PELAYANAN DAN REHABILITASI SOSIAL TUNA SOSIAL
C. PELAYANAN DAN REHABILITASI SOSIAL TUNA SOSIAL
1. Arah Kebijakan
a. Memberi perlindungan, menyelamatkan dan mengentaskan kehidupan tuna sosial ke dalam kehidupan yang bermartabat.
b. Memberdayakan potensi dan kemampuan tuna sosial dengan b. Memberdayakan potensi dan kemampuan tuna sosial dengan
Penggunaan law enforcement tidak dilakukan dengan memenjarakan para homelessness tetapi melalui model restorative justice. Proses persidangan lebih bersifat problem- solving court atau therapeutic justice court untuk mendorong reintegrasi ke masyarakat dan mengurangi angka residivis, khususnya bagi gelandangan dan pengemis yang merupakan pelaku dengan tindak kriminal minor.
Pemerintah lebih mendorong upaya-upaya treatment sosial dan re-entry dalam kehidupan sosial, re-entry housing dan re-entry employment. Gelandagan tidak perlu memiliki catatan kriminal, hakim dapat memberi putusan rehabilitasi untuk melakukan kerja sosial atau rehabilitasi apabila mereka mengalami kecanduan alkohol narkotika dan psikotropika atau mengalami gangguan mental. Proses transisi kembali ke masyarakat mendapat pendampingan dari case manager. Akses pada perumahan dan pekerjaan, pelayanan kesehatan serta pelayanan lainnya akan difasilitasi oleh case manager.
Persoalannya kemudian apakah upaya represif masih bisa digunakan ? Sampai saat ini pasal 504 dan 505 KUHP masih berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 1980 juga belum dicabut dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 malah masih membolehkan rehabilitasi yang dilakukan secara koersif atau memaksa. dan di atas itu semua negara masih mempunyai kewenangan untuk memaksa warga negaranya agar patuh pada hukum.
Namun demikian, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan, pertama Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang terkait dengan hak asasi manusia dan bahkan telah mempunyai UU HAM, kedua Trend global dalam penanganan kelompok rentan perkotaan adalah melalui urban poor reduction dengan skema sosial protection, bukan kriminalisasi. Kriminalisasi sudah ditinggalkan. Ketiga Badan-badan pembangunan dan lembaga keuangan dunia menggunakan perspektif lebih memilih menggunakan sosial protection dan empowerment. Mereka mengakomodasi kepentingan kaum marginal, dengan menggunakan pilar civil society, mendorong local government dengan insentif hibah dan capacity building, serta membangun kemitraan strategis.
Oleh karena itu dalam mengarahkan tindakan represif, melalui penegakan hukum atau pro yustisi, pemerintah DIY perlu lebih menekankan pada pendekatan problem solving. Tindakan pro-yustisi juga dikenakan secara selektif kepada gelandangan pengemis yang diindikasikan terlibat dalam tindakan kriminal, bukan pada gelandangan dan pengemis yang sudah berusia lanjut dan dalam kondisi miskin dan mengalami disabilitas.
Selain itu tindakan razia perlu dibarengi dengan upaya membangun
Aparat penegak hukum, baik itu Polisi maupun Satuan Polisi Pamong Praja juga dapat melakukan upaya-upaya yang bersifat edukasi masyarakat ke wilayah-wilayah kantong gelandangan pengemis dan komunitas jalanan lainnya. Upaya ini dapat dilakukan bersama-sama dengan melibatkan partisipasi masyarakat baik secara perorangan maupun Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang selama ini telah bekerja dengan komunitas jalanan. Penjangkauan atau outreach seperti ini merupakan tindakan kontrol, pengendalian sekaligus edukasi untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan keserasian masyarakat.
Edukasi terhadap gelandangan dan pengemis, khususnya yang masih produktif bisa dipadukan dengan gerakan sosial masyarakat, misalnya gerakan kebersihan kota untuk mengatasi penyakit menular (pemberantasan nyamuk, pengelolaan sampah, sarang tikus) atau dalam kerja bhakti dalam menanggulangi bencana banjir serta potensi bencana kebakaran. Bilamana perlu kegiatan ini juga dipadukan dengan program padat karya, sehingga warga miskin kota lebih terdorong dan mempunyai motivasi mengikuti kegiatan tersebut.
Pendekatan yang bersifat represif perlu dibarengi dengan skema perlindungan sosial yang memadai khususnya bagi gelandangan pengemis yang sudah berusia lanjut, mengalami disabilitas, sangat miskin atau gelandangan psikotik yang sudah tidak diketahui lagi sanak saudaranya. Perlindungan sosial mencakup jaminan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan, jaminan kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan. Sebenarnya skema rehabilitasi sosial sudah mencakup pemenuhan kebutuhan dasar. Namun akses untuk mendapat pemukiman dan pekerjaan yang layak masih sangat sulit diperoleh.
sosial dasar termasuk hunian yang bisa saja berbentuk rumah susun. Warga dapat memberi kontribusi sewa yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan serta pendapatan yang diperoleh. Pemerintah DIY sudah berpengalaman dalam penyediaan rusunawa, yang sampai saat ini pengelolannya berjalan dengan baik dan dirasakan sangat membantu kehidupan warga miskin kota. Dengan demikian rusunawa bagi gelandangan pengemis sangat visibel dan dapat diwujudkan dalam 1-2 tahun mendatang.
Right to employment juga menjadi bagian dari skema penguatan dan pemberdayaan gelandangan pengemis. Program rehabilitasi sosial sudah menyertakan adanya pelatihan ketrampilan dan kewirausahaan serta bantuan bahan, alat dan modal awal untuk memulai usaha ekonomi produktif. Kesempatan kerja menjadi point penting yang ditangani secara serius. Upaya memperjuangkan perolehan kerja dapat dilakukan melalui kebijakan yang bersifat afirmatif dengan memberi quota khusus bagi eks gelandangan pengemis untuk dapat memperoleh pekerjaan. Gelandangan eks psikotik yang masih berusia produktif dan mampu bekerja dapat dipekerjakan dalam lingkungan instansi pemerintah daerah atau lembaga lainnya, dibawah supervisi pekerja sosial dan konselor. Demikian pula bagi eks gelandangan pengemis yang akan pulang kembali ke daerah asal, khususnya di wilayah Yogyakarta akan diikuti dengan program pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan, termasuk pendampingan teknis, permodalan, pemasaran dan pelatihan lanjutan.
Rehabilitasi sosial gelandangan pengemis memang diselenggarakan di dalam panti sosial. Namun, pendekatan, metode dan teknik rehabilitasi yang digunakan tidak hanya terfokus di dalam panti. Sosial inclusion Rehabilitasi sosial gelandangan pengemis memang diselenggarakan di dalam panti sosial. Namun, pendekatan, metode dan teknik rehabilitasi yang digunakan tidak hanya terfokus di dalam panti. Sosial inclusion
c. Meningkatkan aksesibilitas gelandangan pengemis pada pelayanan sosial dasar
d. Menyelenggarakan rehabilitasi psiko sosial
e. Memberdayakan dan mengembangkan potensi gelandangan pengemis
f. Memfasilitasi proses inklusi sosial gelandangan pengemis dalam kehidupan masyarakat
g. Meningkatkan koordinasi, sinergi dan membangun kemitraan strategis dalam pelaksanaan perlindungan dan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.
Tujuan
a. Mewujudkan pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar bagi gelandangan pengemis
b. Membina gelandangan pengemis sebagai angkatan kerja yang produktif dan terserap dalam dunia kerja.
c. Mewujudkan kehidupan gelandangan pengemis yang mandiri, sejahtera, bermartabat dan inklusif dalam masyarakat.
d. M embangun kerjasama dan sinergi dalam penanganan gelandangan pengemis
1. Strategi Penyelenggaraan Rehabliitasi Sosial Tuna Sosial
a. Penggunaan Model Pelayanan 24 365
Penyelenggaraan rehabilitasi sosial gelandangan pengemis, baik melalui rumah perlindungan sementara maupun panti rehabilitasi sosial menggunakan model pelayanan 24 365. Di dalam model ini, pelayanan dilakukan selama 24 jam dan 365 hari. Model ini digunakan untuk mengakomodasi situasi khusus dan perkembangan kondisi permasalahan gelandangan dan pengemis. Penjangkauan dilakukan sesuai dengan perkembangan situasi mobilitas gelandangan dan pengemis sehingga rumah perlindungan sosial harus selalu siap menerima rujukan dari para petugas penjangkauan maupun menerima laporan/rujukan dari warga masyarakat.
Pelayanan di dalam panti rehabilitasi sosial gelandangan pengemis juga menggunakan model 24 365 sehingga lebih fleksibel dalam menerima dan melakukan reintegrasi sosial warga binaan yang telah selesai mengikuti rehabilitasi sesuai dengan kemampuan dan kesiapan warga binaan.
b. Pelayanan Menyeluruh dan Terpadu
Introduksi pendekatan perlindungan sosial juga membutuhkan penggunaan strategi pelayanan menyeluruh dan terpadu. Pemenuhan hak-hak dasar mensyaratkan adanya jaminan dari sejumlah satuan kerja perangkat daerah untuk mengalokasikan sumber daya dan pelayanannya kepada kelompok rentan seperti gelandangan dan pengemis. Pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan
Introduksi perspektif Perlindungan sosial merupakan pendekatan baru dalam penanggulangan gelandangan pengemis. Selama ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penertiban yang diikuti dengan rehabilitasi. Para pelaksana program penanggulangan gelandangan pengemis perlu memiliki perspektif baru tersebut serta filosofi dan nilai-nilai yang mendasari perspektif perlindungan sosial.
Rehabilitasi sosial, bukan lagi semata-mata dimaknai sebagai tindakan koreksional namun sebagai media untuk membangun kembali gelandangan pengemis sebagai manusia yang memiliki harga diri dan martabat seperti warga masyarakat lainnya. Rehabilitasi sosial dalam perspektif perlindungan sosial adalah upaya humanisasi yang berupaya menggali, mengoptimalkan kapasitas manusia sehingga mencapai apa yang disebut dengan self- fulfillment dan self-efficacy. Bimbingan mental, sosial yang menjadi instrumen rehabilitasi sosial harus difasilitasi oleh pekerja sosial yang memiliki kapasitas klinis yang memadai. Oleh karenanya, capacity building bagi petugas rehabilitasi sosial menjadi salah satu strategi yang digunakan dalam penyelenggaraan program tersebut.
Peningkatan kapasitas teknis dilaksanakan melalui kegiatan bimbingan teknis bagi petugas penjangkauan, pekerja sosial pada rumah perlindungan sosial gelandangan pengemis dan pekerja sosial pada Panti Rehabilitasi Sossial Gelandangan pengemis. Peningkatan kapasitas bagi pelaksana penanggulangan gelandangan pengemis lain seperti Satuan Polisi Pamong Praja Dan Aparat Kepolisian dilakukan melalui kegiatan sosialisasi atau workshop.
Panti Rehabilitasi Sosial (PSBK) juga membutuhkan peningkatan prasarana dan sarana. Bangunan untuk asrama mengakomodasi warga binaan yang memiliki keluarga. Bangunan asrama bagi gelandangan psikotik yang telah memeproleh layanan kesehatan jiwa dari RSJ dan diserahkan kembali ke PSBK juga perlu disediakan. Selain itu peralatan ketrampilan dan fasilitas lain yang mendukung theraphy vokasional juga perlu dilengkapi. Semua ini dilakukan dalam kerangka mengoptimalkan proses rehabilitasi sosial gelandangan pengemis.
Sarana hunian yang lebih layak bagi warga binaan yang masih kesulitan memperoleh rumah juga perlu disediakan. Pemerintah perlu menyediakan Rusunawa yang dapat diakses oleh warga binaan sosial yang telah selesai mengikuti rehabilitasi dan sudah memperoleh pekerjaan atau mengelola usaha. Rusunawa merupakan langkah awal pemerintah untuk memenuhi hak warga masyarakat marginal atas tempat hunian yang layak.
e. Peningkatan Peran Serta dan Partisipasi Multi stakeholder
Penanganan Gelandangan dan atau pengemis membutuhkan kerjasama dan partisipasi dari banyak stakeholder. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu meningkatkan peran serta dan partisipasi dari berbagai stakeholder. Penanganan gelandangan pengemis perlu melibatkan berbagai SKPD terkait, baik di lingkungan Pemerintah DIY maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
Satuan Polisi Pamong Praja dan Aparat Kepolisian sesuai dengan tugas dan fungsinya akan melakukan pembinaan dan penegakan hukum Satuan Polisi Pamong Praja dan Aparat Kepolisian sesuai dengan tugas dan fungsinya akan melakukan pembinaan dan penegakan hukum
Partisipasi dari Perguruan Tinggi perlu digali, khususnya dalam menyediakan pendampingan, supervisi dan penelitian yang berkaitan dengan gelandangan pengemis. Rehabilitasi sosial membutuhkan dukungan tenaga ahli baik itu psikolog, psikiater, dokter, ahli hukum maupun perawat. Pemerintah daerah perlu menggali partisipasi Perguruan Tinggi melalui kegiatan Praktikum, KKN, penelitian, supervisi maupun penempatan tenaga ahli pada Rumah Perlindungan Sosial maupun Panti rehabilitasi Sosial.
Partisipasi juga dapat digali dari dunia usaha, dalam bentuk penyediaan fasilitas untuk praktek belajar kerja, magang maupun penempatan warga binaan sosial yang sudah menjadi angkatan kerja produktif ke dalam perusahaan. Dunai usaha juga dapat memberi dukungan dalam bentuk fasilitasi dan pendampingan usaha ekonomi yang dikelola oleh warga binaan sosial.