. Jumlah kasus AIDS terus mengalami peningkatan, dimana pada akhir Desember 2004 berjumlah 2682 kasus, pada akhir Desember 2005 naik hampir dua kali lipat menjadi 5321 kasus dan pada akhir September 2006 sudah menjadi 6871 kasus yang dilaporkan oleh 33 provinsi di Indonesia. Sementara estimasi tahun 2006, jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan 169.000–216.000 orang. Data hasil surveilans sentinel Departemen Kesehatan menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi HIV positif pada sub-populasi berperilaku berisiko, dikalangan penjaja seks (PS) 22,8% dan di kalangan penasun 48% dan pada penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebesar 68%. Peningkatan prevalensi HIV positif terjadi di kota-kota besar, sementara peningkatan prevalensi di kalangan PS terjadi baik di kota b e s a r maupun di kota kecil (KPAN, 2007).
Ditinjau dari distribusi umur penderita AIDS pada tahun 2006 memperlihatkan tingginya persentase jumlah usia muda dan jumlah usia anak. Penderita dari golongan umur 20-29 tahun mencapai 54,77%, dan bila digabung dengan golongan sampai 49 tahun, maka angka menjadi 89,37%. Sementara persentase anak 5 tahun kebawah mencapai 1,22% dan diperkirakan pada tahun 2006 sebanyak 4360 anak tertular HIV dan separuhnya telah meninggal dunia (KPAN, 2007).
(24)
Selanjutnya Data HIV/AIDS sampai Juni Tahun 2008 menyebutkan kelompok masyarakat yang paling tinggi faktor resiko penularan adalah pada usia produktif, yaitu pada penggunaan IDU (6.237 kasus), heteroseksual (5.438 kasus), homoseksual
dan biseksual (482 kasus), transmisiperinatal (228 kasus), transfusi darah (10 Kasus) dan tanpa diketahui 291 kasus. Secara Kumulatif pengidap HIV dan kasus AIDS di Indonesia sejak bulan Januari sampai dengan Juni 2008 berjumlah 18.963 yang terdiri dari 6.277 kasus HIV dan 12.686 kasus AIDS, dengan jumlah angka kematian 2.479 (Depkes, RI 2008). Dilihat dari penyebaran kasus HIV/AIDS di Indonesia, tercatat hampir semua provinsi telah melaporkan adanya kasus HIV/AIDS. Kasus terbesar terdapat di 10 Provinsi, masing-masing DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat (KPAN, 2007).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga tidak luput dari persoalan kasus HIV/AIDS, dimana sampai Mei 2009 tercatat 31 kasus AIDS dan 6 kasus HIV (Dinas Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Kabupaten Aceh Barat sebagai salah satu daerah kabupaten di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga turut menyumbang kasus HIV/AIDS dimana sampai tahun 2009 tercatat 1 kasus HIV dan 1 kasus AIDS. Jumlah kasus penderita HIV/AIDS seperti lazim disebutkan merupakan fenomena “puncak gunung es” yang artinya adalah kondisi yang sebenarnya termasuk yang terselubung bisa jadi berpuluh kali lipat dari jumlah yang dilaporkan. Ini terjadi karena kurangnya kesadaran bagi orang yang perilakunya beresiko untuk melakukan pencegahan dan pemeriksaan kesehatan. Di samping itu
(25)
memerlukan biaya yang besar untuk melakukan pemeriksaan diri ke laboratorium. Sehingga seseorang diketahui sudah tahap AIDS baru datang berobat ke rumah sakit (www.tempointeraktif.co.id). Fenomena gunung es inilah yang masih berlangsung di Kabupaten Aceh Barat. Permasalahan HIV dan AIDS belum terbuka secara nyata. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor pendidikan, sosial budaya, agama, adat istiadat sehingga mempengaruhi perilaku mereka untuk mengambil keputusan dalam upaya penanggulangan dan pencegahan HIV dan AIDS (Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat, 2008).
Di luar jumlah kasus HIV/AIDS yang sudah tercatat di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat seperti yang diuraikan sebelumnya, dapat dipertimbangkan juga data penyakit yang berkaitan dengan infeksi menular seksual, jumlah pekerja seksual komersil , dan sarana pelayanan umum terkait yang diperkirakan beresiko untuk menggambarkan tingginya bahaya penularan HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Barat. Seperti diketahui HIV/AIDS dapat ditularkan melalui hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual, dan biseksual), transfusi darah, Intra Drugs User/IDU (penularan dari pemakaian jarum suntik), penularan dari ibu yang terkena HIV/AIDS kepada anaknya yang terjadi sebelum atau selama masa persalinan, dan pemberian air susu ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya (WHO, 1994).
Dari data Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013 disebutkan terdapat 62 kasus infeksi menular seksual terkait Siphilis dan Hepatitis pada tahun 2007 serta 28 kasus sampai April tahun 2008. Selanjutnya disebutkan terdapat 33 orang pekerja seks komersil (BPS Kabupaten Aceh Barat, 2007) dan 20
(26)
sarana pelayanan umum beresiko penularan infeksi menular seksual di Kabupaten Aceh Barat selama Tahun 2008 (Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013).
Perlu juga dipertimbangkan hasil Behaviour Survey Surveilance Aceh Youth
yang dilaksanakan pada Tahun 2008 menyebutkan beberapa hasil penelitian yang terkait dengan perilaku beresiko terhadap penularan HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Barat. Penelitian ini menyampaikan bahwa hanya 40 persen remaja pria dan 65 persen remaja perempuan yang mengetahui cara pencegahan HIV/AIDS dengan teknik ABCD (Abstinence, Be Faithful, Condom, no Drugs). Kemudian survey juga menjelaskan 40 persen remaja pria dan 50 persen remaja perempuan meyakini diri tidak bisa tertular HIV/AIDS. Selanjutnya disebutkan 68 persen remaja pria dan 50 persen remaja perempuan mengaku pernah berpacaran dan dari yang berpacaran tersebut 53 persen remaja pria dan 40 persen remaja perempuan menyebutkan pernah berciuman dengan pacar mereka bahkan disebutkan 22 persen remaja pria dan 8 persen remaja perempuan pernah melakukan tindakan saling merangsang seksual dengan pacar masing-masing. Dari survey tersebut juga disampaikan 10 persen remaja pria dan 3 persen remaja perempuan pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (Behaviour Survey Surveilance Aceh Youth, 2008).
Kegiatan pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Aceh Barat sudah mulai dilakukan sejak tahun 2007 sampai tahun 2009 dengan bantuan NGO/LSM terkait. Kegiatan yang dilakukan berupa upaya promotif dan preventif untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk membuka
(27)
pemahaman masyarakat tentang bagaimana pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Namun dengan berakhirnya tugas NGO/LSM yang peduli AIDS di Kabupaten Aceh Barat maka kegiatan yang sudah mulai berjalan menjadi tersendat sehingga perlu dilakukan upaya terobosan untuk merevitalisasi upaya promotif dan preventif dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Aceh Barat.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dalam rangka revitalisasi upaya promotif dan preventif untuk penanggulangan HIV dan AIDS adalah penyusunan Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013. Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013 disusun untuk pencapaian visi Mewujudkan Masyarakat yang Bermartabat, Berbudaya dan Berperadaban Tinggi serta Peningkatan Sumber Daya Manusia dalam rangka menekan laju penularan HIV serta Menuju Aceh Barat yang sehat pada tahun 2015 (Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013). Dalam Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013 tertera secara lengkap Visi. Misi, Gambaran Situasi Kabupaten, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tempat Beresiko, Kelompok Resiko, serta kegiatan yang dilakukan.
Salah satu bentuk kegiatan yang sudah dilakukan adalah Pelatihan HIV/AIDS yang dikemas dalam bentuk kegiatan Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dengan target peserta adalah kelompok usia remaja (Siswa SMU/MAN). Tujuan kegiatan ini adalah terbentuknya remaja yang peduli akan pencegahan HIV/AIDS sekaligus diharapkan menjadi agen perubah (agent of change) pada kelompok usia remaja lainnya. Manfaat Pelatihan HIV/AIDS adalah:
(28)
1. Meningkatkan kemampuan dalam teknik pelajaran 2. Memberi wawasan berpikir yang lebih luas
3. Memberi kecakapan dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari dan percaya diri
4. Memotivasi peserta didik untuk meningkatkan kemampuannya 5. Memberi kemampuan mengatasi permasalahan hidup sehari-hari 6. Meningkatkan rasa toleransi, kebersamaan dan menghargai sesama 7. Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain
(Modul Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup, 2007).
Pelatihan HIV/AIDS dianggap perlu karena pelatihan merupakan satu model pendidikan kesehatan yang menurut Simonds yang dikutip oleh Gianz (1997) adalah upaya merubah perilaku individu, kelompok dan masyarakat dari perilaku-perilaku yang dapat mengancam/membahayakan kesehatan ke perilaku yang kondusif bagi kesehatan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan Green (1980) mengartikan sebagai pengalaman belajar yang dimaksud untuk memudahkan atau membantu penyesuaian perilaku yang bersifat sukarela, yang kondusif bagi kesehatan. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Soekidjo (1993) yang mendefenisikan pendidikan kesehatan sebagai usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilaku)nya, untuk mencapai kesehatan secara optimal.
Firman (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa pendidikan peer
(29)
pengetahuan siswa sebesar 68,2% dan secara statistik dengan nilai p=0,037 dengan uji independet test menunjukkan terdapat pengaruh signifikan peer education dan simulasi dengan pengetahuan siswa tentang pendidikan kesehatan reproduksi.
Pelatihan HIV/AIDS sengaja mengambil segmen Kelompok Usia Remaja dengan dasar kenyataan bahwa 57,8% kasus AIDS di Indonesia berasal dari kelompok umur 15 – 29 tahun yang mengindikasikan bahwa mereka tertular HIV pada umur yang masih sangat muda. Hal ini sejalan pula dengan fakta bahwa penyalahguna napza sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda. Hampir 30% populasi Indonesia berumur antara 10 sampai 24 tahun, dan mereka ini seharusnya menjadi sasaran edukasi dan penyuluhan yang benar agar tidak masuk kedalam sub-populasi berperilaku risiko tinggi (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2008).
Di Kabupaten Aceh Barat sampai Tahun 2009 terdapat 7209 siswa dari SMU, MAN dan SMK yang merupakan bagian dari kelompok usia remaja. Khusus di SMU Negeri 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I terdapat 947 siswa (Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Barat dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Aceh Barat, 2009).
Berpijak dari uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai Pengaruh Pelatihan HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap Siswa tentang HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh Tahun 2010.
(30)
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah ingin diketahuinya Pengaruh Pelatihan HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh Tahun 2010.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh Pelatihan HIV/AIDS terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa tentang HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh Tahun 2010.
1.4. Hipotesis
1. Ada pengaruh Pelatihan HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang HIV/AIDS di SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh.
2. Ada perbedaan pengetahuan siswa sebelum dan setelah mengikuti Pelatihan HIV/AIDS pada siswa SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh.
3. Ada perbedaan sikap siswa sebelum dan setelah mengikuti Pelatihan HIV/AIDS pada siswa SMU N 4 Wira Bangsa dan MAN Meulaboh I Kota Meulaboh.
(31)
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada pemerintah kabupaten Aceh Barat dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di Aceh Barat Tahun 2010. 2. Hasil Penelitian dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya untuk
meneliti permasalahan yang sama.
3. Dapat menempatkan Program HIV dan AIDS yang bersifat multi-sektor dan multi-pihak sebagai bagian penting dari agenda pembangunan di Kabupaten Aceh Barat.
(32)
BAB 2
TUNJAUAN PUSTAKA
2.1.Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education)
2.1.1. Defenisi pelatihan dan pendidikan kecakapan hidup (Life Skills Education)
Pendidikan dan Pelatihan Kecakapan Hidup adalah kegiatan yang bertujuan untuk melaksanakan pendidikan dalam meningkatkan kecakapan/kompetensi psikososial seseorang untuk mengatasi berbagai tuntutan dan tantangan hidup sehari-hari.
Pendidikan Kecakapan Hidup mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan perkembangan individu dan sosial, perlindungan terhadap hak azasi manusia, dan pencegahan terhadap masalah-masalah kesehatan sosial karena konsep dasar kecakapan hidup, meliputi:
1. Demokratisasi 2. Tanggung Jawab 3. Perlindungan
2.1.2. Tujuan pendidikan kecakapan hidup
Tujuan Umum Pendidikan Kecakapan Hidup adalah agar siswa memiliki kecakapan melaksanakan hidup sehat sehari-hari (merubah perilaku untuk hidup
(33)
sehat, fisik maupun mental) sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kualitas dan pola hidup yang lebih baik-fisik,mental, maupun sosial.
Tujuan khusus Pendidikan Kecakapan Hidup adalah :
1. Siswa dapat mengimplementasikan pengetahuan Kecakapan Hidup Sehat dalam kehidupan sehari-hari dan bersedia menyebarkan kepada orang lain.
2. Siswa siap memasuki usia dewasa dengan tingkah laku orang dewasa yang bertanggung jawab dan mampu memasuki dunia kerja dengan segala tantangannya serta mempunyai keterampilan, dan pengetahuan dalam mempersiapkan kehidupan berumah tangga yang bertanggung jawab.
3. Fasilitator pelatihan mampu memfasilitasi suatu praktek serta penguatan dari kompetensi psikososial dalam konteks kultural yang tepat.
2.1.3. Manfaat pendidikan kecakapan hidup
Tujuan Umum Pendidikan Kecakapan Hidup adalah: 1. Meningkatkan kemampuan dalam teknik pelajaran 2. Memberi wawasan berpikir yang lebih luas
3. Memberi kecakapan dalam menghadapi situasi kehidupan sehari-hari dan percaya diri
4. Memotivasi peserta didik untuk meningkatkan kemampuannya 5. Memberi kemampuan mengatasi permasalahan hidup sehari-hari 6. Meningkatkan rasa toleransi, kebersamaan dan menghargai sesama 7. Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain
(34)
2.1.4. Metode pelatihan pelatihan dan pendidikan kecakapan hidup (Life Skills Education)
Belajar pada hakekatnya merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan suatu perubahan, menyangkut pengetahuan, keterampilan dan sikap maupun nilai-nilai. Belajar untuk mengetahui (learning to know) dan melakukan (learning to do) diharapkan dapat menciptakan manusia-manusia yang produktif dan kreatif, sementara belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be my self) diharapkan dapat menciptakan manusia-manusia yang percaya diri, dan belajar untuk hidup bersama (learning to life together) diharapkan dapat menciptakan manusia-manusia yang mempunyai daya saing, daya penyesuaian, dan daya kerja sama (Mansour Fakih dkk, 2001).
Proses pembelajaran dalam pelatihan ini menggunakan azas pendidikan orang dewasa (Andragogi). Andragogi berasal dari bahasa Yunani, Andra yang berarti orang dewasa dan Agogos yang berarti memimpin, pendefenisian andragogi secara etimologi adalah suatu ilmu dan seni untuk membantu orang dewasa belajar. Peserta belajar diperlakukan sebagai orang dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan dan materi yang bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat proses belajar. Fungsi Guru atau Pelatih dalam andragogi adalah fasilitator yang tidak bersifat menggurui (Mansour Fakih dkk, 2001).
(35)
Menurut Lindeman, konsep andragogi merupakan pembelajaran yang berpola non otoriter, lebih bersifat informal yang pada umumnya lebih bertujuan untuk menemukan pengertian pengalaman dan atau pencarian pemikiran guna merumuskan perilaku yang standar. Dengan demikian teknik andragogi adalah bagaimana membuat pembelajaran menjadi selaras dengan kehidupan nyata (Mansour Fakih dkk, 2001).
Menurut Knowles, beberapa asumsi yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran andragogi adalah:
1. Kebutuhan untuk mengetahui
2. Konsep diri peserta sebagai pembelajar 3. Peranan pengalaman peserta belajar 4. Kesiapan peserta belajar
5. Orientasi peserta belajar 6. Motivasi peserta belajar
(Mansour Fakih dkk, 2001)
Tujuan pendidikan dengan pendekatan andragogi bertujuan untuk: 1. Membangkitkan semangat percaya diri dan optimisme peserta belajar 2. Memberikan kemampuan dan keterampilan untuk berbuat sesuatu
3. Memberikan kemampuan untuk dapat menerima atau menolak sesuatu atas dasar standar peraturan atau nilai-nilai atau etika masyarakat yang dianut peserta belajar.
(36)
Pelatihan dengan pendekatan andragogi, menempatkan peserta sebagai orang yang telah memiliki pengetahuan, pengalaman, keterampilan serta cenderung untuk menentukan prestasinya sendiri. Pengalaman dan potensi yang ada pada peserta adalah sumber yang perlu digali dalam proses pelatihan ini.
Dalam sebuah pelatihan yang menggunakan pendekatan andragogi akan melibatkan unsur-unsur komunikasi secara menyeluruh yaitu:
1. Fasilitator pelatihan yang berfungsi sebagai komunikator utama
2. Materi Pelatihan yang berfungsi sebagai isi pesan yang akan disampaikan komunikator kepada komunikan
3. Alat Bantu Pelatihan yang berfungsi sebagai media yang akan membantu komunikator menyampaikan isi pesan kepada komunikan
4. Peserta belajar yang berfungsi sebagai komunikan utama
5. Respon aktif peserta belajar terhadap isi pesan yang disampaikan komunikator sebagai bentuk fungsi feed back dari komunikan kepada komunikator.
2.1.5. Materi Pelatihan Dan Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education)
Materi Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup adalah: 1. Materi yang bersifat umum
Materi yang diberikan meliputi kebijakan program Pencegahan HIV/AIDS dan Pedoman Pelatihan Pencegahan HIV/AIDS bagi Pendidik Sebaya, serta Evaluasi.
(37)
2. Materi Inti
a. Kesehatan Reproduksi b. IMS dan HIV/AIDS
c. Pendidikan Kecakapan Hidup d. Narkoba
e. Komunikasi f. Pendidikan Sebaya
2.2.Komunikasi
2.2.1. Defenisi komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin yang berarti “sama”, communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama” (to make common). Istilah pertama communis adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal- usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan yang dianut secara sama. Akan tetapi berbagai defenisi menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagai hal tersebut, seperti dalam kalimat “kita berbagi fikiran”, “kita mendiskusikan makna”, dan “kita mengirimkan pesan”. (Mulyana, 2005).
Proses komunikasi yang tergambar dalam Model komunikasi dari Harold Laswell dianggap oleh para pakar komunikasi sebagai salah satu teori komunikasi yang paling awal dalam perkembangan teori komunikasi (1948). Laswell menyatakan
(38)
bahwa “cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan: Who Says, What in Which Channel to Whom With What Effect (Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa). (Effendy, 2000).
Jawaban bagi pertanyaan paradigmatik Laswell itu merupakan unsur-unsur proses komunikasi, yaitu communicator (komunikator), message (pesan), media
(media), receiver (komunikan), dan effect (efek). (Effendy, 2000).
Vardiansyah (2004) menyampaikan dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi mengenai gambar model komuniksi yang disampaikan oleh Lasswell dengan unsur-unsur dasar, walau dengan penjabaran dan interpretasi yang tidak persis sama, yaitu: komunikator, pesan, saluran komunikasi, komunikan dan efek komunikasi sebagai berikut:
Who Communicator
Say What ? Message
Which what effect Effect To Whom
Receiver In which channel
Medium
Sumber : Vardiansyah ( 2004)
(39)
2.2.2. Komponen Komunikasi 1. Komunikator
Dani Vardiansyah menyampaikan dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi bahwa Pengirim pesan atau komunikator yang dimaksud di sini adalah manusia yang mengambil inisiatif dalam berkomunikasi. Pesan disampaikan komunikator untuk mewujudkan motif komunikasi. Karena itu, komunikator kita defenisikan sebagai manusia berakal budi yang berinisiatif menyampaikan pesan untuk mewujudkan motif komunikasinya.
Dilihat dari jumlahnya, komunikator dapat terdiri dari (a) satu orang (b) banyak orang dalam pengertian lebih dari satu orang, serta (c) massa. Apabila lebih dari satu orang yakni banyak orang di mana mereka relatif saling kenal sehingga terdapat ikatan emosional yang kuat dalam kelompoknya, maka kumpulan banyak orang ini kita sebut kelompok kecil. Apabila lebih dari seorang atau banyak orang relatif tidak saling kenal secara pribadi dan karenanya ikatan emosionalnya kurang kuat, maka dikatakan sebagai kelompok besar atau publik. Namun apabila banyak orang atau lebih dari satu orang ini memiliki tujuan yang sama dan untuk mencapai tujuan tersebut terdapat pembagian kerja di antara para anggotanya, maka wadah kerjasama yang terbentuk sebagai kesatuan banyak orang ini lazim kita sebut organisasi. Jadi selain komunikator dapat berupa banyak orang dalam kelompok kecil dan kelompok besar, juga dapat berbentuk organisasi.
(40)
Satu
Orang
Banyak orang Kelompok
Homogen, saling kenal
Ikatan emosional kuat kecil
Komunikator Banyak Banyak orang Kelompok
Orang Heterogen, tdk saling kenal
Ikatan emosional rendah Besar / public
Banyak orang Motif ideal:
Punya tujuan sama organisasi LSM,
Yayasan
Ada pembagian kerja Motif
komersial:
Perseroan
terbatas
Banyak orang
Ditempatkan dan waktu sama peristiwa
Menurunkan kesadaran individu
Menimbulkan jiwa massa
Massa
Banyak orang
Tersebar dalam area geografis luas Perhatian dan minat pada hal yang sama Sumber: Vardiansyah (2004)
Gambar 2.2. Komunikator dan Media
Komunikator dapat terdiri dari satu orang, banyak orang (kelompok kecil, kelompok besar/public, organisasi), dan massa sebagaimana terlihat pada gambar di atas.
(41)
1. Pesan
Vardiansyah (2004) menyatakan bahwa pesan pada dasarnya bersifat abstrak dan untuk membuatnya konkret sehingga dapat dikirim dan diterima oleh komunikan, manusia dengan akal budinya menciptakan sejumlah lambang komunikasi berupa suara, mimik, gerak-gerik, bahasa lisan, dan bahasa tulisan. Pesan bersifat abstrak; komunikan tidak akan tahu apa yang ada dalam benak kita sampai kita mewujudkan dalam salah satu bentuk atau kombinasi lambang-lambang komunikasi . Karena itu lambang komunikasi disebut juga bentuk pesan, yakni wujud konkret dari pesan, berfungsi mewujudkan pesan yang abstrak menjadi konkret. Suara, mimik, dan gerak-gerik lazim digolongkan dalam pesan nonverbal, sedangkan bahasa lisan dan bahasa tulisan dikelompokkan dalam pesan verbal.
(42)
Suara
Nonverbal Mimik
Gerak
Bentuk Lambang
Pesan Komunikasi
Denotatif
Verbal
Denotatif
Pesan Makna Denotatif Pesan
Konotatif
Cara
Penyajian Pesan
Struktur Penyajian
Sumber: Vardiansyah ( 2004)
(43)
2. Komunikan
Menurut Vardiansyah (2004), komunikan adalah manusia yang menerima pesan dari komunikator. Dalam proses komunikasi, utamanya dalam tataran antar pribadi, peran komunikator dan komunikan bersifat dinamis saling berganti.
Dalam komunikasi yang dinamis, peran ini saling dipertukarkan. Karena itu, uraian tentang komunikator juga berlaku pada unsur komunikan, bahwa komunikan dapat terdiri dari satu orang, banyak orang dan massa.
Satu Komunikator Banyak Orang
Massa
Satu orang Komunikan Banyak
orang
Massa
Sumber: Vardiansyah, (2004)
(44)
3. Media Komunikasi
Saluran komunikasi adalah jalan yang dilalui pesan komunikator untuk sampai ke komunikannya. Terdapat dua jalan agar pesan ke komunikator untuk sampai ke komunikannya, yaitu tanpa media (nonmediated communication yang berlangsung face to face, tatap muka) atau dengan media. Media yang dimaksud di sini adalah media komunikasi.
Media merupakan bentuk jamak dari medium. Medium komunikasi kita artikan sebagai alat perantara yang sengaja dipilih komunikator untuk menghantarkan pesannya agar sampai ke komunikan. Jadi unsur pertama dari media komunikasi adalah pemilihan dan penggunaan alat perantara yang dilakukan komunikator dengan sengaja. Artinya, hal ini mengacu kepada pemilihan dan penggunaan teknologi media komunikasi.
Komunikasi tatap muka, saluran atau jalan yang dilalui pesan komunikator untuk sampai ke komunikannya adalah gelombang cahaya atau gelombang suara. Dengan pengertian media di atas, yaitu alat perantara yang sengaja dipilih komunikator untuk menghantarkan pesan komunikator agar sampai ke komunikannya, maka gelombang cahaya dan gelombang suara tidak termasuk media komunikasi, melainkan alternatif saluran komunikasi, karena manusia tidak melakukan pemilihan dengan sengaja atas gelombang cahaya dan suara.
Media komunikasi dilihat dari jumlah target komunikannya dapat dibedakan atas media massa dan non media massa. Media massa dilihat dari waktu terbitnya dapat dibedakan atas media massa periodik dan media massa non periodik. Periodik
(45)
berarti terbit teratur pada waktu-waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Media massa periodik dapat dibedakan atas yang elektronik (radio, TV) dan non elektronik atau cetak (surat kabar, majalah). Media massa non periodik dimaksudkan pada media massa yang bersifat eventual, tergantung pada event tertentu. Setelah event
usai, selesai pulalah penggunaannya. Untuk itu, media massa nonperiodik dapat dibedakan atas manusia (juru kampanye atau sales promotion girl) dan benda (poster, spanduk, leaflet).
Nonmedia massa jika dilihat dari sifatnya, dapat dibedakan atas nonmedia massa benda. Nonmedia massa benda dapat dibedakan atas yang elektronik (telepon, fax) dan yang nonelektronik (surat). Perkembangan teknologi komunikasi terkini, yakni teknologi komputer dengan internetnya, melahirkan media yang bersifat multimedia. Dikatakan multimedia karena hampir seluruh bentuk media komunikasi yang telah dikenal umat manusia menyatu dalam elektronik digitalnya. Di internet kita dapat menemukan surat elektronik, i-phone (telepon internet), surat kabar/majalah elektronik, radio internet, bahkan kegiatan tatap muka melalui internet (video conference).
4. Efek Komunikasi
Efek komunikasi kita artikan sebagai pengaruh yang ditimbulkan pesan komunikator dalam diri komunikannya. Terdapat tiga tataran pengaruh dalam diri komunikan, yaitu kognitif (seseorang jadi tahu tentang sesuatu), afektif (sikap
(46)
seseorang terbentuk, misalnya setuju atau tidak setuju terhadap sesuatu) dan konatif (tingkah laku, yang membuat seseorang bertindak melakukan sesuatu)
Kognitif Tahu
Efek Afektif Sikap: Setuju/ tidak setuju
Konatif Tingkah laku nyata (Perilaku) Sumber: Vardiansyah, (2004)
Gambar 2.5. Efek Komunikasi
5. Umpan Balik
Umpan balik dapat kita maknai sebagai jawaban komunikan atas pesan komunikator yang disampaikan kepadanya. Dalam komunikasi yang dinamis, sebagaimana diutarakan, komunikator dan komunikan terus-menerus saling bertukar peran.
(47)
Pesan
Umpan Balik Komunikator-1
Komunikan-2
Komunikan-1 Komunikator-2
Pesan
Sumber: Vardiansyah, (2004)
Gambar 2.6. Umpan Balik
2.2.3. Komunikasi Efektif
Bahasa dan kalimat yang mudah dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa: efektifitas dari kelompok (organisasi perusahaan) adalah bila tujuan kelompok tersebut dapat dicapai sesuai dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan. Bila perbedaannya dianggap terlalu besar, maka dikatakan tidak efisien. Dengan demikian komunikasi efektif merupakan pencapaian tujuan pesan yang disampaikan komunikator terhadap komunikan dengan menimbulkan perubahan perilaku pada komunikan.
Peranan seorang pelatih, materi yang disampaikan, sarana dan metode pelatihan, peserta, dan respons dari pelatihan itu sendiri sangat penting, karena itu harus dilakukan secara konsepsional dan bertindak secara sistematik. Komunikasi dalam sebuah penyampaian materi pelatihan bersifat paradigmatik. Paradigma adalah
(48)
pola yang mencakup sejumlah komponen yang terkorelasikan secara fungsional untuk mencapai tujuan. Pola beserta komponen-komponennya jelas dapat diketahui dari formula Harold Lasswell, dalam hubungan ini, Daniel Lerner dalam karyanya
“Communication System and Social Systems” dalam buku Wilbur Schramn “Mass
Communication” menampilkan apa yang disebut paradigmatic question, yang
berbunyi : “Who–Says–What–How To–Whom”. (siapa mengatakan apa, bagaimana, kepada siapa). Diantara komponen-komponen komunikator, pesan dan komunikasi itu, Lerner menyelipkan kata “How” yang tidak ditampilkan oleh Lasswell. Dan dalam komunikasi “How” atau “Bagaimana” itulah yang menjadi permasalahan.
Kata “how” (bagaimana) merupakan kata tanya yang membutuhkan sebuah jawaban dengan bentuk cara atau strategi atau metode dalam mensikapi segala sesuatu yang berhubungan dengan pencapaian atas sebuah tujuan. Umpamanya, sebuah pertanyaan, bagaimana cara untuk menjadikan pelatihan pencegahan HIV yang dilaksanakan Dinas Kesehatan di Sekolah SMU/Sederajat menjadi efektif. Maka kata “how” ini menjadi penting. Suatu paradigma mengandung tujuan dan tujuan pada paradigma komunikasi harus diketahui dalam berkomunikasi, yakni : “mengubah sikap, opini, atau pandangan, dan perilaku” (to change the attitude, opinion and behavior), sehingga timbul pada komunikasi efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif atau behavioral atau dapat disebut pula dalam istilah psikologi pendidikan adalah psikomotorik. Dalam melakukan perubahan terhadap perilaku diperlukan suatu strategi komunikasi. Laurence Brennand dalam Effendy ( 2000)
(49)
mengetengahkan sebuah formula yang dinyatakan sebagai landasan bagi strategi komunikasi, yakni sebagai berikut:
“The communication with a purpose and an occasion gives expression to an
idea which he channels to some receiver from whom he gains a response”.
(Komunikasi dengan satu tujuan dan suatu peristiwa memberikan ekspresi kepada suatu ide yang ia salurkan kepada sejumlah komunikasi dari siapa ia memperoleh tanggapan). Menurut Brennand, bahwa formula komunikasi dapat disederhanakan menjadi communicator message receiver (komunikator-pesan-komunikan) tetapi demi efektifnya komunikasi perlu diperhatikan semua unsur yang terdapat dalam proses komunikasi-komunikator, tujuan, peristiwa, ide, ekspresi, saluran/media, komunikan dan tanggapan.
Apabila formula Laswell dan Lerner dalam Effendy (2000) kita tuangkan ke dalam bentuk bagan, maka kira-kira akan tampak seperti pada gambar berikut ini;
Keterangan: Pr : Peristiwa Kt : Komunikator P : Pesan
M : Media
Tanggapan Kt
Ide
P M
M M M E F tujuan Umpan Balik E K Pr
(50)
Wilbur Schrmn dalam Effendy (2000) apa yang disebut “the condition of
success in communication”, yakni kondisi yang harus dipenuhi jika kita
menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki. Kondisi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan
2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama mengerti
3. Pesan membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut
4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada saat ia digerakan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.
Memperhatikan syarat tersebut diatas jelaslah, bahwa para ahli komunikator memulai dengan meneliti sedalam-dalamnya tujuan komunikan dan “know your
audience” merupakan hal yang sangat penting dalam berkomunikasi untuk
mengetahui hal-hal sebagai berikut : 1. Waktu yang tepat untuk suatu pesan
2. Bahasa yang harus dipergunakan agar pesan dapat dimengerti 3. Sikap dan nilai yang ditampilkan agar efektif
(51)
Ditinjau dari komponen komunikan, seorang dapat dan akan menerima sebuah pesan hanya kalau terdapat empat kondisi berikut ini secara simultan:
1. Ia dapat dan benar-benar mengerti pesan komunikasi
2. Pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannya itu sesuai dengan tujuannya
3. Pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannya itu bersangkutan dengan kepentingan pribadinya
4. Ia mampu untuk menepatinya baik secara mental maupun fisik.
Menurut Chester I. Barnand. dalam bukunya “Effetivepublic relations” mengemukaan fakta fundamental dalam Effendy (2000) yang perlu diingat oleh komunikator:
1. Bahwa komunikan terdiri dari orang-orang yang hidup, bekerja, dan bermain satu sama lainnya dalam jaringan lembaga sosial. Karena itu setiap orang adalah subjek bagi berbagai pengaruh, di antaranya adalah pengaruh dari komunikator 2. Bahwa komunikan membaca, mendengarkan, dan menonton komunikasi yang
menyajikan pandangan hubungan pribadi yang mendalam
3. Bahwa tanggapan yang diinginkan komunikator dari komunikan harus menguntungkan bagi komunikan, kalau tidak, ia tidak akan memberikan tanggapan.
Ditinjau dari komponen komunikator, untuk melaksanakan komunikasi efektif, terdapat dua faktor penting pada diri komunikator, yakni kepercayaan pada
(52)
komunikator dan daya tarik komunikator. Kedua hal ini berdasarkan posisi komunikan yang menerima pesan:
1. Hasrat seseorang untuk memperoleh suatu pernyataan yang benar: jadi komunikator mendapat kualitas komunikasinya sesuai dengan kualitas sampai dimana ia memperoleh kepercayaan dari komunikan, dan apa yang dinyatakannya.
2. Hasrat seseorang untuk menyamankan dirinya dengan komunikator atau bentuk hubungan lainnya dengan komunikator yang secara emosional memuaskan; jadi komunikator akan sukses dalam komunikasinya, bila ia berhasil memikat perhatian komunikannya.
Kepercayaan pada komunikator (source credibility) ditentukan dan dapat tidaknya ia dipercaya. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan yang besar akan dapat meningkatkan daya perubahan yang menyenangkan. Lebih dikenal dan disenanginya komunikator oleh komunikan, lebih cenderung komunikan untuk mengubah kepercayaannya kearah yang dikehendaki komunikator.
Kepercayaan kepada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang diterima komunikan dianggap benar dan sesuai dengan kenyataan. Dalam pada itu juga pada umumnya diakui bahwa pesan yang dikomunikasikan mempunyai daya pengaruh yang lebih besar, apabila komunikator dianggap muncul dari pendidikan yang lebih baik atau status sosial atau jabatan profesi yang lebih tinggi. Selain itu, untuk memperoleh kepercayaan sebesar-besarnya, komunikator bukan saja harus
(53)
mempunyai keahlian, mengetahui kebenaran, tetapi juga cukup objektif dalam memotivasikan apa yang diketahuinya.
Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap melalui mekanisme daya tarik (source anttractiveness), jika pihak komunikator ikut serta dengan mereka dalam hubungannya dengan opini secara memuaskan. Misalnya, komunikator dapat disenangi atau dikagumi sedemikian rupa, sehingga pihak komunikan akan menerima sebuah keputusan dari usaha menyamakan diri dengannya melalui kepercayaan yang diberikan.
Faktor perasaan yang sama dengan komunikator yang terdapat pada komunikan akan menyebabkan sukses dalam berkomunikasi. Sikap komunikator yang berusaha menyamakan diri dengan komunikan, akan menimbulkan simpati pada komunikan. Seorang komunikator akan sukses dalam komunikasinya, kalau ia menyesuaikan komunikasinya dengan image dari komunikan, yaitu memahami kepentingannya, kebutuhannya, kecakapannya, pengalamannya, kemampuan berfikirnya, kesulitannya, dan sebagainya.
Komunikasi yang efektif melibatkan aspek-aspek kelakuan atau perilaku seperti motivasi, kepemimpinan, kepercayaan dan kekuatan. Pengirim pesan (komunikator) mempunyai rintangan-rintangan yang terkait seperti pengirim pesan bertanggung jawab dalam melukiskan tujuan dari komunikasi, ide, pemikiran dan perasaan ke dalam sebuah pesan yang dapat dimengerti oleh si penerima pesan dan apabila hal ini tidak bisa dicapai maka dapat dikatakan sebagai komunikasi yang tidak efektif. Rintangan-rintangan tersebut antara lain : Sasaran-sasaran dari
(54)
komunikasi, kemampuan berkomunikasi, kepekaan antara pribadi, kerangka acuan dan kredibilitas si pengirim pesan.
Penerima pesan (komunikan) mempunyai rintangan-rintangan yang terkait seperti si penerima pesan hanya merupakan bagian dari tanggung jawab si pengirim pesan dalam menciptakan komunikasi yang efektif dimana hal ini tersebut dapat dicapai hanya bila si penerima pesan merespon pesan yang diterima dan memberikan umpan balik dan apabila si penerima pesan tidak merespon maka dapat dikatakan sebagai komunikasi yang tidak efektif.
Pengiriman pesan dapat melakukan beberapa hal untuk membuat pesan yang mereka kirim lebih akurat untuk dimengerti dan langkah-langkah yang ditempuh yaitu menentukan sasaran komunikasi, penggunaan bahasa yang tepat, berlatih berkomunikasi yang tegas, meningkatkan kredibilitas si pengirim pesan, memberikan umpan balik, membangun suasana saling percaya dan memilih penggunaan media yang tepat. Sedangkan untuk si penerima pesan dapat meningkatkan keefektifan sebuah komunikasi dengan cara mendengarkan pesan yang dikirim dengan seksama, menghindarkan penilaian yang evaluatif, dan menyediakan umpan balik yang responsive, semua itu untuk meningkatkan keefektifan sebuah komunikasi.
2.3.Motivasi
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat mengenai konsep motivasi manusia dan mempunyai lima hierarki kebutuhan, yaitu :
(55)
1. Kebutuhan yang bersifat fisiologis; Manifestasi kebutuhan ini terlihat dalam tiga hal pokok, sandang, pangan dan papan. Teori ini bisa dikatakan sebagai suatu hal yang memang mendasari seseorang untuk melakukan sesuatu demi mendapatkan kebutuhan ini.
2. Kebutuhan keamanan dan keselamatan; Kebutuhan ini mengarah kepada rasa keamanan, ketentraman dan jaminan seseorang dalam kedudukannya, jabatan-nya, wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai karyawan. Dia dapat bekerja dengan antusias dan penuh produktivitas bila dirasakan adanya jaminan formal atas kedudukan dan wewenangnya.
3. Kebutuhan sosial; Kebutuhan akan kasih sayang dan bersahabat (kerjasama) dalam kelompok kerja atau antar kelompok. Kebutuhan akan diikutsertakan, meningkatkan relasi dengan pihak-pihak yang diperlukan dan tumbuhnya rasa kebersamaan termasuk adanya sense of belonging dalam organisasi.
4. Kebutuhan akan prestasi; Kebutuhan akan kedudukan dan promosi dibidang kepegawaian. Kebutuhan akan simbol-simbol dalam status seseorang serta prestise yang ditampilkannya.
5. Kebutuhan Akutualisasi Diri; Setiap orang ingin mengembangkan kapasitas kerjanya dengan baik. Hal ini merupakan kebutuhan untuk mewujudkan segala kemampuan (kebolehannya) dan seringkali nampak pada hal-hal yang sesuai untuk mencapai citra dan cita diri seseorang. Dalam motivasi kerja pada tingkat ini diperlukan kemampuan manajemen untuk dapat mensinkronisasikan antara
(56)
cita diri dan cita organisasi untuk dapat melahirkan hasil produktivitas organisasi yang lebih tinggi.
Teori Maslow tentang motivasi secara mutlak menunjukkan perwujudan diri sebagai pemenuhan (pemuasan) kebutuhan yang bercirikan pertumbuhan dan pengembangan individu. Perilaku yang ditimbulkannya dapat dimotivasikan oleh manajer dan diarahkan sebagai subjek-subjek yang berperan. Dorongan yang dirangsang ataupun tidak, harus tumbuh sebagai subjek yang memenuhi kebutuhannya masing-masing yang harus dicapainya dan sekaligus selaku subjek yang mencapai hasil untuk sasaran-sasaran organisasi.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau
(57)
“koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan” yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan atau secara analogi berarti anak tangga.
Gambar 2.8. Model Herarki Piramida Maslow
Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal ini keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berdasarkan dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mengalami penyempurnaan dan koreksi karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan, artinya sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu
(58)
yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
a. Kebutuhan yang sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya. c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya
suatu kondisi dimana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Maslow menggambarkan manusia yang sudah mengaktualisasikan diri sebagai orang yang sudah terpenuhi semua kebutuhannya dan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, dengan mengidentifikasikan 15 ciri orang yang telah mengaktualisasikan diri sebagai berikut:
(59)
1. Memiliki persepsi akurat tentang realitas. 2. Menikmati pengalaman baru.
3. Memiliki kecenderungan untuk mencapai pengalaman puncak. 4. Memiliki standar moral yang jelas.
5. Memiliki selera humor.
6. Merasa bersaudara dengan semua manusia. 7. Memiliki hubungan pertemanan yang erat. 8. demokratis dalam menerima orang lain. 9. Membutuhkan privasi.
10.Bebas dari budaya dan lingkungan. 11.Kreatif.
12.Spontan.
13.Lebih berpusat pada permasalahan, bukan pada diri sendiri. 14.Mengakui sifat dasar manusia.
15.Tidak selalu ingin menyamakan diri dengan orang lain.
Agar menjadi orang yang sudah mencapai aktualisasi diri, tidak selalu dengan menampilkan semua ciri tersebut. Dan tidak hanya orang yang sudah mengaktualisasikan diri yang menampilkan ciri-ciri tersebut, namun orang-orang yang menurut Maslow adalah orang yang mengaktualisasikan diri umumnya lebih sering menampilkan ciri-ciri tersebut dibandingkan kebanyakan dari kita.
(60)
2.4. HIV/AIDS
2.4.1 Pengertian AIDS
Dalam terminologi kedokteran, penyakit AIDS adalah singkatan dari Aquired
Immune Deficiency Syndrome. Syndrome yang dalam bahasa Indonesianya adalah
sindroma, merupakan kumpulan gejala dan tanda penyakit. Deficiency dalam bahasa Indonesia berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, sedangkan Aquired berarti diperoleh atau didapat. Dalam hal ini mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan penyakit keturunan. Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari Seseorang menderita AIDS , tetapi ia terinfeksi virus penyebab AIDS, sehingga AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistim kekebalan tubuh seseorang. AIDS merupakan fase terminal atau fase akhir dari infeksi HIV. (Depkes, 1996). Sebagai virus, HIV merusak sel-sel genetik yang dimasukinya sehingga mempengaruhi aktivitas sel-sel tersebut dalam waktu yang tidak terbatas dan kemudian berkembang biak dalam darah dan cairan tubuh.
Dengan adanya HIV dalam tubuh seseorang, maka akan menyebabkan menurun dan melemahnya sistim pertahanan kekebalan tubuh manusia. Sehingga tubuh akhirnya tidak mampu melawan berbagai penyakit bahkan yang tidak berbahaya sekalipun. Lemahnya pertahanan tubuh terhadap penyakit lain memudahkan penyakit tersebut untuk bertahan dan berkembang dalam tubuh penderita. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kematian penderita HIV/AIDS
(61)
tidak disebabkan secara langsung oleh HIV tetapi adanya infeksi dari penyakit lain yang menyerang.
Virus HIV tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan secara alami dalam waktu 4-12 minggu akan membuat antibodi yang hanya dapat diketahui melalui tes darah yang apabila ternyata HIV positif disebut sebagai window period.
Gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita dalam waktu yang bersamaan ataupun terpisah adalah antara lain (WHO,1994):
1. Rasa lelah yang berkepanjangan
2. Diare selama satu bulan secara terus menerus 3. Sesak nafas dan batuk yang berkepanjangan
4. Pembesaran pada kelenjar di leher, ketiak, paha, telinga, tanpa sebab yang jelas 5. Sering demam hingga 38 derjat lebih dan berkeringat tanpa sebab yang jelas 6. Berat badan tubuh turun secara mencolok
7. Terdapat bercak merah kebiru-biruan pada kulit 8. Kelainan kulit dan iritasi
9. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
Selain gejala-gejala umum tersebut, terdapat pula infeksi oportunistik atau penyakit indikator yang menyerang orang yang telah terinfeksi HIV. Penyakit indikator tersebut adalah TBC, Sarcoma Kaposi (sejenis kanker yang menyerang kulit), pneumonia, herpes, penyakit gangguan syaraf dan infeksi-infeksi lain seperti
(62)
AIDS merupakan sebutan bagi kumpulan-kumpulan gejala yang muncul karena berkurangnya kekebalan tubuh akibat terserang HIV. Seseorang akan dinyatakan menderita AIDS apabila:
1. Hasil tes HIV yang dilakukan menunjukkan hasil positif
2. Menderita satu atau lebih penyakit infeksi oportunistik khusus yang kambuh berulang kali atau menunjukkan adanya gangguan yang parah sistim kekebalan tubuhnya.
Kebanyakan orang yang tertular HIV akan menderita AIDS sehingga berkembangnya virus HIV/AIDS terjadi rata-rata 5-10 tahun setelah terinfeksi virus tersebut. Terdapat berbagai cara penularan dari penyakit AIDS, yaitu antara lain melalui hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual, dan biseksual), transfusi darah, Intra Drugs User/IDU (penularan dari pemakaian jarum suntik), penularan dari ibu yang terkena HIV/AIDS kepada anaknya yang terjadi sebelum atau selama masa persalinan, dan pemberian air susu ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya (WHO, 1994). Sedangkan HIV/AIDS tidak dapat ditularkan melalui kegiatan kontak langsung seperti pelukan, ciuman, berjabat tangan, pertukaran alat makan atau minum, batuk, gigitan serangga (WHO, 1994).
Hingga saat ini belum ditemukan obat atau vaksin pencegah virus HIV dan penyembuh penyakit AIDS. Walaupun beberapa upaya medis telah diberikan kepada penderita, hal itu bukanlah untuk menyembuhkan melainkan hanya sekedar upaya untuk mempertahankan hidup. Dalam hal ini biasanya hanya digunakan obat-obatan
(63)
untuk mengurangi rasa sakit dan mengatasi infeksi oportunistik tersebut. Hal inilah yang menyebabkan penderita memahami dan mengerti bahwa pada akhirnya penyakit ini hanya akan berakhir dengan kematian.
Selanjutnya peningkatan terhadap resiko terkena AIDS antara lain disebabkan:
1. Karena peningkatan jumlah pasangan seksual. 2. Penggunaan jarum suntik untuk tato.
3. Anal seks.
4. Bentuk hubungan seks (oral, anal atau vagina) tanpa menggunakan kondom. 5. Penggunaan alkohol dan penyalah gunaan obat (keduanya mempunyai pengaruh
terhadap perilaku seksual).
Pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS yang diajukan oleh pemerintah Republik Indonesia , yang disebut sebagai rumus ABC. Rumus tersebut mengandung pemahaman A untuk abstinence (pantang berhubungan seks sebelum menikah); B untuk be faithful (berhubungan seks hanya dengan pasangan suami-istri tetap); C untuk use condom (pergunakan kondom dengan kontinyu bila melakukan hubungan seksual) (Mochtar, 1995).
Namun di Indonesia penekanan pencegahannya yang utama, terletak pada huruf A yang mengandung pengertian upaya pencegahan yang utama adalah dengan melarang atau mencegah remaja melakukan hubungan seks sebelum atau diluar nikah (Mochtar, 1995). Upaya pencegahan yang demikian tampaknya tidak mudah untuk
(64)
dilaksanakan oleh para remaja dan dalam kenyataannya justru muncul fenomena yang populer di kalangan remaja, seperti yang telah diungkapkan dari berbagai hasil penelitian mengenai perilaku seksual remaja.
2.4.2. Sejarah perkembangan penyakit AIDS
Penyakit HIV/AIDS (Human Immunodefienciency Virus/ Aquired Immune
Deficiency Syndrome) Pertama kali diidentifikasi dan dilaporkan keberadaannya
sebagai suatu jenis penyakit pada tahun 1981 di Los Angeles, Amerika Serikat. Kondisi tersebut merupakan hasil identifikasi dari lima pemuda homoseksual yang terjangkit penyakit Pneumonia jenis langka yaitu PCP (Penemocystis Cariini
Pneumonia) (WHO, 1994). Dalam waktu yang bersamaan, Pusat Pengendalian di
Amerika Serikat juga menemukan 26 kasus homoseksual yang terserang penyakit Sarcoma Kaposi yaitu sejenis kanker langka yang biasanya menyerang golongan lanjut usia atau peminum berat.
Pada awalnya kedua jenis penyakit ini hanya dilihat sebagai penyakit yang menimbulkan kerusakan yang teramat parah pada sistim kekebalan seseorang. Namun mengingat terdapat kesamaan faktor-faktor pendukung berkembangnya kedua jenis penyakit tersebut, maka para ahli kedokteran mulai mengelompokkannya sebagai jenis penyakit yang merusak fungsi kekebalan tubuh manusia. Hasil penelitian terhadap kedua jenis penyakit tersebut pada tahun 1982 resmi dinyatakan sebagai penyakit AIDS.
(65)
Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 di Bali dan dua orang warga negara asing sebagai penderitanya. Kemudian pada tahun 1988 di Bali, seorang pria Indonesia dilaporkan meninggal karena penyakit tersebut. Sebenarnya terdapat kontroversi mengenai tahun kepastian kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia. Sebagian berpendapat, sesungguhnya kasus HIV/AIDS pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 1986 berkaitan dengan meninggalnya seorang wanita Indonesia berusia 25 tahun. Kasus tersebut baru diinformasikan pada masyarakat umum tahun 1988 dengan pernyataan meninggal akibat penyakit HIV/AIDS yang tertular melalui tranfusi darah. Dengan demikian, waktu tepatnya penyakit HIV/AIDS masuk di Indonesia pertama kali sekitar antara tahun 1987-1988.
2.4.3. Kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia
Dampak dari perkembangan masalah HIV/AIDS ini tidak saja merugikan di bidang kesehatan, tetapi yang lebih serius adalah bahwa masalah ini dapat menimbulkan ancaman bagi pengembangan sumber daya manusia mengingat bahwa penyakit tersebut menyerang kelompok usia produktif, termasuk didalamnya kaum remaja yang cenderung memilki ciri-ciri atau sifat ingin tahu serta mencoba-coba berpetualang dengan masalah seksual, alkohol, serta pornografi, yang pada akhirnya menyebabkan mereka menjadi korban HIV/AIDS maupun penyakit menular seksual lainnya. Oleh karena itu pada tahun 1994 dikeluarkan Keputusan Presiden/Keppres No. 36 yang berisikan dibentuknya Komisi penanggulangan AIDS di Indonesia. Kemudian Keppres ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Keputusan/SK Menteri
(66)
No. 9/Kep.Menko/VI/1994 yang memuat strategi penanggulangan AIDS di Indonesia.
Adapun isi dari strategi penanggulangan AIDS di Indonesia adalah: 1. Prinsip-prinsip dasar penanggulangan HIV/AIDS
2. Lingkup Program
3. Peran dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat 4. Kerjasama Internasional
Khusus mengenai lingkup program yang utama menyangkut: 1. Kegiatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan sasaran:
a. Masyarakat Umum
b. Petugas kesehatan (pemerintah, swasta dan masyarakat) c. Perorangan dan Lembaga-lembaga
d. Wanita dan Remaja e. Orang berisiko tinggi
f. Para pengidap HIV dan penderita AIDS
2. Tindakan pencegahan
3. Pengujian (Testing) dan konseling 4. Pengobatan, pelayanan dan perawatan
Dilihat dari sasaran KIE wanita dan remaja dimasukkan secara khusus sebagai kelompok sasaran KIE yang cukup penting karena kelompok ini dalam kehidupan
(67)
sehari-hari sangat rawan terhadap penularan HIV/AIDS tetapi juga sekaligus berpotensi sebagai pendidik dan yang sangat ampuh.
Adapun dilihat dari tatanan (setting) sasaran KIE dapat dikelompokkan: a. Rumah tangga sasarannya adalah keluarga, khususnya ibu-ibu
b. Institusi pendidikan baik jalur sekolah maupun luar sekolah dengan sasaran terutama remaja dan dewasa muda
c. Institusi kesehatan seperti, Puskesmas, Rumah Sakit, Balai Pengobatan dan lain-lain, sasarannya adalah pasien, pengunjung dan petugas kesehatan.
d. Tempat kerja seperti Pabrik, kantor dan lain-lain, sasarannya adalah karyawan, pimpinan dan pemilik /pengelola
e. Tempat khusus, seperti lokalisasi WTS, Rutan, Lapas, dan Panti Sosial baik panti rehabilitasi maupun pelayanan, sasarannya penghuni, warga/pengunjung dan pemilik maupun pengelola
f. Institusi/Lembaga/Organisasi kemasyarakatn seperti orhanisasi Agama, wanita dan pemuda. Dengan sasaran anggota dan pengurus organisasi
2.4.4. Pendidikan kesehatan HIV/AIDS melalui pendidikan kelompok sebaya
Oleh karena belum ditemukan vaksin yang dapat mencegah infeksi HIV maupun obat yang dapat menyembuhkan penderita AIDS serta cepatnya pertumbuhan virus ini oleh prilaku manusia maka upaya pencegahannya agar tidak terjadi peningkatan jumlah pengidap HIV adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan.
(68)
Pengertian pendidikan kesehatan menurut Simonds yang dikutip oleh Gianz dalam Notoatmodjo (1997) adalah upaya merubah perilaku individu, kelompok dan masyarakat dari perilaku-perilaku yang dapat mengancam/membahayakan kesehatan ke perilaku yang kondusif bagi kesehatan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan Green (1980) mengartikan sebagai pengalaman belajar yang dimaksud untuk memudahkan atau membantu penyesuaian perilaku yang bersifat sukarela, yang kondusif bagi kesehatan. Pengertian lainnya dikemukakan oleh Soekidjo (1993) yang mendefenisikan pendidikan kesehatan sebagai usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilaku)nya, untuk mencapai kesehatan secara optimal.
Dari berbagai defenisi dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan kesehatan merupakan suatu proses belajar pada individu atau kelompok masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak tahu mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan menjadi mampu dan lain sebagainya. Dimana tujuan akhir dari pada kegiatan belajar tersebut adalah adanya perubahan perilaku yang dilakukan secara sukarela. Sehubungan dengan hal tersebut Pendidikan Kelompok sebaya (peer education) dapat dianggap sebagai satu upaya pendidikan kesehatan yang diarahkan dalam rangka perubahan perilaku yang berkaitan dengan upaya pencegahan diri terhadap penularan HIV, yang dilakukan oleh anggota kelompok sebaya itu sendiri.
Di dalam proses kegiatan belajar tersebut terdapat tiga komponen pokok, yaitu komponen masukan (input), proses dan keluaran (output) (Soekidjo, 1993).
(1)
Hasil penelitian menyampaikan informasi bahwa proporsi siswa yang berpengetahuan tinggi 64,0% terdapat pada siswa yang menilai umpan balik baik dan hasil uji chi square menunjukkan variabel umpan balik tidak mempunyai hubungan dengan pengetahuan siswa (p=0,114).
Selanjutnya hasil penelitian juga menginformasikan bahwa proporsi siswa dengan sikap baik diketahui 48,0% menilai umpan balik ada pada kategori baik dan hasil uji chi square menunjukkan variabel umpan balik tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan sikap siswa (p=0,389).
5.8. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimen semu, sehingga belum mampu sepenuhnya memastikan efektivitas intervensi yang diberikan terhadap perubahan pengetahuan maupun sikap siswa terkait HIV/AIDS, namun dalam penelitian ini peneliti memastikannya secara statistik melalui pengujian dengan uji statistik.
Selanjutnya penelitian ini melakukan evaluasi pengetahuan dan sikap sesaat setelah dilakukan intervensi sehingga proses penyerapan pengetahuan dan sikap pada kelompok perlakuan cenderung bervariatif.
(2)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Ada pengaruh Pelatihan HIV dan AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang HIV dan AIDS sebelum dilakukan intervensi dan terjadi peningkatan pengetahuan dan sikap siswa tentang HIV dan AIDS setelah dilakukan intervensi.
2. Terdapat perbedaan pengetahuan siswa tentang HIV dan AIDS pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah mengikuti Pelatihan HIV dan AIDS. 3. Terdapat perbedaan sikap siswa tentang HIV dan AIDS pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol setelah mengikuti Pelatihan HIV dan AIDS. 4. Variabel yang sangat dominan yang mempengaruhi Pelatihan HIV/AIDS untuk
pengetahuan adalah variabel komunikator dan variabel media dan untuk sikap variabel yang berpengaruh adalah komunikator.
6.2. Saran
1. Diharapkan kepada sekolah untuk melakukan peningkatan dan perbaikan serta evaluasi terhadap Pelatihan HIV dan AIDS baik dari segi komunikator, pesan yang disampaikan dan media yang digunakan sehingga dapat menyampaikan pesan dan informasi tentang HIV dan AIDS kepada siswa secara berkelanjutan .
(3)
2. Diharapkan kepada siswa yang telah mengikuti Pelatihan HIV dan AIDS dapat menjadi pendidik sebaya bagi rekan - rekan lainnya dalam upaya menyampaikan informasi tentang HIV dan AIDS sehingga dapat terjadi perubahan pengetahuan dan sikap siswa lainnya tentang HIV dan AIDS.
3. Kepada pihak sekolah untuk dapat menyediakan suatu tempat khusus dimana tempat tersebut diarahkan sebagai sumber informasi mengenai HIV dan AIDS.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abraham. H. Maslow, Motivation and Personality. 1954
Anonim, 2007. Modul Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup.
Anggelton, P.1989, HIV/AIDS Education In School, Health Education Journal. Azwar, Saifuddin. 1999, Metode Penelitian, edisi ke-1, cetakan kedua, Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar.
______________, Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya, edisi ke-3, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar.
Dinkes Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2009, Profil Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh
Dinkes Kabupaten Aceh Barat, 2007, Modul Pelatihan dan Pendidikan Kecakapan Hidup, Meulaboh
______________, Dinkes Kabupaten Aceh Barat, 2008, Rencana Strategis HIV/AIDS Kabupaten Aceh Barat 2008-2013, Meulaboh
______________, Dinkes Kabupaten Aceh Barat, 2009, Profil Kesehatan Aceh Barat, Meulaboh
Effendi, F, 2002. Ergonomi pada Pekerja Sektor Informal. Cermin Dunia Kedokteran 136 (1):21-25.
Effendy, O. (2000). Ilmu, teori dan filsafat komunikasi, Bandung:Citra Aditya Bhakti Firman, S.H. 2005. Pengaruh Peer Education Terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa
SMA Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba dan Psikotropika di kota Sibolga Propinsi Sumatera Utara. Tesis. Mahasiswa Pasca Sarjana Minat Utama Perilaku dan Promosi Kesehatan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Green. L. 1980. Health Promotion Planning and Education and Environment
Approach. Institute of Health Promotion Research University of British Colombia.
(5)
KPAN, 2007, Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2007-2010, Jakarta Kisdarto, Atmo Soeprapto, Empowen Your Human Resources – Berdaya Sumber
Daya Manusia Anda, Elege Media Komputindo, 2002.
Liliweri A, 2007, Dasar-dasar Komunikasi antar budaya, yogyakarta, pustaka pelajar Mar’at, 1985, Sikap Manusia Perubahan dan Pengaturannya. Ghalia Indonesia,
Jakarta,
Mulyana, D. (2006). Metodologi penelitian Kualitatif, paradigma baru ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Bandung: Rosda Karya, cet. V. Masri, S, dkk 1995, Metodologi Penelitian Survei, Lembaga Pendidikan,
Pengembangan Ekonomi da Sosial (LP3ES).
Mansur, F, dkk. 2001. Pendidikan Populer Membangun Kesehatan Kritis, Read Book, Yogyakarta.
Notoatmodjo, S, dkk. 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta,
___________, S, 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Pertama, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta
___________, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
___________, 2005, Metode Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. ___________, 2007, Promosi kesehatan dan Ilmu Perilaku, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta
Pratomo, Sudarti. 1986. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian Bidang Kesehatan Masyarakat dan Keluarga Berencana /Kependudukan, Jakarta: Proyek Pengembangan FKM di Indonesia.
Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations, London: The Free Press.
Siagian, Sondang, Prof. Dr. MPA.(1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta : Rineka Citra.
(6)
Sihotang. A. Drs. M.B.A. (2006).Menejemen Sumber Daya Manusia .Jakarta : PT Pradnya Paramita.
Sugiyono, 2004, statistika untuk penelitian dan aplikasinya dengan spss 10.00 for windows, alfabeta, bandung
Sullivan, R. & Gaffikin, L. 1997. Instructional Design Skills for Reproductive Health Professionals. Maryland: Baltimore.
Sunyoto Munandar, Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas Indonesia.
Soetropotra, 1987. Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Alumni.
Vardiansyah, D. (2004). Pengantar ilmu komunikasi, pendekatan taksonomi sosial. Bogor: Galia Indonesia.
Wirawan, Sarlito. (2005).Psikologi Sosial (Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan).Jakarta : Balai Pustaka.