Implikasi Kebijakan HASIL ANALISIS

84

5.2.3 Analisis Hubungan Pendapatan dan Emisi per Kapita Gabungan Negara Maju dan Berkembang

Dari hasil estimasi koefisien gabungan 40 Negara Maju dan Negara Berkembang pada Tabel 5.5 terlihat bahwa koefisien pendapatan per kapita lnPDBP it yang dihasilkan bernilai positif, yakni 2,6841 FEM. Di sisi lain, koefisien pendapatan per kapita kuadrat lnPDBP it 2 menunjukkan tanda estimasi yang negatif, -0,112310 FEM. Selanjutnya dari nilai estimasi koefisen, diperoleh turning point, yakni nilai Pendapatan per Kapita yang memaksimumkan Emisi per Kapita sebesar US 154,753 FEM. Hasil estimasi dengan menggabungkan 40 Negara Maju dan Berkembang menunjukkan hasil yang sesuai dengan hipotesis EKC. Koefisien pendapatan per kapita lnPDBP it yang bernilai positif, dan koefisien pendapatan per kapita kuadrat lnPDBP it 2 yang menunjukkan tanda estimasi negatif. Hasil estimasi ini menghasilkan kurva yang berbentuk U terbalik sebagaimana hipotesis EKC. Berdasarkan Tabel 4.1, Tabel 4.2, Tabel 4.3, dan Tabel 4.4, pada tahun 2006 tingkat pendapatan per kapita di negara-negara maju dan berkembang masih di bawah turning point US 154,753. Artinya, pada tahun 2006, 40 negara maju dan berkembang yang dikaji belum ada yang melewati turning point, sehingga peningkatan pendapatan per kapita masih akan diikuti dengan peningkatan emisi per kapita.

5.3 Implikasi Kebijakan

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan pendapatan per kapita dan emisi per kapita di negara maju berpendapatan tinggi OECD dan Non OECD ini sesuai dengan tanda harapan teoritis dan menjelaskan bahwa emisi memiliki hubungan yang non-linier kuadratik dengan pendapatan per kapita. Hasil ini konsisten dengan hipotesis EKC berbentuk kurva U terbalik, dimana emisi CO2 akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita sampai mencapai turning point, dan selanjutnya emisi CO2 akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita setelah melewati turning point. S edangkan di negara berkembang berpendapatan menengah dan rendah menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu tidak sesuai dengan hipotesis EKC. 85 Perbedaan hasil analisis EKC di negara maju dan negara berkembang memiliki implikasi kebijakan penting bahwa fenomena yang terjadi di negara maju tidak dapat diterapkan di negara berkembang. Kebijakan mempercepat pertumbuhan ekonomi agar dapat melampaui titik balik turning point berdasarkan interpretasi dari hipotesis EKC yang terjadi di negara maju, akan memiliki efek negatif yang serius terhadap lingkungan di masa depan. Negara berkembang memiliki kondisi yang berbeda dengan negara maju. Kondisi lingkungan di negara berkembang dengan pendapatan menengah dan rendah saat ini perkembangannya jauh berbeda dari yang dihadapi negara-negara maju di masa lalu. Stok gas rumah kaca yang diwarisi negara-negara berkembang saat ini lebih tinggi daripada yang dihadapi negara-negara maju pada tahap awal perkembangan mereka. Demikian juga dengan k inerja ekonomi yang terjadi di negara maju sangat berbeda dengan negara berkembang. Hal ini dapat dianalisis dari nilai tambah sektor industri, pertanian terhadap PDB dan jasa terhadap PDB, serta kinerja ekspor dan impor yang terjadi di negara maju dan berkembang. Selain itu dapat diketahui juga dari konsumsi energi antara negara maju dan berkembang. Di Negara Maju Berpendapatan Tinggi OECD, nilai tambah sektor industri terhadap PDB selama periode 1970-2006 mencapai rata-rata sebesar 32,99, dimana Jepang mencapai rata-rata nilai tambah sektor industri terhadap PDB yang tertinggi sebesar 37,62. Nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB selama periode 1970-2006 untuk negara maju OECD mencapai rata-rata sebesar 4,85, dimana Korea Selatan mencapai rata-rata nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB yang tertinggi sebesar 13,22. Nilai tambah sektor jasa terhadap PDB untuk negara maju OECD mencapai rata-rata sebesar 12,88, dimana Perancis mencapai rata-rata nilai tambah sektor jasa terhadap PDB yang tertinggi sebesar 28,98. Kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB untuk negara maju OECD mencapai rata-rata sebesar 22,15, dimana Korea Selatan mencapai rata-rata kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB yang tertinggi sebesar 31,23. Adapun kinerja impor barang dan jasa terhadap PDB untuk negara maju OECD 86 mencapai rata-rata sebesar 22,27, dimana Korea Selatan mencapai rata-rata kinerja impor barang dan jasa terhadap PDB yang tertinggi sebesar 32,08. Sedangkan penggunaan energi di negara maju berpendapatan tinggi OECD selama tahun 1970-2006 mencapai rata-rata sebesar 365.972 KT Oil, bahkan di Amerika Serikat mencapai rata-rata per tahun sebesar 1.938.876 KT Oil. Konsumsi energi bahan bakar fosil di negara maju berpendapatan tinggi OECD mencapai rata-rata per tahun sebesar 84,54 dari total konsumsi energi, bahkan di Australia mencapai sebesar 93,23. Di Negara Maju Berpendapatan Tinggi Non OECD, nilai tambah sektor industri terhadap PDB selama periode 1970-2006 mencapai rata-rata sebesar 45,39, dimana Brunei Darusslam mencapai rata-rata nilai tambah sektor industri terhadap PDB yang tertinggi sebesar 68,07. Nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB selama periode 1970-2006 untuk negara maju Non OECD mencapai rata-rata sebesar 2,92, dimana Barbados mencapai rata-rata nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB yang tertinggi sebesar 7,13. Nilai tambah sektor jasa terhadap PDB untuk negara maju Non OECD mencapai rata- rata sebesar 0,06. Kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB untuk negara maju Non OECD mencapai rata-rata sebesar 74,66, bahkan Singapura mencapai rata-rata sebesar 213,75. Adapun kinerja impor barang dan jasa terhadap PDB untuk negara maju Non OECD mencapai rata-rata sebesar 61,58, bahkan Singapura mencapai rata-rata kinerja impor barang dan jasa terhadap PDB yang tertinggi sebesar 190,21. Penggunaan energi di negara maju berpendapatan tinggi Non OECD selama tahun 1970-2006 mencapai rata-rata sebesar 14.178 KT Oil, dimana Saudi Arabia merupakan yang paling tinggi penggunaan energi dengan rata-rata per tahun sebesar 64.399 KT Oil. Konsumsi energi bahan bakar fosil di negara maju berpendapatan tinggi Non OECD mencapai rata-rata per tahun sebesar 99,67 dari total konsumsi energi. Di Negara Berkembang Berpendapatan Menengah, nilai tambah sektor industri terhadap PDB selama periode 1970-2006 mencapai rata-rata sebesar 35,00, dimana China mencapai rata-rata nilai tambah sektor industri terhadap 87 PDB yang tertinggi sebesar 45,01. Nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB selama periode 1970-2006 untuk negara berkembang berpendapatan menengah mencapai rata-rata sebesar 17,73, dimana India mencapai rata-rata nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB yang tertinggi sebesar 30,53. Nilai tambah sektor jasa terhadap PDB untuk negara berkembang berpendapatan menengah mencapai rata-rata sebesar 3,37, dimana Brasil mencapai rata-rata nilai tambah sektor jasa terhadap PDB yang tertinggi sebesar 11,64. Kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB untuk negara berkembang berpendapatan menengah mencapai rata-rata sebesar 25,29, dimana Malaysia mencapai rata-rata kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB yang tertinggi sebesar 73,54. Kinerja impor barang dan jasa terhadap PDB untuk negara berkembang berpendapatan menengah mencapai rata-rata sebesar 25,30, dimana Malaysia mencapai rata-rata kinerja impor barang dan jasa terhadap PDB yang tertinggi selama tahun 1970-2006 sebesar 66,80. Penggunaan energi di negara berkembang berpendapatan menengah selama tahun 1970-2006 mencapai rata-rata sebesar 176.738 KT Oil, bahkan China mencapai rata-rata per tahun sebesar 860.308 KT Oil. Konsumsi energi bahan bakar fosil di negara berkembang berpendapatan menengah mencapai rata- rata per tahun sebesar 72,75 dari total konsumsi energi, bahkan Mesir mencapai prosentase konsumsi energi bahan bakar fosil dari total konsumsi energi adalah Mesir sebesar 92,14. Di Negara Berkembang Berpendapatan Rendah, nilai tambah sektor industri terhadap PDB selama periode 1970-2006 mencapai rata-rata sebesar 22,36, dimana Republik Demokratik Kongo mencapai rata-rata nilai tambah sektor industri terhadap PDB yang tertinggi sebesar 44,94. Nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB selama periode 1970-2006 untuk negara berkembang berpendapatan rendah mencapai rata-rata sebesar 39,19, dimana Lao PDR mencapai rata-rata nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB yang tertinggi sebesar 52,27. Nilai tambah sektor jasa terhadap PDB untuk negara berkembang berpendapatan rendah mencapai rata-rata sebesar 2,89, dimana Ghana mencapai rata-rata nilai tambah sektor jasa terhadap PDB yang tertinggi sebesar 7,99. 88 Kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB untuk negara berkembang berpendapatan rendah mencapai rata-rata sebesar 18,18, dimana Zimbabwe mencapai rata-rata kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB yang tertinggi sebesar 28,21. Kinerja impor barang dan jasa terhadap PDB untuk negara berkembang berpendapatan rendah selama tahun 1970-2006 mencapai rata-rata sebesar 26,81, dimana Afghanistan mencapai rata-rata kinerja impor barang dan jasa terhadap PDB yang tertinggi sebesar 35,90. Penggunaan energi di negara berkembang berpendapatan rendah selama tahun 1970-2006 mencapai rata-rata sebesar 7.278 KT Oil, dimana Bangladesh merupakan negara berkembang berpendapatan rendah yang paling tinggi penggunaan energi dengan rata-rata per tahun sebesar 12.871 KT Oil. Konsumsi energi bahan bakar fosil di negara berkembang berpendapatan rendah mencapai rata-rata per tahun sebesar 25,20 dari total konsumsi energi, dimana Bangladesh merupakan negara berkembang berpendapatan rendah yang tertinggi dalam prosentase konsumsi energi bahan bakar fosil dari total konsumsi energi sebesar 43,37. Selama periode tahun 1970-2006, nilai tambah sektor industri terhadap PDB di negara maju kelompok OECD dan Non OECD mengalami kecenderungan penurunan, sedangkan negara berkembang berpendapatan menengah dan berpendapatan rendah mengalami kecenderungan peningkatan selama periode tahun 1970 sampai 2006. Nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB di negara maju kelompok OECD dan Non OECD mengalami penurunan selama periode tahun 1970 sampai 2006. Demikian pula dengan nilai tambah sektor pertanian terhadap PDB di negara berkembang berpendapatan menengah dan berpendapatan rendah mengalami peningkatan selama periode tahun 1970 sampai 2006. Nilai tambah sektor jasa terhadap PDB di negara maju kelompok OECD dan Non OECD mengalami kecenderungan peningkatan yang sangat signifikan selama periode tahun 1970 sampai 2006. Nilai tambah sektor jasa terhadap PDB di negara berkembang berpendapatan menengah dan negara berkembang berpendapatan rendah mengalami kecenderungan peningkatan yang relatif kecil selama periode tahun 1970 sampai 2006. 89 Selain itu, selama periode tahun 1970-2006, kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB di negara maju dan negara berkembang mengalami kecenderungan meningkat selama periode tahun 1970-2006. Kinerja ekspor barang dan jasa di negara maju Non OECD memiliki kontribusi paling tinggi terhadap PDB selama tahun 1970-2006, dibandingkan negara maju OECD dan negara berkembang. Kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB terendah terdapat di negara berkembang berpendapatan rendah. Kinerja impor barang dan jasa terhadap PDB di negara maju dan berkembang mengalami kecenderungan meningkat selama periode 1970-2006. Kinerja impor barang dan jasa di negara maju Non OECD memiliki kontribusi paling tinggi, dibandingkan negara maju OECD dan negara berkembang. Kinerja ekspor barang dan jasa terhadap PDB terendah terdapat di negara maju OECD. Selama periode tahun 1970-2006, penggunaan energi paling tinggi selama periode tahun 1970 sampai 2006 adalah kelompok negara maju berpendapatan tinggi OECD, selanjutnya diikuti negara berkembang berpendapatan menengah. Penggunaan energi di negara maju berpendapatan tinggi OECD dan negara berkembang berpendapatan menengah terus mengalami peningkatan selama periode tahun 1970-2006. Perbandingan konsumsi energi yang digunakan negara maju dan negara berkembang selama tahun 1970-2006 sebagaimana pada Gambar 4.7. Konsumsi energi bersumber bahan bakar fosil di negara maju berpendapatan tinggi OECD relatif masih tinggi namun mengalami penurunan selama periode tahun 1970 sampai 2006. Adapun konsumsi energi bersumber bahan bakar fosil di negara maju berpendapatan tinggi Non OECD sebanyak 100 menggunakan bahan bakar fosil dengan kecenderungan penggunaan yang tetap selama periode tahun 1970 sampai 2006. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa emisi absolut di negara maju tetap tinggi dan cenderung meningkat kendati dengan tingkat pertumbuhan emisi per unit PDB yang cenderung menurun untuk negara maju. Hal ini memberikan i mplikasi kebijakan agar setiap negara dapat memperbaiki penggunaan materialnya sehingga mampu mereduksi emisi per unit PDB dari waktu-waktu. Dalam rangka mengurangi emisi absolut yang terus meningkat di negara maju dan berkembang seiring dengan meningkatnya pendapatan, maka negara maju dan 90 negara berkembang harus merespon kebijakan pembangunan ekonomi dengan melakukan pembangunan ekonomi rendah karbon. Instrumen kebijakan diperlukan untuk memperbaiki penggunaan material yang mampu mereduksi emisi per unit PDB dari waktu ke waktu. Instrumen harga energi harga energi mengikuti harga ke-ekonomi-an misalnya, dapat dipergunakan untuk meningkatkan upaya efisiensi energi dan pemeliharaan lingkungan. Instrumen congestion charge, yang sudah dilakukan di banyak kota- kota besar negara-negara lain, diterapkan dalam pengurangan kepadatan lalu lintas jalan raya sambil sekaligus menurunkan emisi karbon. Juga, pengenaan berbagai bentuk dari carbon taxes. Pendapatan dari pajak karbon dengan earmarking, misalnya, juga dapat turut membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan termasuk lingkungan hidup. Instrumen kebijakan fiskal memegang peranan yang sangat penting untuk memperbaiki penggunaan material yang mampu mereduksi emisi per unit PDB dari waktu ke waktu. Kementerian Keuangan 2010 telah mengembangkan instrumen fiskal untuk penurunan emisi GRK sektor energi. Hasil simulasi yang dikembangkan menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang, penghapusan subsidi BBM akan mengakibatkan pergeseran penggunaan BBM fosil -1,38 persen dan gas alam -3,06 persen ke batu bara +3,53 persen, geothermal +0,51 persen, dan PLTA 0,41 persen. Emisi diprediksi akan turun 5,79 persen. Sementara itu, penghapusan subsidi listrik akan mengakibatkan pergeseran penggunaan batubara -0,20 persen, geothermal -0,08 persen, dan PLTA -0,18 persen ke BBM fosil +0,29 persen dan gas alam +0,16 persen. Emisi diprediksi akan turun 0,92 persen. Kebijakan penghapusan subsidi BBM dan subsidi listrik sekaligus akan meningkatkan PDB sebesar 0,48 persen Kementerian Keuangan 2010 juga telah menyimpulkan bahwa kebijakan pajak karbon menetapkan pajak pembelian bahan bakar berbasis fosil, yang terdiri dari batubara, minyak, dan gas bumi, dengan tarif pajak yang ditentukan berdasarkan emisi karbonnya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan pengenaan pajak karbon sebesar 23,7 persen untuk batu bara, 1,8 persen untuk gas alam dan 2,0 persen untuk BBM fosil, akan mampu mengurangi emisi sebesar 7,36 persen, dan meningkatkan PDB sebesar 0,02 persen. Dalam jangka panjang 91 pajak karbon akan menyebabkan pergeseran penggunaan bahan bakar dari batubara -3,17 persen ke BBM fosil +2,07 persen, gas alam +0,58 persen, PLTA +0,29 persen, dan Geothermal 0,23 persen. Adapun kebijakan gabungan antara penghapusan subsidi BBM, listrik dan pengenaan pajak karbon akan mampu mengurangi emisi sebesar 14,00 persen dan meningkatkan PDB sebesar 0,44 persen, namun konsumsi rumah tangga menurun sebesar 1,74 persen. Dalam jangka panjang kebijakan ini akan menyebabkan pergeseran dari gas alam -2,49 dan batubara -0,18 persen ke BBM fosil +1,40 persen, PLTA +0,56 persen, dan Geothermal 0,71 persen. Dalam jangka panjang, kebijakan- kebijakan tersebut tidak berpengaruh terhadap penciptaan kesempatan kerja. Instrumen kebijakan fiskal telah diterapkan di beberapa negara dalam merespon penurunan gas rumah kaca yang mengarah pada pembangunan rendah emisi. UNEP 2009 dalam paper Green Economy, menyampaikan bahwa Cina telah mengalokasikan anggaran sebesar 12 dari US 586 milyar paket stimulusnya untuk energi efisiensi, peningkatan kualitas lingkungan, meningkatkan 2 dua kali lipat pendanaan untuk pembangunan transportasi perkereta apian low carbon emission, pembangunan jaringan listrik baru sebesar US 70 milyar. Jerman telah melakukan pembangunan ekonomi hijau dengan meningkatkan pendanaan yang tersedia sebesar US 3,78 milyar untuk membiayai renovasi untuk bangunan agar menjadi bangunan hijau, mempercepat investasi pada transportasi dan mensubsidi pengembangan pembangunan per-keretaapi-an, pengelolaan air, mengurangi pajak untuk bangunan hijau dan memberikan keringanan pajak keuntungan untuk kendaraan yang ramah lingkungan. Korea Selatan telah menetapkan “Green New Deal”, dimana pemerintah akan menginvestasikan US 38 milyar untuk 4 tahun mendatang untuk “perencanaan pertumbuhan hijau” yang terdiri dari 36 proyek besar yang terdiri dari program pemulihan 4 daerah aliran sungai yang utama, membuat jalan sepeda, meningkatkan sampai 68.000 kendaraan yang ramah lingkungan, dan mengganti sebanyak 20 lampu-lampu untuk fasilitas umum menjadi lampu hemat energi dan lain sebagainya. 92 93 VI.KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan