Pengaruh Profesionalisme dan Keahlian Auditor Forensik Terhadap Pengungkapan Korupsi Dengan Kompetensi Bukti Sebagai Variabel Intervening

(1)

PENGARUH PROFESIONALISME DAN KEAHLIAN AUDITOR FORENSIK TERHADAP PENGUNGKAPAN KORUPSI DENGAN

KOMPETENSI BUKTI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi

Oleh :

Opi Widiyanti 1112082000006

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

i

PENGARUH PROFESIONALISME DAN KEAHLIAN AUDITOR FORENSIK TERHADAP PENGUNGKAPAN KORUPSI DENGAN

KOMPETENSI BUKTI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi

Oleh :

Opi Widiyanti 1112082000006

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Opi Widiyanti

2. Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 4 Maret 1994

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Alamat :Jl. Tanah Seratus RT 002/003

No.48, Sudimara Jaya – Ciledug, Tangerang 15151

5. Telepon : 083872490177

6. Email : opiwdyt@gmail.com

II. PENDIDIKAN

1. TK DEWI SARTIKA Tahun 1999-2000

2. SDN SUDIMARA 05 CILEDUG Tahun 2000-2006

3. SMPN 11 TANGERANG Tahun 2006-2009

4. SMAN 12 TANGERANG Tahun 2009-2012

5. S1 Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012-2016 III. LATAR BELAKANG KELUARGA

1. Ayah : Satiri

2. Ibu : Mahwati


(8)

vii

THE INFLUENCE OF PROFESSIONALISM AND EXPERTISE FORENSIC AUDITOR TO THE CORRUPTION DISCLOSURE WITH COMPETENCE

EVIDENCE AS VARIABLE INTERVENING ABSTRACT

The purpose of this research is to find the influence of professionalism and expertise forensic auditor to the corruption disclosure with competence evidence as variabel intervening. This research was done in The Audit Board of The Republic of Indonesia (BPK RI) and The Board of Finance and Development Supervisory Agency (BPKP) of the DKI Jakarta Province.

This research was using samples as many as sixty four respondents. The data analysis method that used was Partial Least Square-Path Modeling (PLS-PM) with the help of data analysis tool SmartPLS 3.0.

The result of this research show that professionalism and expertise forensic auditor simultaneously able to the competence evidence of 26,79% and competence evidence of proffesionalism and expertise forensic auditor able to explain the corruption disclosure of 52,39%, the rest 47,61% explained by the other is hypothesized.

Keyword : Professionalism, Expertise, Forensic Auditor, Competence Evidence, Corruption Disclosure, Intervening, SmartPLS.


(9)

viii

PENGARUH PROFESIONALISME DAN KEAHLIAN AUDITOR FORENSIK TERHADAP PENGUNGKAPAN KORUPSI DENGAN

KOMPETENSI BUKTI SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini untuk menguji pengaruh profesionalisme dan keahlian auditor forensik terhadap pengungkapan korupsi dengan kompetensi bukti sebagai variabel intervening. Penelitian ini dilakukan pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi DKI Jakarta.

Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 64 responden. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Partial Least Square (PLS) dengan bantuan alat analisis data SmartPLS 3.0.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruk profesionalisme dan keahlian auditor forensik secara simultan mampu menjelaskan konstruk kompetensi bukti sebesar 26,79% dan kompetensi bukti dari konstruk profesionalisme dan keahlian auditor forensik mampu menjelaskan konstruk pengungkapan korupsi sebesar 52,39%, sisanya 47,61% diterangkan oleh konstruk lain yang tidak dihipotesiskan dalam model.

Kata kunci : Profesionalisme, Keahlian, Auditor Forensik, Kompetensi Bukti, Pengungkapan Korupsi, Intervening, SmartPLS.


(10)

ix

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahiim

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Profesionalisme dan Keahlian Auditor Forensik Terhadap Pengungkapan Korupsi dengan Kompetensi Bukti Sebagai Variabel Intervening”. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Sang Teladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan.

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat, guna meraih gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa banyak pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, syukur Alhamdulillah penulis hanturkan atas kekuatan Allah SWT skripsi ini dapat diselesaikan. Selain itu, penulis juga ingin mengucapakan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tuaku tercinta yang dengan ikhlas memberikan dukungan dengan

penuh perhatian, kasih sayang, semangat, dan doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis serta dukungan moril maupun materil.

2. Kedua adikku Nourisa Cahyati dan Siti Zulaekha yang telah menyemangati dan doa terbaiknya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr.Arief Mufraini,Lc.,M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Yessi Fitri,SE.,M.Si.,Ak.,CA. selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Hepi Prayudiawan,SE.,Ak.,MM.,CA. selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Bapak Dr.Amilin,SE.,Ak.,M.Si.,CA.,QIA.,BKP selaku Dosen Pembimbing

Skripsi I yang telah bersedia menyediakan waktunya yang sangat berharga untuk membimbing penulis selama menyusun skripsi. Terima kasih atas segala masukan guna penyelesaian skripsi ini serta semua motivasi dan nasihat yang telah diberikan selama ini.


(11)

x

7. Seluruh staf pengajar dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

8. Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah memberikan saran mengenai responden dalam penelitian ini.

9. Ibu Devi, atas bantuannya dalam perizinan penelitian di BPK RI dan telah memberikan semangat.

10. Bapak Gumbira, Bapak Wowo dan Bu Hastin, atas bantuannya dalam perizinan penelitian dan penyebaran kuesioner di BPKP serta dukungan dalam pembuatan skripsi ini.

11. Bapak Agung, Bu Yayuk, Mas Asyef, Ka May, dan Ibu Hery, atas bantuannya dalam penyebaran kuesioner di Auditorat Utama Keuangan Negara (AKN) I, III, dan V serta telah memberikan semangat.

12. Sahabat-sahabat penulis Laila, Muthia, Nova, Desi, Anin, Haifa, Tasya, Lidiyna, Naya, dan Rini yang selalu memberikan support, selalu setia menemani, berbagi suka duka, berbagi cerita, berbagai ilmu dan perhatian terbaiknya kepada penulis.

13. Akuntansi Kelas A, teman-teman satu bimbingan Wiwi, Fazla, Kia dan rekan-rekan seperjuangan Akuntansi 2012, terima kasih atas segala informasi, bantuan dan doanya selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

14. Sahabat penulis Khusnul Khotimah yang selalu memberikan support dan perhatian terbaiknya kepada penulis.

15. Sahabat-sahabat penulis dari KKN Parahita Dinnan, Tasya, Rista, Adit, Daeng, Anas, Irfan, Reza, dan Akbar yang selalu memberikan support dan perhatian terbaiknya kepada penulis.


(12)

xi

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.

Jakarta, Juli 2016


(13)

xii

DAFTAR ISI COVER COVER DALAM ... i

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ... iii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

ABSTRACT ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ... 9

1. Identifikasi Masalah ... 9

2. Batasan Masalah ... 10

3. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11


(14)

xiii

2. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Literatur ... 14

1. Grand Theory ... 14

2. Profesionalisme ... 17

3. Keahlian ... 22

4. Auditor Forensik ... 28

5. Bahan Bukti ... 33

6. Pengungkapan Korupsi ... 39

B. Hasil Penelitian Terdahulu ... 56

C. Kerangka Pemikiran ... 61

D. Rumusan Hipotesis ... 63

1. Pengaruh Profesionalisme dan Keahlian Auditor Forensik terhadap Kompetensi Bukti ... 63

2. Pengaruh Profesionalisme dan Keahlian Auditor Forensik terhadap Pengungkapan Korupsi ... 64

3. Pengaruh Kompetensi Bukti terhadap Pengungkapan Korupsi ... 65

4. Pengaruh Profesionalisme dan Keahlian Auditor Forensik terhadap Pengungkapan Korupsi melalui Kompetensi Bukti ... 66

BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ... 68


(15)

xiv

B. Metode Penentuan Sampel ... 68

C. Metode Pengumpulan Data ... 69

1. Sumber Data ... 69

2. Teknik Pengumpulan Data ... 70

D. Metode Analisis Data ... 70

1. Statistik Deskriptif ... 72

2. Uji Model Pengukuran atau Outer Model ... 72

a. Convergent Validity ... 73

b. Discriminant Validity ... 73

c. Reliability ... 74

3. Uji Model Struktural atau Inner Model ... 74

a. R-square ... 75

b. Q-square ... 75

c. Goodness of Fit (GoF) ... 76

d. Uji hipotesis ... 75

4. Uji Efek Intervening ... 77

E. Operasionalisasi Variabel Penelitian ... 81

1. Profesionalisme (X1) ... 81

2. Keahlian (X2)... 82

3. Kompetensi Bukti (Intervening) ... 83

4. Pengungkapan Korupsi (Y) ... 85

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 91


(16)

xv

1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 91

2. Karakteristik dan Profil Responden ... 93

a. Deskripsi responden berdasarkan jenis kelamin ... 93

b. Deskripsi responden berdasarkan posisi terakhir ... 94

c. Deskripsi responden berdasarkan pendidikan terakhir ... 95

d. Deskripsi responden berdasarkan pengalaman kerja ... 95

e. Deskripsi responden berdasarkan usia ... 97

B. Hasil Uji Instrumen Penelitian ... 98

1. Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 98

2. Hasil Uji Model Pengukuran atau Outer Model ... 99

a. Hasil Convergent Validity ... 99

b. Hasil Discriminant Validity ... 102

c. Hasil Reliability ... 105

3. Hasil Uji Model Struktural atau Inner Model ... 106

a. Hasil R-square ... 107

b. Hasil Q-square ... 109

c. Hasil Goodness of Fit (GoF) ... 109

d. Hasil Uji Hipotesis ... 110

4. Hasil Uji Efek Intervening ... 112

C. Pembahasan ... 116 1. Pengaruh Profesionalisme Auditor Forensik terhadap


(17)

xvi

Kompetensi Bukti ... 116

2. Pengaruh Keahlian Auditor Forensik terhadap Kompetensi Bukti ... 117

3. Pengaruh Profesionalisme Auditor Forensik terhadap Pengungkapan Korupsi ... 118

4. Pengaruh Keahlian Auditor Forensik terhadap Pengungkapan Korupsi ... 120

5. Pengaruh Kompetensi Bukti terhadap Pengungkapan Korupsi ... 121

6. Pengaruh Profesionalisme Auditor Forensik terhadap Pengungkapan Korupsi melalui Kompetensi Bukti ... 122

7. Pengaruh Keahlian Auditor Forensik terhadap Pengungkapan Korupsi melalui Kompetensi Bukti ... 123

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 125

B. Implikasi... 127

C. Keterbatasan ... 128

D. Saran ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 130


(18)

xvii

DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Survei Persepsi Korupsi 2015 ... 2

Tabel 1.2 Kasus Korupsi di Indonesia ... 3

Tabel 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu ... 57

Tabel 3.1 Operasional Variabel Penelitian ... 87

Tabel 4.1 Data Sampel Penelitian ... 92

Tabel 4.2 Data Distribusi Sampel Penelitian ... 92

Tabel 4.3 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 93

Tabel 4.4 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Posisi Terakhir ... 94

Tabel 4.5 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 95

Tabel 4.6 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Pengalaman Kerja ... 96

Tabel 4.7 Hasil Uji Deskripsi Responden Berdasarkan Usia ... 97

Tabel 4.8 Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 98

Tabel 4.9 Outer Loading ... 100

Tabel 4.10 Outer Loading Modifikasi ... 101

Tabel 4.11 Cross Loading ... 103

Tabel 4.12 Average Variance Extracted (AVE) ... 105

Tabel 4.13 Composte Reliabilty dan Cronbach Alpha ... 106

Tabel 4.14 Nilai R-square ... 108


(19)

xviii

Tabel 4.16 Pengaruh Langsung Variabel Laten Profesionalisme ... 112

Tabel 4.17 Pengaruh Langsung Variabel Laten Keahlian ... 113

Tabel 4.18 Pengaruh Tidak Langsung Variabel Laten Keahlian ... 114

Tabel 4.19 Penghitungan VAF Keahlian Auditor Forensik terhadap Pengungkapan Korupsi Melalui Kompetensi Bukti ... 116


(20)

xix

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ... 61

Gambar 3.1 Model Pengaruh Langsung ... 78

Gambar 3.2 Model Intervening ... 78


(21)

xx

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Penelitian Skripsi ... 136

Lampiran 2 Surat Permohonan Pengisian Kuesioner ... 139

Lampiran 3 Surat Keterangan dari BPK-RI dan BPKP ... 142

Lampiran 4 Kuesioner Penelitian ... 146

Lampiran 5 Daftar Identitas dan Jawaban Responden ... 154


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Skor Corruption Perseption Index (CPI) Indonesia berdasarkan

temuan Transparency International (TI), untuk tahun 2015 mencapai 36. Jumlah tersebut meningkat 2 poin dibanding skor CPI 2014 yaitu 34. Dengan kenaikan skor tersebut, peringkat korupsi Indonesia turun dari peringkat 107 ke peringkat 88, dari 168 negara. Penurunan ini tidak seimbang dengan penurunan kasus korupsi yang terjadi di daerah.

Kasus korupsi di Indonesia seakan seperti pepatah mati satu tumbuh seribu (Dwi dan Effendi, 2013), Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa data-data kasus korupsi membuktikan bahwa praktek-praktek korupsi telah menyebar hingga ke daerah-daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Purnomo, dkk (2007) dalam Rini dan Sarah (2014) desentralisasi membawa dampak pada terjadinya pergeseran relasi kekuasaan pusat ke daerah dan antar lembaga di daerah sehingga membuka peluang maraknya money politic oleh kepala daerah sehingga peluang korupsi semakin terbuka.

Tranparency International (TI) pada tahun 2015, melakukan Survei Persepsi Korupsi 2015 dilakukan di 11 kota di Indonesia. Sebelas kota tersebut adalah Kota Pekanbaru, Kota Semarang, Kota Banjarmasin, Kota Pontianak, Kota Makassar, Kota Manado, Kota Medan, Kota Padang, Kota Bandung, Kota Surabaya, dan Kota Jakarta. Survey dilakukan serentak di 11


(23)

2 kota di Indonesia pada 20 Mei sampai 17 Juni 2015 kepada 1.100 pengusaha.

Tabel 1.1

Survei Persepsi Korupsi 2015

Sumber : http://www.ti.or.id

Survei tersebut menunjukkan hasil kota yang memiliki skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2015 adalah Kota Banjarmasin dengan skor 68, Kota Surabaya dengan skor 65, dan Kota Semarang dengan skor 60. Sementara itu, Kota yang memiliki skor Indeks Persepsi Korupsi terendah adalah Kota Bandung dengan skor 39, Kota Pekanbaru dengan skor 42, dan Kota Makassar skor 48. Kota dengan pertumbuhan indeks persepsi korupsi tinggi menunjukkan daerah yang bersangkutan memiliki kemajuan yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di daerahnya. Sebaliknya, daerah yang mengalami penurunan atau stagnan indeks persepsi korupsinya menunjukkan terjadi penurunan atau stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah.

Nomor Kota Skor

1. Banjarmasin 68

2. Surabaya 65

3. Semarang 60

4. Pontianak 58

5. Medan 57

6. Jakarta Utara 57

7. Manado 55

8. Padang 50

9. Makassar 48

10. Pekanbaru 42


(24)

3 Sejak awal berdiri, sebagai lembaga anti rusuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah banyak menangkap pejabat pelaku korupsi. Berikut adalah nama-nama besar yang pernah diseret oleh KPK sejak tahun 2002:

Tabel 1.2

Kasus Korupsi di Indonesia

No. Nama Kasus

1. Irjen Djoko Susilo

Kasus korupsi dalam proyek simulator ujian Surat Izin Mengemudi (SIM).

2. Luthfi Hasan Ishaaq

Dugaan menerima hadiah atau janji terkait dengan pengurusan quota daging pada Kementrian Pertanian.

3. Rudi Rubiandini Menerima suap dari Kernel Oil senilai US$ 400 ribu.

4. Ratu Atut Chosiyah

Kasus korupsi pada pengadaan alat kesehatan dan dugaan suap terkait penanganan sengketa pilkada Lebak, Banten.

5. Miranda S. Goeltom

Tersangka dalam kasus suap cek pelawat untuk anggota DPR. Suap tersebut dikucurkan selama berlangsungnya pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Periode 2004.

6. Burhanuddin Abdullah

Menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI.


(25)

4 Tabel 1.2 (lanjutan)

No. Nama Kasus

7. Aulia Pohan

Aulia Pohan terjerat dalam kasus yang sama dengan Burhanuddin Abdullah. Pohan yang kala itu menjabat sebagai Deputi Gubernur BI.

8. Urip Tri Gunawan

Menerima suap 610.000 dolar AS dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim.

9. Muhammad Nazaruddin Kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games.

10. Andi Malarangeng Kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games.

11. Anas Urbaningrum Kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games.

12. Akil Mochtar

Tersangka penerima suap Rp 3 Miliar dari bupati Gunung Mas dan tindak pidana pencucian uang terkait kasus sengketa Pilkada.

13. Suryadharma Ali

Tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji.

14. Gayus H. Tambunan

Salah satu kasus korupsi di Indonesia yang cukup besar terungkap di berbagai media massa yaitu kasus Gayus H. Tambunan yang menyeret banyak pihak, baik di lembaga Direktorat Pajak, Kementrian Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan, hingga Lembaga Peradilan.

Sumber : Berbagai referensi yang diolah

Sebagian besar kasus korupsi yang disidik adalah kasus yang terkait dengan non infrastruktur dibanding dengan infrastruktur. Meskipun kasus yang termasuk infrastruktur tergolong lebih rendah dari non infrastruktur, tapi kerugian negara yang ditimbulkan hampir dua kali lipatnya (Wana, 2015).


(26)

5 Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi berisi mengenai tindakan pemerintah yang memerintahakan semua aparat di pusat dan daerah menjalankan langkah-langkah apapun untuk memberantas korupsi. Upaya tersebut antara lain meningkatkan upaya pengawasan dan pembinaan aparatur untuk meniadakan perilaku koruptif di lingkungan kerja, memberikan dukungan maksimal terhadap upaya-upaya penindakan korupsi yang dilakukan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara mempercepat pemberian informasi yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi dan mempercepat pemberian izin pemeriksaan terhadap saksi atau tersangka.

Korupsi memang tidak akan bisa benar-benar dihilangkan, namun harapan untuk mengurangi korupsi seharusnya dapat segera terwujud (Yuwanto, 2015). Sebagai badan yang memiliki tujuan yang sama untuk memberantas tindak pidana korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK-RI), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Pengadilan harus membuktikan kecurigaan mereka kepada seseorang mengenai apakah seseorang benar-benar tersangka korupsi atau tidak.

Pengusutan korupsi sulit dilakukan oleh penyidik karena berkaitan dengan bidang di luar hukum, yaitu bidang keuangan negara atau perekonomian negara hal ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam membuktikan apakah seseorang


(27)

6 melakukan korupsi harus didukung oleh alat bukti yang kuat, untuk memperoleh alat bukti yang kuat diperlukan metode yang tepat dan relevan salah satu metode yang dapat digunakan yaitu jasa auditor forensik (Hakim, 2014). Dalam hal ini auditor forensik memberikan kontribusi dalam pengungkapan korupsi, dengan penerapan secara efektif kerugian negara dapat ditemukan. Berdasarkan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor 17/K/I-XIII.2/12/2008 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif, penghitungan kerugian negara atau daerah merupakan suatu pemeriksaan investigatif yang dilakukan untuk menghitung nilai kerugian negara atau daerah yang terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara atau daerah dengan membandingkan antara kondisi dan kriteria.

Perkembangan ilmu audit forensik belakangan ini menjadi harapan bangsa Indonesia dalam menghadapi kecurangan terutama korupsi yang semakin marak (Lediastuti dan Subandijo, 2014). Hasil analisis auditor forensik yang berupa Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN), Laporan Hasil Audit Investigatif (LHAI) dan keterangan ahli, memiliki pengaruh dalam pertimbangan putusan pengadilan tindak pidana korupsi (Hakim, 2014).

Praktik audit forensik di Indonesia pertama kali dilakukan untuk menyelesaikan kasus Bank Bali oleh Price Waterhouse Coopers (PWC), keberhasilannya dapat dilihat dari PWC menunjukkan aliran dana yang bersumber dari pencairan dana peminjaman Bank Bali (Hakim, 2014). Wahono (2011) dalam Astuti (2013) peran audit forensik kembali ditunjukkan dalam penanganan Kasus Bank Century, BPK telah menemukan adanya temuan penting dalam hasil audit


(28)

7 forensik tersebut. Temuan dan kesimpulan BPK bahwa telah terjadi penggelapan hasil penjualan US Treasure Strips (UTS) yang menjadi hak Bank Century sebesar 29,77 juta dollar AS oleh pemilik FGAH, pengalihan dana hasil penjualan surat-surat berharga oleh Kepala Divis Treasury Bank Century menjadi deposito PT AI di Bank Century sebesar 7 juta dollar AS tidak wajar karena diduga tidak ada transaksi yang mendasarinya, dan merugikan Bank Century sehingga akhirnya membebani penyertaan modal sementara, diduga pula terjadi penggelapan atas uang hasil penjualan 44 kavling aset eks jaminan PT BMJA senilai Rp 62,06 miliar oleh Direktu Utama PT TNS dengan cara tidak menyetorkan hasil penjualan kavling tersebut ke Bank Century.

Nawangwulan (2013) auditor seharusnya menyadari bahwa fungsinya adalah tempat bersandingnya kepercayaan masyarakat dan pemakai laporan keuangan, kelangsungan profesinya akan tetap terjaga apabila seorang auditor dapat menjaga amanah dari masyarakat dan pemakai laporan keuangan yang diberikan kepadanya yaitu tetap menjaga akuntabilitasnya.

Ekspektasi masyarakat yang tinggi akan peran dan fungsi audit forensik dalam menemukan bukti yang kompeten serta mengungkap korupsi menjadi tantangan dan tanggung jawab tersendiri bagi auditor forensik (Dwi dan Effendi, 2013). Peran dan fungsi dari seorang auditor forensik dapat tercermin dari sikap profesionalisme yang mereka jalankan dan keahlian yang dimiliki.

Auditor forensik dalam mengungkap suatu kasus korupsi harus dapat mengumpulkan bukti yang kompeten, kompetensi suatu bukti didasarkan pada proses perolehan bukti tersebut oleh auditor (Pusdiklatwas BPKP, 2013). Bukti


(29)

8 yang diperoleh secara ilegal tidak dapat diterima secara hukum. Dengan demikian keahlian merupakan unsur penting yang dimiliki seorang auditor forensik untuk dapat bekerja secara profesional.

Mukoro et al (2013) dalam Prabowo (2015) menyatakan disiplin ilmu audit forensik berkembang seiring meningkatnya tingkat kejahatan, korupsi, kurang berfungsinya pembuat kebijakan atau peraturan, sistem keamanan yang lemah, dan lain-lain. Hal ini juga merupakan indikasi yang menunjukkan peningkatan permintaan auditor forensik.

Peneliti terdahulu yang menunjukkan terdapat pengaruh antara profesionalisme dan keahlian auditor forensik terhadap kompetensi bukti dilakukan oleh Dwi dan Effendi (2013) dan Michael (2012). Penelitian Dwi dan Effendi (2013) berjudul “Pengaruh Profesionalisme Akuntan Forensik Terhadap Kompetensi Bukti Tindak Pidana Korupsi” hasil penelitian menunjukkan bahwa profesionalisme akuntan forensik memiliki pengaruh sebesar 33,67% terhadap kompetensi bukti tindak pidana korupsi. Penelitian terdahulu yang juga mengangkat tema kompetensi bukti yang dilakukan Michael (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Keahlian Audit Terhadap Kompetensi Bukti Audit”. Hasil dari penelitiannya menunjukan bahwa keahlian audit memiliki pengaruh yang besar terhadap kompetensi bukti sebesar 62,10%.

Penulis juga mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Bramastyo (2014) dengan judul “Laporan Audit Investigatif sebagai Bukti Permulaan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi” hasil penelitiannya menunjukkan bahwa audit forensik secara akurat dapat menentukan unsur kesalahan dan kerugian negara


(30)

9 dalam tindak pidana korupsi yang terjadi dalam birokrasi secara akurat karena metode yang digunakan merupakan penggabungan antara ilmu audit dan ilmu penyidikan untuk menentukan modus operandi, pihak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi dan kerugian negara yang ditimbulkan. Penelitian tersebut menjadi referensi utama dalam penelitian ini.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian ini karena pertama, profesionalisme dan keahlian merupakan cerminan utama yang harus dimiliki auditor forensik dalam menjalankan tugasnya agar dapat menghasilkan kompetensi suatu bukti atas tindak pidana korupsi. Kedua, untuk mengetahui pengaruh bukti audit hasil analisis auditor forensik terhadap putusan hakim di pengadilan. Ketiga, sampai dengan tahap melakukan penelitian ini, peneliti belum menemukan penelitian yang menaruh perhatiannya untuk menjadikan kompetensi bukti dari profesionalisme dan keahlian auditor forensik sebagai variabel intervening terhadap pengungkapan korupsi. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Profesionalisme dan Keahlian Auditor Forensik Terhadap Pengungkapan Korupsi dengan Kompetensi Bukti sebagai Variabel Intervening”.

B. Identifikasi Masalah, Batasan Masalah dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat di identifikasikan masalah sebagai berikut:

a. Praktek-praktek korupsi telah menyebar hingga ke daerah-daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah.


(31)

10 b. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi berisi mengenai tindakan pemerintah yang memerintahkan semua aparat di pusat dan daerah untuk menjalankan langkah-langkah apapun untuk memberantas korupsi.

c. Pengusutan untuk membuktikan apakah seseorang melakukan korupsi sulit dilakukan karena berkaitan dengan bidang di luar hukum, yaitu bidang keuangan negara atau perekonomian negara. 2. Batasan Masalah

Mengingat terbatasnya data dan informasi yang didapatkan, maka dalam penelitian ini akan membatasi masalah-masalah yang ada diantaranya:

a. Dari identifikasi masalah diatas, maka akan dilakukan penelitian tentang pengaruh profesionalisme dan keahlian auditor forensik terhadap pengungkapan korupsi dengan kompetensi bukti sebagai variabel intervening.

b. Sampel penelitian adalah auditor forensik pada BPK-RI dan BPKP Perwakilan Provinsi DKI Jakarta.

c. Metode yang digunakan yaitu Partial Least Square (PLS) dengan software SmartPLS 3.0.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(32)

11 a. Apakah profesionalisme auditor forensik berpengaruh secara

signifikan terhadap kompetensi bukti?

b. Apakah keahlian auditor forensik berpengaruh secara signifikan terhadap kompetensi bukti?

c. Apakah profesionalisme auditor forensik berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan korupsi?

d. Apakah keahlian auditor forensik berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan korupsi?

e. Apakah kompetensi bukti berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan korupsi?

f. Apakah profesionalisme auditor forensik berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan korupsi melalui kompetensi bukti?

g. Apakah keahlian auditor forensik berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan korupsi melalui kompetensi bukti?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris atas hal-hal sebagai berikut:

a. Menganalisis pengaruh signifikan profesionalisme auditor forensik terhadap kompetensi bukti.

b. Menganalisis pengaruh signifikan keahlian auditor forensik terhadap kompetensi bukti.


(33)

12 c. Menganalisis pengaruh signifikan profesionalisme auditor forensik

terhadap pengungkapan korupsi.

d. Menganalisis pengaruh signifikan keahlian auditor forensik terhadap pengungkapan korupsi.

e. Menganalisis pengaruh signifikan kompetensi bukti terhadap pengungkapan korupsi.

f. Menganalisis pengaruh signifikan profesionalisme auditor forensik terhadap pengungkapan korupsi melalui kompetensi bukti.

g. Menganalisis pengaruh signifikan keahlian auditor forensik terhadap pengungkapan korupsi melalui kompetensi bukti.

2. Manfaat Penelitian a. Kontribusi Teoritis

1) Penulis, sebagai aplikasi teori yang selama ini diperoleh dalam perkuliahan dan untuk menambah pengetahuan terkait pengungkapan korupsi.

2) Mahasiswa Jurusan Akuntansi, peneliti ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu akuntansi untuk menambah pengetahuan mengenai akuntansi dan audit.

3) Pembaca, sebagai sarana informasi untuk menambah pengetahuan mengenai penggunaan metode akuntansi dalam melakukan pengungkapan korupsi.


(34)

13 4) Peneliti berikutnya, sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai topik yang sama.

b. Kontribusi Praktisi

1) BPK-RI dan BPKP sebagai masukan untuk mendorong kinerja auditor forensik dalam memberikan hasil temuan audit agar bukti yang di dapat semakin kompeten.

2) Akademisi, sebagai bahan pengajaran untuk meningkatkan minat mahasiswa dalam mata kuliah audit, mengingat besarnya peran dan kebutuhan akan audit forensik.


(35)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Literatur

1. Grand Theory

Teori Planned Behavior

Theory ofPlanned Behavior yang dikembangkan oleh Fishben dan

Ajzen (1975) didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan menggunakan informasi-informasi yang mungkin baginya, secara sistematis. Perilaku didasarkan faktor kehendak yang melibatkan pertimbangan-pertimbangan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku dimana dalam prosesnya, berbagai pertimbangan tersebut akan membentuk intensi untuk melakukan suatu perilaku.

Terdapat tiga komponen utama pembentuk intensi perilaku yaitu:

a. Attitude Toward Behavior (ATB)

Sikap merupakan suatu faktor dalam diri seorang yang dipelajari untuk memberikan respon positif atau negatif pada penilaian terhadap sesuatu yang diberikan. Sikap seorang terhadap perilaku yang dipengaruhi oleh behavioral belief, yaitu evaluasi positif atupun negatif terhadap suatu perilaku tertentu, tercermin dalam kata-kata seperti, benar atau salah, setuju atau tidak setuju, baik atau buruk, dan lain-lain. Evaluasi negatif terhadap perilaku korupsi dan evaluasi positif terhadap antikorupsi.


(36)

15 Dalam hal ini pelaku memahami bahwa tindakannya salah, tetapi koruptor memiliki kepentingan. Menurut Yuwanto (2015) perilaku korupsi dapat dianggap sebagai kebiasaan karena adanya kasus per kasus yang telah terjadi dari masa ke masa dan perilaku korupsi tetap ada hingga saat ini, perilaku korupsi tersebut tidak pernah diproses selama pelaku masih memegang kendali atau kekuasaan sehingga pola yang sama diwariskan pada pemegang kendali kekuasaan berikutnya.

Seorang auditor forensik akan berhasil dalam menjalankan profesinya jika mempunyai sikap profesionalisme dan keahlian. Dengan profesionalisme dan keahliannya auditor forensik akan mampu menginterpretasikan sesuatu peristiwa, alasan, atau sebab perilaku seorang koruptor.

b. Subjective Norm (SN)

Norma subjektif (subjective norm) merupakan persepsi seseorang tentang pemikiran orang lain yang akan mendukung atau tidak mendukungnya dalam melakukan sesuatu, sikap ini dipengaruhi oleh subjective norm di sekeliling individu. Misal norma agama (bagi individu beragama), norma sosial, norma keluarga, atau ketika orang-orang yang penting bagi individu atau cenderung dipatuhi oleh individu menganggap perilaku anti korupsi sebagai hal positif, maka akan meningkatkan intensi (potensi) berperilaku anti korupsi.


(37)

16 Penyebab perilaku korupsi dapat dikategorikan menjadi penyebab eksternal dan internal. Penyebab eksternal bersifat penarik, yaitu menstimulusi individu melakukan perilaku korupsi. Penyebab internal bersifat pendorong, yaitu menggerakkan individu melakukan perilaku korupsi (Yuwanto, 2015).

Seorang auditor forensik mungkin berhasil atau tidak dalam menjalankan profesinya karena faktor-faktor yang mereka percaya dari dalam diri mereka atau karena faktor yang berasal dari lingkungan, dari faktor-faktor tersebut akan mampu menyimpulkan suatu modus operandi dari kasus korupsi oleh kombinasi antara kekuatan internal dan eksternal.

c. Perceived Behavior Control (PBC)

Sikap yang dipengaruhi oleh control belief, yaitu persepsi kesulitan dan kemudahan untuk memunculkan suatu perilaku. Ini berkaitan dengan sumber dan kesempatan untuk mewujudkan perilaku tersebut. Misalnya, lingkungan di sekeliling individu yang korup atau kesempatan korupsi yang besar atau mudah akan meningkatkan intensi individu untuk melakukan perilaku korupsi dan sebaliknya.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan informasi, modus operandi dari para pelaku kecurangan semakin canggih dan bervariasi. Para pelaku akan cenderung mencari celah untuk melakukan kecurangan dari lemahnya sistem pengendalian dan penegakkan hukum (Lediastuti dan Subandijo, 2014).


(38)

17 Dengan profesionalisme dan keahlian yang dimiliki, auditor forensik akan dapat merumuskan pendapatnya dengan baik, bukti yang dihasilkan akan lebih kompeten sehingga dapat memperoleh dan mengevaluasi bukti yang memadai untuk ditariknya kesimpulan audit dalam pengungkapan korupsi. Sehingga pencapaian hasil yang diharapkan akan lebih terealisasi.

2. Profesionalisme

a. Definisi Profesionalisme

Profesionalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) adalah mutu, kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. “Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak” (Kalbers dan Forgaty, 1995).

Karamoy (2015) profesionalisme menjadi syarat utama bagi seseorang yang ingin menjadi auditor sebab dengan profesionalisme yang tinggi kebebasan auditor dari salah saji akan semakin terjamin. Untuk menjalankan perannya yang menuntut tanggung jawab yang semakin luas, auditor harus memiliki wawasan yang luas tentang kompleksitas organisasi modern.


(39)

18 Yendrawati (2008) profesionalisme adalah konsep untuk mengukur bagaimana para profesional memandang profesi mereka yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka. Untuk mengukur tingkat profesionalisme bukan hanya dibutuhkan suatu indikator yang menyebutkan bahwa seorang dikatakan profesional, tetapi juga dibutuhkan faktor-faktor eksternal seperti bagaimana seseorang berperilaku dalam menjalankan tugasnya. Sehingga ada sebuah gambaran yang menyebutkan bahwa perilaku profesional adalah sikap cerminan sikap profesionalisme

Profesionalisme dapat disimpulkan sebagai suatu atribut individual untuk mengukur bagaimana para profesional memandang profesi mereka yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka. Jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan.

b. Taksonomi Profesionalisme

Taksonomi profesionalisme Hall (1968) digunakan untuk menguji profesionalisme para akuntan publik (Morrow dan Goetz, 1988). Dan mengutip lima dimensi profesionalisme Hall (1968) dalam Dwi dan Effendi (2013), yaitu:


(40)

19 1) Pengabdian pada profesi (Dedication), dicerminkan dari dedikasi profesionalisme melalui penggunaan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan hidup dan bukan sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasaan rohani, baru kemudian materi. 2) Kewajiban Sosial (Social obligation), yaitu pandangan tentang

pentingnya peran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat atau pun oleh profesional karena adanya pekerjaan tersebut.

3) Kemandirian (Autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa ada tekanan dari pihak yang lain. Setiap ada campur tangan dari pihak luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional. Banyak orang yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus. 4) Keyakinan terhadap peraturan profesi (Belief in self-regulation),


(41)

20 pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. Keyakinan akan menjadi motor bagi auditor untuk memberikan hasil pekerjaan serta pertimbangan-pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan karena kesalahan pertimbangan yang dibuat akan memberikan hasil yang berbeda. Bila yang menilai pekerjaan mempunyai pengetahuan yang sama, maka kesalahan akan dapat diketahui. 5) Hubungan dengan sesama profesi (Professional community

affiliation) berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesinya. Dengan sering berkumpul dan berdiskusi dengan sesama profesi akan mendapat banyak masukan dari sumber yang lebih profesional lagi. Dengan banyakanya tambahan masukan akan menambah akumulasi pengetahuan auditor sehingga dapat lebih akurat dalam membuat perencanaan dan pertimbangan dalam proses pengauditan.

Sebuah profesi harus memiliki sebuah aturan standar profesional yang memandu proses penyampaian jasa-jasa profesional. Hasil logis dari otonomi profesional adalah mendukung peraturan profesional dari profesinya. Standar-standar kompetensi yang dikeluarkan oleh profesi


(42)

21 mencoba untuk menetapkan posisi bagi profesi dalam menilai prestasi anggota. Asosiasi seperti itu, yang dapat disebut sebagai afiliasi komunitas, menyediakan tempat lain atas identitas bagi para individu yang juga merupakan angota-anggota organisasi suatu profesi (Dwi dan Effendi, 2013).

Kode Standar Profesional Certified Fraud Examiners (CFE)

Association of Certified Fraud Examiners merupakan asosiasi

profesional yang berkomitmen untuk berkinerja di tingkat tertinggi dari perilaku yang etis. Anggota Asosiasi berjanji untuk bertindak dengan integritas dan melakukan pekerjaan mereka secara profesional. Anggota memiliki tanggung jawab profesional untuk klien mereka, dengan kepentingan umum dan satu sama lain, tanggung jawab yang membutuhkan mensubordinasi kepentingan pribadi dengan kepentingan mereka yang dilayani. Standar ini mengungkapkan prinsip-prinsip dasar dari perilaku etis untuk membimbing anggota dalam memenuhi tugas dan kewajibannya. Dengan wajib mengikuti standar yang ada, semua Certified Fraud Examiners (CFE) diharapkan, dan semua anggota Asosiasi akan berusaha untuk menunjukkan komitmen mereka untuk keunggulan dalam pelayanan dan perilaku profesionalnya.


(43)

22 3. Keahlian

a. Definisi Keahlian

Keahlian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) adalah kemahiran dalam suatu ilmu (kepandaian, pekerjaan). Keahlian merupakan unsur penting yang harus dimiliki oleh seseorang auditor untuk bekerja secara profesional. Hal tersebut ditegaskan dalam standar umum pertama SA Seksi 210, SPAP (2015) audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

Grippo dan Ibex (2003) dalam Digabriele (2008) menyatakan bahwa sebagian besar keahlian auditor forensik datang dari kemampuannya dalam bidang akuntansi dan audit, pajak, operasi bisnis, maajemen, pengendalian intern, hubungan interpersonal, dan komunikasi.

Keahlian menurut Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) No.Per/05/M.PAN/03/2008 bahwa auditor harus mempunyai pengetahuan, ketrampilan dan kompetensi lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan kriteria auditor harus mempunyai tingkat pendidikan formal minimal Strata Satu (S1) atau yang setara, memiliki kompetensi di bidang auditing, akuntansi, administrasi pemerintahan dan komunikasi serta telah mempunyai sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor (JFA)


(44)

23 serta mengikuti pendidikan dan pelatihan profesional berkelanjutan (continuing professional education).

Keahlian dapat disimpulkan sebagai dasar yang positif dimiliki seorang auditor forensik untuk mendukung penugasannya dalam perhitungan kerugian negara, pengungkapan kasus-kasus tersembunyi, serta sebagai saksi ahli di pengadilan yang mengharuskan memiliki pemikiran kritis, analisis deduktif, kemampuan komunikasi dalam lisan dan tulisan, dan lain-lain.

b. Taksonomi Keahlian

Young (2008) menyatakan bahwa auditor forensik menguasai ketrampilan dalam banyak bidang. Beberapa auditor forensik, sudah barang tentu, mengkhususkan diri pada bidang-bidang tertentu seperti teknologi informasi. Akan tetapi, semua auditor forensik yang telah terlatih sekurang-kurangnya memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam bidang-bidang berikut ini:

1) Keterampilan auditing merupakan hal terpenting bagi auditor forensik karena adanya sifat pengumpulan informasi dan verifikasi yang terdapat pada auditor forensik.

2) Pengetahuan dan keterampilan investigasi, misalnya taktik-taktik

surveillance dan keterampilan wawancara dan interogasi,

membantu auditor forensik untuk melangkah di luar keterampilan mereka di dalam mengaudit aspek-aspek forensik baik aspek legal maupun aspek finansial.


(45)

24 3) Kriminologi, khususnya studi psikologi tindak kejahatan, adalah penting bagi auditor forensik karena keterampilan investigasi yang efektif sering bergantung pada pengetahuan tentang motif dan insentif yang dialami oleh perpetrator.

4) Pengetahuan akuntansi membantu auditor forensik untuk menganalisis dan menginterpretasi informasi keuangan yang dibutuhkan untuk membangun sebuah kasus di dalam investigasi keuangan, apakah itu dalam kasus kebangkrutan, operasi pencucian uang, atau skema-skema penyelewengan lainnya. 5) Pengetahuan tentang hukum sangat penting untuk menentukan

keberhasilan auditor forensik.

6) Pengetahuan dan keterampilan bidang Teknologi Informasi (TI) menjadi sarana yang penting bagi auditor forensik di tengah dunia yang dipenuhi oleh kejahatan-kejahatan dunia maya.

7) Keterampilan berkomunikasi juga dibutuhkan oleh auditor forensik untuk memastikan bahwa hasil penyelidikan atau analisis mereka dapat dipahami secara benar dan jelas oleh pengguna jasanya.

Ramaswamy (2005) mengungkapkan inti pengetahuan seorang auditor forensik untuk menjadi ahli selalu memerlukan peningkatan jumlah keahlian dan kompetensi dalam menemukan penipuan. Berikut adalah terdapat beberapa keahlian yang berguna untuk auditor forensik:


(46)

25 1) Sebuah pengetahuan yang mendalam tentang laporan keuangan, dan kemampuan untuk menganalisa kritis mereka. Keterampilan ini membantu auditor forensik menemukan pola abnormal dalam informasi akuntansi dan mengenali sumber mereka.

2) Sebuah ketelitian tentang pemahaman skema penipuan, namun tidak terbatas pada pengelapan aset termasuk, pencucian uang, penyuapan, dan korupsi.

3) Kemampuan untuk memahami sistem pengendalian internal perusahaan, dan untuk membuat sebuah sistem kontrol yang menilai resiko, manajemen mencapai tujuan, memberitahu karyawan mereka kontrol tanggung jawab, dan memantau kualitas program sehingga koreksi dan perubahan dapat dibuat.

4) Kemampuan dalam ilmu komputer dan sistem jaringan. Keterampilan ini membantu auditor forensik melakukan penyelidikan di era e-banking dan sistem komputerisasi akuntansi.

5) Pengetahuan tentang psikologi, dalam rangka untuk memahami

impulses dibalik perilaku kriminal dan menyiapkan program

pencegahan penipuan yang mendorong dan memotivasi karyawan.

6) Interpersonal dan kemampuan komunikasi, yang membantu dalam penyebaran informasi tentang kebijakan etis perusahaan


(47)

26 dan membantu auditor forensik melakukan wawancara dan diperlukan memperoleh informasi yang sangat penting.

7) Pengetahuan ketelitian dari kebijakan pemerintahan dan undang-undang yang mengatur kebijakan perusahaan tersebut.

8) Perintah hukum pidana dan perdata, serta dari sistem hukum dan prosedur pengadilan.

Digabriele (2008) melakukan penjabaran atau perluasan dari beberapa pengetahuan dan keterampilan yang diungkapkan Ramaswamy (2005) dan Young (2008) sebagai dasar penelitian dengan menggunakan sembilan item kompetensi keahlian auditor forensik yang digunakan dalam penilaian perbedaan persepsi dari pihak akademisi akuntansi, praktisi akuntansi, dan pengguna jasa auditor forensik yaitu:

1) Keahlian yang penting bagi seorang auditor forensik adalah analisis deduktif. Kemampuan untuk menganalisis kejanggalan yang terjadi dalam laporan keuangan, yakni kejadian yang tidak sesuai dengan kondisi yang wajar.

2) Keahlian yang penting bagi seorang auditor forensik adalah pemikiran yang kritis. Kemampuan untuk membedakan antara opini dan fakta.

3) Keahlian yang penting bagi seorang auditor forensik adalah pemecahan masalah yang tidak terstruktur. Kemampuan untuk melakukan pendekatan terhadap masing-masing situasi


(48)

27 (khususnya situasi yang tidak wajar) melalui pendekatan yang tidak terstruktur. Dalam hal ini auditor harus mampu memberikan solusi dari pemecahan masalah yang tidak terstruktur.

4) Keahlian yang penting bagi seorang auditor forensik adalah fleksibilitas penyidikan. Kemampuan untuk melakukan audit di luar ketentuan atau prosedur yang berlaku.

5) Keahlian yang penting bagi seorang auditor forensik adalah keahlian analitik. Kemampuan untuk memeriksa apa yang seharusnya ada (yang seharusnya tersedia) bukan apa yang telah ada (yang telah tersedia).

6) Keahlian yang penting bagi seorang auditor forensik adalah komunikasi lisan. Kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan lisan melalui kesaksian ahli dan penjelasan umum tentang dasar-dasar opini.

7) Keahlian yang penting bagi seorang auditor forensik adalah komunikasi tertulis. Kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan tulisan melalui laporan, bagan, gambar, dan jadwal tentang dasar-dasar opini.

8) Keahlian yang penting bagi seorang auditor forensik adalah pengetahuan tentang hukum. Kemampuan untuk memahami proses-proses hukum dasar dan isu-isu hukum termasuk ketentuan bukti (rules of evidence).


(49)

28 9) Keahlian yang penting bagi seorang auditor forensik adalah

composure. Kemampuan untuk menjaga sikap untuk tetap tenang

meskipun dalam situasi tertekan. 4. Auditor Forensik

a. Definisi Auditor Forensik

Auditor forensik adalah orang yang menggunakan ilmu akuntansi forensik dengan pertimbangan bahwa tidak semua auditornya berasal dari seorang akuntan (Tias, 2012). Profesi audit forensik telah disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 179 ayat (1) menyatakan “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran, kehakiman, atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”. Pemohon dapat mengajukan permintaan keterangan ahli secara tertulis kepada Ketua BPK atau Kepala Perwakilan BPK sesuai Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli Pasal 4.

Dhar dan Sarkar (2010) Alabdullah (2014) menyatakan bahwa akuntansi forensik disebut juga akuntansi investigatif atau audit forensik, yang merupakan gabungan dari ilmu forensik dan akuntansi.

Menurut Wiratmaja (2010) audit forensik merupakan suatu pengujian mengenai bukti atas suatu pernyataan atau pengungkapan informasi keuangan untuk menentukan keterkaitannya dengan ukuran-ukuran standar yang memadai untuk kebutuhan pembuktian di pengadilan.


(50)

29 Audit forensik merupakan perluasan dari penerapan prosedur audit standar ke arah pengumpulan bukti untuk kebutuhan persidangan di pengadilan. Audit ini meliputi prosedur-prosedur atau tahapan-tahapan tertentu yang digunakan audit untuk mengidentifikasi dan menggabungkan bukti-bukti guna membuktikan, seperti berapa lama fraud dilakukan, bagaimana cara melakukan fraud tersebut, berapa besar jumlahnya, dimana dilakukannya, serta siapa pelakunya (Purjono, 2012).

Auditor forensik bisa menjadi “mata-mata” penyidik karena mereka bisa mengetahui adanya transaksi kecurangan, dengan mencari bukti, menemukan kesalahan penyajian, dan menemukan kejahatan yang tidak terjangkau oleh bidang hukum Lorenzo (1993) dalam Salleh (2014).

Dengan demikian, audit forensik dapat didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi seperti berapa lama fraud dilakukan, bagaimana cara melakukan fraud tersebut, berapa besar jumlahnya, dimana dilakukannya, serta siapa pelakunya atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.

b. Ruang Lingkup Audit Forensik

Tuanakotta (2012:84-94) mengemukakan bahwa akuntansi forensik mempunyai ruang lingkup yang spesifik untuk lembaga yang menerapkannya atau untuk tujuan melakukan audit investigatif.


(51)

30 1) Praktik di Sektor Swasta

Bologna dan Lindquist perintis mengenai akuntansi forensik dalam Tuanakotta (2012:84) menekankan beberapa istilah dalam perbendaharaan akuntansi, yaitu: fraud auditing, forensic

accounting, investigative support, dan valuation analysis.

Litigation support merupakan istilah dalam akuntansi forensik bersifat dukungan untuk kegiatan ligitasi. Akuntansi forensik dimulai sesudah ditemukan indikasi awal adanya fraud. Audit investigasi merupakan bagian awal dari akuntasi forensik. Adapun

valuation analysis berhubungan dengan akuntansi atau unsur

perhitungan. Misalnya dalam menghitung kerugian negara karena tindakan korupsi.

2) Praktik di Sektor Pemerintahan

Akuntansi forensik pada sektor publik di Indonesia lebih menonjol daripada akuntansi forensik pada sektor swasta. Secara umum akuntansi forensik pada kedua sektor tidak berbeda, hanya terdapat perbedaan pada tahap-tahap dari seluruh rangkaian akuntansi forensik terbagi-bagi pada berbagai lembaga seperti lembaga pemeriksaan keuangan negara, lembaga pengawasan internal pemerintahan, lembaga pengadilan, dan berbagai lembaga LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berfungsi sebagai pressure group.


(52)

31 c. Atribut dan Karakteristik Audit Forensik

1) Atribut Audit Forensik

Davia dalam Tuanakotta (2012:103) memberikan contoh kecurangan lewat pembukuan seperti kickback atau bribery yang diambil dari harga beli yang sudah di marked-up. Juga untuk off the book, seperti penagihan piutang yang sudah dihapus dan penjualan barang yang sudah diberitahukan.

Howard R. Davia dalam Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (Tuanakotta, 2012:103-104) memberikan lima nasehat kepada seorang auditor penulis dalam melakukan investigasi terhadap fraud pada umumnya dan korupsi pada khususnya:

(a) Dari awal upayakan “menduga” siapa pelaku. Dalam pengembangan investigasinya, daftar pelaku yang diduga dapat diperpanjang atau diperpendek, sesuai dengan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan.

(b) Fokus pada pengumpulan bukti untuk proses pengadilan. (c) Kreatif dalam mengembangkan teknik investigasi, berpikir

seperti penjahat, dan jangan mudah ditebak.

(d) Kalau sistem pengendalian intern sudah baik, berbagai jenis fraud hanya bisa terjadi karena persekongkolan. Investigator harus memiliki indra atau institusi yang tajam untuk merumuskan “teori mengenai persekongkolan”. Ini adalah sebagaian bagian dari “teori mengenai fraud”.


(53)

32 (e) Kenali pola fraud. Ini memungkinkan investigator

menerapkan teknik investigasi yang mujarab.

Dengan lima nasehat Davia tersebut, jelaslah gambaran mengenai atribut khas dari seorang fraud auditor, investigator, forensic accountant atau yang sejenisnya (penyelidik, penyidik, dan penuntut umum)

2) Karakteristik Audit Forensik

Bologna dan Lindquist dalam Tuanakotta (2012:106), menyebutkan karakteristik apa saja yang harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik:

(a) Kreatif, kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain anggap situasi bisnis yang normal dan memperhatikan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak merupakan situasi bisnis yang normal.

(b) Rasa ingin tahu, keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi. (c) Tak menyerah, kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.

(d) Akal sehat, kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang menyebutnya, perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan.


(54)

33 (e) Business sense, kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.

(f) Percaya diri, kemampuan untuk memercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela).

5. Bahan Bukti

a. Definisi Bahan Bukti

Arens, et al (2012:196) mendefinisikan sebagai berikut: “Bahan bukti audit adalah informasi yang digunakan oleh auditor untuk menentukan apakah informasi kuantitatif yang sedang di audit disajikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.”

Boynton, et al (2006:206) bahan bukti yang mencukupi dapat diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi yang digunakan sebagai dasar yang layak untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

Pusdiklatwas BPKP, (2013) untuk mendapatkan bukti-bukti selama proses audit berlangsung, auditor harus memahami terlebih dahulu tingkatan bukti audit, yakni: bukti utama (primary evidence), bukti tambahan (secondary evidence), bukti langsung (direct evidence), bukti tak langsung (circumstansial evidence), bukti


(55)

34 perbandingan (comparative evidence) dan bukti statistik (statistical evidence).

Berikut ini penjelasan masing-masing tingkatan bukti audit sebagai berikut:

1) Bukti Utama (Primary Evidence)

Bukti utama adalah bukti asli yang menunjang secara langsung suatu transaksi/kejadian. Bukti utama menghasilkan kepastian yang paling kuat atas fakta. Misalnya kontrak/SPK asli, kuitansi, faktur, Surat Perintah Membayar (SPM).

2) Bukti Tambahan (Secondary Evidence)

Bukti ini lebih rendah mutunya apabila dibandingkan dengan bukti utama dan tak dapat dipergunakan dengan tingkat keandalan yang sama dengan bukti utama. Bukti tambahan dapat berupa fotokopi kontrak dan keterangan lisan. Bukti ini dapat diterima jika bukti utama ternyata rusak atau hilang, atau dapat diterima jika ditunjukkan bahwa bukti ini merupakan pencerminan yang layak atas bukti utama.

3) Bukti Langsung (Direct Evidence)

Bukti langsung merupakan fakta tanpa kesimpulan ataupun anggapan. Bukti ini cenderung untuk menunjukkan suatu fakta atau materi yang dipersoalkan. Suatu bukti dapat dikatakan langsung apabila dikuatkan oleh pihak-pihak yang mempunyai pengetahuan nyata mengenai persoalan yang bersangkutan


(56)

35 dengan menyaksikan sendiri. Contohnya adalah bukti transfer atau cek yang berhubungan langsung dengan suatu tindak pidana. 4) Bukti Tidak Langsung (Circumstantial Evidence)

Bukti tidak langsung mengungkapkan secara tidak langsung atas suatu tindak pelanggaran atau fakta-fakta dari seseorang yang mungkin mempunyai niat atau motif melakukan pelanggaran. 5) Bukti Perbandingan (Comparative Evidence)

Bukti ini sering sekali diperlukan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan dalam perjanjian, seperti membandingkan produk jasa suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya baik yang bersifat kualitas maupun kuantitas.

6) Bukti Statistik (Statistical Evidence)

Bukti satistik merupakan jenis bukti yang berguna walaupun tidak dapat digunakan untuk membuktikan suatu tuntutan kepada seseorang. Namun demikian bukti statistik dapat membantu dalam membuktikan suatu kasus sebab bukti tersebut dapat digunakan sebagai bukti tidak langsung untuk menetapkan adanya motif lain

Dalam melakukan audit, auditor harus mengumpulkan bukti-bukti yang memenuhi syarat relevan, kompeten dan cukup (Re, Ko, Cu) sebagai berikut:

1) Relevan yaitu bukti-bukti dianggap relevan jika bukti tersebut merupakan salah satu bagian dari rangkaian bukti-bukti (chain of


(57)

36 evidence) yang menggambarkan suatu proses kejadian atau jika bukti tersebut secara tidak langsung menunjukkan kenyataan dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perbuatan.

2) Kompeten yaitu suatu bukti ditujukan pada proses pembuatan bukti tersebut dan proses perolehannya. Jika bukti dibuat oleh petugas yang tidak kompeten maka bukti tersebut dianggap tidak kompeten. Kompetensi suatu bukti juga didasarkan pada proses perolehan bukti tersebut oleh auditor. Bukti yang diperoleh secara ilegal tidak dapat diterima menurut hukum.

3) Cukup yaitu bukti-bukti yang dikumpulkan jumlahnya cukup dalam arti nilai bukti dan kuantitas bukti, atau nilai keseluruhan bukti. Bukti audit yang cukup berarti dapat mewakili/menggambarkan keseluruhan keadaan/kondisi yang dipermasalahkan, sehingga apabila bukti yang dikumpulkan banyak namun nilai dan kuantitas bukti tidak material maka bukti tersebut kurang mendukung simpulan yang ada dalam laporan hasil audit.

b. Kompetensi Bahan Bukti

Menurut Arens, et al (2012:196), kompetensi bahan bukti merujuk pada tingkat dimana bukti tersebut dianggap dapat dipercaya atau diyakini kebenarannya. Kepercayaan akan bukti persidangan yang diberikan auditor forensik menjadi salah satu tolak ukur utama para pihak tersebut untuk meyakinkan bukti yang disajikan telah mewakili


(58)

37 dan menggambarkan keseluruhan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa.

Menurut Boynton, et al (2006:208) Kompetensi bukti adalah berkaitan dengan kuantitas atau mutu dari bukti-bukti tersebut. Kompetensi bukti audit sebagai penguat yang mendasari data akuntansi maupun informasi yang tercantum dalam aspek standar ketiga pekerjaan lapangan. Keandalan catatan akuntansi dipengaruhi secara langsung oleh efektivitas pengendalian intren.

Menurut Herbert (1977) kompetensi dari bukti audit berkaitan dengan sumber. Sumber dalam hal ini berkaitan dengan yang berasal dari sebuah dunia nyata. Berdasarkan persyaratan tersebut maka bukti audit hanya dapat berasal dari tiga sumber yaitu:

1) Pandangan auditor yang berkaitan dengan dunia nyata (bukti observasi).

2) Pandangan orang lain yang berkaitan dengan dunia nyata yang disampaikan kepada auditor (bukti testimonial).

3) Karakteristik khusus dari suatu item yang terkait dengan realitas yang dapat dirasakan oleh siapa saja (bukti tercatat).

Arens, et al (2012: 196) tingkat kompetensi tidak dapat ditingkatkan dengan cara memperbesar ukuran sampel atau mengambil item-item lainnya dari suatu populasi. Tingkat kompetensi hanya dapat diperbesar dengan memilih berbagai prosedur audit yang mengandung


(59)

38 tingkat kualitas yang lebih tinggi atas satu atau lebih dari keenam karakteristik kompetensi bahan bukti berikut ini:

1) Independensi penyedia bukti

Bahan bukti audit diperoleh dari sumber diluar entitas akan lebih dapat dipercaya daripada bahan bukti audit yang diperoleh dari dalam entitas.

2) Efektivitas pengendalian intern

Jika pengendalian intern klien berjalan secara efektif, maka bukti audit yang akan diperoleh akan lebih dapat dipercaya daripada jika pengendalian intern lemah.

3) Pengetahuan langsung auditor

Bahan bukti audit yang diperoleh langsung oleh auditor melalui pengujian fisik, observasi, penghitungan dan inspeksi akan lebih kompeten daripada informasi yang diperoleh secara tidak langsung. Kualifikasi individu yang menyediakan informasi

4) Kualifikasi individu yang menyediakan informasi

Walaupun jika sumber informasi itu bersifat independen, bahan bukti audit tidak akan dipercaya kecuali jika individu yang menyediakan informasi tersebut memiliki kualifikasi untuk melakukan hal itu. Selain itu, bukti-bukti yang diperoleh langsung oleh auditor tidak akan terpercaya jika ia sendiri kurang memiliki kualifikasi untuk mengevaluasi bahan bukti tersebut.


(60)

39 5) Tingkat objektivitas

Bahan bukti yang objektif akan dapat lebih dipercaya daripada bukti yang membutuhkan pertimbangan tertentu untuk menentukan apakah bukti tersebut memang benar.

6) Ketepatan waktu

Ketepatan waktu atas bahan bukti audit dapat merujuk baik kapan bukti itu dikumpulkan atau kapan periode waktu yang tercover oleh proses audit tersebut.

Kompetensi bukti dapat disimpulkan sebagai kualitas atau keandalan data akuntansi dan informasi penguat yang merujuk pada tingkat dimana bukti tersebut dianggap dapat dipercaya atau diyakini kebenarannya. Berdasarkan persyaratan tersebut maka bukti audit hanya dapat berasal dari tiga sumber yaitu : pandangan auditor yang berkaitan dengan dunia nyata (bukti observasi), pandangan orang lain yang berkaitan dengan dunia nyata yang disampaikan kepada auditor (bukti testimonial) dan karakteristik khusus dari suatu item yang terkait dengan realitas yang dapat dirasakan oleh siapa saja (bukti tercatat). 6. Pengungkapan Korupsi

a. Definisi Pengungkapan

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (2007) pengungkapan adalah tindakan untuk menunjukkan, membuktikan, menyingkap tentang sesuatu yang tadinya masih menjadi rahasia atau tidak banyak diketahui orang.


(61)

40 Gilbert (2014) pengungkapan bisa menunjukkan siapa konspirator dalam korupsi dan mengurangi ketidakpastian dalam transaksi ilegal.

b. Definisi Korupsi

Korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus yang berarti suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Perbuatan korupsi dalam Islam telah dilarang dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 188: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”.

Dalam Al-Qur‟an korupsi disebut sebagai ghulul yang maknanya pengkhianatan terhadap kepercayaan atau amanah, korupsi dapat pula dideskripsikan sebagai al-shut yang bermakna menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dengan penguasa untuk suatu kepentingan (Umar, 2012).


(62)

41 Menurut Shleifer dan Vishny (1993) korupsi adalah penjualan barang-barang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh, pegawai negeri sering menarik pungutan liar dari perizinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya.

Suwarsono (2015) menilai korupsi bukan sekedar sebagai sebuah tindakan kejahatan terlarang yang melanggar hukum, tetapi merupakan sebuah disposisi psikologis, kecenderungan yang melekat pada moralitas seseorang.

Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus. Korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas pada kelangsungan hidup bangsa, menghambat perekonomian dan pembangunan nasional, namun yang paling dirasakan oleh rakyat adalah kemampuan negara semakin terbatas dalam hal menyediakan anggaran demi kepentingan rakyat.

c. Bukti audit dan bukti hukum

Pusdiklatwas BPKP (2013) bukti menurut hukum dan audit memiliki banyak kesamaan, karena keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan bukti, untuk mendorong keyakinan tentang kebenaran atau kesalahan setiap pernyataan atas suatu masalah.


(63)

42 Laporan yang diterbitkan auditor sebaiknya membahas bagaimana fraudster melakukan suatu kecurangan, pengendalian internal yang berhasil dibobol, dan memberikan masukan dalam pencegahan terjadinya fraud (Purjono, 2012).

Timbul suatu permasalahan ketika LHAI tidak dapat secara langsung dijadikan alat bukti bagi penyidik sebagai syarat formil. Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa alat bukti meliputi saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sedangkan Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) tidak menunjukkan hubungan kausalitas secara terperinci antara oknum yang diduga melakukan penyimpangan dengan perbuatan yang disangkakan. Oleh karena itu perlu keterlibatan terlebih dahulu oleh penyidik untuk mengubah laporan tersebut kedalam bahasa hukum untuk dijadikan alat bukti (Bramastyo, 2014).

Bukti menurut hukum diatur pada ayat (1) pasal 184 KUHAP yang secara lengkapnya adalah sebagai berikut:

" Alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. "

1) Keterangan saksi

Ketentuan mengenai keterangan saksi diatur dalam pasal 1 butir 27 KUHAP yang berbunyi : "Keterangan saksi adalah, salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat


(64)

43 sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu".

2) Keterangan ahli

Dalam rangka membantu hakim rnemahami fakta-fakta materiil atau memperoleh kebenaran, materiil, dapat dihadirkan ahli yang diharapkan dapat membuat terang suatu hal. Pasal 1 butir 28 KUHAP manyatakan: "Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan".

3) Surat

Alat bukti surat diatur dalam pasal 187 KUHAP yang membagi alat bukti surat dalam , 4 (empat) jenis surat yaitu:

(a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk surat resmi yang dibuat olehpejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.

(b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan Perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai ha! yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi


(65)

44 tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

(c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Memperhatikan ketentuan pasal 186 beserta dengan penjelasannya dan pasal 187 huruf c KUHAP ini, ada pendapat yang menyatakan bahwa menyangkut keterangan ahli yang berupa laporan, terdapat sifat dualisme. Di satu sisi keterangan ahli diakui sebagai keterangan ahli (pasal 186 KUHAP dan penjelasannya) namun di sisi lain keterangan ahli,diakui sebagai bukti surat (pasal 187 huruf c).

(d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain contoh surat jenis ini adalah korespondensi, surat pernyataan dan sebagainya. 4) Petunjuk

Dalam pasal 188 ayat (1) KUHAP, yang dimaksud dengan petunjuk ada!ah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.


(66)

45 5) Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa diatur dalam pasal 189 KUHAP yang berbunyi:

(a) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan, atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

(b) Keterangan terdakwa yang diberikan, diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(c) Keterangan terdakwa ,hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

(d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Ada delapan kategori jenis-jenis bukti audit yang dapat dipilih auditor (Arens et al, 2012:200):

1) Pemeriksaan fisik (Physical examination) adalah perhitungan aktiva yang berwujud oleh auditor. Bahan bukti jenis ini sering dihubungkan dengan persediaan kas, tetapi dapat juga diterapkan untuk verifikasi efek-efek, wesel tagih dan aktiva tetap berwujud.


(67)

46 2) Konfirmasi (Confimation) digambarkan sebagai penerimaan jawaban tertulis maupun lisan dari pihak ketiga yang independen dalam memverifikasi akurasi informasi yang telah diminta auditor.

3) Dokumentasi (Documentation) biasanya disebut dengan pemeriksaan dokumen, yaitu merupakan pemeriksaan auditor atas dokumen dan catatan klien untuk mendukung informasi yang ada atau seharusnya ada dalam laporan keuangan.

4) Prosedur analitis (Analytical procedures) adalah menggunakan perbandingan dan hubungan untuk menentukan apakah saldo akun tersaji secara layak.

5) Tanya Jawab dengan klien (Inquires of the cliens) adalah mendapatkan informasi tertulis atau lisan dari klien dengan menjawab pertanyaan dari auditor.

6) Rekalkulasi (Recalculation) melibatkan pengecekan ulang atas sampel kalkulasi yang dilakukan oleh klien. Pengecekan ulang kalkulasi klien ini terdiri dari pengujian atas keakuratan perhitungan klien dan mencakup prosedur seperti perkalian faktur penjualan dan persediaan, penjumlahan jurnal dan buku tambahan, serta pengecekan kalkulasi beban penyusutan dan beban dibayar di muka.


(68)

47 7) Pelaksanaan Ulang (Reperformance) menyangkut pengecekan ulang sampel perhitungan dan perpindahan informasi yang dilaksanakan oleh klien selama periode yang diaudit.

8) Observasi (Observation) adalah penggunaan indera untuk menilai aktivitas klien. Selama menjalani penugasan dengan klien, auditor mempunyai banyak kesempatan untuk menggunakan inderanya (penglihatan, pendengaran, perasaan, dan penciuman) guna mengevaluasi berbagai item.

Variabel pengungkapan korupsi dirancang dengan merujuk pada bukti audit dan alat bukti hukum pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Pusdiklatwas BPKP, 2013):

a. Pengujian Fisik (Phsical Examination)

Dalam pengujian fisik ini, auditor APIP melakukan inspeksi ataupemeriksaan atau penghitungan terhadap fisik asset atau aktiva baik proyek, instansi, maupun badan usaha. Hasil pengujian fisik ini dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan fisik yang ditandatangani kedua belah pihak yaitu auditor dan auditan. Dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Fisik ini menunjukkan adanya kesepakatan tentang fakta yang dimuat di dalam BAP tersebut. Dari bukti audit Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Fisik ini, penyidik dapat mengubah atau mengembangkan menjadi alat bukti: keterangan saksi, apabila


(69)

48 auditan: mendengar, melihat, dan mengalami sendiri tindak pidana yang terjadi (Pasal I butir 27 KUHAP) atau menjadi keterangan terdakwa, apabila auditan ternyata terlibat dalam tindak pidana yang terjadi.

b. Bukti Konfirmasi (Confirmation)

Bukti konfirmasi didapat dengan cara mengajukan pertanyaan dalam rangka memperoleh penegasan dari pihak ketiga independen. Bukti konfirmasi ini lebih mengarah untuk diubah atau dikembangkan oleh penyidik sebagai alat bukti keterangan saksi, apabila ternyata mempunyai atau pernah mempunyai hubungan hukum dengan kegiatan auditan.

c. Bukti Dokumen (Document)

Dokumen merupakan jenis bukti audit yang didapat dari hasil pengujian yang dilakukan oleh auditor terhadap dokumen dan catatan yang mendukung informasi audit. Berkaitan dengan pembuktian menurut hukum pidana, maka bukti dokumen merupakan salah satu bukti audit yang dapat memenuhi-kriteria alat bukti surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP. Dengan adanya ketentuan perubahan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terbaru, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa selain dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, bukti petunjuk dapat diperoleh dari informasi dan dokumen. Namun


(70)

49 demikian yang dapat menemukan dan menentukannya sebagai bukti petunjuk pada saat persidangan. Dengan demikian bukti dokumen dapat dikembangkan oleh penyidik menjadi alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, serta dapat dipersiapkan oleh auditor untuk menjadi sumber atau referensi bagi hakim untuk menemukan alat bukti petunjuk.

d. Prosedur Analitis (Analytical Procedures)

Prosedur analisis merupakan jenis bukti audit yang diperoleh melalui perbandingan dan hubungan untuk menentukan apakah data yang ada menunjukan kewajaran. Bukti audit ini biasanya menghasilkan suatu indikasi, karenanya auditor perlu membuktikan kebenaran material indikasi tersebut. Prosedur Analisis adalah bukti audit yang memerlukan langkah auditan berupa penilaian auditor, sehingga lebih tepat apabila diajukan sebagai alat bukti keterangan ahli yang tertuang dalam LHAI.

e. Bukti Tanya Jawab dengan Auditan (Inquires of the Client)

Bukti audit ini tingkat keandalannya rendah karena berasal dari jawaban pihak auditan, sehingga informasi yang diperoleh cenderung memihak kepentingan auditan dan kurang independen. Bukti audit ini mungkin berupa pemyataan tidak pasti (hearsay) oleh karena itu auditor perlu mendapatkan lebih lanjut bukti audit yang nyata dengan cara melaksanakan


(1)

175

Tabel Latent Variable Correlations

Profesionalisme Keahlian Kompetensi

Bukti

Pengungkapan Korupsi

Profesionalisme

1,0000

0,7

212

0,47

16

0,55

29

Keahlian

0,0000

1,0

000

0,00

00

0,00

00

Kompetensi

Bukti

0,0000

0,4

879

1,00

00

0,00

0

Pengungkapan

Korupsi

0,0000

0,6

111

0,62

77

1,00

00

2.

Uji Reliabilitas

Tabel Cronbach Alpha

Cronbach Alpha

Profesionalisme

0,7972

Keahlian

0,8629

Kompetensi Bukti

0,8140

Pengungkapan

Korupsi

0,9043

Tabel Composite Reliability

Composite Reliability

Profesionalisme

0,8582

Keahlian

0,8953

Kompetensi Bukti

0,8684

Pengungkapan

Korupsi


(2)

176

B. Uji Inner Model

Gambar Inner Model Sebelum Modifikasi


(3)

177


(4)

178

1.

Uji Signifikan

Outer Weight (Mean, STDEV, T-Value)

Original Sample (O)

Sample Mean (M)

Standard Deviation (STDEV)

Standard Error (STERR)

T-Statistics (I0/STERRI)

PRO_1< PROF

0,3303 0,3375 0,074 0,074 4,4681

PRO_2 <- PROF

0,2072 0,1938 0,0572 0,0572 3,6244

PRO_3 <- PROF

0,2216 0,2206 0,0449 0,0449 4,9366

PRO_4 <- PROF

0,2406 0,2360 0,0709 0,0709 3,3929

PRO_5 <- PROF

0,3389 0,3457 0,0612 0,0612 5,5368

KH_2 <- KEAH

0,2196 0,2229 0,0433 0,0433 5,0678

KH_3 <- KEAH

0,2257 0,2270 0,0333 0,0333 6,7818

\KH_5 <- KEAH

0,1843 0,1846 0,0495 0,0495 3,7206

KH_6 <- KEAH

0,1819 0,1758 0,0385 0,0385 4,7255

KH_7 <- KEAH

0,1844 0,1874 0,0249 0,0249 7,4147

KH_8 <- KEAH

0,1863 0,1842 0,0299 0,0299 6,2113

KH_9 <- KEAH

0,1661 0,1629 0,0276 0,0276 6,0245

KB_1 <- KOMP

0,1663 0,1683 0,0410 0,0410 4,0594

KB_2 <- KOMP

0,2410 0,2447 0,0430 0,0430 5,5994

KB_3 <- KOMP

0,2813 0,2854 0,0410 0,0410 6,8650

KB_4 <- KOMP

0,3040 0,3035 0,0515 0,0515 5,8975

KB_5 <- KOMP

0,3220 0,3246 0,0448 0,0448 7,1818

PK_1 <- PGKPN

0,1853 0,1881 0,0221 0,0221 8,3896

PK_2 <- PGKPN

0,1787 0,1809 0,0259 0,0259 6,8915

PK_3 <- PGKPN

0,1909 0,2003 0,0200 0,0200 9,9334

PK_4 <- PGKPN

0,1909 0,1923 0,0183 0,0183 10,4526

PK_5 <- PGKPN

0,1641 0,1644 0,0155 0,0155 10,5683

PK_6 <- PGKPN

0,1719 0,1717 0,0202 0,0202 8,5045

PK_8 <- PGKPN


(5)

179

2.

Hasil Uji Hipotesis

Tabel Path Coefficients (Mean, STDEV, T-Value)

Original Original Sample (O)

Sample Mean (M)

Standard Deviation (STDEV)

Standard Error (STERR)

T-Statistics (I0/STERR)

P Value

PROF KOMP

0,2496 0,2760 0,1235 0,1235 2,0210 0,0370

PROF PGKPN

0,1309 0,1302 0,0756 0,0756 1,7268 0,0930

KOMP PGKPN

0,4119 0,4361 0,1322 0,1322 3,1163 0,0020

KEAH KOMP

0,3079 0,3132 0,1284 0,1284 2,3986 0,0160

KEAH PGKPN

0,3157 0,3070 0,1261 0,1261 2,5030 0,0110

3.

Evaluasi Model

Tabel R-Square

R-Square

Profesionalisme

Keahlian

Kompetensi Bukti

0,2679

Pengungkapan

Korupsi


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh peran komite audit, keahlian auditor dan profesionalisme auditor terhadap kualitas audit atas sistem informasi berbasis komputer dengan teknologi informasi sebagai variabel moderating

1 10 192

Analisis pengaruh orientasi profesional terhadap kinerja auditor, konflik peran sebagai variabel intervening

0 7 98

PENGARUH KOMPETENSI, INDEPENDENSI, DAN PROFESIONALISME TERHADAP KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA Pengaruh Kompetensi, Independensi, Dan Profesionalisme Terhadap Kualitas Audit Dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderasi (Studi Empiris pada Kantor Akuntan P

0 2 20

PENGARUH KOMPETENSI, INDEPENDENSI, PROFESIONALISME DAN PENGALAMAN KERJA TERHADAP KUALITAS AUDIT DENGAN Pengaruh Kompetensi, Independensi, Profesionalisme Dan Pengalaman Kerja Terhadap Kualitas Audit Dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderating (Studi

0 3 19

Pengaruh Profesionalisme Akuntan Forensik Terhadap Kompetensi Bukti Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus di Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Provinsi Jawa Barat).

1 1 22

Pengaruh Profesionalisme Akuntan Forensik terhadap Kompetensi Bukti Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus di Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Provinsi Jawa Barat).

0 1 29

PENGARUH KUALITAS LABA TERHADAP BIAYA MODAL DENGAN PENGUNGKAPAN SUKARELA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING

0 0 2

PENGARUH PENGALAMAN, KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI TERHADAP KINERJA AUDITOR DI SURABAYA DENGAN PROFESIONALISME SEBAGAI VARIABEL INTERVERNING - Perbanas Institutional Repository

0 1 21

PENGARUH PENGALAMAN, PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERHADAP PERTIMBANGAN TINGKAT MATERIALITAS LAPORAN KEUANGAN DENGAN PROFESIONALISME AUDITOR SEBAGAI VARIABEL INTERVENING - Perbanas Institutional Repository

0 0 22

PENGARUH PROFESIONALISME, PENGALAMAN, DAN KOMITMEN ORGANISASI TERHADAP KINERJA INTERNAL AUDITOR : KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING - Unika Repository

0 0 16