Perbandingan Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat Kota Medan Pada Pilkada Kota Medan Tahun 2005 Dengan Pilkada Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008 (Studi Kasus : Kelurahan Titi Rante, Kecamatan Medan Baru)

(1)

Skripsi

PERBANDINGAN TINGKAT PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT KOTA MEDAN PADA PILKADA KOTA MEDAN TAHUN 2005 DENGAN

PILKADA PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2008 (Studi Kasus : Kelurahan Titi Rante, Kecamatan Medan Baru) Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Strata-1 (S1)

Pada Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

DISUSUN OLEH

NIM. 030906005 AROHMAN PUTRA. S

DOSEN PEMBIMBING : WARJIO S.S, MA

DOSEN PEMBACA : INDRA KESUMA, SIP, Msi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK MEDAN


(2)

Abstrak

Partisipasi politik masyarakat tidak dapat dilepaskan dari berbagai pentas politik di tingkat nasional dan lokal. Dan dalam momentum politik lokal yaitu Pilkada ada pertanyaan yang bergulir mengenai adanya sebuah fenomena tentang rendahnya tingkat partisipasi masyarakat yang dikarenakan sebuah kesenjangan politik antara lembaga-lembaga politik dan institusi pemerintahan dengan masyarakat. Pada pengertian yang luas partisipasi politik bukan saja terbatas pada angka kuantitas di dalam Pemilu maupun Pilkada, tapi peneliti melihat dengan tingkat kesadaran berpolitik yang rendah maka ukuran dalam partisipasi politik di Indonesia bisa dilihat secara sederhana dengan memakai angka kuantitas dalam pentas politik lokal dan nasional.

Dalam pelaksanaan Pilkada Kota Medan tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 juga terdapat gejala yang sama yaitu rendahnya tingkat partisipasi masyarakatnya. Terutama masyarakat di lingkungan Kelurahan Titi Rante yang menjadi objek penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis juga coba menguraikan variabel dan faktor yang melatari terjadinya fenomena golongan putih (golput) atau mereka yang tidak menggunakan hak suaranya di dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pada Bab I, peneliti memaparkan mengenai ketertarikannya untuk melakukan penelitian mengenai partisipasi politik masyarakat. Pada Bab II, pada tulisan ini peneliti menjelaskan dan menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis data yang ditemukan di lapangan. Dan berbagai uraian dan pemaparan mengenai tingkat partisipasi politik masyarakat kelurahan Titi Rante pada Pilkada Kota Medan dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara, serta memuat beberapa hal yang dilihat peneliti berkaitan dalam mendukung turun dan naiknya minat masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam media politik, hal ini dibahas di dalam Bab III. Dan Bab IV, adalah mengenai kesimpulan penulisan skripsi ini dan beberapa rekomendasi yang dihasilkan.


(3)

Daftar Isi

Halaman Persetujuan... i

Halaman Pengesahan... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi... vi

Daftar Tabel... viii

Abstrak... ix

BAB I Pendahuluan... 1

1. Latar Belakang Permasalahan... 1

2. Perumusan Masalah... 11

3. Tujuan Penelitian... 11

4. Manfaat Penelitian... 12

5. Kerangka Teori... 12

6. Defenisi Konsep... 18

7. Defenisi Operasional... 19

8. Metodologi Penelitian ... 20

9. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II Uraian Teoritis... 22

1. Perbandingan Politik... 22

2. Partisipasi Politik... 25

3. Pemilihan Umum... 28

4. Pemilihan Kepala Daerah... 34

5. Partai Politik... 37

BAB III Penyajian dan Analisis Data... 42

1. Sekilas Partisipasi Politik Masyarakat di Indonesia... 42

2. Tingkat Partisipasi Masyarakat Kelurahan Titi Rante Dalam PILKADA Kota Medan 2005 dan PILKADA Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008... 47


(4)

3. Faktor Pendukung Rendahnya Partisipasi Masyarakat Kelurahan Titi Rante di dalam Pilkada Kota Medan

Tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008 58 4. Rendahnya Partisipasi Politik dan Peran Partai Politik... 61 5. Partisipasi Politik Masyarakat Kelurahan Titi Rante ... 71 6. Hubungan Pilkada dan Perencanaan

Pembangunan Ekonomi Lokal... 74 BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan... 77 2. Rekomendasi... 79


(5)

Abstrak

Partisipasi politik masyarakat tidak dapat dilepaskan dari berbagai pentas politik di tingkat nasional dan lokal. Dan dalam momentum politik lokal yaitu Pilkada ada pertanyaan yang bergulir mengenai adanya sebuah fenomena tentang rendahnya tingkat partisipasi masyarakat yang dikarenakan sebuah kesenjangan politik antara lembaga-lembaga politik dan institusi pemerintahan dengan masyarakat. Pada pengertian yang luas partisipasi politik bukan saja terbatas pada angka kuantitas di dalam Pemilu maupun Pilkada, tapi peneliti melihat dengan tingkat kesadaran berpolitik yang rendah maka ukuran dalam partisipasi politik di Indonesia bisa dilihat secara sederhana dengan memakai angka kuantitas dalam pentas politik lokal dan nasional.

Dalam pelaksanaan Pilkada Kota Medan tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 juga terdapat gejala yang sama yaitu rendahnya tingkat partisipasi masyarakatnya. Terutama masyarakat di lingkungan Kelurahan Titi Rante yang menjadi objek penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis juga coba menguraikan variabel dan faktor yang melatari terjadinya fenomena golongan putih (golput) atau mereka yang tidak menggunakan hak suaranya di dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pada Bab I, peneliti memaparkan mengenai ketertarikannya untuk melakukan penelitian mengenai partisipasi politik masyarakat. Pada Bab II, pada tulisan ini peneliti menjelaskan dan menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis data yang ditemukan di lapangan. Dan berbagai uraian dan pemaparan mengenai tingkat partisipasi politik masyarakat kelurahan Titi Rante pada Pilkada Kota Medan dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara, serta memuat beberapa hal yang dilihat peneliti berkaitan dalam mendukung turun dan naiknya minat masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam media politik, hal ini dibahas di dalam Bab III. Dan Bab IV, adalah mengenai kesimpulan penulisan skripsi ini dan beberapa rekomendasi yang dihasilkan.


(6)

Skripsi

PERBANDINGAN TINGKAT PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT KOTA MEDAN PADA PILKADA KOTA MEDAN TAHUN 2005 DENGAN

PILKADA PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2008 (Studi Kasus : Kelurahan Titi Rante, Kecamatan Medan Baru) Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Strata-1 (S1)

Pada Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

DISUSUN OLEH

NIM. 030906005 AROHMAN PUTRA. S

DOSEN PEMBIMBING : WARJIO S.S, MA

DOSEN PEMBACA : INDRA KESUMA, SIP, Msi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK MEDAN


(7)

Abstrak

Partisipasi politik masyarakat tidak dapat dilepaskan dari berbagai pentas politik di tingkat nasional dan lokal. Dan dalam momentum politik lokal yaitu Pilkada ada pertanyaan yang bergulir mengenai adanya sebuah fenomena tentang rendahnya tingkat partisipasi masyarakat yang dikarenakan sebuah kesenjangan politik antara lembaga-lembaga politik dan institusi pemerintahan dengan masyarakat. Pada pengertian yang luas partisipasi politik bukan saja terbatas pada angka kuantitas di dalam Pemilu maupun Pilkada, tapi peneliti melihat dengan tingkat kesadaran berpolitik yang rendah maka ukuran dalam partisipasi politik di Indonesia bisa dilihat secara sederhana dengan memakai angka kuantitas dalam pentas politik lokal dan nasional.

Dalam pelaksanaan Pilkada Kota Medan tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 juga terdapat gejala yang sama yaitu rendahnya tingkat partisipasi masyarakatnya. Terutama masyarakat di lingkungan Kelurahan Titi Rante yang menjadi objek penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis juga coba menguraikan variabel dan faktor yang melatari terjadinya fenomena golongan putih (golput) atau mereka yang tidak menggunakan hak suaranya di dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pada Bab I, peneliti memaparkan mengenai ketertarikannya untuk melakukan penelitian mengenai partisipasi politik masyarakat. Pada Bab II, pada tulisan ini peneliti menjelaskan dan menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis data yang ditemukan di lapangan. Dan berbagai uraian dan pemaparan mengenai tingkat partisipasi politik masyarakat kelurahan Titi Rante pada Pilkada Kota Medan dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara, serta memuat beberapa hal yang dilihat peneliti berkaitan dalam mendukung turun dan naiknya minat masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam media politik, hal ini dibahas di dalam Bab III. Dan Bab IV, adalah mengenai kesimpulan penulisan skripsi ini dan beberapa rekomendasi yang dihasilkan.


(8)

Daftar Isi

Halaman Persetujuan... i

Halaman Pengesahan... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi... vi

Daftar Tabel... viii

Abstrak... ix

BAB I Pendahuluan... 1

1. Latar Belakang Permasalahan... 1

2. Perumusan Masalah... 11

3. Tujuan Penelitian... 11

4. Manfaat Penelitian... 12

5. Kerangka Teori... 12

6. Defenisi Konsep... 18

7. Defenisi Operasional... 19

8. Metodologi Penelitian ... 20

9. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II Uraian Teoritis... 22

1. Perbandingan Politik... 22

2. Partisipasi Politik... 25

3. Pemilihan Umum... 28

4. Pemilihan Kepala Daerah... 34

5. Partai Politik... 37

BAB III Penyajian dan Analisis Data... 42

1. Sekilas Partisipasi Politik Masyarakat di Indonesia... 42

2. Tingkat Partisipasi Masyarakat Kelurahan Titi Rante Dalam PILKADA Kota Medan 2005 dan PILKADA Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008... 47


(9)

3. Faktor Pendukung Rendahnya Partisipasi Masyarakat Kelurahan Titi Rante di dalam Pilkada Kota Medan

Tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008 58 4. Rendahnya Partisipasi Politik dan Peran Partai Politik... 61 5. Partisipasi Politik Masyarakat Kelurahan Titi Rante ... 71 6. Hubungan Pilkada dan Perencanaan

Pembangunan Ekonomi Lokal... 74 BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi

1. Kesimpulan... 77 2. Rekomendasi... 79


(10)

BAB II

URAIAN TEORITIS 1 Perbandingan Politik

Studi perbandingan adalah bidang di dalam Ilmu Politik yang acap kali mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan studi intensif untuk mengurangi kekakuan dalam sistem politik yang ada. Perbandingan melibatkan sebuah abstraksi situasi atau proses konkrit yang tidak pernah dibandingkan semata, setiap fenomena diharapkan merupakan peristiwa yang unik; setiap manifestasi adalah unik; setiap individu dan perilakunya adalah unik.

Melakukan perbandingan dalam studi politik, hanya akan memberikan sebuah teori politik yang secara umum, tetapi secara perlahan melalui berbagai proses akan terjadi pengembangan kondisi. Singkatnya pendekatan yang nantinya dilakukan dalam proses memperbandingkan juga akan menentukan deskripsi pendekatan, apakah akan terbatas pada pendekatan lembaga pemerintahan yang dibentuk secara formal atau lebih pada sebuah kontekstual dalam pembongkaran kekuatan-kekuatan politik yang melatari yaitu ideologi.

Pengembangan terhadap sebuah abstraksi situasi akan membentuk relevansi dengan kekuatan kategori umum, sebuh relevansi yang terhimpun dari berbagai perbandingan yang dilakukan melalui peristiwa dan fenomena politik yang terjadi. Yang kesemua pada gilirannya dapat mengarahkan kesimpulan dan tanggapan kita kepada sebuah pandangan umum mengenai stabilitas politik; makanya diperlukannya pengkajian terhadap fenomena yang terjadi dalam studi ilmu politik15

15

Macridis, Roy, Perbandingan Ilmu Politik, Jakarta, 1992 hal 5. .


(11)

Secara garis besar tinjauan didalam perbandingan ilmu politik dari awal perkembangannya sampai dengan kondisi politik yang mutakhir, terdapat beberapa teori yang mendukung16

Dalam sebuah kaitannya dapatlah dipahami bahwa setiap manifestasi sikap, hubungan, motivasi dan ide dalam masyarakat merupakan relevansi dalam kegiatan politik. Secara sederhana polituk dapat dipahami sebagai sebuah aspirasi dalam membentuk sebuah kepentingan, yang diawali dengan sebuah tuntutan dan akhirnya menghasilkan sebuah keputusan serta konsensus bersama. Dan dalam memahami sebuah fenomena politik yang ada diperlukannya sebuah pemahaman holistik tentang potensi potensial politik dan memahami bahwa ada sebuah sikap yang dianggap bertentangan yaitu sebuah sikap apolitis. Semua terbentuk pada ruang dan waktu yang berbeda tetapi semua menyangkut kegiatan politik dalam sebuah wadah partisipasi politik.

, yakni; Pertama, Teori sistem, seperti apa yang diutarakan David Easton di dalam bukunya “The Political System”, yang memuat mengenai konsep input dan output politik, tuntutan dan dukungan serta umpan-balik terhadap keseluruhan sistem yang saling berhubungan. Kedua, Teori Budaya, berangkat dari karya tradisional tentang budaya dalam dunia antopologi, studi sosialisasi dan kelompok-kelompok kecil dalam sosiologi; serta konsep kebudayaan yang dikaitkan dengan konsep negara dan budaya-budaya nasional. Ketiga, Teori Pembangunan, kemunculan negara di dunia ketiga mendorong kemunculan teori ini, yang tercurahkan pada wawasan keterbelakangan dan potensi untuk memajukan diri unruk tumbuh dan berkembang menjadi sebuah bangsa, yang kesemua terkait dalam pola modernisasi politik.

16 Chilcote, Ronald, Teori Perbandingan Politik, PT. Raja Grafindo Persada,


(12)

Dalam melihat struktural kelembagaan pemerintahaan maka dianggap penting mempelajari pelaku elite-elite pemerintahan yang menggunakan kekuatannya untuk mendapatkan kekuasaan. Kita harus melihatnya dari sebuah sisi dimana segala aktivitas politiknya merupakan sebuah jalan pemecahan permasalahan dan berorientasi pada sebuah tujuan, sebuah aktivitas yang merupakan ciri khas dalam sebuah fenomena politik.

Komplotan elit pada umumnya mengambil keputusan akan perencanaan yang bersifat menguntungkan posisi mereka, yang dalam studi dan penilaiannya jauh lebih menguntungkan kelompoknya daripada masyarakat secara luas17. Tindakan dan kehendak yang dijalankan oleh kelompok elite kembali sebagai sebuah penentu berjalannya lembaga pemerintahan dengan menunjukan kondisi-kondisi yang seolah membatasi ruang kebebasan individu.

Konsepsi pemikiran dan perbandingan politik, adalah bertujuan untuk melihat dan penekanan pada pergolakan sosial dan konsensus yang terbangun, dan tidak pula tertutup kemungkinan akan terjadinya konflik di dalam masyarakat. Mulai dari pemahaman yang konservatif sampai dengan pemahaman yang radikal tentang negara dan tujuannya, semua merupakan dan interpertasi terhadap analisis peran negara dalam kondisi yang temporer. Lewat berbagai diskursus tentang teori perbandingan, maka kedepannya diharapkan akan menghasilkan sebuah implikasi yang nyata dalam memberikan kontribusi pemikiran politik serta ruang untuk mencapai sebuah sistem yang muncul dari kondisi latar belakang sosial-politik masyarakat.

17

Shonfield, Andrew, Kapitalisme Modern, Terjemahan dari Modern Capitalism, London; Oxford University, 1965.


(13)

2. Partisipasi Politik

Partisipasi politik dalam defenisi umum yang diartikan oleh Doktor Ilmu Politik, Miriam Budiardjo, adalah sebagai sebuah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam Pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat atau anggota parlemen 18

Galen dan Irwin dalam tulisannya “Political Efficacy, Statisfaction and Participation” , mengungkapkan bahwa partisipasi politik adalah sebuh proses yang sistematis untuk memilih kepala negara dengan jalan pemilihan. Dan diharapkan hasil Pemilihan harus dapat diterima oleh masyarakat umum sebagai sebuah kebijakan bersama

.

19

Sementara Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam partisipasi politik di negara berkembang, mendefenisikan konsep partisipasi politik sebagai kegiatan negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi ini bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal

. Dalam sebuah pengertian bahwa pemipmin yang lahir bukan hanya menjadi milih masyarakat pemilihnya saja tapi lebih diharapkan dapat diterima secara luas sebagai sebuah hasil konsensus bersama.

20 .

18 Bidiardjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia,

Jakrta, 1998, hal. 9.

19

Ibid, hal 6.

20 Hutington, Samuel, Partispasi Politik di Negara Berkembang, Rineka Cipta,


(14)

2.1 Tujuan Partisipasi Politik

Menurut Sudijono Sastroadmodjo partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah 21

Bentuk partisipasi politik aktif dalam masyarakat seperti apa yang diuraikan oleh Miriam Budiardjo adalah, Partisipasi Politik dapat bersifat aktif dan pasif, entuk paling sederhana dari partisipasi politik adalah ikut memberikan suara dalam Pemilu, turut serta dalam demonstrasi dan memberikan dukungan

. Sama halnya dengan Samuel P. Hutington dan Joan M. Nelson dalam partisispasi poltik di negara berkembang seperti dikutip olehSudjiono Sastroadmodjo, tujuan dari partisipasi politik adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

Pendapat yang memiliki kesamaan seperti apa yang diungkapkan oleh Miriam Budiardjo, bahwa tujuan dari partisipasi politik aktif alaha dengan cara datang ke tempat pemungutan suara untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan harapan bahwa melalui proses pemilihan diharapakan tujuan dan maksu politik dapat disampaikan oleh pemimpin yang sesuai dengan kepentingan politik yang kita gariskan.

Secara umum partisipasi politik masyarakat merupakan indikator dalam membuat atau melakukan perubahan kebijakan negara, dengan jalan menentukan pilihan politiknya untuk memilih pemimpin yang memiliki platform yng berdekatan denga kepentingan dan perilaku politik individu yang pada akhirnya harus diasosiasikan dalam bentuk kebijakan publik.

2.2 Bentuk Partisipasi Politik

21 Sastroadmodjo, Sudijono, Perilaku Politik, IKIP Press, Semarang, 1995, hal.


(15)

keuangan dengan memberikan sumbangan. Sedangkan benttuk partisipasi pasif adalah bentuk partisipasi yang hanya sebentar. Misalnya bentuk diskusi, politik informal oleh individu dalam keluarga, tempat kerja atau di lingkungan lainnya 22

Menurut Ramlan Surbakti, bentuk partisipasi dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif adalah mencakup kegiatan warganegara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kerjasama, membayar pajak, dan ikut dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. Partisipasi Pasif merupakan kegiatan mentaati peraturan pemerintah, memahami dan melaksanakannya begitu saja setiap keputusan pemerintah

.

23

Sementara menurut Milbrath dan Goel dalam membedakan partisipasi politik, kegiatan politik dapat dijadikan beberapa kategori, yakni

.

24

1. Apatis, adalah orang yang menarik diri dalam proses politik :

2. Spektator, yaitu orang yang setidaknya pernah mengikuti media pemilihan umum.

3. Gladiator, yaitu orang yang selalu aktif dalam kegiatan politik.

4. Pengkutik, yaitu orang yang mengikuti proses politik dalam bentuk yang konvensional.

22

Hutington, Ibid, Hal 68

23

Budiardjo, Ibid, hal 10

24


(16)

3. Pemilihan umum 3.1. Pengertian

Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan Pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekatikehendak rakyat. Oleh karena itu, Pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan.

Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, Pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta Pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, Pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian Pemilu harus diselenggarakan secara teratur denganjarak waktu yang jelas. Ketiga, Pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalamproses Pemilu. Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untukmempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasanabebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Kelima, penyelenggara Pemilu yang tidak memihak dan independen.Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasionaldan


(17)

kepemimpinan daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan seleksi kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah melalui Pemilu membuktikan keberhasilan partai politik sebagai pilar demokrasi.

Di negara yang demokratis pemilihan merupakan alat untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serat mempengaruhi kebijakan pemerintah dan sistem politik yang berlaku. Dengan hal itu pula, pemilihan tetaplah merupakan bentuk partisipasi politik rakyat. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabat

Memilih sebagaian rakyat untuk menjadi pemerintah adalah suatu proses dan kegiatan yang seharusnya merupakan hak semua rakyat yang kelak diperintah oleh orang-orang terpilih. Proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutanya menjadi : pemilihan. Dalam hal ini pemilihan yaitu semua rakyat harus ikut, tanpa dibeda-bedakan maka dipakaian pemilihan umum. Sistem pemilihan adalah suatu mekanisme atau tatacara untuk menentukan pasangan calon dan berhak menduduki jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah25

Pemilihan Umum adalah motode demokratis untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam badan-badan perwakilan, dan merupakan pranata konstitusional bagi perubahan hubungan-hubungan kekuasaan. Pemilihan umum di Indonesia secara formal mengakui asas- asas langsung,umum, bebas dan rahasia, mempunyai perangkat aturan dan lembaga penyelenggara pemilu. Mengenai

.

25

Sitepu, Antonius, Sistem Politik Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006, hal.12


(18)

signifikasi dan fungsinya sebagaimana dimuat, Asas-asas Pemilihan umum menurut perundang-undang yang berlaku adalah :

a) Umum, dalam arti semua warga yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau telah kawin berhak ikut memilih dalam pemilu, dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih. Pemilihan bersifat umum berarti pemilihan yang berlaku menyeluruh bagi setiap warga negara.

b) Langsung, yakni. rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya, menurut hati nuraninya, tanpa perantara dan tingkatan.

c) Bebas, dalam arti setiap warga negara yang berhak mernilih dalammenggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa ada pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapa pun/dengan apapun.

d) Rahasia, yakni para pemilih dijamin oleh peraturan, tidak akan diketahui oleh pihak siapa pun dan dengan jalan apapunn, siapa pun yang dipilihnya. Pemilih memberikan suara pada surat suara dengan tidak diketahui oleh orang lain kepada siapa suara diberikan (secara ballot);

Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana dalam menjalankan demokrasi. PEMILU adalah sarana pokok pemerintahan perwakilan yang demokratis, dalam pemilihan umum masyarakat akan diberikan hak suaranya untuk memilih perwakilannya di lembaga-lembaga negara melalui partai politik. Dan melalui kelembagaan PEMILU masyarakat memunculkan para calon


(19)

pemimpin dan menyeleksi calon-calon tersebut dalam ketentuan dan nilai yang berlaku, sehingga diharapkan calon yang terpilih mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Dan dengan terpilihnya perwakilan masyarakat di lembaga-lembaga pemerintahan, diharapkan mereka dapat membawa suara di tingkat basisi masyarakat ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan.

Menurut Tatang Chimad pada prinsipnya Pemilihan umum dalam ranah demokrasi bermakna 26

1. Kegiatan partisipasi politik dalam menuju kesempurnaan berbagai pihak. :

2. Sistem perwakilan bukan partisipasi langsung dimana terjadi perwakilan penentu akhir dalam memilih elit politik yang berhak duduk mewakili masyarakat.

3. Sirkulasi para elit politik yang berujung pada perbaikan performa eksekutif. Pemilu sebagai wujud dari demokrasibertujuan sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintah dan alternatif kebijakan umum. Memilih sebagaian rakyat menjadi pemerintah adalah suatu proses dan kegiatan yang seharusnya merupakan hak semua rakyat yang kelak diperintah oleh orang yang terpilih menjadi pemimpin. Proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutannya menjadi pemilihan. Dalam pemilihan itu semua rakyat harus ikut,

26

Chimad, Tatang, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Jogyakarta, 2004, hal. 3.


(20)

tanpa membedakan, maka dengan itu dipakailah sebutan Pemilihan Umum atau diseingkat dengan PEMILU27

Dengan demikian, diadakan pemilihan umum tidak sekedar memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan, dan juga tidak memilih wakil-wakil rakyat untuk menyusun negara baru, tetapi

.

Sesungguhnya pemilihan umum sudah sejak lama di sebut sebagai tata cara untuk memperoleh kedudukan atau status sebagai wakil rakyat atau sebagai anggota badan perwakilan dengan memanfaatkan pemilihan umum, dengan ini mengaitkan pemilihan umum sebagai usaha pembentukan dan pertumbuhan sistem perwakilan politik rakyat. Jadi melalui, rakyat memunculkan para calon pemimpin dan menjaring calon-calon tersebut berdasarkan niali yang berlaku. Keikutsertakan rakyat dalam pemilihan umum, dapat juga dipandang sebagai wujud partisipasi dalam proses pemerintahan. Sebab melalui lembaga pemilihan umum berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin negara, pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat yang telah memilihnya.

3.1.Tujuan Pemilihan Umum

Menurut rumusan penjelasan UU.No.15 tahun 1969, tentang pemilihan umum, yang masih berlaku sampai tahun pemilihan umum 1997, disebutkan bahwa tujuan pemilihan umum adalah :

“Dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita revolusi kemerdekaan RI proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam Pancasila UUD 1945, maka penyusunan tata kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan pemilihan umum”.

27

Castles, Lance, Pemilu Dalam Konteks Komparatif dan Historis, Pustaka Widyatama, Jogyakarta, 2004, hal 16.


(21)

suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawa isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan, mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada proklamasi 17 agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban amanat penderitaan rakyat. Pemilihan umum adalah suatu alat yang penggunaannya tidak boleh mengakibatkan rusaknya sendi-sendi demokrasi bahkan menimbulkan hal-hal yang menderita rakyat, tetapi harus menjamin suksesnya perjuangan Orde baru, yaitu tetap tegaknya pancasila dan dipertahankan UUD 1945”. Maka yang tersimpul dalam tujuan pemilihan umum diatas merupakan fundamen pelaksanaan demokrasi di Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945.28

“Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintah negara dalam rangka tercapai tujaun nasional sebagaimana diamanatkan UUD negara Republik Indonesia 1945”.

Sedangkan tujuan pemilihan umum menurut UU No 12 tahun 2003, tentang pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah : “Pemilihan Umum diselenggrakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujaun nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945”.

Adapun tujuan pemilihan umum menurut Undang-Undang No.23, tahun 2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, yaitu :

29

28

Rahman, A., Sistem Politik Indonesia, Jogjakarta: Graha Ilmu, 2007, hal. 147

29


(22)

4. Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) 4.1 Pengertian PILKADA

Kepala daerah adalah jabatan politik atau jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakan jalannya roda pemerintahan. Fungsi-fungsi pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan pembangunan. Kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan itu. Dalam kontek struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang merupakan mekanisme baru rekruitmen kekuasaan di daerah terus bergulir. Dinamika demokrasi yang berkembang di Indonesia pasca Orde Baru telah membawa wacana baru, bahwa ternyata penataan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak efektif apabila dikelola secara sentralistik. Oleh karena itu, muncullah wacana desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola daerahnya secara lebih luas namun bertanggung jawab dalam koridor wilayah kesatuan RI.

Cara paling efektif untuk membedakan pemilihan kepala daerah langsung dan pemilihan kepala daerah tidak langsung adalah dengan melihat tahapan-tahapan kegiatan yang digunakan. Dalam pemilihan kepala daerah tak langsung, partisipasi rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat jelas terlihat dan terbuka lebar. Rakyat merupakan sabjek politik, mereka menjadi pemilih, penyelengara pemantau dan bahkan pengawas. Oleh sebab itu, dalam pemilihan


(23)

kepala daerah langsung, selalu ada tahapan kegiatan pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan dan perhitungan suara dan sebagainya..

Wujud semangat desentralisasi adalah terciptanya pemimpin daerah yang langsung dipilih oleh rakyat melalui Pilkada. Penyerapan aspirasi rakyat juga dilakukan melalui mekanisme demokrasi yang sehat dengan membuka peluang, bahwa keterwakilan dalam partai politik betul-betul mencerminkan keterwakilan masyarakat. Pilkada inilah yang pada akhirnya akan menjembatani aspirasi rakyat daerah untuk memilih figur-figur yang dekat dan mewakili masyarakatlah yang berhak untuk duduk memimpin daerah tersebut.

Pemberlakukan aturan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (hasil revisi UU 22/1999) yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2005 termasuk langkah progresif bagi penataan kelembagaan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan Pilkada langsung akan mencegah berbagai konspirasi antar elit politik yang selama ini selalu mendominasi proses seleksi pemilihan kepala daerah (walikota/bupati). Selain itu, Pilkada juga membuka peluang tampilnya pemimpin-pemimpin berkualitas yang mampu menjadi motor reformasi di tingkat birokrasi

Pilihan terhadap sistem Pilkada langsung merupakan koreksi atas Pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD sebagaimana tertuang dalam UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.151 tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Dan Pemberhentian Kepala Daerah. Kepala Daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokasi untuk menggerakkan jalurnya roda pemerintahan. Fungsi pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan.


(24)

Kepala Daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan tersebut. Dalam konteks struktur kekuasaan, Kepala Daerah adalah kepala eksekutif di daerahTerminologi Jabatan Publik artinya kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat atau publik, berdampak kepada rakyat dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyatnya. Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu dengan menyeleksi rakyat terhadap tokoh-tokoh lokal yang mencalonkan sebagai Kepala Daerah. Dalam kehidupan politik di daerah.

PILKADA merupakan salah satu kegiatan yang nilainya sejajar dengan pemilihan legislatif terbukti kepala daerah dan DPRD setara dan menjadi mitra. Aktor utama Pilkada adalah rakyat, Parpol, pasangan calon Kepala Daerah dan KPUD sebagai penyelenggara, ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan pilkada langsung. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, penetapan calon, kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, dan penetapan calon terpilih

Karena pilkada langsung merupakan implementasi demokrasi partipatoris, maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Pilkada pemilihan langsung kepala daerah yang diawali setelah diberlakukannya Undang-Undang No.32 tahun 2004 merupakan langkah maju bagi proses demokratisasi lokal di Indonesia. Malalui pelaksanaan otonomi daerah sebagai media untuk menyebarkan sistem demokrasi yang semakin


(25)

disempurnakan, termasuk pemilihan kepala daerah langsung diharapkan memacu tumbuhnya kekuatan yang pro demokrasi di daerah. Artinya melalui pemilihan kepala daearh yang secara lengsung ini, akan lahir aktor-aktor demokrasi didaerah, yang kemudian diharapkan mampu melakukan gerakan-gerakan baru baru bagi perubahan.

4.2. Dasar Hukum Pemilihan Kepala Daerah

Pada dasarnya terdapat empat peraturan perundangan yang menjadi acuan dan pedoman pelaksanaan penyelengaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung yaitu:

1. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daearh

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) No.3 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

3. Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daearah dan wakil kepala daerah 4. Peraturan Pemerintah No.17 tahun 2005 tentang perubahan atas peraturan

pemerinatah No.6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah

5. Partai Politik.

5.1 Defenisi Partai Politik

Istilah partai politik ditinjau dari asal katanya berarti bagian atau pihak. Di dalam masyarakat secara alamiah terdapat pengelompokan-pengelompokan atau


(26)

parati-partai. Salah satu pengelompokan masyarakat didasarkan pada persamaan paham dalam bentuk doktrin politik yang seringkali disebut dengan partai. Pendapat ini kemudian popular untuk diberikan batasan pengertian partai politik, perlu diketahui bahwa partai berbeda dengan gerakan massa. Suatu gerakan merupakan kelompok atau golongan yang ingin menciptakan perubahan pada lembaga-lembaga politik, atau lebih kepada mendorong perubahan tatanan masyarakat dengan cara-cara politik. Berbeda dengan partai yang memiliki tujuan yang tidak hanya terbatas pada sebuah tujuan yang fundamental saja.

Orientasi parati politik merupakan ikatan yang kuat pada anggota dan kadernya yang dapat menimbulkan identitas kelompok yang kuat, sebuah identitas, nama ataupun label partai politik yang dapat menunjukan karakteristik partai politik itu sendiri. Secara umum partai politik diartikan sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar persamaan dan kehendak cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilu30

Partai politik din Indonesia dalam perjalanan sejarahnya pertama kali lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. pada

.

Kedaulatan partai politik berada ditangan anggotanya, tiap partai politik mempunyai ciri masing-masing. Ciri masing-masing partai tersebut terletak pada ideologi, tujuan dan programnya. Berdasarkan tujuan dan programnya itu, partai politik menetapkan garis perjuangannya. Garis perjuangan atau platform partai politik merupakan pengejawantahan ideologi yang harus diketahui dan disadari dengan baik oleh angggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

30

Porwantana, Undang-Undang Partai Politik, Yogjakarta : Pustaka Widya Utama, 2003, hal 144


(27)

masa itu semua organisasi, baik yang berhaluan sosial, politik, dan basis agama menyatukan kekuatan dalam sebuah gerakan dan memainkan peranannya dalam politik nasional. dan dalam perkembangannya, inisisiatif warga negara membentuk partai politik yang didasari berbagai macam kepentingan yang ingin disalurkan dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Salah satu argumen mendasar dibentuknya partai politik adalah ideologi, rumusan gagasan dan cita masyarakat yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Secara umum Miriam Budiardjo menagtakan bahwa partai Politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (dengan jalan konstitusional) untuk melaksanakan kebijakan mereka.31

1. Fungsi Artikulasi Kepentingan

5.2. Fungsi dan Tujuan Partai Politik

Menurut berbagai ahli dan penulis ilmu politik terdapat berbagai penafsiran terhadap fungsi partai politik, demikian juga berlaku disetiap negara-negara dimana fungsi politik itu berbeda-berbeda menurut keinginan yang ingin di capai negara tersebut. Dalan negara demokrasi partai politik memiliki atau menyelenggrakan beberapa fungsi, partai politik secara umum memiliki fungsi yaitu :

Artikulasi kepentingan adalah suatu proses pengimputan berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga –lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam perbuatan kebijakan umum

31


(28)

2. Fungsi Agregasi Kepentingan

Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarakan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif pembuatan kebijakan umum. Agregasi kepentingan di jalankan dalam sistem politik yang memperbolehkan persaingan partai secara terbuka, fungsi organisasi itu terjadi di tingkat atas, mampu dalam birokrasi dan berbagai jabatan militer sesuai dengan kebutuhan dari rakyat32

3. Fungsi Sosialisasi Politik

.

Partai politik juga memiliki sarana sosialisasi. Sosialisasai politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana berada.

4. Fungsi Komunikasi Politik.

komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang dilakukan oleh partai politik dengan segala struktur yang tersedia, yakni mengadakan komunikasi informasi, isu dan gagasan politik. Media-media massa banyak berperan sebagai alat komunikasi politik dan membentuk kebudayaan politik33

5. Fungsi Pengaturan Konflik

.

Dalam negara demokratis yang masyarakatnya bersifat terbuka, adanya perbedaan dan persaingan pendapat sudah merupakan hal yang wajar. Akan tetapi di dalam masyarakat yang heterogen sifatnya, maka persoalan perbedaan pendapat itu, apakah ia berdasarkan perbedaan etnis, status sosial ekonomi atau agama mudah sekali mengandung konflik. Pertikaian-pertikaian semacam ini dapat

32

ibid., hal.17 33

Khoirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2004, hal 103.


(29)

diatasi dengan bantuan partai politik, sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa, sehingga akibat-akibat negatifnya sedemikian mungkin.

6. Fungsi Rekruitmen Politik

Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administrative maupun politik. Setiap partai politik memiliki pola rekrutmen yang berbeda. Pola rekrutmen anggota partai disesuaikan dengan sistem politik yang dianutnya. Di indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu, setelah setiap calon peserta yang diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh semua badan resmi, seleksi ini dimulai dari seleksi administratif, penelitian khusus yakni penyangkutan kesetian pada ideologi negara34

1. Tujuan umum partai politik

.

Menurut Sigmun Nauman bahwa didalam negara demokratis, partai politik mengatur keinginan dan aspirasi berbagaai golongan dalam masyarakat. Di dalam pasal 5 undang-undang nomor 31 tahun 2002 dijelaskan bahwa tujuan partai politik ada 2 yaitu tujuan umum dan tujuan khusus

a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi nilai kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

34


(30)

BAB II

URAIAN TEORITIS 1 Perbandingan Politik

Studi perbandingan adalah bidang di dalam Ilmu Politik yang acap kali mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan studi intensif untuk mengurangi kekakuan dalam sistem politik yang ada. Perbandingan melibatkan sebuah abstraksi situasi atau proses konkrit yang tidak pernah dibandingkan semata, setiap fenomena diharapkan merupakan peristiwa yang unik; setiap manifestasi adalah unik; setiap individu dan perilakunya adalah unik.

Melakukan perbandingan dalam studi politik, hanya akan memberikan sebuah teori politik yang secara umum, tetapi secara perlahan melalui berbagai proses akan terjadi pengembangan kondisi. Singkatnya pendekatan yang nantinya dilakukan dalam proses memperbandingkan juga akan menentukan deskripsi pendekatan, apakah akan terbatas pada pendekatan lembaga pemerintahan yang dibentuk secara formal atau lebih pada sebuah kontekstual dalam pembongkaran kekuatan-kekuatan politik yang melatari yaitu ideologi.

Pengembangan terhadap sebuah abstraksi situasi akan membentuk relevansi dengan kekuatan kategori umum, sebuh relevansi yang terhimpun dari berbagai perbandingan yang dilakukan melalui peristiwa dan fenomena politik yang terjadi. Yang kesemua pada gilirannya dapat mengarahkan kesimpulan dan tanggapan kita kepada sebuah pandangan umum mengenai stabilitas politik; makanya diperlukannya pengkajian terhadap fenomena yang terjadi dalam studi ilmu politik15

15

Macridis, Roy, Perbandingan Ilmu Politik, Jakarta, 1992 hal 5. .


(31)

Secara garis besar tinjauan didalam perbandingan ilmu politik dari awal perkembangannya sampai dengan kondisi politik yang mutakhir, terdapat beberapa teori yang mendukung16

Dalam sebuah kaitannya dapatlah dipahami bahwa setiap manifestasi sikap, hubungan, motivasi dan ide dalam masyarakat merupakan relevansi dalam kegiatan politik. Secara sederhana polituk dapat dipahami sebagai sebuah aspirasi dalam membentuk sebuah kepentingan, yang diawali dengan sebuah tuntutan dan akhirnya menghasilkan sebuah keputusan serta konsensus bersama. Dan dalam memahami sebuah fenomena politik yang ada diperlukannya sebuah pemahaman holistik tentang potensi potensial politik dan memahami bahwa ada sebuah sikap yang dianggap bertentangan yaitu sebuah sikap apolitis. Semua terbentuk pada ruang dan waktu yang berbeda tetapi semua menyangkut kegiatan politik dalam sebuah wadah partisipasi politik.

, yakni; Pertama, Teori sistem, seperti apa yang diutarakan David Easton di dalam bukunya “The Political System”, yang memuat mengenai konsep input dan output politik, tuntutan dan dukungan serta umpan-balik terhadap keseluruhan sistem yang saling berhubungan. Kedua, Teori Budaya, berangkat dari karya tradisional tentang budaya dalam dunia antopologi, studi sosialisasi dan kelompok-kelompok kecil dalam sosiologi; serta konsep kebudayaan yang dikaitkan dengan konsep negara dan budaya-budaya nasional. Ketiga, Teori Pembangunan, kemunculan negara di dunia ketiga mendorong kemunculan teori ini, yang tercurahkan pada wawasan keterbelakangan dan potensi untuk memajukan diri unruk tumbuh dan berkembang menjadi sebuah bangsa, yang kesemua terkait dalam pola modernisasi politik.

16 Chilcote, Ronald, Teori Perbandingan Politik, PT. Raja Grafindo Persada,


(32)

Dalam melihat struktural kelembagaan pemerintahaan maka dianggap penting mempelajari pelaku elite-elite pemerintahan yang menggunakan kekuatannya untuk mendapatkan kekuasaan. Kita harus melihatnya dari sebuah sisi dimana segala aktivitas politiknya merupakan sebuah jalan pemecahan permasalahan dan berorientasi pada sebuah tujuan, sebuah aktivitas yang merupakan ciri khas dalam sebuah fenomena politik.

Komplotan elit pada umumnya mengambil keputusan akan perencanaan yang bersifat menguntungkan posisi mereka, yang dalam studi dan penilaiannya jauh lebih menguntungkan kelompoknya daripada masyarakat secara luas17. Tindakan dan kehendak yang dijalankan oleh kelompok elite kembali sebagai sebuah penentu berjalannya lembaga pemerintahan dengan menunjukan kondisi-kondisi yang seolah membatasi ruang kebebasan individu.

Konsepsi pemikiran dan perbandingan politik, adalah bertujuan untuk melihat dan penekanan pada pergolakan sosial dan konsensus yang terbangun, dan tidak pula tertutup kemungkinan akan terjadinya konflik di dalam masyarakat. Mulai dari pemahaman yang konservatif sampai dengan pemahaman yang radikal tentang negara dan tujuannya, semua merupakan dan interpertasi terhadap analisis peran negara dalam kondisi yang temporer. Lewat berbagai diskursus tentang teori perbandingan, maka kedepannya diharapkan akan menghasilkan sebuah implikasi yang nyata dalam memberikan kontribusi pemikiran politik serta ruang untuk mencapai sebuah sistem yang muncul dari kondisi latar belakang sosial-politik masyarakat.

17

Shonfield, Andrew, Kapitalisme Modern, Terjemahan dari Modern Capitalism, London; Oxford University, 1965.


(33)

2. Partisipasi Politik

Partisipasi politik dalam defenisi umum yang diartikan oleh Doktor Ilmu Politik, Miriam Budiardjo, adalah sebagai sebuah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam Pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat atau anggota parlemen 18

Galen dan Irwin dalam tulisannya “Political Efficacy, Statisfaction and Participation” , mengungkapkan bahwa partisipasi politik adalah sebuh proses yang sistematis untuk memilih kepala negara dengan jalan pemilihan. Dan diharapkan hasil Pemilihan harus dapat diterima oleh masyarakat umum sebagai sebuah kebijakan bersama

.

19

Sementara Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam partisipasi politik di negara berkembang, mendefenisikan konsep partisipasi politik sebagai kegiatan negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi ini bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal

. Dalam sebuah pengertian bahwa pemipmin yang lahir bukan hanya menjadi milih masyarakat pemilihnya saja tapi lebih diharapkan dapat diterima secara luas sebagai sebuah hasil konsensus bersama.

20 .

18 Bidiardjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, Yayasan Obor Indonesia,

Jakrta, 1998, hal. 9.

19

Ibid, hal 6.

20 Hutington, Samuel, Partispasi Politik di Negara Berkembang, Rineka Cipta,


(34)

2.1 Tujuan Partisipasi Politik

Menurut Sudijono Sastroadmodjo partisipasi politik merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah 21

Bentuk partisipasi politik aktif dalam masyarakat seperti apa yang diuraikan oleh Miriam Budiardjo adalah, Partisipasi Politik dapat bersifat aktif dan pasif, entuk paling sederhana dari partisipasi politik adalah ikut memberikan suara dalam Pemilu, turut serta dalam demonstrasi dan memberikan dukungan

. Sama halnya dengan Samuel P. Hutington dan Joan M. Nelson dalam partisispasi poltik di negara berkembang seperti dikutip olehSudjiono Sastroadmodjo, tujuan dari partisipasi politik adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

Pendapat yang memiliki kesamaan seperti apa yang diungkapkan oleh Miriam Budiardjo, bahwa tujuan dari partisipasi politik aktif alaha dengan cara datang ke tempat pemungutan suara untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan harapan bahwa melalui proses pemilihan diharapakan tujuan dan maksu politik dapat disampaikan oleh pemimpin yang sesuai dengan kepentingan politik yang kita gariskan.

Secara umum partisipasi politik masyarakat merupakan indikator dalam membuat atau melakukan perubahan kebijakan negara, dengan jalan menentukan pilihan politiknya untuk memilih pemimpin yang memiliki platform yng berdekatan denga kepentingan dan perilaku politik individu yang pada akhirnya harus diasosiasikan dalam bentuk kebijakan publik.

2.2 Bentuk Partisipasi Politik

21 Sastroadmodjo, Sudijono, Perilaku Politik, IKIP Press, Semarang, 1995, hal.


(35)

keuangan dengan memberikan sumbangan. Sedangkan benttuk partisipasi pasif adalah bentuk partisipasi yang hanya sebentar. Misalnya bentuk diskusi, politik informal oleh individu dalam keluarga, tempat kerja atau di lingkungan lainnya 22

Menurut Ramlan Surbakti, bentuk partisipasi dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif adalah mencakup kegiatan warganegara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kerjasama, membayar pajak, dan ikut dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. Partisipasi Pasif merupakan kegiatan mentaati peraturan pemerintah, memahami dan melaksanakannya begitu saja setiap keputusan pemerintah

.

23

Sementara menurut Milbrath dan Goel dalam membedakan partisipasi politik, kegiatan politik dapat dijadikan beberapa kategori, yakni

.

24

1. Apatis, adalah orang yang menarik diri dalam proses politik :

2. Spektator, yaitu orang yang setidaknya pernah mengikuti media pemilihan umum.

3. Gladiator, yaitu orang yang selalu aktif dalam kegiatan politik.

4. Pengkutik, yaitu orang yang mengikuti proses politik dalam bentuk yang konvensional.

22

Hutington, Ibid, Hal 68

23

Budiardjo, Ibid, hal 10

24


(36)

3. Pemilihan umum 3.1. Pengertian

Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan Pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekatikehendak rakyat. Oleh karena itu, Pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan.

Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, Pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta Pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, Pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian Pemilu harus diselenggarakan secara teratur denganjarak waktu yang jelas. Ketiga, Pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalamproses Pemilu. Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untukmempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasanabebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Kelima, penyelenggara Pemilu yang tidak memihak dan independen.Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasionaldan


(37)

kepemimpinan daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan seleksi kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah melalui Pemilu membuktikan keberhasilan partai politik sebagai pilar demokrasi.

Di negara yang demokratis pemilihan merupakan alat untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serat mempengaruhi kebijakan pemerintah dan sistem politik yang berlaku. Dengan hal itu pula, pemilihan tetaplah merupakan bentuk partisipasi politik rakyat. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabat

Memilih sebagaian rakyat untuk menjadi pemerintah adalah suatu proses dan kegiatan yang seharusnya merupakan hak semua rakyat yang kelak diperintah oleh orang-orang terpilih. Proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutanya menjadi : pemilihan. Dalam hal ini pemilihan yaitu semua rakyat harus ikut, tanpa dibeda-bedakan maka dipakaian pemilihan umum. Sistem pemilihan adalah suatu mekanisme atau tatacara untuk menentukan pasangan calon dan berhak menduduki jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah25

Pemilihan Umum adalah motode demokratis untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam badan-badan perwakilan, dan merupakan pranata konstitusional bagi perubahan hubungan-hubungan kekuasaan. Pemilihan umum di Indonesia secara formal mengakui asas- asas langsung,umum, bebas dan rahasia, mempunyai perangkat aturan dan lembaga penyelenggara pemilu. Mengenai

.

25

Sitepu, Antonius, Sistem Politik Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006, hal.12


(38)

signifikasi dan fungsinya sebagaimana dimuat, Asas-asas Pemilihan umum menurut perundang-undang yang berlaku adalah :

a) Umum, dalam arti semua warga yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia, yaitu telah berusia 17 tahun atau telah kawin berhak ikut memilih dalam pemilu, dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih. Pemilihan bersifat umum berarti pemilihan yang berlaku menyeluruh bagi setiap warga negara.

b) Langsung, yakni. rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya, menurut hati nuraninya, tanpa perantara dan tingkatan.

c) Bebas, dalam arti setiap warga negara yang berhak mernilih dalammenggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa ada pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapa pun/dengan apapun.

d) Rahasia, yakni para pemilih dijamin oleh peraturan, tidak akan diketahui oleh pihak siapa pun dan dengan jalan apapunn, siapa pun yang dipilihnya. Pemilih memberikan suara pada surat suara dengan tidak diketahui oleh orang lain kepada siapa suara diberikan (secara ballot);

Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana dalam menjalankan demokrasi. PEMILU adalah sarana pokok pemerintahan perwakilan yang demokratis, dalam pemilihan umum masyarakat akan diberikan hak suaranya untuk memilih perwakilannya di lembaga-lembaga negara melalui partai politik. Dan melalui kelembagaan PEMILU masyarakat memunculkan para calon


(39)

pemimpin dan menyeleksi calon-calon tersebut dalam ketentuan dan nilai yang berlaku, sehingga diharapkan calon yang terpilih mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Dan dengan terpilihnya perwakilan masyarakat di lembaga-lembaga pemerintahan, diharapkan mereka dapat membawa suara di tingkat basisi masyarakat ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan.

Menurut Tatang Chimad pada prinsipnya Pemilihan umum dalam ranah demokrasi bermakna 26

1. Kegiatan partisipasi politik dalam menuju kesempurnaan berbagai pihak. :

2. Sistem perwakilan bukan partisipasi langsung dimana terjadi perwakilan penentu akhir dalam memilih elit politik yang berhak duduk mewakili masyarakat.

3. Sirkulasi para elit politik yang berujung pada perbaikan performa eksekutif. Pemilu sebagai wujud dari demokrasibertujuan sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintah dan alternatif kebijakan umum. Memilih sebagaian rakyat menjadi pemerintah adalah suatu proses dan kegiatan yang seharusnya merupakan hak semua rakyat yang kelak diperintah oleh orang yang terpilih menjadi pemimpin. Proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutannya menjadi pemilihan. Dalam pemilihan itu semua rakyat harus ikut,

26

Chimad, Tatang, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Jogyakarta, 2004, hal. 3.


(40)

tanpa membedakan, maka dengan itu dipakailah sebutan Pemilihan Umum atau diseingkat dengan PEMILU27

Dengan demikian, diadakan pemilihan umum tidak sekedar memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan, dan juga tidak memilih wakil-wakil rakyat untuk menyusun negara baru, tetapi

.

Sesungguhnya pemilihan umum sudah sejak lama di sebut sebagai tata cara untuk memperoleh kedudukan atau status sebagai wakil rakyat atau sebagai anggota badan perwakilan dengan memanfaatkan pemilihan umum, dengan ini mengaitkan pemilihan umum sebagai usaha pembentukan dan pertumbuhan sistem perwakilan politik rakyat. Jadi melalui, rakyat memunculkan para calon pemimpin dan menjaring calon-calon tersebut berdasarkan niali yang berlaku. Keikutsertakan rakyat dalam pemilihan umum, dapat juga dipandang sebagai wujud partisipasi dalam proses pemerintahan. Sebab melalui lembaga pemilihan umum berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin negara, pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat yang telah memilihnya.

3.1.Tujuan Pemilihan Umum

Menurut rumusan penjelasan UU.No.15 tahun 1969, tentang pemilihan umum, yang masih berlaku sampai tahun pemilihan umum 1997, disebutkan bahwa tujuan pemilihan umum adalah :

“Dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita revolusi kemerdekaan RI proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam Pancasila UUD 1945, maka penyusunan tata kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan pemilihan umum”.

27

Castles, Lance, Pemilu Dalam Konteks Komparatif dan Historis, Pustaka Widyatama, Jogyakarta, 2004, hal 16.


(41)

suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang membawa isi hati nurani rakyat dalam melanjutkan perjuangan, mempertahankan dan mengembangkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia bersumber pada proklamasi 17 agustus 1945 guna memenuhi dan mengemban amanat penderitaan rakyat. Pemilihan umum adalah suatu alat yang penggunaannya tidak boleh mengakibatkan rusaknya sendi-sendi demokrasi bahkan menimbulkan hal-hal yang menderita rakyat, tetapi harus menjamin suksesnya perjuangan Orde baru, yaitu tetap tegaknya pancasila dan dipertahankan UUD 1945”. Maka yang tersimpul dalam tujuan pemilihan umum diatas merupakan fundamen pelaksanaan demokrasi di Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945.28

“Pemilihan Umum presiden dan wakil presiden diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintah negara dalam rangka tercapai tujaun nasional sebagaimana diamanatkan UUD negara Republik Indonesia 1945”.

Sedangkan tujuan pemilihan umum menurut UU No 12 tahun 2003, tentang pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah : “Pemilihan Umum diselenggrakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujaun nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945”.

Adapun tujuan pemilihan umum menurut Undang-Undang No.23, tahun 2003 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden, yaitu :

29

28

Rahman, A., Sistem Politik Indonesia, Jogjakarta: Graha Ilmu, 2007, hal. 147

29


(42)

4. Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) 4.1 Pengertian PILKADA

Kepala daerah adalah jabatan politik atau jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakan jalannya roda pemerintahan. Fungsi-fungsi pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan pembangunan. Kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan itu. Dalam kontek struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang merupakan mekanisme baru rekruitmen kekuasaan di daerah terus bergulir. Dinamika demokrasi yang berkembang di Indonesia pasca Orde Baru telah membawa wacana baru, bahwa ternyata penataan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak efektif apabila dikelola secara sentralistik. Oleh karena itu, muncullah wacana desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola daerahnya secara lebih luas namun bertanggung jawab dalam koridor wilayah kesatuan RI.

Cara paling efektif untuk membedakan pemilihan kepala daerah langsung dan pemilihan kepala daerah tidak langsung adalah dengan melihat tahapan-tahapan kegiatan yang digunakan. Dalam pemilihan kepala daerah tak langsung, partisipasi rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan sangat jelas terlihat dan terbuka lebar. Rakyat merupakan sabjek politik, mereka menjadi pemilih, penyelengara pemantau dan bahkan pengawas. Oleh sebab itu, dalam pemilihan


(43)

kepala daerah langsung, selalu ada tahapan kegiatan pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan dan perhitungan suara dan sebagainya..

Wujud semangat desentralisasi adalah terciptanya pemimpin daerah yang langsung dipilih oleh rakyat melalui Pilkada. Penyerapan aspirasi rakyat juga dilakukan melalui mekanisme demokrasi yang sehat dengan membuka peluang, bahwa keterwakilan dalam partai politik betul-betul mencerminkan keterwakilan masyarakat. Pilkada inilah yang pada akhirnya akan menjembatani aspirasi rakyat daerah untuk memilih figur-figur yang dekat dan mewakili masyarakatlah yang berhak untuk duduk memimpin daerah tersebut.

Pemberlakukan aturan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (hasil revisi UU 22/1999) yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2005 termasuk langkah progresif bagi penataan kelembagaan dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan Pilkada langsung akan mencegah berbagai konspirasi antar elit politik yang selama ini selalu mendominasi proses seleksi pemilihan kepala daerah (walikota/bupati). Selain itu, Pilkada juga membuka peluang tampilnya pemimpin-pemimpin berkualitas yang mampu menjadi motor reformasi di tingkat birokrasi

Pilihan terhadap sistem Pilkada langsung merupakan koreksi atas Pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh DPRD sebagaimana tertuang dalam UU 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.151 tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Dan Pemberhentian Kepala Daerah. Kepala Daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokasi untuk menggerakkan jalurnya roda pemerintahan. Fungsi pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan.


(44)

Kepala Daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan tersebut. Dalam konteks struktur kekuasaan, Kepala Daerah adalah kepala eksekutif di daerahTerminologi Jabatan Publik artinya kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat atau publik, berdampak kepada rakyat dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyatnya. Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu dengan menyeleksi rakyat terhadap tokoh-tokoh lokal yang mencalonkan sebagai Kepala Daerah. Dalam kehidupan politik di daerah.

PILKADA merupakan salah satu kegiatan yang nilainya sejajar dengan pemilihan legislatif terbukti kepala daerah dan DPRD setara dan menjadi mitra. Aktor utama Pilkada adalah rakyat, Parpol, pasangan calon Kepala Daerah dan KPUD sebagai penyelenggara, ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan pilkada langsung. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, penetapan calon, kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, dan penetapan calon terpilih

Karena pilkada langsung merupakan implementasi demokrasi partipatoris, maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Pilkada pemilihan langsung kepala daerah yang diawali setelah diberlakukannya Undang-Undang No.32 tahun 2004 merupakan langkah maju bagi proses demokratisasi lokal di Indonesia. Malalui pelaksanaan otonomi daerah sebagai media untuk menyebarkan sistem demokrasi yang semakin


(45)

disempurnakan, termasuk pemilihan kepala daerah langsung diharapkan memacu tumbuhnya kekuatan yang pro demokrasi di daerah. Artinya melalui pemilihan kepala daearh yang secara lengsung ini, akan lahir aktor-aktor demokrasi didaerah, yang kemudian diharapkan mampu melakukan gerakan-gerakan baru baru bagi perubahan.

4.2. Dasar Hukum Pemilihan Kepala Daerah

Pada dasarnya terdapat empat peraturan perundangan yang menjadi acuan dan pedoman pelaksanaan penyelengaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung yaitu:

1. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daearh

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) No.3 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

3. Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daearah dan wakil kepala daerah 4. Peraturan Pemerintah No.17 tahun 2005 tentang perubahan atas peraturan

pemerinatah No.6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah

5. Partai Politik.

5.1 Defenisi Partai Politik

Istilah partai politik ditinjau dari asal katanya berarti bagian atau pihak. Di dalam masyarakat secara alamiah terdapat pengelompokan-pengelompokan atau


(46)

parati-partai. Salah satu pengelompokan masyarakat didasarkan pada persamaan paham dalam bentuk doktrin politik yang seringkali disebut dengan partai. Pendapat ini kemudian popular untuk diberikan batasan pengertian partai politik, perlu diketahui bahwa partai berbeda dengan gerakan massa. Suatu gerakan merupakan kelompok atau golongan yang ingin menciptakan perubahan pada lembaga-lembaga politik, atau lebih kepada mendorong perubahan tatanan masyarakat dengan cara-cara politik. Berbeda dengan partai yang memiliki tujuan yang tidak hanya terbatas pada sebuah tujuan yang fundamental saja.

Orientasi parati politik merupakan ikatan yang kuat pada anggota dan kadernya yang dapat menimbulkan identitas kelompok yang kuat, sebuah identitas, nama ataupun label partai politik yang dapat menunjukan karakteristik partai politik itu sendiri. Secara umum partai politik diartikan sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar persamaan dan kehendak cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilu30

Partai politik din Indonesia dalam perjalanan sejarahnya pertama kali lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. pada

.

Kedaulatan partai politik berada ditangan anggotanya, tiap partai politik mempunyai ciri masing-masing. Ciri masing-masing partai tersebut terletak pada ideologi, tujuan dan programnya. Berdasarkan tujuan dan programnya itu, partai politik menetapkan garis perjuangannya. Garis perjuangan atau platform partai politik merupakan pengejawantahan ideologi yang harus diketahui dan disadari dengan baik oleh angggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

30

Porwantana, Undang-Undang Partai Politik, Yogjakarta : Pustaka Widya Utama, 2003, hal 144


(47)

masa itu semua organisasi, baik yang berhaluan sosial, politik, dan basis agama menyatukan kekuatan dalam sebuah gerakan dan memainkan peranannya dalam politik nasional. dan dalam perkembangannya, inisisiatif warga negara membentuk partai politik yang didasari berbagai macam kepentingan yang ingin disalurkan dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Salah satu argumen mendasar dibentuknya partai politik adalah ideologi, rumusan gagasan dan cita masyarakat yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Secara umum Miriam Budiardjo menagtakan bahwa partai Politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (dengan jalan konstitusional) untuk melaksanakan kebijakan mereka.31

1. Fungsi Artikulasi Kepentingan

5.2. Fungsi dan Tujuan Partai Politik

Menurut berbagai ahli dan penulis ilmu politik terdapat berbagai penafsiran terhadap fungsi partai politik, demikian juga berlaku disetiap negara-negara dimana fungsi politik itu berbeda-berbeda menurut keinginan yang ingin di capai negara tersebut. Dalan negara demokrasi partai politik memiliki atau menyelenggrakan beberapa fungsi, partai politik secara umum memiliki fungsi yaitu :

Artikulasi kepentingan adalah suatu proses pengimputan berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga –lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam perbuatan kebijakan umum

31


(48)

2. Fungsi Agregasi Kepentingan

Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarakan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif-alternatif pembuatan kebijakan umum. Agregasi kepentingan di jalankan dalam sistem politik yang memperbolehkan persaingan partai secara terbuka, fungsi organisasi itu terjadi di tingkat atas, mampu dalam birokrasi dan berbagai jabatan militer sesuai dengan kebutuhan dari rakyat32

3. Fungsi Sosialisasi Politik

.

Partai politik juga memiliki sarana sosialisasi. Sosialisasai politik diartikan sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana berada.

4. Fungsi Komunikasi Politik.

komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang dilakukan oleh partai politik dengan segala struktur yang tersedia, yakni mengadakan komunikasi informasi, isu dan gagasan politik. Media-media massa banyak berperan sebagai alat komunikasi politik dan membentuk kebudayaan politik33

5. Fungsi Pengaturan Konflik

.

Dalam negara demokratis yang masyarakatnya bersifat terbuka, adanya perbedaan dan persaingan pendapat sudah merupakan hal yang wajar. Akan tetapi di dalam masyarakat yang heterogen sifatnya, maka persoalan perbedaan pendapat itu, apakah ia berdasarkan perbedaan etnis, status sosial ekonomi atau agama mudah sekali mengandung konflik. Pertikaian-pertikaian semacam ini dapat

32

ibid., hal.17 33

Khoirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2004, hal 103.


(49)

diatasi dengan bantuan partai politik, sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa, sehingga akibat-akibat negatifnya sedemikian mungkin.

6. Fungsi Rekruitmen Politik

Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administrative maupun politik. Setiap partai politik memiliki pola rekrutmen yang berbeda. Pola rekrutmen anggota partai disesuaikan dengan sistem politik yang dianutnya. Di indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu, setelah setiap calon peserta yang diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh semua badan resmi, seleksi ini dimulai dari seleksi administratif, penelitian khusus yakni penyangkutan kesetian pada ideologi negara34

1. Tujuan umum partai politik

.

Menurut Sigmun Nauman bahwa didalam negara demokratis, partai politik mengatur keinginan dan aspirasi berbagaai golongan dalam masyarakat. Di dalam pasal 5 undang-undang nomor 31 tahun 2002 dijelaskan bahwa tujuan partai politik ada 2 yaitu tujuan umum dan tujuan khusus

a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi nilai kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

34


(50)

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

1. Sekilas Partisipasi Politik Masyarakat di Indonesia

Partisipasi politik bukan sekedar angka kuantitas rekapitulasi hasil perhitungan suara dari berbagai pentas politik baik ditingkat lokal maupun nasional, tetapi lebih kepada persoalan seberapa jauh keterlibatan individu dalam hubungannya dengan lembaga kekuasaan dan institusi politik lainnya dalam rangka memberikan pengaruh di dalam pembuatan kebijakan (Lihat Hutington, 1999:67). Sebagai salah satu indikasi nyata dalam melihat partisipasi politik, maka dapat dilihat kegiatan politik yang menyangkut untuk memilih pemimpin negara dan lokal daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kaitan demokratisasi di Indonesia, maka partisipasi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dapat dijadikan salah satu ukuran tinggi ataupun rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat.

Rendahnya persentase mereka (masyarakat pemilih) yang datang ke TPS dan menggunakan hak suaranya (mencoblos) dalam menentukan dan memilih kepala daerah di berbagai daerah di Indonesia, sebenarnya adalah sebuah persoalan. Hal ini secara nyata dapat kita lihat dalam berbagai Pilkada di Indonesia yang berlangsung mulai dari Tahun 2005 sampai tahun 2008; Pilkada Kota Medan persentase pemilih yang menggunakan hak suaranya (54,7%), menyusul Pilkada Prov. Sumbar (63,8%), Pilkada Kota Surabaya (51,5%), Pilkada Kota Makassar (53,5%) sampai dengan Pilkada Prov. Sumatera Utara (51,6%).


(51)

Dari data diatas dapat kita lihat bahwa akhir-akhir ini terjadi kecenderungan, dimana tingkat partisipasi politik masyarakat di berbagai Pilkada mengalami penurunan. Dan berbagai diskursus dan evaluasi Pilkada yang berlangsung dalam kurun waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 juga menyiratkan hal yang sama. Semangkin membesarnya fenomena Golongan Putih (Golput) sepertinya akan mengancam kedaulatan politik kita, dimana tendensi apatisisme masyarakat semangkin mengalami gradasi peningkatan. Kenapa fenomena Golput, atau dalam bahasa politiknya, tingkatan partisipasi politik berada pada kondisi ‘apatis’ (lihat Milbrath and Goel) semangkin banyak terjadi di berbagai pentas politik lokal (baca: Pilkada) di Indonesia?.

Terjadinya atau semakin mengkhawatirkan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat dan membesarnya fenomena Golput, atau mereka (masyarakat pemilih) yang tidak menggunakan hak suaranya dalam pentas politik lokal, tidaklah terjadi dengan dengan sendirinya, tetapi karena adanya faktor-faktor yang tidak pernah dilihat oleh institusi politik di Indonesia. Dan dalam artikel ini, penulis coba menguraikan secara sederhana, faktor yang mendorong terjadinya tendensi sikap apatiisme politik masyarakat.

Pertama, adanya kesenjangan politik antara lembaga kekuasaan dan institusi politik dengan masyarakat pemilih, yang disebabkan oleh pandangan di dalam masyarakat yang menganggap bahwa peristiwa dan momentum politik hanya terbatas pada sebuah perebutan kekuasaan, bukan sebagai jalan untuk memilih perwakilan politik di berbagai lembaga kekuasaan dan Pemerintahan yang pada akhirnya akan mengartikulasikan kepentingan mereka.


(52)

Kedua, tingkatan pendidikan politik yang rendah, sehingga kesadaran berpolitik dan pemikiran kritis ditengah masyarakat juga rendah. Hal ini juga mendorong sebahagian masyarakat berada pada sebuah pilihan politik dan motif politik yang non-rasional, dalam arti bahwa tanpa ada keterwakilan dan kedekatan personal yang meliputi suku, agama, ras, dan golongan/kelompok etnik, masyarakat cenderung untuk tidak menggunakan hak suranya di pentas politik lokal. Pilihan politik masyarakat lebih kepada variabel yang non-rasional, bukan kepada analisa kritis dan penguatan program-program yang dikampanyekan oleh peserta Pilkada.

Ketiga, tidak mampunya para peserta Pilkada meliputi calon kepala daerah dan partai pendukung dalam memberikan dan mengembangkan isu-isu perubahan dalam kampanye. Sehingga sebahagian masyarakat yang memiliki integritas dan pemikiran kritis serta kesadaran politik, melihat bahwa para peserta Pilkada tidak memiliki kapasitas dan kemamampuan dalam membawa lokal daerah menuju sebuah perbaikan perencanaan ekonomi lokal, stabilitas sosial-politik, sampai dengan isu lingkungan hidup.

Keempat, seringnya kita dengar dan lihat diberbagai tayangan media elektronik dan media cetak bahwa banyak pemilih yang kehilangan hak suaranya akibat kekacauan dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang dikeluarkan oleh KPUD atau penyelenggara Pilkada di daerah. Kesalahan seperti ini mengindikasikan bahwa banyak diantara faktor yang muncul, maka kita juga harus menyoroti peran dan fungsi KPUD yang belum maksimal. Hal ini dapat kita lihat secara nyata dalam perjalanan Pilkada di Indonesia, adanya KPUD yang tidak mampu mengeluarkan kebijakan dalam meyelesaikan sengketa politik Pilkada.


(53)

Dari berbagai hal pemaparan diatas, mengenai faktor yang menyebabkan tendensi Golput menjadi sebagai sebuah ‘wabah’ politik di Indonesia. Ada hal yang sangat penting yang perlu kita ingat, bahwa beredar asumsi ditengah masyarakat dalam melihat perilaku politik dari elite politik dan institusi politik. Masyarakat melihat Indonesia berada pada sebuah ambang politik yang korup, pemimpin yang tidak amanah, dan Pilkada merupakan ephoria semata untuk mencari dukungan melalui politik uang, manipulasi, dan intimidasi politik. Asumsi dasar seperti ini adalah cerminan lembaga kekuasaan dan penilaian yang beredar di masyarakat, jadi kalau masyarakat berada pada sebuah titik ‘kejenuhan’, seharusnya siapa yang bertanggung jawab?.

Meninggalkan persoalan tanpa mencoba untuk menerobos masuk lebih dalam kepada permasalahan, untuk mengidentifikasi dan merekomendasikan solusi adalah tindakan yang kurang tepat dan bijaksana. Itulah hal yang selama ini ada di dalam perilaku politik para elite politik di negeri ini, selalu meninggalkan persoalan, mencari-cari permasalahan, kemudian hanya diselesaikan di tingkat lembaga kekuasaan yang belum tentu mewakili kepentingan masyarakat luas yang merupakan konsensus bersama.

Menjawab atas persoalan rendahnya partispasi politik masyarakat, adalah sesuatu yang membutuhkan identifikasi dan observasi mendalam. Karena sebahagian besar mereka (masyarakat pemilih) yang kurang mengakses informasi mengenai pentingnya peran politik masyarakat akan terjebak pada sebuah pendapat yang non-rasional. Makanya kita tidak heran, bahwa hari dimana Pilkada itu diadakan, ada beberapa orang yang memilikin hak pilih memanfaatkan liburan di hari pemilihan untuk pergi ‘pelisiran’ maupun


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan

Dari pemaparan dan analisis di dalam bab-bab sebelumnya maka penulis menyimpulkan beberapa hal yang berkaitan dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat Kelurahan Titi Rante di dalam Pilkada Kota Medan tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008, sebagai Berikut :

1. Bahwa tingkat partisipasi masyarakat di dalam dua pentas politik lokal mengalami penurunan dari angka kuantitas pemilih. Pada Pemilu 2004 persentase pemilih mencapai 85 %, sedangkan pada Pilkada Kota Medan angka kuantitas pesentase pemilih hanya mencapai 46 % dan pada Pilkada Provinsi Sumatera Utara hanya mencapai angka 39 % dari Jumlah Pemilih yang terdaftar. Dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi politik di dalam dua pentas politik lokal, partisipasi masyarakat Kelurahan Titi Rante adalah rendah.

2. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat kelurahan Titi Rante dipengaruhi oleh berbagai hal yakni, tingkat kesadaran politik yang rendah menyebabkan pemikiran kritis tentang pelaksanaan dan minat untuk berpartisipasi sangat rendah, tingkat perekonomian yang belum sejahtera menyebabkan derajat kepercayan masyarakat terhadap pemimpin daerah yang mampu memperbaiki permasalahan ekonomi masyarakat sangat rendah dan membuat masyarakat cenderung untuk menjatuhkan pilihannya untuk tidak menggunakan hak suaranya.


(2)

3. Kegagalan partai politik dalam mempengaruhi dan memberikan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam ruang politik, yang pada akhirnya memberikan kesenjangan politik antara masyarakat dengan partai politik. Dan beredar asumsi mendasar di dalam massyarakat bahwa partai politik dan berbagai simbolitasnya hanya hadir untuk sebuah kekuasaan bukan mensejahterahkan masyarakat, hal ini sangat menekan dan membuat apatiisme di tengah masyarakat kelurahan Titi Rante.

4. Tidak berjalannya pengembangan isu-isu strategis yang berkenaan langsung dengan kepentingan kebanyakan masyarakat. Tingkat kejenuhan masyarakat yang sampai diambang batas melihat realita sosial politik yang ada mendorong masyarakat tidak menjatuhkan atau menggunakan hak politiknya, karena melihat kandidat pemimpin yang dihadirkan dalam pentas politik lokal tidak memiliki cukup kemampuan untuk menjawab dan melahirkan kebijakan yang mendorong kesejahteraan rakyat.

5. Kinerja KPUD di tingkat Pilkada Kota Medan tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 yang belum maksimal dalam melakukan kampanye agressif dalam mendorong minat individu pemilih khususnya masyarakat kelurahan Titi Rante. Berbagai bentuk kampanye tentang pelaksanaan Pilkada baik melalui media cetak dan selebaran, maupun spanduk di lingkungan Kelurahan Titi Rante yang dilaksanakan oleh KPUD belum terasa maksimal. Hal ini juga menciptakan ketidaktahuan ataupun kebingungan masyarakat akan tujuan dan misi dari pelaksanaan Pilkada dalam menentukan Kepemimpinan daerah.


(3)

2. Rekomendasi

Dari kesimpulan yang dipaparkan diatas, maka penulis yang melakukan penelitian ini merekomendasikan beberapa hal yang berkaitan erat dengan rendahnya tingkat partisipasi politik masyarakat kelurahan Titi Rante. Adapun beberapa rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Perlu adanya sebuah identifikasi masyarakat Kelurahan Titi Rante yang lebih jauh dan mendalam, untuk melihat dan observasi mendalam mengenai seberapa jauh motif pendidikan dan ekonomi mempengaruhi minat masyarakat Kelurahan Titi Rante untuk menggunakan hak politiknya dan membuat pilihan politiknya. Hal ini juga berguna untuk melihat fenomena berkembangnya Golongan Putih (Golput) di tengah berlangsungnya berbagai bentuk Pilkada Langsung di daerah-daerah di Indonesia. Karena menurut pemaparan diatas angka mereka yang tidak menggunakan hak suaranya pada Pilkada Sumatera Utara tahun 2008 mencapai persentase yang mengkhawatirkan yaitu 61 % dari jumlah pemilih terdaftar.

2. Perlu dilakukannya observasi mendalam mengenai variabel-variabel yang mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang untuk menggunakan hak suaranya; yang menyangkut sosial etnik, agama, ideologi, perencanaan ekonomi, kedaulataan politik masyarakat dan berbagai variabel lainnya. Untuk melihat kecenderungan terus menurunnya angka kuantitas dan kualitas dukungan masyarakat dalam momentum politik nasional dan lokal. Diharapkan kedepannya para pelaksana dan peserta di dalam Pemilu


(4)

dan Pilkada dapat memformulasikan kebijakan yang mendorong untuk tumbuh dan berkembangnya angka partisipasi di tengah masyarakat.

3. Perlu adanya tindakan-tindakan politik untuk melihat fenomena ‘golput’ sebagai peristiwa yang mengkhawatirkan terhadap kedaulatan dan kemandirian politik, jika dilihat dari sebuah sinergitas hubungan dan pola-pola kekuasaan antara mereka yang memiliki kekuasaan dan masyarakat yang diikat dan diatur oleh kekuasaan tersebut. Diharapkan dengan adanya formulasi kebijakan yang dihadirkan baik dari sisi partai politik, pemerintah, peserta Pemilu dan Pilkada, penyelenggara Pemilu dan Pilkada, akademisi, serta masyarakat secara luas dapat melakukan upaya pembentukan kesadaran akan kedaulatan politik dan pemikiran kritis terhadap pentas politik lokal dan nasional, yang mendorong masyarakat memiliki motif rasional dalam menggunakan hak politiknya.


(5)

Daftar Pustaka

Almond, Gabriel, The Civic Culture, Princeton: Princeton University Press, 1963.

Budiardjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, PT. Garamedia, Jakarta, 1982.

Boleong, L., Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.

Castles, Lance, Pemilu Dalam Konteks Komparatif dan Historis, Pustaka Widyatama, Jogyakarta, 2004.

Chillcote, Ronald. Teori Perbandingan Politik, Penelusuran Paradigma. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003.

Chimad, Tatang, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Pustaka Widyatama, Jogyakarta, 2004.

Dahl, Robert, Dilema Demokrasi Pluralis, Rajalawi Press, Jakarta, 1982. Edwin, Donni, Pilkada Langsung :Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Patner Ship, Jakarta, 2005.

H. Nawawi, Metode penelitian bidang sosial, Gadjah Mada University Pers, Jogyakarta, 1995.

Haris, S., Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Sebuah Bunga Rampai. Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI, Jakarta, 1998.

Hutington, Samuel, Partispasi Politik di Negara Berkembang, Rineka Cipta, Jakarta, 1999.

Khoirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Fajar, Jogyakarta, 2004.

Liddle, R. William, Partisipasi dan Partai Politik, Grafitti Press, Jakarta, 1992.

Macridis, Roy, Perbandingan Ilmu Politik,, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1992.

Mahfud M, Hukum dan PilarPilar Demokrasi, Gama Media, Jogyakarta, 1999.


(6)

Porwantana, Undang-Undang Partai Politik, Pustaka Widya Utama, Jogyakarta, 2003.

Prihatmoko, Joko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi Sistem dan Probleme Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2005.

Sastroadmodjo, Sudijono, Perilaku Politik, IKIP Press, Semarang, 1995. Schorder, Peter, Strategi Politik, Frederich Ndauman Stifung,1998.

Shonfield, Andrew, Kapitalisme Modern, Terjemahan dari Modern Capitalism, London; Oxford University, 1965.

Singarimbun, M., Metodologi penelitian survey. LP3ES, Jakarta.

Sitepu, Antonius, Sistem Politik Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006.

Rahman, A., Sistem Politik Indonesia, Graha Ilmu, Jogyakarta, 2007. Rudi, May, Studi Strategi , Dalam Transformasi System Internasional Pasca Perang Dingin, Refika Aditama, Bandung, 2002.

Venus, Antar, Manajemen Kampanye Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi, Simbiosa Rekatama, Bandung, 2004.


Dokumen yang terkait

Pergaulan Bebas(Studi Etnografis Perilaku Mahasiswa Kos-kosan di Kelurahan Titi Rante,Kecamatan Medan Baru,Kota Medan)

24 234 117

Peran Partai Amanat Nasional Kota Medan Dalam Pemenangan Wali Kota Pada Pilkada Tahun 2005 Di Kota Medan

0 33 75

PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PILKADA 2008 KOTA MALANG (Study kasus di Kecamatan Sukun Kota Malang)

0 11 2

Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pilkada Kota Padang Tahun 2008.

0 0 7

Hubungan Kesadaran Politik Dan Situasi Pada Hari Pemungutan Suara Dengan Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat Ulak Karang Utara Dalam Pilkada Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005.

0 0 11

PILKADA DAN PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT (STUDI TENTANG PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM MENGGUNAKAN HAK PILIHNYA PADA PILKADA KABUPATEN DHARMASRAYA TAHUN 2005).

0 0 8

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 12

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 2

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 7

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 34