Muzara’ah TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Muzara’ah

1. Pengertian Muzara’ah Muzara’ah adalah suatu sistem kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan pertanian dan petani penggarap. 5 Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi al-Muzara’ah yang dikemukakan oleh ulama fiqh. a. Menurut Ulama Hanafiyah 6 ﻡ “akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi” b. Menurut Ulama Syafi’iyah 7 ﻡ ﻡ “akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari bumi” c. Menurut Ulama Hanabilah 8 ﻡ + +,- . +- .0 5 M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transakasi Dalam Islam :Fiqh Muamalat”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2004. cet 2, h.271 6 Ibid, M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transakasi Dalam Islam :Fiqh Muamalat” hal 271 7 Ibid, M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transakasi Dalam Islam :Fiqh Muamalat” hal 272 8 Prof. DR. Syafe’I Rahmat, M.A, “Fiqh Muamalat”. Jakarta: Pustaka Setia, 2004. cet 2, h.205 19 “penyerahan lahan pertanian kepada seorang petani untuk diolah dan hasilnya dibagi berdua.” d. Menurut Ulama Maliki 9 12 3 “perserikatan dalam pertanian.” Muzaraah adalah salah satu bentuk kerja sama antara petani buruh tani dan pemilik sawah. Seringkali kali ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya. Maka Islam mensyariatkan muzaraah sebagai jalan tengah bagi keduanya. 10 Sejalan dengan pemikiran ahli ekonomi Islam, Imam asy-Syaibani. Imam asy-Syaibani lebih mengutamakan usaha dalam bidang pertanian. 11 Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya. Imam asy-Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya. Dan kalaupun manusia berusaha keras, usia akan membatasinya. Dalam hal ini, kemaslahatan hidup manusia sangat tergantung padanya. Oleh karena itu, Allah Swt memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan 9 Ibid, Prof. DR. Syafe’I Rahmat, M.A, “Fiqh Muamalat”. 10 http:www.eramuslim.comustadzeki6428102916-masalah-bagi-hasil-sawah-muzara039ah..html , diakses pada tanggal 24 September 2008 11 Fitria, Tugas Pemikiran Ekonomi, http:f1tr1a.wordpress.com20080618tugas-3-pemikiran- ekonomi , diakses tanggal 12 Desember 2008 hidupnya. Imam asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang fakir membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah menjalankan aktivitas ibadah kepada-Nya. Karena itulah kerja sama antara pemilik lahan dengan petani penggarap relevan dengan pemikiran imam asy-Syaibani. Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di tengah para sahabat dan kaum muslimin setelahnya. Ibnu abbas menceritakan bahwa Rasululah SAW bekerja sama muzaraah dengan penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panen, makanan dan buah-buahan. Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al- Husain mengatakan bahwa tidak ada seorang muhajirin yang berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat untuk membagi hasil pertanian sepertiga atau seperempat. Para sahabat yang tercatat melakukan muzaraah antara lain adalah Ali bin Abi Thalib, Saad bin Malik, Abdullah bin Masud dan yang lainnya. Bahkan Umar bin Abdul Aziz pun yang hidup di masa berikutnya memiliki pemasukan dari bagi hasil. 12 Di Indonesia istilah Muzara’ah tersebut lebih dikenal dengan istilah paroan sawahladang. Sedangkan di Iraq lebih dikenal dengan istilah Mukhabarah. 13 Dalam masalah ini Muzara’ah dan Mukhabarah mempunyai pengertian yang sama, tetapi yang menjadi persoalan pada bibit pertanian. Muzara’ah bibitnya dari petani pemilik lahan dan Mukhabarah adalah sebaliknya. 12 Fitria, Tugas Pemikiran Ekonomi, http:f1tr1a.wordpress.com20080618tugas-3-pemikiran- ekonomi , diakses tanggal 12 Desember 2008 13 M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transakasi Dalam Islam :Fiqh Muamalat”, h.272 Jadi dapat disimpulkan Muzara’ah ialah mengerjakan tanah orang lain seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya seperdua, sepertiga atau seperempat. Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah Mukhabarah ialah mengerjakan tanah orang lain seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya seperdua, sepertiga atau seperempat. Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan. Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif atau pengertian yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’i berdasar dzhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketentuan: usaha mengerjakan tanah orang lain yang hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan. 2. Dasar Hukum Muzara’ah Dalam menetapkan hukum keabsahan muzara’ah, terjadi perbedaan pendapat antara para ulama. Imam Abu Hanifah 80-150 H 699-767 M dan Zufar ibn Huzail pakar fiqh Hanafi, berpendapat bahwa akad Muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka akad Muzara’ah dengan bagi hasil seperempat dan seperdua, hukumnya batal. Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah hadist: 14 4 5 67 8 9 9 - : . 5 ; ﻥ + Artinya: “Rasullullah saw. yang melarang melakukan al-Mukhabarah. Menurut mereka, objek akad dalam muzara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada al- Ma’dum dan tidak jelas al-Jahalah ukurannya, sehingga keuntungan yang dibagi, sejak semula tidak jelas. 15 Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa akad muzara’ah tidak sah, kecuali apabila akad al-muzara’ah tersebut mengikut kepada akad al-musaqah. Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf 113-182H731-798M, Muhammad ibn asy-Syaibani, keduanya sahabat Abu Hanifah, dan ulama azh- Zhahiriyah berpendapat bahwa akad Muzara’ah hukumnya boleh, karena akadnya cukup jelas, yaitu menjadikan petani sebagai serikat dalam penggarapan sawah. Hal itu dikarenakan hadist Nabi saw: 16 4 5 7 6 8 9 9 - : . 5 ; ﻡ = ﺥ - 3 = ﻡ ﻡ A . B 14 Ibid, M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transakasi Dalam Islam :Fiqh Muamalat”, h.272 15 Dr. H. Nasrun Harun, “Fiqh Muamalat”. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007., h.276 16 Ibid, Dr. H. Nasrun Harun, “Fiqh Muamalat”. h277 Artinya: “ Rasullulah saw. melakukan akad Muzara’ah dengan penduduk khaibar, yang hasilnya dibagi antara Rasul dengan para pekerja.” H.R al-bukhari, Muslim, abu Daud, an-Nasa’I, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Imam Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah bin Umar. Menurut mereka, akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan pemilik tanah pertanian. Hal ini bertujuan untuk saling tolong menolong sesama manusia dan sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Ma’idah ayat 2: 17 ... Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. Al- Maidah: 2 17 Ibid, Dr. H. Nasrun Harun, “Fiqh Muamalat”. h277 Dasar hukum Muzara’ah yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan hukumnya adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas r.a: 18 C 4 , D E F ; G H F 1 . I ﻡ 4 J K + ; 7 : ﻡ 2 ﻥ L : - + . - , G + ﺥ M N 4 - O P ﺽ : Artinya: “Sesungguhnya Nabi saw menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.” 3. Rukun dan Syarat Muzara’ah a. Rukun Muzara’ah Jumhur ulama yang membolehkan akad Muzara’ah mengemukakan rukun yang harus dipenuhi agar akad tersebut menjadi sah. 19 1 Pemilik Lahan 18 Ibid, Dr. H. Nasrun Harun, “Fiqh Muamalat”. h278 19 Ibid, h.278 2 Petani penggarap 3 Objek Muzara’ah, yaitu antara manfaat lahan dan hasil kerja 4 Ijab Qabul Secara sederhana, ijab dan qabul cukup dengan lisan saja. Namun sebaiknya dapat dituangkan kedalam surat perjanjian yang disetujui kedua belah pihak, termasuk bagi hasil kerjasama tersebut. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah tidak memerlukan qabul secara lafadzh, tetapi cukup hanya dengan mengerjakan tanah, itu sudah termasuk qabul. 20 Sifat akad muzara’ah menurut ulama hanafiyah adalah sifat-sifat perkongsian yang tidak lazim. Adapun pendapat ulama Malikiyah harus menabur benih di atas tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan menanam tumbuhan diatas tanah yang tidak ada bijinya. Menurut pendapat yang paling kuat, perkongsian harta termasuk muzara’ah dan harus menggunakan sighat. 21 b. Syarat-syarat muzara’ah: Adapun syarat-syarat Muzara’ah menurut jumhur ulama ada yang menyangkut orang yang berakad, benih yang ditanam, tanah yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan menyangkut waktu berlakunya akad. 22 20 Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, “Fiqh Muamalat”. Bandung: Pustaka Setia, 2004. cet 2, h.207 21 Ibid, h.208 22 Dr. H. Nasrun Harun, “Fiqh Muamalat”. h.278 1 Syarat orang yang berakad harus baligh dan berakal. Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiyah tidak mensyaratkannya Abu Yusuf dan Muhammad Hasan asy- Syaibani. 23 2 Syarat akan benih yang ditanam harus jelas dan menghasilkan. 3 Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian. a Tanah tersebut bisa digarap dan dapat menghasilkan b Batas-batas lahan tersebut harus jelas c Ada penyerahan tanah d Tanah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap untuk diolah 4 Syarat yang berkaitan dengan hasil yang akan dipanen a Jelas ketika akad b Pembagian hasil panen harus jelas c Hasil panen tersebut harus jelas benar-benar milik bersama orang yang berakad. 23 Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, “Fiqh Muamalat”. h.208 d Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum 24 5 Syarat yang berkaitan dengan waktu harus jelas 6 Syarat yang berkaitan dengan dengan objek akad juga harus jelas pemanfaatan benihnya, pupuknya, dan obatnya. Seperti yang berlaku dengan adat dan kebiasaan daerah setempat. Imam Abu Yusuf dan Muhammad Hasan asy-Syaibani berpendapat bahwa dilihat dari segi sahnya akad muzara’ah maka ada empat bentuk: 25 1 Apabila lahan dan bibit dari pemilik lahan, kerja dan alat dari petani penggarap, sehingga yang menjadi objek muzara’ah adalah jasanya petani, hukumnya sah 2 Apabila pemilik lahan hanya menyediakan lahan saja, sedangkan penggarap menyediakan bibit, alat, dan kerja, yang menjadi objek muzara’ah adalah manfaat tanah lahan, hukumnya sah. 3 Apabila lahan, bibit, alat, dan kerja dari petani, maka akad muzara’ah juga sah. 4 Apabila lahan dan alat dari pemilik lahan dan bibit serta kerja dari petani penggarap, maka hukum akadnya tidak sah. Mereka berpendapat apabila alat pertanian dari pemilik lahan, maka akad 24 Dr. H. Hendi Suhendi, M.si,“Fiqh Muamalat”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. h. 159 25 M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transakasi Dalam Islam :Fiqh Muamalat”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2004. cet 2, h.277 menjadi rusak, karena alat pertanian tidak bisa mengikat pada lahan. Alat pertanian tersebut tidak sejenis dengan manfaat lahan. Karena lahan adalah untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan alat hanya sebagai untuk pengolahannya. Alat pertanian seharusnya dari penggarap bukan dari pemilik lahan. Hukum akad muzara’ah shahih menurut ulama Hanafi adalah sebagai berikut: 26 1 Segala keperluan untuk menggarap tanaman diserahkan sepenuhnya kepada penggarap 2 Pembiayaan atas tanaman di bagi antara pemilik lahan dengan penggarap 3 Hasil yang diperoleh dibagi atas kesepakatan yang disepakati. 4 Menyiram dan merawat tanaman adalah tanggung jawab penggarap, kecuali disyaratkan bersama dalam kesepakatan akad. 5 Jika salah seorang yang akad meninggal maka penggarap tidak mendapatkan apa-apa, karena ketetapan akad didasarkan atas waktu. Hukum akad muzara’ah fasid apabila terdapat: 27 1 Penggarap tidak melakukan kewajiban terhadap akad yang telah disepakati 26 Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, “Fiqh Muamalat”. h.210 27 Ibid, Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, “Fiqh Muamalat”. hal 211 2 Hasil yang didapatkan merupakan pemilik benih 3 Jika benih dari penggarap, maka berhak mendapatkan upah 4. Akibat Akad Muzara’ah Jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah, jika pemilik tanah dan penggarap telah melakukan akad muzara’ah akan berakibat sebagai berikut: 28 a. Pemilik lahan bertanggung jawab terhadap biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut. b. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama d. Perairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku adat dan kebiasaan ditempat masing-masing e. Apabila seseorang meninggal dunia, akad tersebut tetap berlaku sampai panen dan diwakili oleh ahli warisnya, lebih lanjut akad tersebut dapat dipertimbangkan oleh ahli waris diteruskan atau tidak 5. Berakhirnya Akad Muzara’ah Habisnya masa muzara’ah: 28 28 M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transakasi Dalam Islam :Fiqh Muamalat”. h.278 Apabila akad muzara’ah berakhir sebelum masa panen, akad muzara’ah tersebut tidak dibatalkan dan ditunggu sampai masa panen. 29 Dalam menunggu masa panen tersebut petani penggarap berhak mendapat upah sesuai dengan adat kebiasaan setempat, dan biaya untuk pertanian selanjutnya ditanggung bersama oleh pemilik lahan dan petani penggarap. 30 a. Salah seorang yang berakad meninggal. Menurut ulama mazhab hanafi dan hanabilah, maka akad muzara’ah berakhir. Sedangkan menurut ulama mazhab Syafi’i dan Maliki akad muzara’ah tersebut tidak berakhir dan dapat diteruskan oleh ahli warisnya. 31 1 Adanya uzur. Menurut ulama Hanafiyah uzur tersebut dapat berupa: 32 a Tanah garapan tersebut terpaksa dijual karena pemilik lahan memiliki hutang b Penggarap tidak dapat mengelola tanah dikarenakan sakit, jihad dijalan Allah SWT, dan naik haji Kerjasama di bidang pertanian seperti muzara’ah di atas mempunyai banyak kebaikan dan hikmah yang bisa diambil. Muzara’ah tersebut bisa dijadikan tolong menolong antara pemilik lahan yang tidak bisa menggarap lahannya kepada petani penggarap yang tidak mempunyai lahan. Hal tersebut bisa mencegah terjadinya lahan yang menganggur dan petani penggarap yang sebelumnya tidak punya lahan tapi punya kemampuan. 29 Dr. H. Nasrun Harun, “Fiqh Muamalat”. h.280 30 M. Ali Hasan, “Berbagai Macam Transakasi Dalam Islam :Fiqh Muamalat”. h.279 31 Ibid, h.279 32 Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, “Fiqh Muamalat”. h.211

B. Bentuk-Bentuk Muzara’ah