Pembentukan Biomassa Alga Produktivitas primer 1. Fotosintesis

8 Bacillariophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan Haptophyceae yang memegang peranan penting dalam total standing stok fitoplankton di laut. Akan tetapi kelompok fitoplankton yang mempunyai kelimpahan tertinggi di ekosistem laut adalah dari kelas diatom Sze 1993. Jenis fitoplankton yang sering dijumpai di laut dalam jumlah besar adalah Diatom dan Dinoflagellata Nybakken 1992. Sejalan dengan hal tersebut Kilham dan Hecky 1988 menyatakan bahwa fitoplankton lautan didominasi sejumlah jenis Chrysophyta yaitu Diatom, Cocolithophore, dan Silicoflagelata, serta Pyrrhophyta Dinoflagellata. Selain itu pula terdapat beberapa kelompok lain dari fitoplankton yang kadang-kadang melimpah , tetapi mereka diwakili oleh jenis yang sangat sedikit. Jenis tersebut meliputi Cyanophyta cyanobacteria, seperti contoh jenis-jenis dengan ukuran sel yang sangat kecil dari Synechococcus atau berkas-berkas besar dari filamen Oscillatoria Trichodesmium. Dari hasil penelitian Asriyana 2004 mengemukakan bahwa di perairan Teluk Kendari kelas yang mendominasi dari fitoplankton yaitu kelas Bacillariophyceae dan Dinophyceae, sejalan dengan Alianto 2006 mendapatkan bahwa jenis fitoplankton yang mendominasi di perairan Teluk Banten adalah Bacillariophyceae. Pada suatu perairan, dominasi suatu jenis fitoplankton dapat diganti oleh jenis yang lain, disebabkan berubahnya kondisi fisika-kimia perairan Goldman dan Horne 1983; Wetzel 1983. Kondisi lingkungan yang merupakan faktor penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, cahaya matahari, pH, kekeruhan, konsentrasi nutrien dan berbagai senyawa lainnya Nybakken 1992. Laju pertumbuhan fitoplankton di perairan estuari maupun perairan pantai menunjukkan respon yang berbeda-beda terhadap kondisi bio-fisika serta kimia perairan. Kondisi biogeokimia dimaksud antara lain berupa flushing Ferreira et al . 2005, salinitas Ferreira et al. 2005; Caroco et al. 1987, cahaya, unsur hara Ferreira et al. 2005; Smith 1984; Hecky dan Kilham 1988; Howarth 1988 maupun pemangsaan Ferreira et al. 2005; Levinton 1982.

2.1.3. Pembentukan Biomassa Alga

Menurut Parson et al. 1984; Geider dan Osborne 1992, biomassa dapat diartikan sama dengan standing stock yang didefinisikan sebagai konsentrasi 9 materi tumbuhan per unit volume gm -3 atau per unit area gm -2 . Biomassa biasanya diukur sebagai berat basah, berat kering, berat pengabuan atau karbon organik. Pada perairan laut fitoplankton memegang peranan terpenting sebagai produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang mengandung klorofil. Pigmen fitoplankton yang sering digunakan dalam mempelajari produktivitas perairan adalah klorofil-a Strickland dan Parsons 1965 diacu dalam Alianto 2006. Klorofil-a terdapat dalam jumlah banyak pada fitoplankton Harbone 1987, sehingga sering digunakan untuk mengukur biomassa fitoplankton Strickland dan Parsons 1965 diacu dalam Alianto 2006. Pembentukan biomassa fitoplankton ditentukan oleh proses fotosintesis. Grazing, ekspor dan ekskresi merupakan parameter lainnya yang mempengaruhi biomassa fitoplankton pada perairan Geider dan Osborne 1992; Cebrian dan Valiela 2002. Hal ini dapat direpresentasikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : Hasil = Fotosintesis bersih – Ekskresi – Pemangsaan – Ekspor Biomassa fitoplankton biasanya diukur dengan cara mengukur jumlah klorofil-a di perairan yang merupakan pigmen fotosintesis sehingga dapat digunakan sebagai parameter untuk mengukur produksi fitoplankton. Rata-rata kandungan klorofil-a adalah 1,5 dari total bahan organik pada alga. Oleh karena itu, jika kandungan klorofil-a diketahui maka biomassa fitoplankton di perairan yang bersangkutan dapat diduga dengan mengalikannya dengan faktor 67 Soil Water Conservation Society of Metro Halifax 2000 diacu dalam Kartamihardja dan Adriani 2003. Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi unsur hara. Unsur hara memiliki konsentrasi rendah dan berubah- ubah pada permukaan laut dan konsentrasi akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman Millero dan Sohn 1991. 2.2. Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Primer 2.2.1. Suhu