2.1. Profil Kelurahan Titi Rante
Kelurahan Titi Rante merupakan bagian dari kecamatan Medan Baru, Kotamadya Medan dengan Jumlah Penduduk yang mencapai 9.675 jiwa pada
pertengahan 2008 atau mencapai peningkatan angka pertumbuhan penduduk yang berkisar 10 dari tahun 2004 dengan kisaran jumlah penduduk 5.620. Angka
pertumbuhan atau penambahan jumlah penduduk ini turut didorong dengan makin banyaknya masyarakat pendatang di sekitaran kelurahan ini, yang memang dekat
dengat pusat kota dan Kampus Universitas Sumatera Utara. Kedatangan penduduk baru ini dalam rangka mereka yang menempuh pendidikan di Universitas
Sumatera Utara USU dan mereka yang memang memilih kota medan untuk meneruskan kehidupannya pasca memperoleh gelar sarjana.
•
Tingkat Perkembangan Kelurahan
36
1. Ekonomi Masyarakat
Tabel.4. Jumlah Angkatan Kerja No
Keterangan Jumlah
1. Jumlah angkatan Kerja 15 – 55 tahun
1.714 orang 2
Jumlah yang bersekolah 15 – 55 tahun 364 orang
3 Jumlah Ibu Rumah Tangga 15 – 55 tahun
250 orang 4
Jumlah Penduduk yang bekerja 15 – 55 tahun 125 orang
5 Jumlah yang bekerja tidak tentu 15 – 55 tahun
975 orang
36
Profil Kelurahan Titi Rante, Data Kantor Kelurahan Titi Rante, 2008
2. Kemiskinan
Tabel.5. Angka Kesejahteraan Masyarakat No
Keterangan Jumlah
1. Jumlah kepala keluarga
1.365 orang 2
Jumlah keluarga prasejahtera - - -
3 Jumlah keluarga sejahtera 1
375 orang 4
Jumlah keluarga sejahtera 2 194 orang
5 Jumlah keluarga sejahtera 3
718 orang Bila kita perhatikan data yang dihadirkan diatas dapat kita lihat bahwa
rata-rata atau kebanyakan penduduk di kelurahan Titi Rante merupakan mereka yang berpenghasilan tetap dan dalam kondisi hidup layak walau belum secara
penuh memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini juga didukung dari sektor jasa dengan rincian Upah rata-rata sebesar 1,4 juta rupiah kepala keluarga dengan
penerimaan jasa lainnya yang berjumlah sekitar 140 juta rupiah yang diterima oleh kelurahan Titi Rante.
•
Pendidikan masyarakat Tingkat Pendidikan Penduduk
Tabel.6. Angka Jumlah Usia Sekolah No
Keterangan Jumlah
1 Jumlah penduduk tidak tamat SD
250 orang 2
Jumlah penduduk tamat SDsederajat 220 orang
3 Jumlah Penduduk tamat SLTPsederajat
1.200 orang 4
Jumlah Penduduk tamat SLTAsederajat 1.500 orang
5 Jumlah Penduduk tamat D1-D3
1.615 orang
6 Jumlah Penuduk tamat S-1
75 orang 7
Jumlah Penduduk tamat S-2 10 orang
8 Jumlah Penduduk tamat S-3
- - - Sumber : Data kelurahan Titi Rante Tahun 2008
Dari data lainnya tercatat bahwa ada sekitar anak yang berusia 7 tahun sampai 25 tahun yang berjumlah 905 yang masih menempuh pendidikannya di
bangku sekolah dan perkuliahan. Bila dilihat dari angka yang dipaparkan diatas bahwa dapat disimpulkan kelurahan titi rante yang dekat dengan pusat pendidikan
di kota medan rata-rata penduduknya telah menyelesaikan pendidikannya di tingkat Sekolah Menengah Atas SMA. Hal yang sedikit banyak mendorong
masyarakat belum dapat berkesadaran berpolitik dan berpikir kritis, yang dalam perjalanannya akan begitu mempengaruhi rendahnya partisipasi masyarakat di
sekitaran kelurahan Titi Rante. •
Kedaulatan Politik
Tabel.7. Jumlah Pemilih di Kelurahan Titi Rante PILKADA
Jumlah Pemilih Pria
Jumlah Pemilih Perempuan
Jumlah Pemilih
Walikota Medan Tahun 2005
2.845 orang 3.197 orang
6.042 orang
Gubernur Sumatera Utara
Tahun 2008 4.429 orang
4.626 orang 9.055 orang
Sumber : Data Kelurahan Titi Rante Tahun 2008
Tabel.8. Partai Politik dan Pemilihan Umum 2004 No
Keterangan Jumlah
1 Jumlah Penduduk yang memiliki hak pilih
6.042 orang 2
Jumlah Penduduk yang menggunakan hak pilih
5402 orang 85
3 Jumlah Partai Politik di tingkat kelurahan
7 partai politik Sumber : Data Kelurahan Titi Rante tahun 2008
Dari data diatas dapat kita pahami bahwa di dalam Pemilu 2004, angka pemilih yang menggunakan hak suaranya mencapai angka 85 . Bila
dibandingkan dengan Pilkada Kota Medan tahun 2005 yang hanya mencapai angka 46 adalah sebuah ironi, penurunan dengan angka partisipasi yang sangat
singnifikan menjadi sebuah pertanyaan yang patut untuk dianalisis kenapa ini terjadi. Keberadaaan partai politik di tingkat kelurahan sebanyak 7 partai politik
ternyata juga tidak mampu membuat perubahan di dalam Pilkada Provinsi Sumatera utara dimana angka partisipasi jauh menjadi hanya 39 dari
keseluruhan total masyarakat yang memiliki hak pilih.
2.2. Rendahnya Partisipasi Masyarakat Kelurahan Titi Rante di dalam PILKADA Kota Medan Tahun 2005 dan PILKADA Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2008.
Adanya peningkatan angka jumlah pemilih antara Pilkada Kota Medan tahun 2005 dengan Pilkada Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 yang berhak
memilih, dari jumlah- 6.042 orang ke- 9.055 orang atau meningkat sekitar 32 jumlah pemilih. Peningkatan jumlah pemilih terdaftar tidak memiliki dampak
yang baik dalam meningkatnya angka partisipasi, yang terjadi justru sebaliknya,
angka partisipasi dalam Pilkada Sumatera Utara tahun 2008 jauh lebih rendah dan mengkhawatirkan dengan angka yang tidak menggunakan hak suaranya atau tidak
ikut memilih mencapai angka 61 dari pemilih terdaftar di kelurahan Titi Rante. Dalam konteks demokratisasi, Pilkada yang seharusnya mendorong
penyadaran, dalam kenyataannya di kota Medan khususnya kelurahan Titi Rante mengalami sebuah gradasi penurunan yang tajam. Aktualisasi diri dari bentuk
pendidikan politik sebenarnya terletak pada partisipasi politik masyarakat dalam momentum seperti Pilkada yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Partisipasi politik yang rendah seperti yang terjadi kelurahan Titi Rante berakibat pada sebuah realitas politik yang kian menggejala ke-permukaannya dan terkait
pada kesenjangan politik yang terjadi. Kesenjangan politik antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan
negara dan pemerintahan di era otonomi ini adalah penyebab utamanya. Hal ini terbentuk karena unsur birokrasi lokal maupun legislatif sering mengambil dan
melaksanakan kebijakan politik yang tidak sejalan dengan aspirasi kolektif mayoritas masyarakat. Lembaga kekuasaan politik lokal khususnya di Sumatera
Utara yang sebagian besar di dominasi oleh kalangan partai politik yang dominan pada Pemilu 2004, banyak mencederai keterwakilan politiknya dan tidak mampu
menjalankan perannya sebagai pelayan masyarakat. Rendahnya tingkat partisipasi di kelurahan Titi Rante, menyirat tentang
partisipasi politik masyarakat yang harusnya menyertakan keterlibatan masyarakat secara perseorangan untuk dimengerti; menyadari, mengkaji, melobi dan
melakukan protes sebuah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan tujuan mempengaruhi kebijakan agar aspiratif terhadap kepentingan masyarakat adalah
bagian dari partisipasi politik. Tapi dalam kenyataannya saja masyarakat dalam bentuk partisipasi politik yang sangat sederhana saja, yaitu untuk menentukan dan
melakukan pilihan dengan jalan memberikan hak suaranya dalam Pilkada, dapat dikatakan tingkat partisipasinya masyarakat kekurahan Titi Rante masih sangat
rendah. Berbagai perdebatan yang muncul untuk mempertanyakan kecenderungan
masyarakat tidak menggunakan hak suaranya atau yang dikenal dengan Golongan Putih Golput terus saja terjadi, dan diskursus yang berlangsung juga
menawarkan berbagai solusi untuk mendongkrak angka pemilih dalam berbagai momentum politik. Sebagai sebuah perbandingan sederhana, sebelum bergulirnya
euforia politik reformasi angka partisipasi mencapai 90 , walau belum sebenarnya angka partisipasi tinggi menunjukan tingkat partisipasi yang tinggi di
sebuah wilayah. Untuk melihat bagaimana tingkat partisipasi masyarakat, bukan saja
terletak pada sebuah momentum pemilihan yang bergulir. Yang paling penting adalah adanya jaminan dan mekanisme yang ideal dan baku bagi masyarakat
untuk dapat menyalurkan aspirasinya kedalam institusi formal politik. Walau pada akhirnya kita juga harus melihat secara mendalam didalam setiap bentuk
pemilihan dan hubungannya dengan tingkat partisipasinya yang sangat rendah, juga merupakan indikasi nyata bahwa banyaknya masyarakat yang mulai merasa
jauh dari para pemimpinnya. Indikasi nyata dan sebuah fenomena yang harus dijawab dengan memahami seberapa jauh masyarakat berpikir kritis atas
kepentingan politiknya dan penyaluran hak-haknya sebagai warga negara. Atau di-sisi lembaga kekuasaan, perilaku pemimpin lokal yang mengalami gradasi
kemunduran menjadikan sebuah indikasi bahwa masyarakat mulai apatis melihat kondisi politik di tingkat lokal.
3. Faktor Pendukung Rendahnya Partisipasi Masyarakat Kelurahan Titi Rante di dalam Pilkada Kota Medan Tahun 2005 dan Pilkada Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2008. 3.1 Terbentuknya Sikap Apatis
Dari pemaparan diatas kita dapat melihat bahwa didalam momentum politik Pilkada Kota Medan tahun 2005 dan Pilkada Sumatera Utara tahun 2008
menunjukan angka partisipasi yang rendah, hal ini dapat dilihat dari masyarakat kelurahan Titi Rante yang tidak menentukan pilihan dan menggunakan hak
politiknya. Adapun faktor yang mendukung fenomena politik ini diakibatkan dari terbentuknya kesadaran semu dan apatisisme masyarakat yang mandiri untuk
tidak menggunakan hak politiknya, dengan pertimbangan bahwa calon yang hadir dalam pentas Pilkada tidak memiliki kapasitas dalam mewujudkan harapan
mereka. Pertimbangan untuk tidak memilih dan melihat calon yang hadir serta
bertarung didalam Pilkada tidak memiliki kapasitas adalah sebuah alasan yang sebenarnya rasional dan kritis. Hal ini dapat dikatakan demikian apabila ditinjau
dari alasan masyarakat kenapa menganggap calon yang hadir tidak memenuhi kapasitas untuk membawa kepentingannya. Kesenjangan politik yang dibentuk
dan sengaja terbentuk oleh para penguasa telah menjauhkan masyarakat dari lembaga kekuasaan. Hal ini dianggap bahawa sulit menemukan pemimpin politik
di lokal daerah yang berpihak terhadap kepentingan masyarakat di daerahnya,
banyak diantara mereka yang memiliki hak politik menganggap pemimpin hanya memberiakan janji ‘palsu’. Asumsi ini timbul dari kejenuhan masyarakat yang
melihat perilaku aktor politik lokal dan nasional yang tidak melakukan kewajibannya dalam menjalankan amanah untuk membela kepentingan
masayarakat. Tapi dalam perjalannya bila kita telisik lebih jauh lagi kebanyakan alasan
masyarakat di kelurahan Titi Rante tidak menggunakan hak suaranya dikarenakan adanya kepentingan individual lainnya, baik hari libur Pilkada dijadikan
momentum untuk liburan atau tidak memiliki waktu karena kesibukan akan urusan domestik rumah tangga. Di-sisi lain kita juga akan melihat bahwa mereka
yang tidak menggunakan hak suaranya lebih kepada karena calon yang hadir tidak memiliki kedekatan secara suku sebuah ciri politik primordialisme yang masih
saja ada di tengah pentas politik di Indonesia.
3.2. Peran Media Massa
Elemen dari sebuah tahapan demokrasi yaitu disaat media menempatkan perannya dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Isi media dalam
memberikan informasi secara luas mengenai Pilkada juga mendorong terciptanya kesadaran orang untuk menentukan pilihannya. Rendahnya intensitas mengenai
kampanye peristiwa politik dan penyelenggaraan Pilkada mendorong menurunnya informasi yang diterima sehingga berakibat pada rendahnya keterlibatan
masyarakat didalam pilkada. Pesan mengenai Pilkada yang dihadirkan oleh media harusnya memiliki
tujuan untuk mempengaruhi masyarakat untuk memilih dan mengkomunikasikan mengenai betapa pentingnya untuk menghadirkan dan memilih seorang pimpinan
daerah dan melakukan pengawasan kebijakan terhadap kepala daerah yang terpilih. Pesan dan gagasan seharusnya dikemas secara menarik dan mudah
dimengerti oleh masyarakat luas untuk menimbulkan minat dan kehendak masayrakat untuk memilih, merupakan peran media untuk melakukan pendidikan
politik. Hal yang seharusnya dilakukan oleh media dalam mencerdaskan bangsa dan tidak buta politik, bukan hanya berkutat pada pesan dan persepsi yang
subjektif dan skeptis dalam melihat kepemimpinan negeri ini. Dengan pemahaman dan konstruksi bersama maka pesan yang disampaikan oleh media
loka di Kota medan, khusunya di kelurahan Titi Rante dapat mengkomunikasikan tujuannya. Pesan yang dihadirkan oleh media dalam mendorong tingkat partisipasi
yang tinggi harusnya mencirikan karakterisktik khalayak dan memiliki efek dalam melakukan agitasi. Hanya dengan cara demikian diharapkan suatu pesan,
mengenai pentingnya partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan politik dapat diterima oleh masyarakat umum.
3.3. Daftar Pemilih Tetap dan Kinerja KPUD
Kekacauan dalam daftar pemilih tetap DPT juga turut memicu tingginya jumlah warga yang tidak terdaftar di DPT sehingga menggugurkan hak mereka
sebagai pemilih. Persoalan ini selama pelaksanaan Pilkada menjadi sebuah permasalahan krusial yang tidak mendapatkan solusi. Sebab rangkaian Pilkada
baik Pilkada Kota Medan tahun 2005 maupun Pilkada Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 juga terdapat masalah daftar pemilih tetap yang tidak akurat, yang
menyisakan persoalan rendahnya partisipasi pemilih. Permasalahan diatas juga tidak dapat dilepaskan dari kelembagaan Komisi
Pemilihan Umum Daerah KPUD sebagai lembaga yang melaksanakan dan
penyelenggara Pilkada. Selain persoalan penetapan DPT yang masih belum baik, kinerja KPUD juga menyisakan persoalan lain. Persoalan itu adalah sejauh mana
KPUD melakukan kampanye progressif untuk mendorong masyarakat supaya menentukan pilihan politiknya dan ikut berpartisipasi di dalam Pilkada. Walau
terkadang kepentingan masyarakat dipengaruhi oleh kepentingan individual pemilih, yang memprioritaskan kebutuhan individunya daripada melakukan
pencoblosan. Hal ini juga disebabkan kegagalan elemen politik termasuk KPUD untuk melakukan pendidikan politik masyarakat.
Selanjutnya Pilkada yang diselenggarakan oleh KPUD yang memiliki integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas diharapkan menghasilkan Pilkada
yang berkualitas, sistematis, legitimasi, dan akuntabel dengan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya. KPUD, penyelenggara Pilkada di daerah, aparat
pemerintah, peserta Pilkada, pengawas pemilihan dan semua pihak yang berperan harus bertindak dengan jujur dan berwibawa sesuai dengan Undang-Undang yang
berlaku. Dengan adanya Pilkada yang kompetitif dan memiliki kualitas yang menjamin partisipasi, dan mempunyai derajat keterwakilan diharapkan pula dapat
mendorong tingkat partisipasi lokal dalam Pilkada.
4. Rendahnya Partisipasi Politik Dan Peran Partai Politik
Peran partai politik seharusnya memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem politik di Indonesia, juga utamanya menyangkut kehidupan
masyarakat Indonesia yang sangat dinamis dan terus mengalami pergolakan menuju perubahan. Dan bila kinerja partai politik turut ditingkatkan, maka hal ini
akan berpengaruh terhadap kualitas mekanisme demokrasi di Indonesia dan
kinerja sistem politik serta mendorong laju partisipasi politik masyarakat di tingkat politik lokal maupun nasional.
Pilkada yang seharusnya menjadi sebuah sarana perwujudan kedaulatan politik lokal guna menghasilakan kepemimpinan daerah yang demokratis.
Kepemimpinan yang turut dapat menyerap serta memperjuangkan akumulasi aspirasi masyarakat sesuai dengan tuntutan akan perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Terselenggaranya Pilkada secara demokratis menjadi dambaan setiap warga negara termasuk didalamnya kepentingan partai politik.
Pilkada dapat dikatakan baik apabila masyarakat memiliki kesadaran politik dalam menentukan pilihannya. Permasalahan yang timbul akibat lemahnya
peran partai politik di tengah masyarakat menyebabkan pelembagaan partai politik menjadi terpola dan tidak sistemik sehingga tidak terjalinnya sebuah budaya
politik yang mengakar yang mendukung prinsip-prinsip dasar demokrasi
37
Kampanye partai politik dalam momuntem politik lokal dan nasional sekurangnya memiliki dua buah kapasitas; Pertama, melancarkan partisipasi
politik melalui jalur politik sehingga dapat mengalihkan segala bentuk politik anomik dan kekerasan. Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah
. dalam konteks pembangunan politik yang terpenting bukan jumlah angka partisipsi
politik yang ada, tapi sejauh mana kekuatan dan diterimanya mekanisme pemilihan yang ditawarkan. Apabila partai politik turut juga mengkampanyekan
persoalan ini dan menyatukan elemen kekuatan sosial yang ada maka hal ini berdampak pada penyadaran masyarakat dan mendorong partispasi politik
masyarakat.
37
Liddle, R. William, Partisipasi dan Partai Politik, Grafitti Press, Jakarta, 1992, hal 49-51.
kelompok yang baru dimobilisasi yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan terhadap sistem politik. Dari hal diatas dapat dilihat bahwa begitu
berperannya partai politik dalam mendorong tingkat partisipasi politik, dengan jalan menerobos persoalan ‘kejenuhan’ masyarakat dalam melihat persoalan
politik dan pembangunan model politik. Mekanisme Pilkada langsung juga menjadikan partai politik sebagai salah
satu jalur dalam melakukan rekruitmen kepemimpinan daerah, partai politik juga merupakan simbol paling utama dalam proses demokrasi di Indonesia. Pengisian
jabatan publik dilakukan melalui partai politik. Dilihat dari hal ini seharusnya mendorong partai politik berbuat lebih dalam meningkatkan partisipasi
masyarakat, ini dikarenakan partai politik memiliki kepentingan besar dalam proses demokrasi di Indonesia. Penempatan kader partai untuk mengisi jabatan
publik melalui mekanisme Pilkada merupakan salah satu tugas dari partai politik untuk lebih terbuka dan membuka diri terhadap dinamika masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi dan bentuk pendidikan politik harus dikembangkan melalui kemampuan partai politik dalam menarik
dukungan dan minat masyarakat untuk berpolitik dalam arti menjadi bagian dari proses Pilkada tersebut. Secara umum partai politik dapat dikatakan menjadi
kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan cita yang sama, bertujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui
kekuasaan pula melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Dengan munculnya gagasan dan peluang bahwa masyarakat diikutsertakan
dalam proses politik maka partai politik telah melahirkan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah. Kondisi yang ideal ini akan
dinilai sebagai sebuah peluang yang posistif oleh masyarakat dan akan mendorong minat masyarakat untuk terlibat dalam berbagai proses politik di tengah
demokratisasi di Indonesia. Untuk itu perlu adanya perencanaan dan strategi partai politik dalam
menjembatani kesenjangan politik antara masyarakat, partai politik, dan pemerintah. Dan strategi bagaimana mengkampanyekan Pilkada, sebagai sebuah
strategi politik partai yang mengutamakan kemampuan untuk mendapatkan dukungan seluasnya dari para pemilih untuk menuju kekuasaan dan menjembatani
kekuasaan tersebut. Dan dengan perolehan kekuasaan politik yang didukung masyarakat memungkinkan para aktor politik yang terpilih menjadi pemimpin di
tingkat lokal untuk mempengaruhi kebijakan yang pro-rakyat.
4.1. Kampanye Partai Politik dan Isu Perubahan.
Definisi kampanye dalam berbagai literature merupakan sebuah paradigma tentang kampanye baik dalam ilmu politik, komunikasi serta ilmu sosial lebih
diartikan sebagai sebuah tindakan baik terencana maupun tidak secara terencana, dilakukan guna mempengaruhi khalayak sebagai sasaran dalam kampanye
tersebut, meskipun akibat dari suatu tindakan tersebut bisa dirasakan secara langsung atau tidak langsung bisa menimbulkan efek timbal balik. Sedangkan
dalam pilkada langsung paradigma yang digunakan adalah paradigma baru, yaitu bahwa kampanye dilakukan untuk menyakinkan para pemilih dengan
penyampaian visi, misi dan program calon dengan ketentuan diatur. Pilkada dan partisipasi politik masyarakat di Kelurahan Titi Rante adalah
fokus dalam tulisan ini. Kampanye politik dan diusungnya isu perubahan merupakan hal mendasar yang harus dibawakan untuk mewujudkan pemerintahan
yang didukung oleh masyarakat. Dengan melihat sejauh apa, tingkat partisipasi masyarakat yang terjadi dalam peristiwa dan pentas politik lokal. Dalam Pilkada
suatu kampanye perubahan sangat dibutuhkan dalam rangka keinginan partai politik untuk meningkatkan jumlah massa pemilihnya.
Dalam hal ini harus ditimbulkan sebuah pandangan dan pemikiran kritis terhadap partai politik, sehingga nantinya kampanye akan dijadikan sebuah
kontrak politik atas tawaran perubahan yang diusung oleh calon kepala daerah. Sejauh apa kampanye ini akan berhasil apabila sentuhan komunikasi politik atas
visi dan misi yang diusung oleh calon dan partai politik pendukung menyentuh kepentingan masyarakat secara luas dan mampu membuat komitmen antara
lembaga kekuasaan dan masyarakat untuk secara bersamaan membangun komunikasi dan komitmen melakukan perubahan mendasar di bidang sosial,
ekonomi dan politik lokal. Kampanye menjadi salah satu kunci penting untuk memperoleh dukungan
yang luas dan berujung pada terpenuhinya dukungan atas partisipasi politik aktif masyarakat. Dan Pilkada yang dapat diartikan sebagai sebuah barometer awal
akan menguatnya isu perubahan terhadap aspek sosial, ekonomi, dan politik lokal adalah momentum strategis untuk menentukan pemimpin lokal seperti apa yang
terjadi di dalam Pilakada Kota Medan tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Kekuatan partai politk juga mengisyaratkan seberapa
pentingnya untuk memilih kepala daerah yang memiliki visi perubahan menuju sebuah kesejahteraan masyarakat dan memperoleh dukungan suara yang
seluasnya atas kampanye progressif yang dilancarkan.
4.2. Strategi Partai Politik dan Peningkatan Partisipasi Politik Lokal
Perlunya strategi bagi setiap partai politik dalam mengikuti atau memenangkan pemihan merupakan sebuah bentuk strategi politik yang khusus
adalah strategi kampanye pemilihan umum, yang mengutamakan perolehan kekuasaan dan sebanyak mungkin mempengaruhi dengan cara memperoleh hasil
yang baik dalam pemilu, sehingga politik dapat diwujudkan dalam suatu perubahan dalam masyarakat dapat tercapai. Dalam pemilu dan pilkada suatu
strategis kampanye sangat dibutuhkan, misalnya suatu partai ingin menambah atau
meningkatkan jumlah massa pemilihnya. Dalam hal ini harus ada lebih banyak orang yang memiliki pandangan dan pemikiran yang positif terhadap partai
tersebut, sehingga nantinya kampanye yang akan dilaksanakan partai politik akan berhasil
38
Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang akan diterapkan dalam kampanye, atau untuk lebih mudahnya dapat disebut sebagai guiding
principle atau the big idea, ini dapat diartikan sebagai pendekatan yang diambil untuk menuju pada suatu kondisi tertentu dari posisi saat ini, yang dibuat
berdasarkan analisis masalah dan tujuan yang telah ditetapkan . Kampanye menjadi salah satu kunci penting untuk “memenangkan”
hati rakyat yang berujung pada terpenuhinya ambang batas untuk berhak menjadi perwakilan politik masyarakat di lembaga kekuasaan.
39
38
Peter Schorder, Strategi Politik, Jakarta : Frederich Ndauman Stifung, 1998, hal. 4
39
Antar Venus, Manajemen Kampanye Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi, Simbiosa Rekatama, Bandung, 2004, hal.15
. Merumuskan
suatu strategi berarti memperhitungkan semua situasi yang mungkin dihadapi
pada setiap waktu atau menyiapkan tindakan mana yang akan diambil atau dipilih nantinya, guna menghadapi realisasi dari setiap kemungkinan yang terjadi
40
Strategi politik yang dilaksanakan oleh partai politik merupakan strategi dan teknis yang digunakan dalam mewujudkan cita-cita politiknya. Strategi politik
sangat penting dalam perubahan dan tawaran akan sistem pemerintahan yang ideal yang berjangka untuk dapat dilaksanakan dan diwujudkan
.
41
Di dalam Pikada Kota Medan tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, partai politik pendukung masing-masing calon, tidak menjadi
‘mesin’ politik yang baik untuk memberikan agitasi program perubahan dan perencanaan berjangka dalam memberikan suasana perubahan di tengah
. Perencanaan akan strategi politik merupakan analisis yang gamblang menegenai kekuasaan, sebuah
gambaran yang jelas mengenai tujuan akhir yang ingin dicapai dan juga segala kekuatan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Bagi partai politik dalam memenangakan sebuah pentas politik lokal yaitu Pilkada adalah sebuah modal yang harus dimiliki dan ini juga merupakan Grand
strategi partai politik dalam perebuatan kekuasaan. Sebuah strategi dan perencanaan kepartaian didalam Pilkada diutamakan memperoleh kekuasaan
tersebut dengan jalan demokratis dan memperoleh dukungan mayoritas dan luas dari masyarakat pemilih di tingkatan lokal. Ini seharusnya menjadi peran partai
politik dalam memformulasikan kebijakan partainya untuk mendorong partisipasi politik masyarakat, bukan pada kondisi ‘pembiaran’ terhadap kenyataan tingkat
partisipasi masyarakat yang semangkin lemah.
40
May Rudi, Studi Strategi , Dalam Transformasi System Internasional Pasca Perang Dingin, Refika Aditama, Bandung, 2002, hal. 1-2
41
Liddle, R. William, Ibid, hal 57.
masyarakat. Jadi, rendahnya partisipasi masyarakat adalah sebuah kecenderungan hilangnya nilai dan tingkat kepercayaan terhadap partai politik dan calon yang
diusung dalam momentun Pilkada langsung dalam konstalasi politik lokal. Dilihat dari kondisi dan pemaparan diatas, maka berkaitan erat antara
strategi partai politik dalam melihat kondisi apatisisme masyarakat yang ditimbulkan karena rendahnya tingkat kepercayaan terhadap partai politik dengan
model perubahan yang ditawarkan untuk secara bersamaan mendorong masyarakat untuk memberikan kepercayaan terhadap tawaran visi dan misi partai
politik yang dekat dengan kepentingan masyarakat. Kedepannya partai harus dianggap seuah institusi politik yang mewadahi dan mengartikulasikan
kepentingan masyarakat
42
Personalisasi politik ini berkaitan dengan popularitas dan serta akseptabilitas pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya
Pilkada akan sangat dipengaruhi oleh citra calon dimata masyarakat, kampanye visi, misi, dan program yang ditawarkan oleh tim kampanye Jurkam, juga
mendukung pasangan calon untuk mendapat dukungan dari masyarakat. Personalisasi politik pada dasarnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi selama pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam usahanya membangun opini dan simpati publik tidak dilakukan melalui cara-cara
yang kotor seperti kampanye negatif black campaign maupun pembunuhan karakter pasangan lain caracter assasination. Personalisasi politik itu sendiri
sebenarnya tidak lepas dari peran strategis media dalam membentuk opini publik atau pilihan rakyat. Pengungkapan skandal politik oleh media massa, pemberitaan
.
42
Lihat Liddle, R. William.
tentang konflik elite politik suatu partai dan lain sebagainya akan berpengaruh terhadap citra diri partai dan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang mereka usung.
4.3. Persoalan Politik Partai
Masyarakat yang menempatkan perwakilan politik dari posisi rakyat ke sebuah kekuasaan tertinggi merupakan masyarakat demokrasi. Ini sesua i dengan
perkataan ‘democracy’ tersebuat yang berarti kekuasaan rakyat. Masyarakat adalah pemegang kedaulatan atas negara dan pemerintahan yang tecipta,
kemudian juga tunduk pada kedaulatan rakyat itu sendiri. Akan tetapi di danyak ruang dan waktu perkataan masyarakt selalu digunakan dan terbatas pada sebuah
kekuasaan dan tindakan. Sementara kekuasaan itu sendiri dapat menindas dan mengeksploitasi masyarakat demi sebuah kekuasaan itu sendiri.
Kelembagaan masyarakat demokratis seperti itu ditujukan agar rakyat dapat mengaktualisasikan dirinya secara penuh. Pada keadaan terbaik akan
menempatkan rakyat pada puncak kemampuannya untuk kreatif dan inovatif. Sebab rakyat per-individu atau kelompok memiliki kebebasan yang besar dalam
melakukan pembaharuan dan penemuan di segala bidang. Dimana masyarakat memperoleh kebebasan yang begitu besar berarti rakyat juga menikmati hak-hak
politik yang besar pula. Hak politik untuk menentukan nasibnya sendiri, melakukan pilihan dan hak melakuka serta memperoleh hasil dari tindakan-
tindakannya. Pada kondisi masyarakat yang menganut pemilihan langsung seperti
Indonesia, semua individu dalam masyarakat mengaktualisasikan dirinya secara politik tanpa melakukan perantara. Tetapi ketika masyarakat menjadi sangat luas
dan mempunyai pola hubungan yang kompleks mengenai kekuasaan antara masyarakat dengan membutuhkan perwakilan yang bertindak tidak semata
sebagai sebuah perwakilan politik. Kelembagaan politik yang erat dengan peran partai politik , juga memiliki peran yang tidak hanya mengenai persoalan
perwakilan kepentingan, tetapi juga kepada lembaga sosialisasi kepemimpinan, mengemas ideologi, dan berbagai pandangan politik lainnnya, serta
memperjuangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Keberadaan partai politik dalam banyak hal adalah untuk menjamin agar
hak-hak politik masyarakat menjadi pusat perhatian yang harus segera diwujudkan oleh lembaga kekuasaan dan pemerintahan. Oleh karena itu keberadaan partai
politik merupakan kombinasi dari keberagaman dan keseimbangan politik yang realistis ada di dalam masyarakat politik dan sosial bersangkutan. Kombinasi yang
ideal dari keduanya menyebabkan munculnya kemungkinan terbaik untuk menampung sebahagian besar kepentingan dan aspirasi politik masyarakat. Tetapi
walaupun begitu belum tentu kepentingan dan aspirasi politik masyarakat dapat dicerna secara baik oleh partai politik. Kedewasaan politik dan kualitas organisasi
partai sangat menentukan dalam hal ini. Secara modern dapat dikatakan bahwa persoalan inilah letak dari pertanggungjawaban partai kepada masarakat. Sejauh
apa partai politik dapat meng-agregasi-kan kepentingan dan aspirasi politik masyarakat dan menyalurkannya ke permukaan dinamika kehidupan masyarakat
politik dan sosial di sebuah negara.
5. Partisipasi Politik Masyarakat Kelurahan Titi Rante 5.1 Kelompok Sosial Etnik
Kelompok sosial etnik merupakan elemen yang berpartisipasi di dalam pentas politik lokal dan nasional temasuk di Kelurahan Titi Rante. Kelompok
yang mayoritas adalah etnis Batak Karo, dan Batak Simalungun, serta beberapa
etnis lainnya. Di kelurahan ini saluran mobilitas merupakan jalan menuju sebuah
partisipasi politik dalam wadah organisasi politik. Konteks tersebut sangat berhubungan atau saling berkaitan erat dengan tingkat kerapatan penduduk dan
mayoritas etnik di dalamnya. Dan dalam penulisan ini, peneliti melihat bahwa adanya keterkaitan antara hubungan mendasar individual dengan partisipasi
politik kelompok etnik
43
Dari ketiadaan keterwakilan secara etnik maka dapat disimpulakan bahwa dari momuntum Pilkada yang ada, akan terjadinya tingkat partisipasi yang
. Hal ini dapat dilihat bahwa promordialisme politik masih sangat begitu
melekat dalam sistem politik di Indonesia. Tidak adanya keterwakilan secara ikatan etnik dan agama mendorong masyarakat tidak menjatuhkan pilihannya
dengan rasional atau bahkan memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya dalam momentum Pilkada Kota Medan tahun 2005 dan Pilkada Provinsi Sumatera
Utara tahun 2008. Terdapatnya kecenderungan minimnya partisipasi politik masyarakat Kelurahan Titi Rante dalam bentuk mobilitas etnik juga sangat
rendah, hal ini dapat dilihat dari keterlibatan etnik mayoritas dalam partai politik di tingkat kelurahan.
43
Lihat Almond, Gabriel, The Civic Culture, Princeton: Princeton University Press, 1963.
melemah. Karena masyarakat melihat bahwa tanpa keterwakilan etnik maka masyarakat akan sulit untuk mengakses politik partisipatif yang melibatkan
mereka dalam setiap pengambilan dan pelaksanaan kebijakan publik. Pilkada juga mencerminkan sebuah pertanyaan seberapa jauh kepentingan sosial etnik diwakili
khusunya apa yang diperlihatkan oleh kelompok sosial etnik yang ada di kelurahan Titi Rante. Dan ini menjadi cerminan, bagaimana kesadaran politik dan
pemikiran kritis di tengah masyarakat belum ada dalam bentuk untuk menggunakan hak politik berdasarkan kemampuan menganalisa situasi.
5.2. Motif Partisipasi Politik
Rendahnya partisipasi politik masyarakat kelurahan Titi Rante dapat dilihat pula dari motif partisipasi politik masyarakatnya, sedikitnya persentasi
masyarakat yang memiliki motif rasional dalam menentukan pilihannya karena tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang baik dan keadaan ekonomi yang
belum baik. Mereka yang memiliki motif rasional dalam menentukan pilihannya dan memiliki tujuan adalah mereka yang dengan mudah dapat mengakses
informasi dikarenakan kemapanan dalam segi pendidikan dan ekonomi masyarakatnya.
Motif berpatisipasi para individu di dalam masyarakat sebagaian besar atas dasar tendensi yang non-rasional dalam menemukan jawaban atas kecenderungan
kepercayaan terhadap partai politik yang terus melemah. Tendensi atas nilai tertentu yang dianggap absolut dan sangat berkaitan dengan adanya komitmen
subjektif dimana tujuan partisipasi politik adalah hanya untuk menghantarkan seseorang pada kekuasaan politik, bukan kepada sebuah pertimbangan dan
perhitungan yang didukung oleh kesadaran politik masyarakat kelurahan Titi Rante.
Hal ini menggambarkan bahwa para individu ikut berpartisipasi dalam politik hanya berkisar pada pemikiran non-rasional, yang mencakup keterwakilan
etnis, agama, bukan kepada pengabdian dan perjuangan tentang nilai yang dirasionalkan dalam bentuk program dan isu perubahan yang ditawarkan oleh
partai politik. Sehingga besar kecilnya partisipasi politik masyarakat Titi Rante masih ‘duduk’ pada persoalan konsekuensi kenaifan politik bukan pada ke-aktifan
dalam melakukan pengontrolan dan pengawasan kebijakan. Perseptual yang terbatas pada sebuah pemikiran akan keterwakilan politik
terhadap tendensi non-rasional seperti yang dijelaskan diatas akan menyulitkan jalannya program-program yang ditawarkan. Ini dikarenakan masyarakat belum
dapat melihat secara menyeluruh mengenai kebutuhannya dan keterlibatannya dalam pembangunan politik. Masyarakat hanya melihat posisinya sebagai alat
bukan sebagai pelaku yang secara aktif melakukan dan menawarkan berbagai konsep pemikiran yang mendorong terjadinya perbaikan ekonomi dan sosial.
Hubungan kaukus kekuatan dan sinergitas antara para pemimpin dan orang yang diwakili harusnya terbentuk dalam ruang partisipasi politik.
Proses penyadaran melalui pendidikan politik pada akhirnya akan membawa masyarakat kepada sebuah dinamika dan pola partisipatif dalam pentas
politik lokal yaitu Pilkada. Dan inilah yang menjadi sebuah kewajiban bersama yang harus dilakukan sehingga motif partisipasi politik dan perilaku politik
individu didalam masyarkat akan mengarah pada sebuah rasionalitas dan
pemikiran yang kritis. Dan ini menjadi sebuah tantangan yang harus dijawab oleh segenap aktor politik di Indonesia.
6. Hubungan Pilkada dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Konstalasi politik lokal, Pilkada, tidak dapat lepas dari sejauh apa perencanaan ekonomi pembangunan masyarakat dapat dilaksanakan.
Demokratisasi politik harus mampu mendorong masyarakat pada sebuah kondisi demokratisasi dan kemandirian ekonomi masyarakat, tanpa hal ini maka
kecenderungan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik akan rendah. Kesadaran terhadap keterwakilan politik dan kepentingannya yang
mendorong orang untuk memilih orang lain untuk menyampaikan kepentingannya sangatlah terbatas, hal ini selanjutnya mendorong orang untuk meningkatkan
peranannya. Kekuatan ekonomi dan motif yang melatarinya sangat terkonsentrasi dan
demokrasi politik diharapkan dapat menyatukan elemen kekuatan untuk mencapai motif pembangunan ekonomi. Peran pemerintah untuk mensejahterahkan
rakyatnya akan mendorong setiap orang untuk mengambil peranan dalam kegiatan politik. Agenda-agenda pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan
merupakan hal yang melekat dalam membangun kekuatan politik yang selaras dengan kepentingan masyarakat.
Argumentasi yang mendasar yang menunjang sebuah partisipasi politik secara aktif merupakan alternatif kekuatan politik untuk mengikat derajat
kepercayaan masayarakat dalam mengemban tujuan dan cita politik bersama. Kesamaan dalam ideologi juga turut mempengaruhi kepentingan masyarakat
untuk turut dalam proses politik, sama halnya apa yang terjadi di kelurahan Titi Rante, tanpa adanya konsep pengembangan ekonomi dan memajukan
kesejahteraan rakyat yang dilindungi oleh negara maka masyarakat akan cenderung untuk mengakhiri hubungannya dengan lembaga-lembaga politik dan
bersikap apatis. Pada saatnya pembangunan ekonomi dan sosial yang meningkat, dalam kondisi masyarakat statis yang mengalami krisis yang periodik, dianggap
merupakan pemecahan masalah yang lekat dengan kepentingan individunya. Kebijakan ini akan mendorong masyarakat untuk mendukung kebijakan ini yang
pada akhirnya akan meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam politik. Persoalan rendahnya partisipasi politik masyarakat Titi Rante juga
menyangkut, tidak adanya calon dan partai politik pengusung di dalam pentas Pilkada Kota Medan dan Pilkada Provinsi Sumatera Utara, yang menawarkan
gagasan yang lekat dengan pembangunan ekonomi masyarakat di Kelurahan Titi Rante. Pembangunan yang menyangkut pembangunan sarana dan prasaranan
pendidikan, kesehatan, hiburan dan fasilitas penunjang kemandirian ekonomi lainnya. Hal ini justru mendorong semakin lemahnya kedaulatan politik di
sekitaran lingkungan kelurahan Titi Rante. Hal yang secara psikologis menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap elite politik lokal dan nasional dikarenakan rakyat secara umum sering mengalami sebuah kekecewaan. Masyarakat politik dan sosial secara struktural
terbangun dari lapisan status dengan fungsi masing-masing. Semankin kompleksnya masyarakat yang bersangkutan maka kepentingan dan tuntutan yang
dihadirkan dalam dinamika pengembangan dan pembangunan ekonomi daerah semakin tinggi pula. Beragam status dan fungsi yang ada dan semakin modern
masyarakat tersebut maka diharapkan isu perencanaan pembangunan diharapkan mengarah pada sebuah fungsi partai yang terspesialisasi.
Para aktor politik dan elit politik yang ada merupakan satu modal sosial yang dapat mengarahkan berbagai perencanaan pengembangan masyarakat di
daerah di Indonesia. Keunikannya adalah bahwa pelaku politik daerah dapat melakukan, menampung, menterjemahkan, mengasah kepentingan politik dan
aspirasi rakyat serta memiliki bingkai terhadapa kepentingan dan aspirasi masyarakt tersebut yang memungkinkannya untuk dijadikan sebuah komoditas
politik yang dapat ‘dipasarkan’ dan emndorong terjadinya mobilisasi partisipasi politik masyarakat secara sadar dan kritis.
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan