2.534
1.522 1.45
0.381 2.457
0.041 1.193
0.384 0.5
1 1.5
2 2.5
3
k ada
r k lo
ro fi
l m
g g
F0 F2
F3 F4
F0 F2
F3 F4
Suji
SCC
Setelah proses netralisasi berlangsung, selanjutnya dilakukan penambahan enzim pankreatin, lipase dan bile ekstrak serta perlakuan
inkubasi selama 2 jam pada suhu 37 C. Penambahan enzim-enzim tersebut
adalah enzim –enzim yang terdapat dalam usus.
1. Profil Kadar Klorofil Selama Pencernaan in vitro
Berdasarkan hasil analisis kandungan total klorofil selama pencernaan in vitro pada ekstrak daun suji maupun SCC dengan perlakuan
tanpa kolesterol dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Adapun cara perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 1
. Pada perlakuan tanpa
penambahan kolesterol tidak dilakukan perhitungan kadar klorofil pada fraksi kolesterol karena tidak ada pemberian kolesterol.
Gambar 11. Kandungan klorofil ekstrak daun suji dan SCC tanpa perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in
vitro . Keterangan : F0 = fraksi awal, F2 = fraksi gastric, F3 =
fraksi digesta, F4 = fraksi dialisat
2.61 2.282
1.489 1.181
0.14 2.928 2.882
0.107 1.356
0.235 0.5
1 1.5
2 2.5
3 3.5
K ad
ar K lo
ro fi
l m
g g
S uji S CC
F0 F1
F2 F3
F4 F0
F1 F2
F3 F4
Gambar 12. Kandungan klorofil ekstrak daun suji dan SCC dengan perlakuan penambahan kolesterol selama pencernaan in vitro.
Keterangan : F0 = fraksi awal, F1 = fraksi awal+kolesterol, F2 = fraksi gastric, F3 = fraksi digesta, F4 = fraksi dialisat
Pada fraksi awal baik sampel ekstrak suji maupun sampel SCC memiliki kadar klorofil yang hampir setara yaitu 2.534 mgg untuk ekstrak
suji dan 2.457 mgg untuk larutan SCC. Pengukuran tersebut dilakukan secara spektrofotometri. Kesetaraan nilai kadar klorofil pada fraksi awal
tersebut didapatkan karena sebelumnya telah dilakukan kesetaraan. Pada fraksi selanjutnya kadar klorofil mengalami penurunan baik pada
perlakuan pemberian kolesterol maupun tanpa kolesterol. Diduga sebagian besar klorofil terdegradasi menjadi turunannya. Persentase penurunan
kadar klorofil dari tiap fraksi terhadap fraksi awal secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4 dan cara perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran
2.
Tabel 4. Persentase penurunan kadar klorofil terhadap fraksi awal selama pencernaan in vitro
Persentase Penurunan Kadar klorofil Terhadap Fraksi Awal
Sampel Dengan
Kolesterol Tanpa
Kolesterol
Suji-Fraksi awal F0 Suji-Fraksi awal + kolesterol F1
12.57 -
Suji-Fraksi gastric F2 42.95
39.94 Suji-Fraksi digesta F3
54.75 42.78
Suji-Fraksi dialisat F4 94.64
84.96 SCC-Fraksi awal F0
SCC-Fraksi awal + kolesterol F1 1.57
- SCC-Fraksi gastric F2
96.35 98.33
SCC-Fraksi digesta F3 53.69
51.45 SCC-Fraksi dialisat F4
91.97 84.37
Pengaturan kondisi pH 2 pada fase gastric sulit dicapai pada sampel ekstrak daun suji dibandingkan sampel SCC. Diduga komponen-
komponen yang terdapat pada sampel ekstrak daun suji memiliki kapasitas buffer. Akibatnya asam yang harus ditambahkan untuk mengatur kondisi
menjadi pH 2 pada sampel ekstrak daun suji lebih banyak dibandingkan dengan SCC. Diduga pada kondisi in vivo, hal ini akan memberi efek
positif yaitu menahan degradasi klorofil menjadi feofitin. Pada fraksi gastric atau fraksi lambung, kadar klorofil ekstrak daun
suji mengalami penurunan berkisar 39-42 dari kadar klorofil fraksi awal. Diduga sebagian besar klorofil terdegradasi menjadi turunannya akibat
perlakuan pemberian HCl dan pepsin. Kondisi asam pada pH 2 tersebut sangat mempercepat degradasi klorofil. Perubahan klorofil menjadi
turunannya ditandai dengan perubahan warna yang semakin coklat. Perubahan warna menjadi sangat jelas terlihat pada sampel ekstrak daun
suji dibandingkan sampel larutan SCC. Diduga klorofil berubah menjadi feofitin. Perubahan ekstrak daun suji selama pencernaan dapat dilihat pada
Gambar 13. Menurut hasil penelitian Ferruzi et al 2001, dikatakannya bahwa
hanya dalam waktu ½ jam pada fase lambung pH 2 lebih dari 95
kandungan klorofil dari pure daun bayam segar menjadi bentuk feofitinnya. Selanjutnya feofitin dimetabolisme oleh mikroflora usus antara
lain menjadi feoforbid.
Gambar 13. Ekstrak daun suji selama pencernaan in vitro A = fraksi awal, B = fraksi gastric, C = fraksi digesta, D =
fraksi dialisat Menurut Gross 1991, feofitin adalah klorofil bebas magnesium.
Feofitin a dan b secara mudah didapat dari klorofil dengan perlakuan asam, sehingga melepaskan magnesium. Dalam asam lemah ion Mg yang
ada dalam klorofil akan disubstitusi oleh ion H
+
yang akan menyebabkan berubahnya warna hijau menjadi coklat yaitu warna feofitin. Di samping
itu, pengaruh pemanasan akan menyebabkan denaturasi protein sehingga memudahkan terjadinya reaksi terhadap gugusan fitol, yang bila bereaksi
dengan asam mengakibatkan terlepasnya fitol dari molekul klorofil Hutchings, 1994.
Pengaruh pH lambung pada perubahan klorofil menjadi feofitin selama fase gastric dalam sistem pencernaan telah dikemukakan oleh
Ferruzi et al 2001. Berdasarkan penelitiannya dengan menggunakan pure bayam segar diketahui bahwa kandungan awal klorofil a dari pure
bayam segar tersebut adalah sekitar 77 dan klorofil b sekitar 23 Gambar 6. Dengan perlakuan pH 2 ternyata keduanya berubah menjadi
feofitin a dan b dengan persentase masing-masing 70 dan 30.
Kemudian pada pH 4 kecenderungan klorofil a dan b stabil dengan persentase klorofil a 72 dan klorofil b 22 sedangkan sisanya adalah
feofitin a dan feofitin b. Pada perlakuan pH 6, selama pencernaan klorofil a dan klorofil b relatif stabil. Hal ini menunjukkan bahwa klorofil sensitif
terhadap kondisi asam. Berbeda dengan ekstrak daun suji, pada larutan SCC penurunan
kadar klorofil pada fase gastric sangat tajam sekali yaitu 96-98. Hal tersebut tampak sekali pada Gambar 14 yang memperlihatkan perubahan
warna dari larutan SCC selama pencernaan in vitro. Penurunan kadar klorofil yang sangat rendah ini mungkin disebabkan karena kondisi asam
yang terjadi. Kondisi yang sangat asam tersebut tidak mengakibatkan perubahan kadar klorofil secara keseluruhan menjadi feofitin. Hal ini bisa
dibuktikan dengan naiknya kembali kadar klorofil pada fraksi digesta. Kondisi yang terjadi pada fraksi gastric di SCC adalah terjadinya gumpalan
klorofil yang bersifat reversible dimana gumpalan tersebut dapat larut kembali pada pH usus di fraksi digesta Gambar 14. Pengukuran kadar
klorofil maupun kolesterol dilakukan secara spektrofotometri. Untuk itu dilakukan tahap sentrifuse dan penyaringan sebelum pengukuran. Dengan
kata lain yang diukur adalah kadar klorofil yang terlarut. Pada fraksi gastric setelah disentrifuse dan disaring berwarna bening, sedangkan fraksi
digesta kembali berwarna hijau. Oleh karena itu, kadar klorofil pada fraksi gastric tersebut rendah. Kemungkinan yang terjadi pada larutan SCC fraksi
gastric tersebut adalah terbentuknya garam NaCl dari HCl dan SCC yang mengandung Natrium sehingga mengalami pengendapan.
Gambar 14. Larutan SCC selama pencernaan in vitro A = fraksi awal, B = fraksi gastric, C = fraksi digesta, D =
fraksi dialisat Setelah melalui fase lambung, digesta kemudian dinetralisasi secara
gradual oleh NaHCO
3
yang berdifusi keluar kantung. Kondisi netral tercapai setelah 1 jam diinkubasi bergoyang. Setelah kondisi netral tercapai
digesta kemudian diberi enzim pankreatin, ekstrak bile dan lipase. Netralisasi diperlukan agar enzim-enzim pankreatin dapat bekerja optimum
seperti halnya yang terjadi didalam tubuh. Pada fase intestinal ini, degradasi klorofil masih tetap berlangsung hingga sekitar 44-56 dari
fraksi awal. Namun, persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan fase gastric yaitu sekitar 20.68 dari kandungan klorofil fase lambung.
Penurunan masih tetap terjadi diduga karena perlakuan inkubasi. Studi mengenai stabilitas SCC dalam pencernaan secara in vitro
telah dilakukan oleh Ferruzi et al 2002. Dari studi tersebut diketahui bahwa CuIIklorin e
4
merupakan komponen utama dalam fraksi digesta. CuIIklorin e
6
memiliki kestabilan yang rendah selama pencernaan, namun dapat ditingkatkan kestabilannya apabila berada dalam matriks
saus apel. Hal ini diduga karena adanya antioksidan lain dan matriks apel yang melindungi keberadaannya.
Pada fraksi dialisat, kadar klorofil yang terhitung menunjukkan adanya penyerapan klorofil dan derivatnya dalam kantung dialisis sebagai
model penyerapan. Kadar klorofil terdialisis dari ekstrak daun suji perlakuan tanpa kolesterol hampir sama dengan kadar klorofil SCC
terdialisis yaitu sebesar 0.38 mgg Gambar 11. Sedangkan pada perlakuan dengan penambahan kolesterol kadar klorofil ekstrak daun suji
yang terdialisis lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar klorofil terdialisis dari SCC Gambar 12. Apabila dibandingkan kadar klorofil
yang terdialisis dari ekstrak daun dengan perlakuan tanpa kolesterol dan dengan perlakuan penambahan kolesterol diperoleh keterangan bahwa
kadar klorofil yang terdialisis dari ekstrak daun suji dengan perlakuan penambahan kolesterol lebih sedikit
. Rendahnya kadar klorofil terdialisis
dari ekstrak daun suji pada perlakuan dengan penambahan kolesterol diduga karena adanya interaksi antara klorofil ekstrak daun suji dan
kolesterol. Selain itu kemungkinan ekstrak daun suji memiliki komponen yang bisa mengikat kolesterol dibandingkan dengan SCC. Sedikitnya kadar
klorofil yang terhitung menunjukkan bahwa tidak semua klorofil dan derivatnya terserap oleh kantung dialisis.
2. Profil Kadar Kolesterol Selama Pencernaan in vitro