1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan tuna Thunnus sp. merupakan salah satu komoditas perikanan Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan mampu menembus pasar
internasional. Potensi ikan tuna di perairan Indonesia masih cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan volume produksi ikan tuna pada tahun 2007
mencapai 191.558 ton. Volume produksi ikan tuna ini naik 20,17 bila dibandingkan dengan volume produksi ikan tuna pada tahun 2006 DKP 2008
a
. Volume ekspor ikan tuna, cakalang, dan tongkol pada tahun 2007 mencapai
121.316 ton atau naik 32,12 bila dibandingkan dengan volume ekspor ikan tuna, cakalang, dan tongkol pada tahun 2006 DKP 2008
b
dan meningkat sebesar 203.269 ton pada tahun 2009 dan 207.100 ton pada tahun 2010 KKP 2010.
Produksi tuna Indonesia yang besar dan memiliki pasar yang besar masih menemui beberapa kendala dalam perdagangan. Kasus penolakan terjadi pada
produk tuna Indonesia di negara importir diakibatkan oleh permasalahan kemanan pangan, terutama oleh kadar histamin yang melampaui batas. Food and Drugs
Administration Amerika Serikat US-FDA melaporkan terdapat 8 kasus penolakan tuna Indonesia pada tahun 2009 akibat kadar histamin yang melebihi
ambang batas keamanan pangan FDA 2010. Rapid Alert System for Food and Feed RASFF Uni Eropa pada tahun 2007 mencatat terdapat 22 kasus impor tuna
Indonesia yang mengandung histamin melebihi batas keamanan pangan EC 2007 dan sebanyak 7 kasus penolakan tuna Indonesia sepanjang tahun 2010
akibat kesalahan penanganan dan kadar histamin yang melebihi batas EC 2011. Histamin terbentuk karena adanya kesalahan selama proses penanganan
dan pengolahan. Jika pada saat penangkapan tidak ditangani dengan tepat maka histidin yang terkandung pada ikan jenis scombroid tersebut dapat diubah menjadi
senyawa toksik yang disebut dengan histamin Dalgaard 2008. Keracunan histamin ditandai dengan adanya gejala klinis seperti peradangan kulit, mual,
muntah, diare, kram perut, tekanan darah rendah, sakit kepala, kesemutan, dan gangguan pernapasan. Gejala yang paling terlihat adalah munculnya tanda
kemerahan pada wajah dan leher yang menyebabkan rasa panas yang tidak nyaman New Zealand Ministry of Health 2001.
Penanganan adalah faktor kunci untuk menghambat terbentuknya histamin pada tuna. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi 20
°
C. Pendinginan dan pembekuan yang cepat segera setelah ikan mati merupakan
tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan histamin Taylor dan Alasalvar 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan
histamin akan terhambat pada suhu 0
°
C atau lebih rendah Price et al. 1991. Uni Eropa melalui European Comission EC menentukan bahwa suhu lebur es
melting ice, yakni 0-1
°
C merupakan suhu yang tepat dalam penanganan tuna EC 2004, sedangkan Food And Drug Administration FDA menetapkan
batas kritis suhu untuk perkembangan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4
°
C FDA 2001.
Industri tuna Indonesia menerapkan penanganan tuna dengan suhu rendah untuk mencegah terbentuknya histamin. Suhu rendah menuntut pengeluaran biaya
yang tidak sedikit, khususnya di negara dengan iklim tropis seperti Indonesia yang mempunyai suhu ruang yang lebih tinggi dibandingkan negara dengan iklim
sub tropis, sedang, atau dingin. Biaya penurunan suhu yang mahal mengakibatkan timbulnya resiko suhu penanganan tuna yang tidak tepat sehingga kadar histamin
produk tuna Indonesia melebihi batas. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menganalisis suhu penanganan tuna yang optimal di Indonesia yang
berkorelasi dengan kadar histamin yang terbentuk.
1.2 Tujuan