Uji Non-Autokorelasi atau Independensi Residual Independent

49 Dalam penelitian ini, gejala multikolinearitas dapat dilihat dari nilai korelasi antar variabel yang terdapat dalam matriks korelasi. Ghozali 2006:91 menyatakan jika antar variabel independen ada korelasi yang cukup tinggi umumnya di atas 0,9, maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas. Hasil uji multikolinearitas disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Uji Multikolinearitas dengan Matriks Korelasi PDRB SILPA PAD DAU DAK DBH PDRB 1.000000 0.663321 0.895806 0.818999 0.284851 0.673903 SILPA 0.663321 1.000000 0.517047 0.420595 0.113514 0.743917 PAD 0.895806 0.517047 1.000000 0.683358 0.174878 0.405015 DAU 0.818999 0.420595 0.683358 1.000000 0.358128 0.628118 DAK 0.284851 0.113514 0.174878 0.358128 1.000000 0.237170 DBH 0.673903 0.743917 0.405015 0.628118 0.237170 1.000000 Sumber: Hasil olahan software Eviews 7 Berdasarkan Tabel 4.2, dapat dilihat bahwa korelasi antara PDRB dan SiLPA sebesar 0,663321, korelasi antara PAD dan DAK sebesar 0,174878, dan sebagainya. Dari hasil pengujian multikolinearitas pada Tabel 4.2 dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat gejala multikolinearitas antar variabel independen. Gejala multikolinearitas terjadi apabila nilai korelasi antar variabel independen lebih besar dari 0,90 Ghozali, 2006:91.

4.2.2.3 Uji Non-Autokorelasi atau Independensi Residual Independent

Errors Uji independensi residual uji non-autokorelasi merupakan suatu uji untuk memeriksa apakah untuk setiap dua pengamatan residual saling berkorelasi atau tidak Field, 2009:220. Supranto 2005:151 mengartikan non-autokorelasi 50 sebagai tidak terjadinya korelasi antara kesalahan pengganggu yang satu dengan yang lainnya. Meskipun terjadinya autokorelasi terhadap estimator-estimator yang dihasilkan oleh metode ordinary least square OLS tetap tak bias unbiased, konsisten consistent, dan terdistribusi normal secara asimtotis, namun estimator- estimator tersebut tidak lagi efisien. Sebagai akibatnya, pada uji t, F, dan chi kuadrat tidak lagi sah untuk digunakan cannot be legitimately applied Gujarati, 2003:489. Asumsi mengenai independensi terhadap residual non-autokorelasi dapat diuji dengan menggunakan uji Durbin-Watson Field, 2009:220. Nilai statistik dari uji Durbin-Watson berkisar di antara 0 dan 4. Field 2009:220 menyatakan sebagai berikut: “Specifically, it Durbin-Watson tests whether adjacent residuals are correlated. The test statistic can vary between 0 dan 4 with a value 2 meaning that the residuals are uncorrelated. Nilai statistik dari uji Durbin-Watson yang lebih kecil dari 1 atau lebih besar dari 3 diindikasi terjadi autokorelasi. Field 2009:220-221 menyatakan sebagai berikut. “The size of the Durbin-Watson statistic depends upon the number of predictors in the model and the number of observations. For accuracy, you should look up the exact acceptable values in Durbin and Watsons 1951 original paper. As very conservative rule of thumb, values less then 1 or greater than 3 are definitely cause for concern; however, values closer to 2 may stil be problematic depending on your sample and model”. 51 Tabel 4.3 Uji Asumsi Non-Autokorelasi dengan Uji Durbin-Watson Dependent Variable: BM Method: Least Squares Date: 041315 Time: 21:49 Sample: 1 94 Included observations: 94 R-squared 0.924263 Mean dependent var 167302.0 Adjusted R-squared 0.919040 S.D. dependent var 165833.2 S.E. of regression 47185.38 Akaike info criterion 24.43311 Sum squared resid 1.94E+11 Schwarz criterion 24.62250 Log likelihood -1141.356 Hannan-Quinn criter. 24.50961 F-statistic 176.9520 Durbin-Watson stat 1.607924 ProbF-statistic 0.000000 Berdasarkan Tabel 4.3, nilai dari statistik Durbin-Watson adalah 1,607. Perhatikan bahwa karena nilai statistik Durbin-Watson terletak di antara 1 dan 3, maka asumsi non-autokorelasi terpenuhi. Dengan kata lain, tidak terjadi gejala autokorelasi yang tinggi pada residual. Cara lain yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah dengan uji Breusch-Godfrey BG Test. Dasar pengambilan keputusan adalah melihat angka probabilitas dari statistik BG, dengan ketentuan sebagai berikut: Jika nilai Prob. Chi-Square dari Obs R-squared ≥ 0,05, maka tidak terjadi autokorelasi. Jika nilai Prob. Chi-Square dari Obs R-sqaured 0,05, maka terjadi autokorelasi. 52 Tabel 4.4 Uji Autokorelasi dengan Uji Breusch-Pagan-Godfrey Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 1.320299 Prob. F2,85 0.2725 ObsR-squared 2.832205 Prob. Chi-Square2 0.2427 Sumber: Hasil olahan software Eviews 7 Berdasarkan Tabel 4.4, nilai Prob. Chi-Square dari Obs R-squared = 0,2427 ≥ 0,05, maka asumsi non-autokorelasi terpenuhi. Dengan kata lain, tidak terjadi gejala autokorelasi yang tinggi pada residual.

4.2.2.4 Uji Heteroskedastisitas

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara

5 90 92

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal Dengan Dana Alokasi Khusus Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara

2 91 90

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

2 39 85

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Anggaran Belanja Modal Pada Pemko/Pemkab Sumatera Utara

1 65 74

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

1 40 75

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi se Indonesia

0 36 72

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan - Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Moda

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten

0 0 10

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 12