Analisis Diskriminan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Berzakat Berinfak dan Pemilihan Tempat Membayar Zakat (Studi Kasus: Kabupaten Brebes)

(1)

1.1 Latar Belakang

Negara-negara maju memiliki perbedaan dengan negara-negara sedang berkembang antara lain dalam hal kemiskinan dan distribusi pendapatan. Di negara maju jauh lebih baik dan mumpuni dibandingkan negara sedang berkembang, baik secara statistik kemerataannya (perbedaan kaya dan miskin, majikan dan buruh, antardaerah, antarsektor) maupun kapasitas secara institusi untuk mengatasi ketimpangan. Kemiskinan adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan ketidakmerataan pendapatan yang diterima oleh pemilik faktor produksi. Di Eropa Utara dan Barat yang sering dijadikan model negara kesejahteraan sangat terkenal dengan sistem jaminan sosial dikombinasikan dengan politik fiskal dan moneter serta gerakan buruh dan koperasinya. Di Amerika dan Kanada, kelembagaannya memang parsial tapi terdapat lembaga sosial dan LSM yang dikombinasikan dengan koperasi. Sistem inilah yang mampu menciptakan sistem perlindungan yang efektif, dan produktif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Di Jepang tingkat kesejahteraan petani, nelayan, buruh secara empiris salah satu yang terbaik di dunia karena kesejahteraan rakyat merupakan indikator kinerja perusahaan dan pemerintah daerah (Damanhuri, 2010).

Indonesia sebagai salah satu negara yang termasuk negara sedang berkembang memiliki jumlah penduduk miskin mencapai 31,9 juta orang atau 13,3 persen dari total jumlah penduduk Indonesia diukur menggunakan garis kemiskinan Rp 233.740per kapita per bulan denganindeks gini (ukuran distribusi pendapatan) sebesar 0,33 (BPS, 2011). Kemiskinan ini merupakan masalah yang bukan saja dilihat sebagai fenomena ekonomi tetapi juga sebagai masalah agama, sosial, politik dan keamanan. Ini dikarenakan kemiskinan merupakan penyakit sosial yang paling dahsyat bahkan dapat dikatakan sebagai musibah dan bencana yang harus segera ditanggulangi.

Islam sebagai agama yang mayoritas dianut penduduk Indonesia telah memberikan solusi untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial dengan


(2)

2

zakat. Zakat memiliki dimensi sosial karena membayar zakat bertujuan mengangkat kehidupan kaum miskin menjadi orang yang sejahtera serta mempersempit jarak antara kaum kaya dan kaum miskin (Qardhawi, 1995).

Kondisi pengumpulan dana zakat di Indonesia saat ini masih di bawah kebutuhan untuk mengeluarkan umat Islam dari kemiskinan. Padahal jika dilihat dari potensi zakat penduduk muslim Indonesia yang wajib zakat sangat besar. Penelitian Badan Amil Zakat Nasional dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB mengungkapkan potensi zakat nasional sebesar Rp 217.000.000.0000,00 setara dengan 3,4 persen dari total PDB. Potensi ini terdiri dari potensi zakat rumah tangga secara nasional, potensi zakat perusahaaan industri menengah dan besar nasional serta potensi zakat tabungan secara nasional. Detail potensi zakat dari tiga kelompok tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.1 Potensi zakat nasional

Keterangan Potensi Zakat Persentase terhadap PDB Potensi Zakat Rumah

Tangga

Rp 82, 7 triliun 1,30 %

Potensi Zakat Industri Swasta

Rp 114, 89 triliun 1,80 %

Potensi Zakat BUMN Rp 2,4 triliun 0,04%

Potensi Zakat tabungan Rp 17 triliun 0,27 % Total Potensi Zakat

Nasional

Rp 217 triliun 3,40 %

Sumber : Riset BAZNAS dan FEM IPB (2011)

Potensi zakat rumah tangga didapat dari total rumah tangga yang memiliki penghasilan diatas batas (nishab) zakat pertanian, yaitu 524 kg beras dengan kadar 2,5 persen sesuai dengan kebijakan BAZNAS yang menganalogi zakat penghasilan dengan nishab zakat pertanian dan zakat emas perak untuk kadarnya. Persentase zakat ini adalah 1, 3 persen dari total PDB. Zakat industri swasta, BUMN didapat dari 2,5 persen dari laba yang dihasilkan perusahaan-perusaan di industri tersebut tanpa laba dari perusahaan produk haram. Potensi zakat industri sebesar 117,29 triliun atau setara dengan 1,84 persen dari total PDB. Potensi zakat tabungan adalah potensi zakat dari jumlah dana tabungan yang dimiliki nasabah


(3)

dengan jumlah melebihi nishab di bank BUMN dan umum serta deposito dan giro di bank syariah.

Dari potensi zakat nasional yang dimiliki Indonesia, zakat yang berhasil dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) baru mencapai 0,005 persen dari seluruh potensi zakat nasional. Berdasarkan Beik dalam Kusuma (2009), dana zakat yang berhasil dikumpulkan untuk wilayah Indonesia sekitar 0,02 persen dari PDB. Data penerimaan dana zakat oleh Badan Amil Zakat Nasional ditunjukkan oleh tabel 2.

Tabel 1.2. Total dana zakat, infak dan shadaqah nasional

Tahun Total Zakat

(Milyar Rupiah) Pertumbuhan (%) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 68.39 85.28 150.09 295.52 373.17 740.00 920.00 - 24.70 76.00 96.90 26.28 98.30 24.32

2009 1100.00 19,57

2010 1500.00 36,36

Sumber : Badan Amil Zakat Nasional (2011)

Dari tabel 1.2 dapat terlihat bahwa dana zakat yang terkumpul mengalami pertumbuhan yang signifikan. Kenaikan dana zakat yang terkumpul dari tahun 2002 - 2010 mencapai 1000 persen lebih dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 24 persen. Ini menandakan jumlah dana zakat yang terkumpul masih bisa ditingkatkan agar jarak antara potensi zakat dan realisasinya tidak terlalu jauh.

Jika dilihat dari wilayah negara Indonesia yang termasuk negara sedang berkembang, salah satu kabupaten dengan kondisi tingkat kemiskinan yang tinggi adalah Kabupaten Brebes. Persentase penduduk miskin Kabupaten Brebes pada tahun 2008 mencapai 25,98 persen dan pada tahun 2009 sebesar 24,39 persen dengan garis kemiskinan sebesar Rp 219.119 (BPS, 2011). Artinya sekitar seperempat dari seluruh penduduk Kabupaten Brebes dalam kondisi miskin. Dari


(4)

4

seluruh keluarga di Kabupaten Brebes, jumlah keluarga yang termasuk kategori pra sejahtera mencapai 106.989 kepala keluarga atau 21,43 persen dari total keluarga (BPS, 2010)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Brebes merupakan kabupaten dengan IPM terendah di Jawa Tengah dari 35 kabupaten di Jawa Tengah. IPM menunjukkan tingkat kemajuan manusia secara umum mencakup tingkat pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Dengan melihat perkembangan angka IPM tiap tahun, kemajuan yang dicapai Kabupaten Brebes tidak terlalu signifikan dari 67,08 pada tahun 2008 menjadi 67,69 pada tahun 2010. Rendahnya IPM ini mencerminkan kemajuan bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang masih rendah.

Di sisi lain, pada tahun yang sama produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Brebes menempati urutan keempat tertinggi di Jawa Tengah dan urutan tertinggi pertama di Karasidenan Pekalongan. Kontribusi PDRB Kabupaten Brebes sekitar tiga hingga empat persen terhadap PDRB Jawa Tengah. Total Produk Domestik Bruto (PDRB) Kabupaten Brebes pada tahun 2009 sebesar Rp 2.532.516.701,45 dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar Rp 7.162.981,23. Sektor pertanian menjadi sektor penting dengan kontribusi diatas 50 persen. Dari tahun ke tahun kontribusi sektor pertanian mengalami peburunan, sebaliknya sektor industri pengolahan mengalami kenaikan diiringi sektor perdagangan dan sektor jasa. Dilihat dari data kegiatan ekspor dan impor, nilai ekspor Kabupaten Brebes melebihi nilai impornya. Nilai ekspor mencapai 5,475 triliun dan nilai impor mencapai 2,923 triliun (BAPPEDA, 2010)

Berdasarkan data PDRB Kabupaten Brebes ini sebenarnya Kabupaten Brebes memiliki potensi untuk meningkatkan kemajuan manusia di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan mengurangi ketimpangan pendapatan di wilayah Kabupaten Brebes. Dengan sistem pengambilan dana zakat yang baik dan pendayagunaan zakat yang optimal maka fungsi zakat untuk mengentaskan kemiskinan kemungkinan besar dapat terwujud. Oleh karena itu organisasi pengelola zakat yang diberikan amanah mengumpulkan zakat perlu mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi individu untuk membayar zakat


(5)

sehingga dari dana yang terkumpul dapat menjalankan program-program untuk mengentaskan kemiskinan.

1.2 Rumusan Masalah

Dana zakat yang terkumpul dapat disalurkan dalam bentuk dana konsumtif seperti pemenuhan kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan dan dana produktif seperti modal usaha, pemberdayaan ekonomi sehingga dapat mendorong penduduk miskin memiliki penghasilan tetap. Semakin besar dan zakat yang dikumpulkan maka peluang keberhasilan program dari dana zakat semakin besar.

Dana yang terkumpul oleh Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten Brebes pada tahun 2010 baru mencapai Rp 821.387.060,00. Selama ini Badan Amil Zakat Kabupaten Brebes mengalami kesulitan mengumpulkan dana zakat dari masyarakat muslim di kabupaten tersebut. Sebanyak 99 persen wajib zakat (muzzaki) yang membayar ke BAZ adalah pegawai negeri sipil. Hal ini disebabkan adanya surat edaran dari Bupati Kabupaten Brebes tentang pemotongan gaji secara langsung sebesar 2,5 persen sebagai zakat penghasilan pada gaji ketigabelas disalurkan ke Badan Amil Zakat Kabupaten. Oleh karena itu ada beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana pengaruh faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keimanan, penghargaan, althurism (kepekaan sosial), kepuasan, organisasi, infak terhadap partisipasi berzakat ?

2. Bagaimana pengaruh faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keimanan, penghargaan, althurism (kepekaan sosial) organisasi, frekuensi infak terhadap rutinitas berinfak ?

3. Bagaimana pengaruh faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keimanan, penghargaan, althurism (kepekaan sosial), kepuasan, organisasi dan keberadaan organisasi pengelola zakat terhadap pemilihan tempat membayar zakat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah:


(6)

6

1. Menganalisis faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keimanan, penghargaan, althurism (kepekaan sosial), kepuasan, organisasi, infak dalam memengaruhi partisipasi berzakat.

2. Menganalisis faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keimanan, penghargaan, althurism (kepekaan sosial) organisasi dan frekuensi infak dalam memengaruhi rutinitas berinfak.

3. Menganalisis faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keimanan, penghargaan, althurism (kepekaan sosial), kepuasan, organisasi dan keberadaan organisasi pengelola zakat dalam memengaruhi pemilihan tempat membayar zakat.

1.4 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pemerintah, masyarakat, akademisi dan organisasi pengelola zakat.

1. Bagi pemerintah: dapat menjadi pertimbangan untuk membuat kebijakan dalam pengembangan zakat

2. Bagi masyarakat: dapat memberikan gambaran faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi membayar zakat dan meningkatkan partisipasi dalam membayar zakat.

3. Akademisi: dapat membantu dalam menambah wawasan dan keilmuan mengenai zakat.

4. Organisasi pengelola zakat: dapat memberikan masukan untuk meningkatkan pengumpulan dana zakat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengambil studi kasus di Kabupaten Brebes. Populasi dalam penelitian ini adalah individu muslim yang diperkirakan wajib zakat (muzzaki) yang dijadikan contoh sebanyak 100 orang yang tinggal di perumahan dan perkampungan di Kecamatan Brebes, Kecamatan Bulakamba, dan Kecamatan Tanjung.


(7)

2.1 Pengertian Zakat

Zakat adalah kewajiban yang dipandang dari segi moral dan agama sangat mutlak dilaksanakan. Zakat merupakan hak fakir dan miskin dalam kekayaan orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan sebenarnya yaitu Allah SWT. Besarnya batas harta yang harus dibayarkan zakatnya, besar harta yang dibayar, batas-batasnya, syarat-syarat, waktu dan cara pembayaran sudah ditentukan.

Menurut Qardhawi (1993) kewajiban zakat ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia tetapi harus dipikul tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya oleh pemerintah melalui amil. Kekayaan zakat tidak boleh diserahkan penggunaannya kepada pihak berwenang atau pemuka agama tetapi sudah ditetapkan orang-orang yang berhak menerimanya seperti fakir miskin dan enam golongan lainnya seperti orang yang terlilit hutang, terlantar dalam perjalanan di jalan Allah, orang yang baru masuk Islam (muallaf) yang dibujuk hatinya, hamba sahaya, para amil dan jihad di jalan Allah. Zakat bukanlah sekedar bantuan makanan sewaktu-waktu untuk sedikit meringankan kehidupan orang miskin, tetapi zakat bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan, menjadi berkecukupan selamanya dan mengusahakan orang miskin mampu memperbaiki sendiri kehidupannya.

Zakat adalah instrumen penting bagi keadilan sosial untuk peningkatan kemakmuran di dunia ini dan juga menyebabkan peningkatan prestasi agama yang selanjutnya sebagai pembayaran yang memurnikan orang dari dosa-dosa (Aziz,1987)

Pihak yang wajib membayar zakat adalah semua muslim dewasa yang sudah terkena ketentuan membayar zakat. Berdasarkan Qardhawi (1993), syarat-syarat kekayaan yang wajib zakat antara lain:

1. Harta tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan halal. Harta yang haram baik secara subtansi benda maupun cara mendapatkannya, tidak dapat dikenakan kewajiban zakat, karena Allah SWT tidak akan memerimanya. Dalam hadis Shahih Bukhari menguraikan bahwa zakat tidak akan menerima dari harta


(8)

8

yang didapatkan dengan cara menipu kecuali dari hasil usaha yang halal dan bersih.

2. Harta terus berkembang atau berpotensi untuk dikembangkan seperti melalui kegiatan usaha, perdagangan, pembelian saham atau ditabungkan baik dilakukan sendiri maupun orang lain. Pengertian berkembang itu terdiri dua macam konkret dan tidak konkret. Konkret artinya harta dikembangbiakan, diusahakan, diperdegangkan dan sejenis dengannya. Tidak konkret artinya harta tersebut berpotensi berkembang, baik berada di tangannya sendiri maupun di tangan orang lain, tetapi atas namanya. Kesimpulan dari penjelasan tersebut, setiap harta yang berkembang atau berpotensi untuk dikembangkan, termasuk ke dalam objek pajak.

3. Milik penuh yaitu kekayaan itu di bawah kontrol dan kekuasaannya. Artinya kekayaan tersebut harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya hak orang lain, dapat digunakan, dan manfaatnya dapat dinikmati. Jika kekayaan tersebut tidak memiliki pemilik seperti kekayaan milik pemerintah maka tidak wajib membayar zakat. Tanah wakaf yag diberikan kepada fakir miskin, masjid, pejuang, anak yatim, sekolah dan sebagainnya maka zakat atasnya tidak wajib. Untuk harta imbalan dan simpanan pegawai, jika harta ini merupakan pemilikan penuh maka kedudukannya sama seperti harta yang dikuasai sehingga zakatnya wajib dikeluarkan setiap tahun bila jumlahnya sampai batas wajib zakat. Harta tersebut harus mencapai nishab yaitu jumlah minimal yang menyebabkan harta terkena kewajibab zakat. Tidak ada kewajiban berzakat jika harta yang dimilikinya dibawah lima ekor unta atau empat puluh ekor kambing atau di bawah 200 dirham uang perak atau di bawah lima kwintal bijian, buah-buahan dan hasil-hasil pertanian. Menurut Syekh Dahlawi, perhitungan itu sesuai dengan kebutuhan minimal rumah tangga dalam setahun.

4. Sumber-sumber zakat tertentu, seperti perdagangan, peternakan, emas dan perak, harus berada atau dimiliki ataupun diusahakan oleh muzzaki dalam tenggang waktu satu tahun sedangkan zakat pertanian, tidak terkait dengan ketentuan haul (berlalu waktu satu tahun), ia harus dikeluarkan pada saat memetiknya atau memanennya jika mencapai nishab.


(9)

5. Syarat kewajiban zakat setelah terpenuhi kebutuhan pokok atau dengan kata lain, zakat dikeluarkan setelah terdapat kelebihan dari kebutuhan hidup sehari-hari yang terdiri atas kebutuhan rutin. Kebutuhan rutin yang dimaksud adalah kebutuhan untuk ketahanan hidupnya seperti makanan, minuman, perumahan, dan alat-alat yang diperlukan sebagai ilmu pengetahuan, alat-alat kerja dan lain-lain.

2.2 Pengertian Infak

Infak berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu harta untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. (Hafiduddin, 1998) Infak sama artinya dengan shadaqah berupa materi.

Perbedaan dengan zakat antara lain jika zakat ada nisabnya infak tidak mengenal nisab. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi atau rendah, saat lapang atau sempit sesuai dengan surat Ali Imran : 134. Jika zakat harus diberikan kepada mustahik tertentu infak boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang sedang dalam kebajikan sesuai dengan surat Al Baqarah : 215.

Hal yang perlu diperhatikan, jika seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat dianjurkan untuk berinfak atau bersedekah. Keutamaan berinfak antara lain ciri utama orang yang bertakwa (Surat Al-Baqarah: 3 dan Surat Ali Imran: 134), ciri mukmin yang sungguh-sungguh imannya (Surat Al-Anfal: 3-4), ciri mukmin yang mengharap keuntungan abadi (Surat Al-Faatir:29). berinfak akan mlipatgandakan pahala di sisi Allah (Surat Al- Baqarah: 262). (Hafidhuddin, 1998)

2.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Berzakat dan Berinfak a. Kondisi demografis

Penelitian telah menemukan pengaruh demografis terhadap perilaku muslim dalam membayar zakat. Dengan menggunakan regresi logistik


(10)

10

Hairunnizam et al. (2005) menguji tiga belas faktor yang mungkin mempengaruhi pembayaran zakat penghasilan di Malaysia. Dengan menerapkan analisis regresi logistik, mereka menemukan bahwa lima faktor secara signifikan berpengaruh pada membayar zakat penghasilan. Faktor-faktor ini meliputi usia, perkawinan status, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan pembayaran melalui mekasisme pemotongan gaji.

5.2 Keimanan

Bakar (2006) mendukung faktor ibadah sebagai salah satu motivasi utama yang berkontribusi dalam kepatuhan zakat, infak dan prilaku yang peka terhadap kondisi sosial. Mereka membayar zakat sebagai bukti dan indikator keimanan. Ini merupakan kepatuhan seorang muslim terhadap kewajiban agama untuk membayar zakat sehingga keyakinan terhadap ajaran agama menjadi faktor dengan pengaruh yang kuat.

Hal ini didukung Qardhawi (1998) yang menyatakan tidak patuhnya individu terhadap kewajiban untuk membayar zakat mengidentifikasikan tingkat iman individu terhadap agama. Lunn et.al (2001) sepakat bahwa salah satu keyakinan agama memiliki dampak terhadap seseorang untuk memberi.

5.3 Kepuasan

Dalam teori pertukaran sosial Bagozzi (1975) tukar menukar bersumber dari kepentingan diri sendiri dan individu berusaha untuk meminimalkan biaya mereka untuk mendapatkan hasilyang paling menguntungkan. Ketika teori Barat diterapkan pada kegiatan zakat, maka diasumsikan bahwa individu berkontribusi untuk zakat karena ia mendapat manfaat nyata.

Menurut Muda, et al (2006) mereka secara individu merasa ada kepuasan tersendiri setelah membayar zakat. Mereka senang membayar zakat, termasuk masyarakat yang bertanggung jawab, murah hati dan percaya mereka juga dapat memotivasi orang lain untuk berpartisipasi untuk berzakat.

5.4 Penghargaan

Faktor ini berhubungan dengan keuntungan terhadap diri sendiri setelah membayar zakat dan penghargaan dari orang lain. Indikator pada faktor ini seperti mendapatkan pujian, mendapat dukungan sosial, meningkatkan peluang bisnis dan ingen dilihat dermawan.


(11)

5.5 Althurism (kepekaan sosial)

Althurism berhubungan dengan keyakinan agama atau kepekaan sosial dalam motivasi membayar zakat. Althurism menurut Batson (2002) adalah motivasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan orang lain. Faktor althurism terdiri dari menunjukkan rasa terima kasih, keberkahan harta, membersihkan kekayaan, rasa bersalah, hak orang miskin, dan membantu orang miskin yang membutuhkan berdasarkan Muda, et al (2006).

5.6 Organisasi

Penelitian terhadap faktor yang memengaruhi individu muslim membayar zakat menurut Kamil (2005) terdiri dari persepsi kualitas layanan, paparan pada zakat promosi pengetahuan tentang zakat pada pendapatan dan keimanan kemudian memperhitungkan juga hukum zakat, persepsi tentang penegakan hukum zakat, persepsi tentang keadilan, dan sikap. Studinya menemukan bahwa tiga variabel, persepsi kualitas pelayanan lembaga amil zakat, tingkat pengetahuan zakat, sosialisasi zakat melalui media secara signifikan memiliki hubungan yang positif dengan partisipasi membayar zakat.

Hasil dari penelitian Muda, et al (2006) di Malaysia, faktor organisasi merupakan faktor pertama yang memengaruhi invidu dalam berpartisipasi berzakat. Faktor organisasi terdiri dari layanan yang ditawarkan oleh organisasi pengelola zakat, sistem pembayaran memuaskan, fasilitas pembayaran secara online, tersedianya lembaga amil zakat, adanya pengaruh dari iklan zakat, serta nyaman membayar di lembaga amil zakat.

2.4 Organisasi Pengelola Zakat

Islam tidak menempatkan masalah zakat sebagai urusan pribadi, tetapi sebagai salah satu tugas pemerintah Islam. Dalam hubungan ini, Islam menyerahkan wewenang kepada negara untuk memungut dan membagikannya kepada mereka yang berhak. Masalah ini tidak hanya didasarkan pada kemurahan hati individu sebab terdapat sejumlah faktor yang tidak dapat diabaikan oleh syariat : Pertama, hati nurani kebanyakan orang telah mengeras karena kecintaan dunia dan sifat egoistisnya. Bila hak kaum muslimin digantungkan kepada orang-orang yang berwatak seperti itu, kesejahteraan mereka tidak akan terjamin.


(12)

12

Kedua, jika kaum miskin mengambil haknya dari pemerintah bukan dari seorang kaya, kehormatan dan martabatnya tetap terpelihara. Ia akan terhindar dari perkataan menyakitkan dari pihak pemberi.

Ketiga, apabila pengaturan masalah zakat diserahkan kepada orang banyak, pendistribusiaannya akan kacau.

Keempat, pendistribusian zakat bukan hanya terbatas orang miskin dan mereka yang dalam perjalanan. Ada pihak lain yang yang berhak menerima zakat demi kemaslahatan umum, seperti mualaf, mereka yang mempersiapkan kekuatan untuk berjihad di jalan Allah SWT dan mereka melengkapi kebutuhan da’i untuk menyebarkan risalah Islam.

Kelima, Islam adalah agama pedoman penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Negara membutuhkan dana untuk menjalankan berbagai fungsinya. Zakat adalah salah satu sumber dana terpenting dan permanen yang dapat mengisi perbendaharaan negara atau baitul mal.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perlu adanya pengelolaan zakat melalui organisasi. Organisasi pengelola zakat ini memiliki sistem kerja sendiri. Ia bertugas mengumpulkan dan membagikan zakat kepada beberapa sektor yang sudah dibatasi sesuai tingkat kebutuhan. (Qardhawi, 1995)

Hafiduddin (1998) pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat terutama yang memiliki kekuatan hukum formal, memiliki beberapa keuntungan :

1. Menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.

2. Menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzzaki.

3. Untuk mencapai efisien dan efektifitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.

4. Untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang islami.

5. Mewujudkan hikmah dan fungsi zakat terutama yang berkaitan dengan kesejahteraaan umat.


(13)

Landasan hukum pengelolaan zakat di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan :

1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai tuntunan agama.

2. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

3. Meningkatkan hasil guna dan daya zakat.

Seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memenuhi persyaratan tertentu (Qardhawi, 1993) yaitu :

a. Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang termasuk rukun Islam karena itu apabila urusan penting kaum muslimin diurus oleh sesama muslim.

b. Mukallaf yaitu dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat.

c. Memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzzaki akan dengan rela menyerahkan zakat melalui organisasi pengelola zakat jika organisasi tersebut memang patut dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyaluran sejalan dengan ketentuan syariah.

d. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat.

e. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang penting namun perlu ditunjang oleh kemampuan melaksanakan tugas.

f. Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang seluruh waktu kerjanya mengurusi zakat, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan. Karena dapat berdampak pada kinerja


(14)

14

amil zakat yakni pasif hanya menunggu kedatangan muzaki membayar zakat atau infaknya.

Organisasi Pengelola Zakat harus memiliki persyaratan teknis berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999, antara lain :

1. Berbadan hukum

2. Memiliki data muzzaki dan mustahik 3. Memiliki program kerja yang jelas 4. Memiliki pembukuan yang baik

5. Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit

Persyaratan tersebut mengarah pada kinerja yang profesional dan laporan yang transparan dari setiap lembaga pengelola zakat. Harapannya masyarakat akan semakin bersemangat menyalurkan zakatnya melalui lembaga pengelola.

Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Indonesia terbagi menjadi 2 jenis yaitu Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil Zakat merupakan amil zakat yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat merupakan amil zakat yang dibentuk oleh swasta.

Berikut ini adalah data jumlah organisasi yang terlibat dalam pengelolaan zakat di Indonesia sampai akhir tahun 2009:

Tabel 2.1 Organisasi pengelola zakat di Indonesia

No Organisasi Jumlah

1 BAZNAS 1

2 BAZDA Provinsi 33

3 BAZDA Kabupaten/Kota 434

4 BAZ Kecamatan 4.800

5 BAZ Kelurahan 24.000

6 LAZNAS 18

7 LAZ Provinsi 16

8 LAZ Kabupaten/Kota 31

9 UPZ 8.680

Total 38.013


(15)

2.5 Pengelola Zakat Berbasis Kepanitiaan Musiman (Informal)

Di Indonesia, pada saat masyarakat bersemangat menunaikan zakat biasanya bersamaan itu pula muncul gerakan pengelolaan zakat musiman yang selalu mengiringi bulan Ramadhan. Sekelompok masyarakat membentuk panitia dadakan (ad hoc). Keberadaan kepanitiaan itu menyebut dirinya sebagai amil zakat, yakni satu diantara delapan asnaf (golongan) penerima zakat. Hampir di setiap masjid maupun mushala secara serentak membentuk kepanitiann zakat.

Kata panitia dan amil zakat semestinya diperjelas karena dua kata tersebut mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Dalam literatur fikih, amil adalah orang yang mempunyai kriteria tertentu dan memenuhi syarat dalam kriteria pengumpulan, pengadministrasian dan penyaluran zakat. Amil memiliki tugas yang tidak ringan dalam melakukan tiga hal tersebut karena harus tepat sasaran kepada orang yang tepat sesuai dengan Al Qur’an. Oleh karena itu amil harus memiliki kriteria khusus dan tanggung jawabnya berat. Setelah melakukan tugasnya dengan baik dan memberikan seluruh waktu kerjanya untuk mengurus zakat, barulah amil boleh mengambil hak dari zakat yang dikumpulkan.

Sementara sebuah kepanitiaan zakat, belum tentu memiliki kriteria yang dipersyaratkan dalam pengumpulan zakat. Panitia tidak berbeda dengan orang yang ditunjuk untuk bertanggung jawab sesuatu (dalam hal ini zakat). Mereka ditunjuk biasanya tanpa mempertimbangkan kriteria dan kapasitas sebagai seorang amil yang dipersyaratkan. Panitia zakat ini juga hanya bekerja pada saat Ramadhan. Setelah Ramadhan berlalu maka kepanitiaan ini dengan sendirinya bubar (Aflah, 2011)

2.6 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi individu dalam berzakat dilakukan oleh Musa et.al (2006) dengan mengambil studi kasus di Malaysia. Penelitian ini menggunakan analisis faktor dengan investigasi eksplorasi. Hasilnya terdapat 5 faktor yang memengaruhi patisipasi individu dalam berzakat yaitu faktor organisasi, faktor althurism (kepekaan sosial), faktor penghargaan, faktor kepuasan dan faktor keimanan.


(16)

16

Faktor organisasi variabel utamanya adalah layanan lembaga amil zakat. Kepercayaan pada lembaga pengumpul zakat menunjukkan kinerja organisasi yang baik dalam hal pengumpulan zakat dan distribusi dana zakat menjadi efisien, efektif serta transparan sehingga masyarakat semakin percaya kepada lembaga zakat. Dampaknya, terdapat peningkatan dana zakat yang terkumpul. Pada faktor althurism, meningkatkan keshalehan menjadi variabel dengan nilai loadings terbesar. Kemudian mendapat dukungan sosial merupakan variabel utama pada faktor penghargaan. Di faktor kepuasan, nilai loading tertinggi terdapat pada variabel saya orang yang bertanggung jawab secara sosial. Faktor yang memengaruhi partisipasi zakat yang terakhir adalah keimanan. Variabel utama pada faktor ini adalah adanya balasan surga.

Berdasarkan penelitian Abu Bakar (2010) yang berjudul motivasi membayar zakat penghasilan untuk studi di Malaysia, faktor utama yang memengaruhi membayar zakat penghasilan adalah keyakinan bahwa zakat merupakan kewajiban umat islam, kemudian percaya dalam bagian harta yang dimiliki ada hak orang miskin yang membutuhkan, keyakinan dengan membayar zakat dapat memperbaiki kondisi ekonomi orang miskin. Selain itu motivasi membayar zakat penghasilan karena potongan pajak yang diberikan pemerintah dan fasilitas yang disediakan organisasi pengelola zakat.

Sejumlah studi meneliti perilaku muslim terhadap zakat atas penghasilan. Sebagian besar meneliti pengaruh demografi terhadap perilaku Muslim dalam membayar zakat atas penghasilan (Mohd. Ali et al., 2003; Kamil, 2005; Hairunnizam et al, 2005; Azura et al., 2005). Faktor yang yang telah diteliti sejauh ini termasuk jenis kelamin, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan dan tingkat pendapatan. Sebagian besar penelitian ini diadopsi analisis regresi logistik multivariat dalam mengukur pentingnya faktor-faktor pada zakat mereka pada perilaku pendapatan.

Hairunnizam et al (2005) menguji tiga belas faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi atau tidak memengaruhi melakukan zakat penghasilan di Malaysia. Kuesioner dibagikan kepada 2500 individu muslim dalam setiap negara di Malaysia, menggunakan metode random sampling. Dengan menerapkan analisis regresi logistik, mereka menemukan bahwa lima faktor yang secara


(17)

signifikan mempengaruhi pembayaran zakat atas penghasilan ke arah yang positif. Faktor-faktor ini meliputi usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan pembayaran melalui mekanisme pemotongan gaji. Selain itu, ditemukan bahwa perempuan bekerja lebih mungkin untuk membayar zakat atas penghasilan. Pengetahuan tentang Islam, kesadaran pendapatan sebagai objek zakat dan kepuasan tidak signifikan memengaruhi pembayaran zakat walaupun memiliki hubungan yang positif.

Fatmawati (2008) menganalisis pelaksanaan zakat mal di masyarakat Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes menggunakan analisis deskriptif. Berdasarkan penelitian ini, memperoleh informasi tentang kurangnya keta'atan masyarakat Kecamatan Jatibarang dalam mengeluarkan zakat mal. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu pertama, mereka kurang memahami kewajiban zakat, kedua, banyaknya kebutuhan sosial sebagai respon terhadap adat atau kebiasaan sehingga dana untuk zakat berkurang. Ketiga, belum ada sanksi yang tegas bagi orang yang sengaja tidak mengeluarkan zakat mal. Keempat, kurangnya kepercayaan masyarakat kepada Badan Amil Zakat (BAZ) Kecamatan Jatibarang.

2.7 Kerangka Pemikiran Konseptual

Salah satu Kabupaten dengan kondisi tingkat kemiskinan yang tinggi adalah Kabupaten Brebes. Persentase penduduk miskin Kabupaten Brebes pada tahun 2008 mencapai 25,98 persen dan pada tahun 2009 sebesar 24,39 persen (BPS, 2011). Kondisi kemiskinan di Kabupaten Brebes Zakat memiliki potensi yang besar untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Dana yang dihimpun dari orang kaya (muzzaki) Kabupaten Brebes dapat digunakan melalui berbagai program agar orang miskin di Kabupaten Brebes bisa menjadi sejahtera. Berdasarkan laporan keuangan Badan Amil Zakat Kabupaten Brebes, dana zakat dan infak yang terkumpul baru mencapai Rp 821.387.060,00. Penerimaan dana zakat dapat ditingkatkan jika organisasi pengelola zakat mengetahui hal-hal yang mendorong seseorang membayar zakat. Kebiasaan berinfak secara rutinuga dapat mendukung program mengentaskan kemiskinan.


(18)

18

Berdasarkan Undang-Undang No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, tujuan dari pengelolaan dana zakat oleh organisasi pengelola zakat salah satunya adalah meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat. Keputusan tempat membayar zakat menjadi sangat penting karena dana zakat yang bisa dikelola organisasi pengelola zakat hanya yang dibayar wajib zakat kepada OPZ bukan menyalurkan secara langsung atau panitia zakat (bukan OPZ).

Berikut bagan kerangka pemikiran penelitian.

Kondisi kemiskinan di Kabupaten Brebes

Potensi dana zakat yang dimiliki Kabupaten Brebes

Analisis Diskriminan Faktor-faktor yang

memengaruhi keputusan wajib zakat membayar zakat

Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan rutin berinfak

Faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan

tempat membayar Kondisi aktual dana zakat

yang terkumpul jauh di bawah potensi zakat

Analisis Deskriptif (Tabulasi Silang)


(19)

2.7 Hipotesis

Hipotesis yang ingin dibuktikan dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor keimanan, penghargaan, kepuasan, althurism (kepekaan sosial), dan organisasi berpengaruh terhadap partisipasi berzakat, rutinitas berinfak dan pemilihan tempat membayar zakat.

2. Partisipasi berzakat, rutinitas berinfak dan pemilihan tempat membayar zakat dipengaruhi pendapatan, pekerjaan, pendidikan.

3. Infak berpengaruh signifikan terhadap partisipasi berzakat. 4. Rutinitas berinfak dipengaruhi periode berinfak.

5. Keberadaan organisasi pengelola zakat menjadi faktor yang memengaruhi pemilihan tempat membayar zakat.


(20)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada minggu kedua bulan Februari sampai minggu pertama bulan Maret tahun 2011. Daerah tempat penelitian adalah tiga kecamatan di Kabupaten Brebes yaitu Kecamatan Brebes, Kecamatan Bulakamba dan Kecamatan Tanjung.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diambil dengan menggunakan metode wawancara dengan kuesioner. Data sekunder didapat dari literatur atau dokumen-dokumen baik yang dipublikasikan maupun tidak dipublikasikan terkait tema penelitian. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Statistical Package for Sosial Science 15 for windows dan Microscoft Excel 2007.

3.3 Sampel penelitian

Penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan prosedur purposive sampling yakni memilih contoh berdasarkan pertimbangan tentang beberapa karakteristik yang cocok berkaitan dengan anggota contoh yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian (Juanda, 2009).

Responden yang dipilih adalah responden yang diperkirakan memiliki kemampuan untuk membayar zakat. Untuk menentukan jumlah sampel digunakan rumus Slovin, yaitu

2 1 Ne

N n

+ = Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = Kesalahan dalam pengambilan sampel ditetapkan sebesar 10 persen

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian berdasarkan jumlah keluarga sejahtera III plus di Kabupaten Brebes yakni sekitar 82.428 orang,


(21)

dengan estimasi jumlah keluarga muslim adalah sekitar 99 persen dari total penduduk di Kabupaten Brebes. Dari hasil perhitungan maka didapatkan jumlah sampel sebanyak 100 orang responden.

N = 99 % x 82.428 N = 81.603

100 76 , 99 ) 1 , 0 ( 81603 1

81603

2 = =

+ = n

3.4 Metode Analisis

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam penelitian ini maka metode analisis yang digunakan adalah analisis diskriminan. Analisis secara deskriptif juga dilakukan untuk melihat karakteristik responden.

Skala yang digunakan pada penelitian ini adalah skala linkert yang memiliki nilai dari 1 sampai 5. Nilai 1 berarti sangat tidak setuju, 2 tidak setuju, 3 cukup setuju, 4 setuju dan 5 sangat setuju.

Pertama yang dilakukan adalah menentukan variabel yang dapat menggambarkan faktor yang memengaruhi partisipasi membayar zakat seperti faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keimanan, penghargaan, kepuasan, althurism, organisasi, rutin berinfak. Masing- masing variabel merupakan nilai rata-rata dari beberapa indikator.

Faktor keimanan terdiri dari indikator selalu shalat fardhu, shalat berjamaah tiga kali di masjid, zakat itu wajib, mampu menghitung zakat, rutin membaca buku-buku agama, rutin hadir di majelis ilmu, percaya dengan semua balasan atas perbuatan.

Faktor penghargaan terdiri dari indikator mendapat kemudahan rezeki setelah berzakat, lingkungan sekitar menyambut baik saat berzakat, senang disebut dermawan.

Faktor althurism adalah rata-rata dari indikator iba ketika melihat fakir/miskin, berzakat berarti ungkapan rasa syukur, merasa harta menjadi bersih setelah berzakat, senang membantu fakir/miskin, merasa bersalah saat tidak membayar. Faktor kepuasan diri terdiri dari senang dapat meningkatkan kondisi


(22)

22

ekonomi fakir/miskin, menyadari ada hak orang lain dan percaya jadi contoh yang baik bagi orang lain saat berzakat.

Faktor organisasi terdiri dari indikator organisasi pengelola zakat (OPZ) bekerja profesional, OPZ transparan dalam laporan keuangan, kenyamanan membayar zakat di OPZ, adanya sosialisasi melalui media dan langsung kepada masyarakat serta pemotongan gaji dari tempat berkerja.

Kedua penentuan variabel yang memengaruhi partisipasi melakukan infak secara rutin. Variabel-variabel yang digunakan adalah pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keimanan, penghargaan, kepuasan, althurism, organisasi serta frekuensi berinfak. Ketiga penentuan variabel yang memengaruhi pemilihan tempat membayar zakat. Variabel yang diduga memengaruhi adalah pendidikan, pekerjaan, pendapatan, keimanan, penghargaan, kepuasan, althurism, organisasi serta keberadaan organisasi pengelola zakat di sekitar tempat tinggal.

Data dianalisis menggunakan metode analisis diskriminan. Alat analisis ini mampu mengelompokkan setiap objek ke dalam dua kelompok yakni kelompok membayar zakat dan tidak membayar zakat, kelompok berinfak secara rutin dan tidak rutin serta kelompok memilih berzakat di organisasi pengelola zakat dan bukan organisasi pengelola zakat. Tujuan analisis sini untuk mendapat fungsi yang merupakan kombinasi linier variabel independent sehingga dapat memisahkan objek. Artinya, objek dari grup yang sama akan memberi nilai fungsi yang berdekatan, dan objek dari grup yang berbeda akan memberi nilai fungsi yang berjauhan.

Analisis Diskriminan merupakan teknikyang akurat untuk memprediksi objek termasuk dalam kategori tertentu, dengan catatan data-data yang dilibatkan terjamin akurasinya (Simanmora, 2005)

(1) Model Analisis Diskriminan

Fungsi diskriminan yang dimaksud adalah,

D = bo + b1X1 + b2X2 + … + bjXj + ...+ bpXp = bT X

Dimana:

X1, X2, , Xj, .,Xp = Variabel independent

b0, b1, b2, …, bp = Koefisien fungsi diskriminan


(23)

(2) Pendugaan Koefisien Fungsi Diskriminan

Tujuan pendugaan adalah mencari b, sedemikian sehingga akan memberikan nilai D yang berdekatan untuk grup yang sama, dan memberikan nilai D yang berjauhan untuk grup berbeda. Hal tersebut diperoleh dengan cara mencari b, yang membuat rasio ragam D antar grup (bTBb) & ragam D dalam

grup (bTWb) maksimum, atau Maksimum b

W b

b B b

T T

, dengan metode Lagrange

akan diperoleh persamaan,

4 (W-1B – λi I) bi = 0

Dimana:

B = Matriks koragam X antar grup

W-1= Invers matriks koragam X dalam grup I = Matriks identitas

bi = Koefisien fungsi diskriminan ke-i, yang dapat diperoleh dengan

menyelesaikan persamaan di atas, dengan i = 1, 2, ..., L

λi = Eigenvalue (akar ciri ke-i) dari matriks W-1B yang berpasangan

dengan bi

Banyaknya fungsi diskriminan yang dapat dibentuk dari persamaan tersebut adalah sebanyak L, dimana L adalah nilai terkecil dari (G-1) dan p, dengan G adalah banyak grup, sedangkan p adalah banyak variabel independent.

(3) Evaluasi Fungsi Diskriminan

Evaluasi fungsi diskriminan umumnya untuk memeriksa apakah fungsi diskriminan yang diperoleh signifikan sebagai diskriminator grup-grup tersebut dan variabel independent apa saja yang signifikan, serta berapa persen objek dalam sampel dapat dikelompokkan dengan benar oleh fungsi diskriminan tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa prosedur evaluasi fungsi diskriminan.

(a) Uji Signifikansi Fungsi Diskriminan Dua Grup

Kasus yang paling sederhana, ketika variabel dependent-nya hanya terdiri atas 2 grup, sehingga hanya diperoleh satu fungsi diskriminan. Pertanyaan selanjutnya, apakah fungsi diskriminan tersebut signifikan sebagai diskriminator


(24)

24

kedua grup tersebut. Untuk itu diperiksa melalui pengujian hipotesa statistik, yang dinyatakan sebagai berikut.

Ho : Fungsi diskriminan tidak signifikan

H1 : Fungsi diskriminan signifikan

Hipotesa statistik tersebut diperiksa melalui statistik uji berikut ini,

Total SSCP Group Within SSCP Matriks Determinan Matriks Determinan | SSCPT Matriks | | SSCPW Matriks | Lambda

Wilks' =Λ= =

Statistik Λ tersebut, kemudian ditransformasi menjadi statistik Chi-Square, dengan formulasi sebagai berikut,

] )][ 2 G p ( -1) -[(n

- + Λ

= n

Chi-square

Dimana,

G = Banyaknya grup =2

p = Banyaknya variabel independent n = Ukuran sampel untuk seluruh grup

Statistik Chi-square, menyebar Chi-square (� ) dengan derajat bebas (df) sebesar p(G-1) atau (� Rdf=p(G-1)).

(b) Uji Signifikansi Variabel Independent Xj

Apabila fungsi diskriminan disimpulkan signifikan, maka perlu ditelusuri, variabel independent mana saja yang signifikan mendiskriminasi grup. Untuk itu diperiksa melalui pengujian hipotesa statistik, yang dinyatakan sebagai berikut.

Ho : Variabel independent ke-j (Xj) tidak signifikan, atau dengan kata lain,

rata-rata Xj pada G grup tidak berbeda

H1 : Variabel independent ke-j (Xj) berpengaruh signifikan terhadap

variabel dependent (Rata-rata Xj pada G grup berbeda)

Hipotesa tersebut, diuji dengan statistik uji berikut:

SST SSW Lambda Wilks' Xj Xj = Λ =


(25)

Dimana, SSWXj dan SSTXj adalah seperti yang didefinisikan sebelumnya.

Untuk selanjutnya, statistik Λ dikonversi menjadi statistik F berikut ini,

G -n

1 -G

-1 F

Λ Λ =

Dengan,

G = Banyaknya grup

n = Ukuran sampel untuk seluruh grup

Statistik F menyebar mengikuti sebaran F dengan derajat bebas pembilang =v1=G-1 dan derajat bebas penyebut =v2=n-G. Pada output SPSS di bagian Test of Equality of Group Means tersaji informasi Sig, dimana Sig=Peluang(F

(v1=G-1,v2=n-G)>F). Apabila Sig<α atau F>F(v1=G-1,v2=n-G)α maka disimpulkan tolak Ho

pada tarafnyata α. Nilai F(v1=G-1,v2=n-G)α.

(4) Prediksi Variabel Dependent

Disamping uji signifikansi fungsi diskriminan dan masing-masing variabel independent, juga diperlukan gambaran deskriptif akurasi model. Model fungsi diskriminan semakin baik, apabila persentase objek dalam sampel dapat diklasifikasikan (diprediksi) dengan benar oleh fungsi tersebut (dinyatakan sebagai nilai hit ratio) semakin besar. Model yang signifikan dengan hit ratio yang besar, untuk selanjutnya dapat digunakan untuk prediksi variabel dependent, atau pengklasifian objek, berdasar atas nilai variabel independent [X1, X2, …, Xp) dari objek tersebut.

Rata-rata skore D, untuk seluruh objek untuk masing-masing grup, disebut sebagai Centroid. Suatu objek yang memiliki skore D dekat dengan Centroid grup1, maka objek tersebut akan diprediksi masuk ke grup1, sebaliknya bila skore D suatu objek dekat dengan grup2, maka objek tersebut akan diklasifikasikan masuk ke grup2.

Batas wilayah antar grup disebut sebagai Cutoff-value, ditentukan diantaranya sebagai berikut :

− �� = � + �


(26)

26

Dimana,

Cutoff-value = Nilai batas wilayah grup1 dan grup2 n1 = Ukuran sampel untuk grup1

n2 = Ukuran sampel untuk grup2

� = � � � 1

� = � � � 2

Dari formulasi di atas, tampak bahwa Cutoff-value, untuk kasus dua grup, adalah rata-rata skore D untuk kedua grup tersebut. Berdasarkan nilai Centroids dan Cutoff, dapat dibuat Teritorial Map. Untuk selanjutnya dapat digunakan untuk mengevaluasi akurasi prediksi fungsi diskriminan pada data sampel, atau untuk prediksi objek berdasarkan data [X1,…,Xj,…, Xp] objek tersebut.

(5) Asumsi Analisis Diskriminan

Penggunaan analisis diskriminan membutuhkan beberapa asumsi, diantaranya:

(a) True categorical dependents

Grupnya bersifat mutually exclusive, yakni setiap objek hanya bisa menjadi anggota satu grup saja.

(b) Interval data.

Variabel independent mencapai metrik, sama seperti pada analisis regresi berganda.

(c) Homogeneity of variances

Ragam setiap variabel independent, homogen pada grup-grup tersebut. (d) Independence

Tidak ada multikolinier pada variabel independent. (e) No lopsided splits

Ukuran sampel setiap grup tidak berbeda jauh. (f) Adequate sample size

Direkomendasikan minimal empat hingga lima kali banyaknya variabel independent.


(27)

(g) Proper specification

Koefisien dapat berubah substansial ketika ada variabel independent dimasukkan ke dalam model atau dikeluarkan dari model.


(28)

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Brebes

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Brebes

Gambar 4.1 Peta Administratif Kabupaten Brebes

4.1.1 Geografi

Kabupaten Brebes sebagai salah satu daerah otonom di Propinsi Jawa Tengah, letaknya disepanjang pantai utara Laut Jawa, memanjang ke selatan berbatasan dengan wilayah Karsidenan Banyumas. Sebelah timur berbatasan dengan Kota Tegal dan Kabupaten Tegal, serta sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat. Letaknya antara 60˚44’ – 70˚21’ Lintang Selatan dan antara 108˚041’ – 109˚011’ dengan jumlah rata-rata curah hujan 154 mm, sedangkan jumlah rata-rata hari hujan 10 hari. Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Bumiayu sebesar 215 mm, dengan rata-rata jumlah hari hujan 15 hari.

Kabupaten Brebes merupakan salah satu dari daerah Tingkat II yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Secara administratif Kabupaten Breres terdiri dari 17 kecamatan yaitu Salem, Bantarkawung, Bumiayu, Paguyangan, Sirampog, Tonjong, Larangan, Ketanggungan, Banjarharjo, Losari, Tanjung, Kersana,


(29)

Nulakamba, Wanasari, Songgom, Jatibarang, Brebes. Kabupaten Brebes juga terdiri dari 292 desa dan 5 kelurahan. Dari jumlah itu dibagi habis menjadi 1.132 dusun, 1.608 RW/Lingkungan dan 8.274 Rukun Tetangga (RT).

Luas keseluruhan Kabupaten Brebes adalah 166,296 hektar. Dari luas keseluruhan itu 62.703 hektar adalah lahan sawah, pekarangan/ bangunan 19.250 hektar, tegalan/ kebun seluas 17.499 hektar, tanah sementara tidak digunakan279 hektar, tambak/kolam/rawa-rawa 9.001 hektar, hutan rakyat dengan luas 5.557 hektar, hutan negara 46.708 hektar, pekebunan negara/swasta seluas hektar 1.252, dan lain-lain seluas 4.047 hektar.

Wilayah Kabupaten Brebes mempunyai batas-batas sebagai berikut :

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Timur : Kab Tegal dan Kota Tegal Sebelah Selatan : Kab Banyumas dan Kab Cilacap Sebelah Barat : Propinsi Jawa Barat

Kabupaten Brebes merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian bervariasi, untuk daerah penelitian ini kecamatan Brebes, Bulakamba, dan Tanjung mempunyai ketinggian 3 meter di atas permukaan laut.

4.1.2 Demografi

Jumlah Penduduk Kabupaten Brebes pada tahun 2009 tercatat 1.752.128 jiwa, terdiri dari 873.062 jiwa penduduk laki-laki dan 879.066 jiwa penduduk perempuan. Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Kabupaten Brebes terus bertambah, jika dibandingkan dengan tahun yang lalu (2008) telah bertambah sebanyak 4.698 Jiwa atau sebesar 0,27 persen.

Distribusi penduduk Kabupaten Brebes belum tersebar secara merata, dimana sebaran penduduk terbanyak di Kabupaten Brebes adalah Kecamatan Bulakamba 158.560 jiwa atau 9,05 persen, Kecamatan Brebes 156.116 jiwa atau 8,91 persen, dan Kecamatan Larangan sebanyak 140.666 jiwa atau 8,03 persen, sedangkan sebaran penduduk paling kecil adalah Kecamatan Salem sebanyak 56.763 jiwa atau 3,24 persen. Dan sisanya tersebar di tiga belas kecamatan lainnya sebesar 70,77 persen.


(30)

(31)

30

Tabel 4.1 Jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja dirinci menurut jenis pekerjaan di Kabupaten Brebes

Sumber : BPS Kabupaten Brebes (2010) Tahun Petani Buruh

Tani

Nelayan Pengusaha Buruh Industri

Buruh Bangunan

Pedagang Supir/ kernet angkutan

PNS/ TNI/Po lisi

Pensiun an

Jumlah

2005 301.694 438.788 23.828 16.704 34.050 71.546 82.531 11.771 25.530 6.871 1.067.919

2006 321.694 444.788 25.947 8.873 37.370 67.763 84.022 12.679 36.609 6.984 1.096.366 2007 304.947 412.916 25.420 7.332 41.030 72.997 77.410 14.909 25.221 6.790 1.015.721

2008 289.923 382.893 23.888 6.744 41.363 71.836 84.332 15.966 25.581 7.711 979.490


(32)

(33)

4.1.3 Pendidikan

Di Kabupaten Brebes untuk tingkat pendidikan pra sekolah (TK) yang terdaftar pada Dinas Pendidikan Kabupaten Brebes pada tahun 2009 mengalami kenaikan jumlah sekolah. Demikian juga dengan jumlah murid dan guru mengalami kenaikan yang menggembirakan. Jumlah sekolah naik 5,07 persen. Jumlah murid naik 4,92 persen dan jumlah guru naik 0,14 persen. Untuk tingkat pendidikan dasar SD pada tahun 2009 jumlah murid sebanyak 187.686 murid, dan jumlah guru sebanyak 8.099 orang. Untuk sekolah MI pada tahun 2009 jumlah sekolah yang ada 201 sekolah, 40.525 murid dan 1866 guru. Untuk tingkat SLTP jumlah sekolah yang ada sebanyak 118 sekolah, jumlah murid sebanyak 53.317 siswa dan Guru sebanyak 2.812. Demikian pula untuk jenjang pendidikan Madrasah Tsanawiyah terdapat 86 sekolah, Murid 27.392 siswa dan guru sebanyak 1.658 orang.

Untuk pendidikan SLTA jumlah sekolah sebanyak 33 sekolah, Murid sebanyak 15.565 siswa dan guru sebanyak 976 orang. Untuk jumlah pondok pesantren Di Kabupaten Brebes pada tahun 2009 tercatat 184 pondok Pesantren dengan jumlah santri 28.053 orang.

4.1.4 Ekonomi

Perkembangan nilai pengeluaran per kapita per bulan baik pengeluaran nominal maupun pengeluaran riil merupakan salah satu indikasi meningkatnya tingkat pendapatan penduduk. Pengeluaran nominal per kapita penduduk meningkat dari Rp 310.198 pada tahun 2008 menjadi Rp 323.658 pada tahun 2009 atau naik sebesar 4,3 persen. Jika dilihat dari struktur pengeluaran penduduk terbagi menjadi pengeluaran untuk makanan dan non makanan maka tingkat kesejahteraan penduduk dikatakan meningkat pada saat pengeluaran untuk makanan menurun dan pengeluaran non makanan meningkat. Hal ini tidak terjadi selama tahun 2008-2009. Berdasarkan persentase pengeluaran di Kabupaten Brebes menunjukkan bahwa pengeluaran untuk makanan mengalami peningkatan dari 58,01 persen menjadi 59,41 persen sementara pengeluaran untuk non makanan mengalami penurunan dari 41,99 persen menjadi 40,59 persen.


(34)

32

Tabel 4.2 Penduduk umur 10 tahun ke atas dirinci menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Brebes tahun 2006-2009

Tahun Tidak/ Belum

tamat SD/ Tidak punya ijasah SD

Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat

Universitas/Diploma

Jumlah

2006 541.103 521.671 173.487 136.397 41.042 1.373.965

2007 575.572 483.421 170.494 101.024 44.037 1.367.544

2008 564.309 472.960 185.214 104.368 32.666 1.366.521

2009 564.886 462.429 169.211 100.762 24.157 1.361.180


(35)

PDRB Kabupaten Brebes dari tahun 2007 sampai 2009 mengalami peningkatan. Ini terjadi baik menurut harga konstan maupun harga berlaku. Tahun 2007 PDRB menurut harga berlaku sebesar Rp 9,55 triliun dan menurut harga konstan Rp 4,77 triliun dan pada tahun 2009 PDRB menurut harga berlaku sebesar Rp 12,53 triliun dan menurut harga konstan sebesar Rp 5,25 triliun. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan sebesar 4,79 persen, kemudian pada tahun 2008 naik menjadi 4,81 dan kembali mengalami peningkatan pada tahun 2009 menjadi 4,99 persen.

Sektor pertanian yang menjadi ciri khas Kabupaten Brebes masih menjadi sektor penting. Kontribusi sektor pertanian masih berkisar diatas 50 persen. Dari tahun ketahun kontribusi sektor ini mengalami penurunan, sebaliknya sektor industri pengolahan dari tahun ke tahun kontribusinya mengalami kenaikan. Empat sektor yang dominan pada struktur perekonomian di Kabupaten Brebes adalah sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor industri pengolahan dan sektor jasa.

Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Brebes, industri dikelompokan industri logam, mesin, elektronika dan aneka serta industri kimia agro dan hasil hutan. Masing-masing dibedakan menjadi industri formal dan non formal, serta digolongkan berdasarkan aset menjadi skala besar, menengah, kecil dan rumah tangga. Jumlah perusahaan industri kecil formal cabang industri kimia, agro dan hasil hutan di Kabupaten Brebes Tahun 2008 sebanyak 705 unit, cabang elektronika dan aneka berjumlah 43 unit, cabang industri logam, mesin dan perekayasaan berjumlah 177 unit.

4.2 Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Kabupaten Brebes 4.2.1 Profil BAZDA Kabupaten Brebes

Pembentukan Badan Amil Zakat Kabupaten Brebes didasari pertimbangan untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab sesuai Keputusan Direktur Jendral Bimas dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.


(36)

34

Dasar hukum pembentukan pengurus Badan Amil Zakat Kabupaten Brebes dan Badan Amil Zakat tingkat Kecamatan :

1. Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 164 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885)

2. Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 1988 tentnag Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1988 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373 )

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat (BAZ) Nasional

4. Keputusan Menteri Agama Republika Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat

5. Keputusan Direktur Jendral Bimas dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat

Pengurus Badan Amil Zakat Kabupaten Brebes terdiri dari Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawasan. Badan Pelaksana memiliki tugas membuat rencana kerja yang meliputi rencana pengumpulan, penyaluran, dan pendayagunaan zakat, melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan, menyusun laporan tahunan, menyampaikan laporan pertanggujawaban dan bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat ke dalam maupun keluar.

Dewan Pertimbangan bertugas untuk menetapkan garis-garis kebijakan Badan Amil Zakat bersama Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana, kemudian mengeluarkan fatwa syariah baik diminta maupun tidak, berkaitan dengan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat serta memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi


(37)

Pengawasan. Bagian ini juga memiliki fungsi untuk menampung, mengolah, dan menyampaikan pendapat umat tentang pengelolaan zakat.

Komisi Pengawas bertugas untuk mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan, mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan, mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana kemudian melakukan pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syariah dan peraturan perundang-undangan serta menunjuk akuntan publik.

Badan Amil Zakat di Kabupaten Brebes terdapat di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. BAZ tingkat kabupaten mengelola dana zakat dan infak dari seluruh wajib zakat di Kabupaten Brebes. BAZ tingkat kecamatan dan desa bertugas mengumpulkan zakat dan infak dari wajib zakat di lingkungan kecamatan dan desa kemudian dilaporkan kepada BAZ Kabupaten Brebes kemudian diserahkan kepada BAZ kabupaten. Bupati Kabupaten Brebes telah mengeluarkan edaran untuk pemotongan zakat profesi secara langsung pada gaji ketiga belas untuk pegawai negeri sipil di seluruh Kabupaten Brebes.

Penerimaan BAZ Kabupaten Brebes sampai 31 Oktober 2010 sebesar Rp 817.731.241,00. Pengeluaran dari dana zakat sebesar Rp 647.575.000 dan infak sebesar Rp 111.000.000. Pada tahun 2009 BAZ kabupaten Brebes berhasil menghimpun dana zakat dan infak dari masyarakat sebesar Rp 2,144 miliar. Dana itu terhimpun hingga 31 Desember 2009 lalu, meliputi zakat mal Rp 1.073.337.113 dan infaq Rp 1.070.861,757.

4.2.2 Pendayagunaan Zakat BAZDA Kabupaten Brebes

Pengeluaran dana zakat didistribusikan sesuai asnaf yang berhak menerima zakat dengan perincian 62,5 persen untuk fakir dan miskin di 297 desa. Fisabilillah (pejuang islam) mendapat bagian sebesar 12,5 persen. Sementara bagi ghorim (penyandang utang) dialokasikan sebesar 6,25 persen. Bagi Ibnu sabil atau orang yang kekurangan bekal di perjalanan dialokasikan 6,25 persen. Kemudian bagi amil kabupaten dan pemungut zakat sebesar 12,5 persen dari zakat yang terkumpul.


(38)

36

Pendayagunaan zakat BAZDA Kabupaten Brebes terbagi atas dua jenis yaitu zakat produktif dan konsumtif. Pendayagunaan zakat produktif contohnya peminjaman modal usaha kepada tukang tempe, tukang tahu dan penjual kangkung. Pendayagunaan pendayagunaan zakat konsumtif contohnya bantuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, pendidikan, bantuan program bencana alam.

Pendayagunaan dana zakat di Kabupaten Brebes antara lain :

1. Pemberian santunan kepada fakir miskin sebanyak 5.940 orang masing-masing mendapatkan Rp 100.000 dengan total nilai sebesar Rp 594.000.000 untuk 297 desa .

2. Pemberian santunan kepada guru di Taman Pendidikan Al-Qur’an, guru ngaji, guru Madrasah Diniyah dialokasikan sebesar Rp. 75,795.687.

3. Pemberian zakat produktif antara lain kepada penjual tempe, penjual tahu dan penjual kangkung dialokasikan sebesar Rp 37.897.843.

4. Beasiswa kepada pelajar Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas sebesar Rp 37.897.843.


(39)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik dan Persepsi Responden

Karakteristik dan persepsi responden ini merupakan hasil dari wawancara terhadap 100 responden yang tersebar di tiga kecamatan di Kabupaten Brebes yakni Kecamatan Brebes, Kecamatan Bulakamba dan Kecamatan Tanjung. Karakteristik responden dilihat dari kondisi demografi yakni jenis kelamin, status pernikahan, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, dan pendapatan per bulan sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Demografi responden

Variabel Jumlah Persentase

Jenis Kelamin Laki-laki 70 70%

Perempuan 30 30%

Status Pernikahan Belum Menikah 4 4%

Menikah 92 92%

Janda/Duda 4 4%

Jenis Pekerjaan Petani 23 23%

Pedagang 6 6%

Karyawan BUMN 1 1%

PNS 58 58%

Karyawan Swasta 2 2%

Wiraswasta 6 6%

Lainnya 4 4%

Tingkat Pendidikan SD 20 20%

SMP 6 6%

SMA 21 21%

D3 5 5%

S1 42 42%

S2 6 6%

Pendapatan per bulan Rp 1 juta - Rp 2,5 juta 21 21%

Rp 2,5 juta - Rp 5 juta 63 63%

Rp 5 juta – Rp 50 juta 16 16%

Sumber : Data Primer 2011 (diolah)

Berdasarkan Tabel 5.1 mayoritas responden adalah laki-laki dengan status pernikahan sudah menikah. Jenis pekerjaan responden paling banyak adalah PNS sebesar 58 persen dan petani 23 persen.

Ditinjau dari aspek pendidikan terdapat 42 persen responden pendidikan terakhirnya adalah S1, sekolah dasar 20 persen, SMA 21 persen kemudian SMP sebanyak 6 persen, D3 sebanyak 6 persen dan S2 sebesar 5 persen. Pendapatan responden sebanyak 63 persen antara 2,5 juta sampai 5 juta kemudian terdapat 21


(40)

38

persen responden dengan pendapatan 1 juta sampai 2,5 juta dan sebesar 16 persen responden memiliki pendapatan 5 juta sampai 50 juta.

Persepsi responden dijelaskan pada Tabel 5.2 meliputi kesanggupan responden membayar zakat, rutinitas membayar infak serta pemilihan tempat membayar zakat. Hasilnya dilihat dari berbagai macam variabel seperti, pekerjaan, pendidikan, pendapatan dan pengeluaran serta beberapa faktor yang diduga mempengaruhi seseorang membayar zakat. Faktor yang dimaksud adalah iman, penghargaan, altruism, kepuasan diri dan organisasi. Pada hasil penelitian ini juga dilihat alasan seseorang membayar zakat melalui lembaga amil formal ataupun informal.

Kesanggupan seseorang untuk membayar zakat ditunjukkan pada Tabel 5.2. Pada tabel ini kesanggupan seseorang ditunjukkan dengan menjawab ya atau tidak untuk membayar zakat. Sebanyak 100 responden yang disurvei, 82 orang atau sama dengan 82 persen menjawab ya untuk membayar zakat dan 18 orang atau 18 persen menjawab tidak untuk membayar zakat.

Tabel 5.2. Pembayaran zakat

Zakat (N) Zakat (%)

Ya Tidak Ya Tidak

Pendidikan

SD 15 5 75.0 25.0

SMP 6 0 100.0 0.0

SMA 17 4 81.0 19.0

D3 4 1 80.0 20.0

S1 35 7 83.3 16.7

S2 5 1 83.3 16.7

Pekerjaan

Petani 18 5 78.3 21.7

Pedagang 5 1 83.3 16.7

Karyawan BUMN 1 0 100.0 0.0

PNS 50 8 86.2 13.8

Karyawan Swasta 1 1 50.0 50.0

Wiraswasta 3 3 50.0 50.0

Lainnya 4 0 100.0 0,0

Pendapatan

Kurang dari 2,5

juta 15 6 71.4 28.6

2,5 juta - 5 juta 52 11 82.5 17.5

Lebih dari 5 juta 15 1 93.8 6.3


(41)

Berdasarkan variabel pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kesadaran untuk membayar zakat juga semakin tinggi. Pada Tabel 5.2, responden yang menjawab membayar zakat untuk tingkat pendidikan SD sebesar 75 persen. Persentase semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan SMP keseluruhan responden menjawab membayar zakat. Hal ini didasarkan pada semakin tingginya tingkat pendidikan, maka seseorang akan semakin mengerti dan sadar akan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk membayar zakatnya.

Berdasarkan jenis pekerjaan yang didominasi oleh PNS, sebanyak 86,2 persen menjawab membayar zakat dan sisanya 13,8 persen menjawab tidak membayar zakat. Jenis pekerjaan lainnya yaitu, petani, pedagang, karyawan BUMN, karyawan swasta, wiraswasta dan lainnya menjawab membayar zakat. Persentase responden terbesar yang menjawab membayar zakat terdapat pada karyawan BUMN yaitu 100 persen, sedangkan yang terkecil adalah golongan karyawan swasta dan wiraswasta hanya 50 persen yang menjawab membayar zakat untuk membayar zakat. Hal ini dikarenakan pada responden yang memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta merasa penghasilannya belum memenuhi semua keperluan rumah tangga dan bagi responden wiraswasta adanya ketidakpastian penghasilan menyebabkan enggan mengeluarkan zakat atau membayar zakat tidak sesuai dengan kadar seharusnya ketika usahanya maju dan dana zakat yang dikeluarkan dirasa besar. Responden dengan jenis pekerjaan sebagai petani 78,3 persen menjawab membayar zakat dan sisanya 21,7 persen menjawab tidak. Bagi petani yang memiliki 0,25 hektar biasanya saat panen menghasilkan sekitar 1000 kg. Ini artinya penati tersebut sudah terkena kewajiban wajib zakat. Sebagian besar petani membayar sesuai ketentuan kadar zakat yakni 5 persen untuk sawah perairan dan 10 persen untuk sawah tadah hujan. Adapun petani yang tidak membayar zakat karena hasil panennya digunakan untuk keperluan lain seperti membayar hutang, sekolah, keperluan rumah tangga dan sebagainya sehingga tidak bisa membayar zakat. Karyawan BUMN, PNS, karyawan swasta dan wiraswasta cenderung lebih besar persentase yang membayar zakat karena penghasilan yang lebih besar dan biasanya zakat yang


(42)

40

akan dibayarkan sudah dipotong dari gaji bulanan atau terdapat lembaga pengumpul zakat di institusi tempat bekerja.

Hal yang sama juga terjadi pada variabel pendapatan dimana semakin tinggi pendapatan, maka persentase responden yang membayar zakat lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 5.3, pendapatan 1 juta sampai 2,5 juta rupiah hanya 71.4 persen yang menjawab membayar zakat, pendapatan 2,5 - 5 juta rupiah meningkat sebesar 82,5 persen menjawab membayar zakat dan pendapatan lebih 5 juta sampai 50 juta rupiah sebanyak 93,8 persen yang menjawab berzakat.

Berdasarkan uraian diatas, karakteristik kesanggupan orang membayar zakat ditentukan oleh tingginya tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan, maka kesadaran seseorang untuk membayar zakat semakin tinggi. Sedangkan untuk jenis pekerjaan, seseorang yang memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang tetap dan tinggi cenderung untuk membayar zakatnya. Berdasarkan Tabel 5.2 dimana kebanyakan responden menjawab bersedia untuk membayar zakatnya dari berbagai variabel yang mempengaruhinya, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar zakat sudah semakin tinggi. Hal ini sangat menguntungkan karena semakin banyak orang yang membayar zakat berarti zakat yang terkumpul akan semakin meningkat dan kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat.

Pembayaran infak dan sedekah seringkali tidak serutin seperti membayar zakat. Hal ini dikarenakan infak maupun sedekah merupakan ibadah sunnah, namun sebaiknya rutin dilakukan sebab banyak manfaat yang akan didapatkan. Jumlah infak yang tidak dibatasi hanya 2,5 persen dari harta yang dimiliki dan pihak penerima yang tidak memiliki aturan khusus hanya pada delapan golongan seperti zakat. Dana infak diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan membantu seseorang dari kesulitan hidup yang dialaminya. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten Brebes, dana infak pada tahun 2010 tercatat hampir sama dengan dana zakat yakni Rp 800.000.0000,00. Dari 100 responden terdapat 49 persen membayar infak rutin dan 51 persen menjawab tidak membayar infak secara rutin. Pada tabel 5.3 akan dijelaskan


(43)

tentang responden yang rutin berinfak atau tidak dengan variabel yang sama seperti pada pembayaran zakat.

Tabel 5.3. Rutinitas pembayaran infak

Variabel infak (N) infak (%)

Ya Tidak Ya Tidak

Pendidikan

SD 9 11 45.0 55.0

SMP 2 4 33.3 66.7

SMA 11 10 52.4 47.6

D3 5 0 100.0 0.0

S1 27 15 64.3 35.7

S2 5 1 83.3 16.7

Pekerjaan

Petani 12 11 52.2 47.8

Pedagang 1 5 16.7 83.3

Karyawan BUMN 1 0 100.0 0.0

PNS 39 19 67.2 32.8

Karyawan Swasta 0 2 0.0 100.0

Wiraswasta 5 1 83.3 16.7

Lainnya 1 3 25.0 75.0

Pendapatan

1 juta - 2,5 juta 15 6 71.4 28.6

2,5 juta - 5 juta 36 27 57.1 42.9

5 juta – 50 juta 8 8 50.0 50.0

Sumber: Data primer 2011 (diolah)

Pada Tabel 5.3 dijelaskan persentase responden yang membayar infak secara rutin berdasarkan jenis pekerjaan, pendidikan terakhir, dan tingkat pendapatan per bulan. Kategori jenis pekerjaan responden antara lain petani, pedagang, karyawan BUMN, PNS, karyawan swasta, wiraswasta dan lainnya. Berdasarkan kategori pendidikan terakhir, responden diklasifikasikan berdasarkan pendidikan SD, SMP, SMA, D3, S1, dan S2. Kelompok responden lulusan D3 memiliki persentase tertinggi dalam membayar infak secara rutin yaitu sebesar 100 persen. Responden dengan pendidikan terakhir SD memiliki persentase membayar infak secara rutin sebesar 45 persen. Responden lulusan SMP, persentase yang membayar infak secara rutin sebesar 33,3 persen. Kategori pendidikan terakhir SMA, persentase yang membayar infak secara rutin sebesar 52,4 persen. Pada kelompok responden yang memiliki gelar sarjana dan strata 2, persentase yang membayar infak secara rutin dan yang tidak membayar infak secara rutin sebesar 64,3 persen dan 83,3 persen persen. Hal ini menunjkkan


(44)

42

responden dengan pendidikan terakhir lebih tinggi, persentase membayar infak secara rutin lebih besar.

Berdasarkan kategori ini, kelompok responden dengan pekerjaan sebagai karyawan BUMN memiliki persentase tertinggi dalam membayar infak secara rutin yaitu 100 persen. Peringkat kedua adalah kelompok responden yang bekerja sebagai wiraswasta sebesar 83,3 persen. Peringkat ketiga adalah kelompok responden yang bekerja PNS yaitu sebesar 67,2 persen. Responden dengan pekerjaan sebagai petani memiliki persentase membayar infak secara rutin sebesar 52,2 persen. Persentase responden yang bekerja di lainnya seperti jasa atau pensiunan yang membayar infak secara rutin sebesar 25 persen. Kelompok responden yang bekerja sebagai pedagang memiliki persentase terendah dalam membayar infak secara rutin sebesar 16,7 persen. Secara keseluruhan partisipasi responden rutin berinfak tidak sebesar membayar zakat. Dari 100 responden, 59 persen yang rutin berinfak dan 41 persen lainnya tidak rutin berinfak, lebih rendah dari persentase yang membayar zakat yaitu 82 persen. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian besar responden yang rutin berinfak adalah responden yang mengikuti majelis taklim atau kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungannya. Ini karena dalam majelis taklim atau kegiatan sosial tersebut ada infak yang secara rutin dikeluarkan untuk kelancaran kegiatan tersebut.

Kategori respoden berdasarkan pendapatan per bulan, dibagi menjadi tiga kategori yaitu kelompok responden dengan pendapatan 1 juta sampai 2,5 juta, pendapatan antara 2,5 juta sampai 5 juta dan pendapatan 5 juta sampai 50 juta rupiah. Kelompok responden dengan pendapatan 1 juta sampai 2,5 juta rupiah memiliki persentase tertinggi dalam membayar infak secara rutin sebesar 71,4 persen. Kemudian kelompok responden dengan pendapatan antara 2,5 juta sampai 5 juta rupiah, persentase yang membayar infak secara rutin sebesar 58,7 persen. Kategori pendapatan 5 juta sampai 50 juta, persentase responden yang membayar infak secara rutin sebesar 50,0 persen. Tingkat pendapatan responden berkorelasi negatif terhadap kebiasaan membayar infak secara rutin. Semakin tinggi pendapatan responden semakin kecil persentase rutin membayar infak. Berdasarkan informasi dari Badan Amil Zakat Daerah, bagi pegawai yang belum terkena batas wajib zakat maka akan ditarik infak setiap bulan dari penghasilan


(45)

yang diterimanya. Ini bisa jadi melatarbelakangi responden dengan pendapatan antara 1 juta sampai 2,5 juta rupiah memiliki persentase berinfak secara rutin tertinggi dibandingkan kategori pendapatan lainnya.

Berdasarkan Tabel 5.3 terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang berinfak yaitu, pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan. Dari penelitian ditemukan bahwa pekerjaan dengan penghasilan tetap tidak berkorelasi positif dengan rutin berinfak. Buktinya masyarakat dengan pekerjaan yang jumlah penghasilannya tidak tetap seperti pedagang dan wirausaha memiliki persentase yang lebih tinggi dibanding dengan masyarakat yang memiliki pekerjaan dengan jumlah penghasilan relatif tetap seperti PNS.

Tabel 5.4 merupakan penjelasan lebih mendalam tentang berinfak yaitu periode membayar infak. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui periode berinfak yang paling sering dilakukan responden. Pilihan periode berinfak berbeda-beda yaitu, per hari, per minggu, per bulan dan lainnya. Periode membayar infak juga didekati dengan variabel pekerjaan, pendidikan, pendapatan dan pengeluaran.

Tabel 5.4. Periode membayar infak

Periode infak (N) Periode infak (%) per

hari per minggu

per

bulan Lainnya per hari

per minggu

per

bulan Lainnya Pendidikan

SD 0 7 2 3 0.0 58.3 16.7 25.0

SMP 0 2 0 2 0.0 50.0 0.0 50.0

SMA 2 1 6 4 15.4 7.7 46.2 30.8

D3 2 3 0 0 40.0 60.0 0.0 0.0

S1 1 11 10 3 3.6 39.3 35.7 10.7

S2 1 2 2 0 20.0 40.0 40.0 0.0

Pekerjaan

Petani 0 9 2 4 0.0 60.0 13.3 26.7

Pedagang 1 0 0 1 50.0 0.0 0.0 50.0

Karyawan

BUMN 0 0 1 0 0.0 0.0 100.0 0.0

PNS 6 14 16 6 14.3 33.3 38.1 14.3

Karyawan

Swasta 0 0 0 1 0.0 0.0 0.0 100.0

Wiraswasta 2 2 1 0 40.0 40.0 20.0 0.0

Lainnya 0 1 0 0 0.0 100.0 0.0 0.0

Pendapatan 1 juta sampai

2,5 juta 2 5 6 3 12.5 31.3 37.5 18.8

2,5 juta

sampai 5juta 4 19 11 7 9.8 46.3 26.8 17.1

5 juta -

50juta 3 2 3 2 30 20 30 20.0


(46)

44

Pada tabel 5.4, periode membayar infak tertinggi dipilih oleh para responden berdasarkan variabel pendidikan adalah per minggu. Periode infak ini didapat dari responden yang menjawab melakukan infak secara rutin sebanyak 33 persen. Persentase periode per hari tertinggi ada pada kategori pendidikan terakhir D3 dan S2, persentase per minggu tertinggi ada pada kategori D3, persentase per bulan tertinggi ada pada kategori SMA. Tingkat SD, SMP, D3 periode membayar infak tertinggi adalah per minggu yaitu masing-masing sebesar 58,3 persen, 50 persen, dan 60 persen. Pada tingkat pendidikan SMA kesadaran membayar infak mulai meningkat yaitu pada periode per bulan sebesar 46,2 persen dan pendidikan S2 periode per minggu dan per bulan seimbang yaitu sebesar 40 persen. Periode responden membayar infak per minggu biasanya dibayarkan pada saat shalat Jumat di mesjid-mesjid atau di majelis taklim.

Periode membayar infak tertinggi yang dipilih oleh para responden berdasarkan variabel pekerjaan adalah per minggu. Karyawan BUMN dan PNS memilih periode per bulan sebagai periode yang tertinggi berbeda dengan jenis pekerjaan lainnya. Petani dan wiraswasta memilih periode per minggu sebagai periode tertinggi yaitu sebesar 60 persen dan 40 persen. Karyawan BUMN dan PNS periode tertinggi dalam membayar infak adalah per bulan sebesar 100 persen dan 40 persen. Responden dengan pekerjaan sebagai pedagang seimbang antara yang memilih periode per hari dan lainnya.

Periode infak rutin per hari persentase tertinggi dimiliki oleh pedagang dan wiraswasta. Ini disebabkan oleh banyaknya orang yang meminta infak setiap hari dengan mendatangi tempat usaha mereka. Petani dan lainnya memilih periode per minggu untuk mengeluarkan infak yakni pada saat shalat jum’at atau hadir di majelis ilmu. Karyawan BUMN dan PNS memilih infak rutin per bulan karena pendapatan yang diterimanya itu per bulan sehingga infak dikeluarkan setelah mendapat penghasilan.

Berdasarkan variabel pendapatan, pendapatan 1 juta sampai 2,5 juta memiliki kecenderungan periode membayar infak per bulan dengan persentase 37,5 persen. Pendapatan antara 2, 5 juta sampai 5 juta mememiliki kecenderungan periode membayar infak per minggu dengan dengan 46,3 persen responden memilih periode ini. Pendapatan 5 juta sampai 50 juta rupiah memiliki


(47)

kecenderungan periode membayar infak per hari dan per bulan dengan persentase berimbang yaitu 30 persen. Hal ini mencerminkan bahwa semakin tinggi pendapatan, maka semakin rajin membayar infak secara rutin.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan, periode membayar infak yang lebih banyak dipilih oleh responden adalah per minggu baik dilihat dari sisi pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Periode per minggu dipilih sebagai waktu yang ideal untuk membayar infak karena bisa disalurkan pada saat pelaksanaan shalat jumat dan adanya pemikiran dengan jumlah total infak yang sama, terasa lebih ringan dikeluarkan per minggu dibandingkan sekaligus pada setiap bulan.

Periode membayar zakat disajikan seperti pada Tabel 5.5. Responden diberi pilihan waktu yang biasanya digunakan untuk membayar zakat yakni dikeluarkan per bulan, per tahun atau lainnya.

Tabel 5.5. Periode membayar zakat

Periode zakat (N) Periode zakat (%) per

bulan

per

tahun keduanya per bulan

per

tahun Keduannya Pendidikan

SD 6 5 4 40.0 33.3 26.7

SMP 1 3 2 16.7 50.0 33.3

SMA 2 14 1 11.8 82.4 5.9

D3 2 2 0 50.0 50.0 0.0

S1 7 13 22 20.0 37.1 62.9

S2 1 2 3 20.0 40.0 60.0

Pekerjaan

Petani 6 6 6 33.3 33.3 33.3

Pedagang 0 5 0 0.0 100.0 0.0

Karyawan

BUMN 0 1 0 0.0 100.0 0.0

PNS 20 30 0 40.0 60.0 0.0

Karyawan

Swasta 0 1 0 0.0 100.0 0.0

Wiraswasta 0 3 0 0.0 100.0 0.0

Lainnya 0 3 1 0.0 75.0 25.0

Pendapatan 1 juta sampai

2,5 juta 1 12 2 7.7 92.3 15.4

2,5 juta - 5 juta 19 29 4 39.6 60.4 8.3

Lebih dari 5

juta 6 8 1 42.9 57.1 7.1


(48)

46

Periode membayar zakat berdasarkan pendidikan terakhir seperti terlihat pada Tabel 5.5 memiliki kecenderungan untuk memilih periode per tahun, tetapi periode membayar zakat SD yang tertinggi adalah per bulan sebesar 40 persen dari 15 orang responden petani. Periode membayar zakat pada kategori pendidikan terakhir D3 seimbang antara periode per bulan dan per tahun yaitu 50 persen. Kategori SMP, SMA S1 dan S2 persentase tertinggi pada periode membayar zakat per tahun. Responden dengan latar belakang pendidikan rendah cenderung pada saat mereka dapat penghasilan, sebagian besar langsung mengeluarkan zakat. Semakin tinggi latar belakang pendidikan, kecenderungannya mengeluarkan zakat per tahun. Ini didorong kebiasaan dan pengaruh lingkungan sekitar.

Periode membayar zakat berdasarkan pekerjaan memiliki kecenderungan untuk memilih periode per tahun. Responden dengan kategori pedagang, karyawan BUMN, karyawan swasta dan wiraswasta seluruhnya (100 persen) memilih per tahun. Kategori PNS dan lainnya persentase yang memilih membayar zakat periode per tahun sebesar 60 persen dan 75 persen. Responden petani yang memilih periode zakat per bulan, per tahun dan keduanya jumlahnya sama banyak sebesar 33,3 persen. PNS membayar zakat terbanyak setiap tahun, namun yang bayar zakat per bulan juga cukup banyak sebesar 40 persen.

Berdasarkan pendapatan, responden lebih banyak untuk membayar zakat pada periode per tahun. Pendapatan 1 juta sampai 2,5 juta rupiah memiliki persentase terbesar dalam membayar zakat per tahun dibandingkan membayar zakat per bulan dan lainnya yaitu sebesar 92,3 persen. Pendapatan pada kategori 5 juta sampai 50 juta memiliki persentase membayar zakat per bulan paling tinggi diantara kategori pendapatan lainnya.

Secara keseluruhan periode membayar zakat yang dipilih oleh responden adalah periode per tahun per tahun berdasakan berbagai macam variabel seperti pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Pemilihan waktu per tahun didasarkan karena kewajiban membayar zakat mal dan fitrah yang biasanya dilakukan menjelang Idul Fitri. Kebiasaan untuk membayar zakat per bulan yang identik dengan zakat profesi belum banyak dilakukan oleh masyarakat karena kurangnya pengetahuan itu dan belum adanya sistem potong gaji langsung setiap bulan.


(1)

Lampiran 3. HasilDiskriminan Faktor-faktor Memengaruhi Partisipasi Berinfak

Wilks' Lambda

Test of Function(s)

Wilks'

Lambda Chi-square df Sig.

1 .557 54.685 9 .000

Tests of Equality of Group Means

Wilks'

Lambda F Sig. keimanan .948 5.361 .023 penghargaan .986 1.406 .239 Althurism .882 13.104 .000 kepuasan .926 7.841 .006 organisasi .998 .164 .687 pendidikan .923 8.216 .005 pekerjaan .992 .771 .382 pendapatan .982 1.842 .178 f.infak .712 39.699 .000

Canonical Discriminant Function Coefficients

Function 1

keimanan .244 penghargaan -.051 Althurism .314 kepuasan .661 organisasi -.309 pendidikan .367 pekerjaan -.124 pendapatan -.317 f.infak .718 (Constant) -5.440 Unstandardized coefficients

Functions at Group Centroids

infak

Function 1

tidak -1.059 ya .736


(2)

84

Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at group means

Classification Function Coefficients

infak

tidak ya

keimanan 3.401 3.840 penghargaan 10.563 10.472 Althurism 9.040 9.604 kepuasan 5.049 6.235 organisasi -.294 -.849 pendidikan -.682 -.023 pekerjaan 1.235 1.013 pendapatan 4.545 3.976 f.infak 1.075 2.362 (Constant) -63.370 -72.478

Fisher's linear discriminant functions

Classification Results(a)

infak

Predicted Group

Membership Total

tidak ya

Original Count tidak 31 10 41

ya 6 53 59

% tidak 75.6 24.4 100.0 ya 10.2 89.8 100.0 a 84.0% of original grouped cases correctly classified.


(3)

Lampiran 4.HasilDiskriminanDiskriminan Untuk Mengetahui Faktor-faktor Memengaruhi Pemilihan Tempat Membayar Zakat

Tests of Equality of Group Means

Wilks'

Lambda F df1 df2 Sig. Keimanan .995 .487 1 98 .487 Penghargaan .995 .469 1 98 .495 Althurism .976 2.377 1 98 .126 Kepuasan .999 .085 1 98 .771 Organisasi 1.000 .015 1 98 .902 Pendidikan .968 3.248 1 98 .075 Pekerjaan .993 .739 1 98 .392 Pendapatan .995 .473 1 98 .493 adaLAZ .640 55.017 1 98 .000

Wilks' Lambda

Test of Function(s)

Wilks'

Lambda Chi-square Df Sig.

1 .577 51.413 9 .000

Canonical Discriminant Function Coefficients

Function 1

Keimanan .041 penghargaan .040 Althurism .703 Kepuasan -.985 Organisasi .030 Pendidikan .233 Pekerjaan -.086 Pendapatan -.123 adaLAZ 2.399 (Constant) -.790 Unstandardized coefficients

Functions at Group Centroids

Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at group means t4zakat

Function 1 Bukan

OPZ -.678 OPZ 1.060


(4)

86

Classification Function Coefficients

t4zakat Bukan

OPZ OPZ Keimanan 3.046 3.118 penghargaan 10.802 10.872 Althurism 8.529 9.750 Kepuasan 4.532 2.821 organisasi .136 .189 pendidikan -1.241 -.836 pekerjaan 1.442 1.292 pendapatan 4.971 4.757 adaOPZ -2.385 1.784 (Constant) -61.731 -63.884 Fisher's linear discriminant functions

Classification Results(a)

t4zakat

Predicted Group

Membership Total

Bukan OPZ OPZ

Original Count Bukan OPZ 46 15 61

OPZ 4 35 39

% Bukan OPZ 75.4 24.6 100.0 OPZ 10.3 89.7 100.0 a 81.0% of original grouped cases correctly classified.


(5)

Membayar Zakat (Studi Kasus: Kabupaten Brebes). Dibimbing oleh IRFAN

SYAUQI BEIK.

Negara-negara maju memiliki perbedaan dengan negara-negara sedang berkembang antara lain dalam hal kemiskinan dan distribusi pendapatan. Negara maju situasinya lebih mumpuni jika dilihat dari statistik kemerataannya serta kapasitas institusi untuk mengatasi kesenjangan pendapatan. Indonesia sebagai negara sedang berkembang dengan kondisi jumlah penduduk miskin mencapai 31,9 juta orang atau 13,3 persen dari total jumlah penduduk Indonesia dengan indeks gini untuk mengukur distribusi pendapatan sebesar 0,33 (BPS, 2011).

Kemiskinan ini merupakan masalah yang bukan saja dilihat sebagai fenomena ekonomi tetapi juga sebagai masalah agama, sosial, politik dan keamanan. Islam sebagai agama yang mayoritas dianut penduduk Indonesia telah memberikan solusi untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan dengan dana zakat. Zakat memiliki dimensi sosial karena membayar zakat bertujuan mengangkat kehidupan kaum miskin menjadi orang yang sejahtera serta mempersempit jarak antara kaum kaya dan kaum miskin (Qardhawi, 1995).

Kondisi pengumpulan dana zakat di Indonesia saat ini masih di bawah kebutuhan untuk mengeluarkan umat Islam dari kemiskinan. Dana zakat yang terkumpul masih di bawah kebutuhan untuk mengeluarkan umat Islam dari kemiskinan. Padahal potensi zakat dari penduduk muslim yang wajib zakat sangat besar. Penelitian Badan Amil Zakat Nasional dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB mengungkapkan potensi zakat nasional sebesar Rp 217 triliun setara dengan 3,4 persen dari total PDB. Dari potensi zakat nasional yang dimiliki Indonesia, zakat yang berhasil dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) baru mencapai 0,005 persen dari seluruh potensi zakat nasional yakni Rp 1,5 triliun .

Salah satu kabupaten dengan kondisi tingkat kemiskinan yang tinggi di Indonesia adalah Kabupaten Brebes. Persentase penduduk miskin Kabupaten Brebes pada tahun 2009 sebesar 24,39 persen dengan garis kemiskinan sebesar Rp 219.119 per bulan (BPS, 2011). Kabupaten Brebes memiliki Indeks Prestasi Manusia (IPM) sebesar 67,69. Ini merupakan yang terendah di Jawa Tengah yakni peringkat ke 35 dari 35 kabupaten di Jawa Tengah. IPM berfungsi untuk menunjukkan tingkat kemajuan manusia secara umum mencakup tingkat pendapatan, pendidikan dan kesehatan.

Di sisi lain, pada tahun yang sama produk domestik bruto (PDRB) Kabupaten Brebes menempati urutan keempat tertinggi di Jawa Tengah dan urutan pertama di Karasidenan Pekalongan yaitu sebesar Rp Rp 2.532.516.701,45 dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar Rp 7.162.981,23. Kontribusi PDRB Kabupaten Brebes sekitar tiga hingga empat persen terhadap PDRB Jawa Tengah.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi berzakat, berinfak dan pemilihan tempat berzakat di wilayah Kabupaten Brebes. Jenis data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara dengan menggunakan kuesioner di tiga kecamatan yakni


(6)

Kecamatan Brebes, Kecamatan Bulakamba dan Kecamatan Tanjung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis diskriminan.

Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan karakteristik dan persepsi terhadap pembayaran zakat, pembayaran infak, periode berzakat, periode berinfak, pemilihan tempat berzakat dan alasan memilih tempat zakat dilihat dari berbagai macam variabel seperti pekerjaan, pendidikan dan pendapatan.

Hasil penelitian ini menunjukkan dalam taraf nyata 10 persen, faktor yang memengaruhi partisipasi berzakat adalah faktor keimanan, faktor althurism (kepekaan sosial), faktor penghargaan, faktor organisasi dan faktor pendapatan. Dari analisis diskriminan yang digunakan, faktor yang memengaruhi partisipasi rutin berinfak adalah faktor keimanan, faktor althurism, faktor kepuasan, faktor pendidikan, frekuensi infak. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi pemilihan tempat membayar zakat pada taraf nyata 10 persen adalah faktor pendidikan dan keberadaan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ).

Sinergi antara kesadaran individu, regulasi dalam penarikan zakat dan kinerja organisasi amil perlu dilakukan agar dana zakat yang terkumpul dapat meningkat dan pendayagunaan zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan sosial dapat berjalan optimal.