BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Bab ini memaparkan tentang kesimpulan hasil penelitian, diskusi tentang penelitian serta saran praktis dan secara teoritis untuk penelitian selanjutnya.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis data, serta pengujian hipotesis menggunakan perhitungan Pearson Correlation diatas didapatkan indeks signifikansi yang berbeda pada
setiap variabelnya, yaitu : 1. Indeks signifikansi pada trait neuroticsm sebesar 0,099 0,05 maka
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara trait neuroticsm dengan forgiveness pada orang yang menikah.
2. Indeks signifikansi pada trait extraversion sebesar 0,005 0,05 maka disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara trait extraversion
dengan forgiveness pada orang yang menikah. Tanda positif menyatakan bahwa semakin tinggi skor trait extraversion maka semakin tinggi forgiveness
pada orang yang menikah. 3. Indeks signifikansi pada trait agreeableness sebesar 0,016 0,05 maka
disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara trait agreeableness dengan forgiveness pada orang yang menikah. Tanda positif menyatakan
bahwa semakin tinggi skor trait agreeableness maka semakin tinggi forgiveness pada orang yang menikah.
52
4. Indeks signifikansi pada trait openess sebesar 0,024 0,05 maka disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara trait openess dengan
forgiveness pada orang yang menikah. Tanda positif menyatakan bahwa semakin tinggi skor trait openess maka semakin tinggi forgiveness pada orang
yang menikah. 5. Indeks signifikansi pada trait conscientiousness sebesar 0,066 0,05 maka
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara trait conscientiousness dengan forgiveness pada orang menikah.
5.2 Diskusi
Pada penelitian kali ini, peneliti secara sengaja menyama ratakan jumlah jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki yaitu 50 responden untuk laki-laki dan 50
orang untuk perempuan, hal ini dikarenakan peneliti akan melihat seberapa banyak forgiveness itu terjadi pada laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian ini
pula peneliti mengkategorisasikan forgiveness menjadi 2 kategori yaitu forgiveness tinggi dan forgiveness rendah.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa forgiveness pada laki-laki dan perempuan memiliki kategori yang hampir sama. Antara kedua jenis kelamin ini
hampir seluruhnya memiliki forgiveness yang tinggi. Hal ini terjadi dikarenakan dengan adanya budaya di Indonesia yang memilki keramah-tamahan yang tinggi
sehingga responden yang memiliki forgiveness tinggi ini lebih banyak. Dari hasil pengkategorisasian dalam big five factors ini juga terlihat bahwa
dari kedua jenis kelamin ini yang memiliki forgiveness tinggi berada pada trait extraversion. Hal ini disebabkan bahwa dalam dimensi ini merupakan faktor yang
paling penting dalam dimensi kepribadian, karena orang yang memiliki trait extraversion ini dapat mempredikisi tingkah laku sosial sehingga dapat
berinteraksi dengan banyak orang. Tentu saja dengan memiliki kepribadian ini seseorang jadi lebih memahami banyak orang sehingga dapat berpengaruh juga
dalam forgiveness CostaMcCrae, 1997. Kemudian dari hasil uji hipotesis penelitian ini menemukan bahwa
kecenderungan seseorang untuk memaafkan memiliki korelasi yang cukup erat dengan 3 buah dimensi big five factors yaitu trait extraversion, agreeableness,
dan openess. Seperti yang dijelaskan pada karakterisitik trait extraversion diatas, trait
openess memiliki ciri-ciri seperti mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap
informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan tingkat openness yang
tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi, broad mindedness, dan a world of beauty CostaMcCrae, 1997. Sehingga orang-orang
yang memiliki karekterisitk seperti ini mudah memaafkan pula. Bahkan korelasi ini juga berpengaruh secara signifikan dengan
forgiveness. Hasil dari penelitian ini yang dilakukan oleh peneliti berbeda dari penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh McCullough 1998
menyatakan bahwa kecenderungan seseorang untuk memaafkan memiliki korelasi yang cukup erat dengan dua buah dimensi Big Five, yaitu Neuroticism dan
Agreeableness, dimana orang-orang Agreeableness ramah, memiliki kepribadian
yang selalu mengalah, menghindari konflik memiliki tingkat emosi yang lebih
stabil, lebih cenderung mudah memaafkan perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka. Dan bagi orang-orang yang memiliki
kepribadian Neuroticism mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan
memiliki kecenderungan emotionally reactive, lebih cenderung sulit memaafkan
perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka. Trait neuroticsm dalam penelitian ini tidak memiliki hubungan yang
signifikan terhadap forgiveness. hal ini mungkin terjadi karena karakterisitik orang yang memiliki trait ini sulit untuk memaafkan. Dimana dalam McCrae
Costa 1997 dijelaskan seseorang yang memiliki trait ini menggambarkan seseorang yang memiliki masalah emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan
rasa tidak aman. Secara emosional merekapun lebil labil, dan mereka pun biasanya mengubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan. Selain memiliki
kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka juga memiliki self- esteem yang rendah. Individu yang memiliki nilai atau skor yang tinggi pada trait
ini adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan emotionally reactive.
Pada pada penelitian ini pula trait conscientiousness tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap forgiveness. Dalam McCrae Costa 1997
juga dijelaskan bahwa karakteristik orang yang memiliki kecenderungan pada trait ini memiliki kepribadian yang sangat perfeksionis, kompulsif, workaholic,
dan membosankan. Dengan memiliki karakteristik diatas dapat dikatakan orang yang memiliki trait ini kurang bisa memahami orang lain, sehingga berpengaruh
juga terhadap hal memaafkan pada individu itu sendiri.
Selain itu berdasarkan pengujian validitas terhadap skala big five factors juga ditemukan hanya 66 item yang valid dari 100 item sebelumnya. Hal ini
mungkin saja terjadi karena perbedaan kultur antara Indonesia dengan budaya alat ukur tersebut dikembangkan.
5.3 Saran Penelitian Lanjutan